Esai : Almin Hatta
Hari itu usia Micth genap 40 tahun. Kata sebagian orang, di umur itu karir
seorang sedang dalam kondisi puncak. Tapi, di umur yang sama, kejantanan
seorang pria diperhitungkan tak lagi mendaki ke atas, dan bahkan diyakini
cenderung menurun ke bawah.
Kebetulan, persis di ultah ke 40
itu, karir Micth sedang melesat. Lalu, bagaimana dengan seksualitasnya ? Micth
yakin masih joss. Tapi isterinya yang jelita menuntut pembuktian. Maka, hari
itu disepakati kedua anak mereka diungsikan ke rumah sang nenek. “Malam ini
rumah ini cuma milik kita berdua,” ujar sang isteri sembari menebar senyum menggoda.
Tapi, cuma sesaat Micth sudah
mencapai klimaks. Isterinya pun kecewa berat. “Maaf, aku kelewat bersemangat.
Sekarang kau sembunyi dimana saja. Sepuluh menit lagi aku mencarimu untuk
membuktikannya,” kata Micth sembari membusungkan dada.
Agar terlihat lebih jantan, Micth
pun berdandan. Tapi apapun yang dipakainya selalu mengecewakan. Ia akhirnya
menemukan topi koboi milik Curly, sahabatnya yang sudah lama meninggal dunia.
Mitch pun mengenakannya, namun ada yang mengganjal di dalamnya. Ternyata isinya
sebuah peta lama tentang letak penyimpanan batangan emas yang tak terhitung
banyaknya.
Singkat cerita, Micth rela
melepaskan jabatan direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Bersama seorang
adik lelakinya, serta Phil rekan sekerjanya, ia kemudian memburu tumpukan
harta.
Repotnya, tak cuma mereka yang
melakukan perburuan. Ada sejumlah orang lainnya, termasuk Duke yang tak lain
dari saudara kembar Curly. Maka persaingan pun tak terelakkan, dan bahkan
sampai terjadi baku hantam.
Sialnya, yang kemudian mereka
temukan ternyata cuma tumpukan batangan timah bersapuh emas. Micth pun terduduk
lemas.
Beberapa hari kemudian, Duke datang
menemuinya sambil menunjukkan potongan peta yang sebelumnya hilang entah
kemana. Tapi, “Sudahlah, aku tak lagi percaya,” kata Micth dengan wajah kecewa.
Duke lalu tersenyum, sembari
meletakkan sebatang emas diatas meja. Micth pun terpana. “Kau…” Ia tak mampu
melanjutkan kalimatnya. Namun Duke mafhum maksudnya.
“Ya, aku telah menemukannya,”
ujarnya.
“Tapi, kenapa kau memperlihatkannya
?” balas Micth dengan nada lebih tak percaya.
Duke kembali senyum menggoda.
Lalu,”Micth selama ini kita memang saling berlomba untuk mendapatkannya. Tapi,
selama itu pula kau telah menunjukkan kejujuran dalam berlaga. Kau telah
menunjukkan peta utamanya, sedangkan aku cuma memiliki sepotong sambungannya.
Karena itu harta ini milik kita bersama. Jadi intinya, ini cuma soal kejujuran
saja,” katanya.
Cerita diatas adalah ringkasan film
yang kutonton Minggu malam kemarin, sepulang kerja. Entah apa judulnya, entah
siapa pula para pemainnya. Tapi, yang penting, apakah ada hubungannya dengan
pilkada ?
Boleh jadi tak ada sangkut pautnya.
Hanya saja, aku melihat ada benang merah yang sangat kentara. Film itu berisi
perlombaan sejumlah orang untuk meraih sebuah tujuan yang sama. Mereka yang
berlomba sempat saling sikut, saling hantam. Tapi, pada akhirnya ditutup dengan
penegasan tentang pentingnya sebuah kejujuran.
Nah, kukira, dalam pilkada ini sama
saja. Silakan raih kemenangan dengan berbagai cara. Tapi, pada akhirnya, rakyat
menghendaki kejujuran, siapapun pemenangnya. Baik kejujuran dalam pertarungan,
terlebih lagi kejujuran dalam kepemimpinan setelah nanti terpilih menjadi
gubernur, bupati, atau walikota.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar