Esai : Almin Hatta
Nasib. Ooo….ya
nasib, ya nasib, mengapa begini, baru pertama bercinta, sudah menderita……(Rhoma
Irama).
Nasib cuma beda tipis dengan rejeki,
atau barangkali justru sama persis. Yang berbeda Cuma penulisan atau
pengucapannya. Nasib bahkan bisa identik dengan rejeki. Nasib baik jadi
pejabat, maka rejeki pun berlimpah ruah seperti derasnya hujan lebat.
Tapi, nasib sendiri tak seiring
sejalan dengan tinggi rendahnya pendidikan orang per orang. Nasib juga tidak
selalu selaras dengan malas rajinnya orang dalam melaksanakan pekerjaan dalam
memperoleh kekayaan. Karena itu, ada orang yang sebenarnya tidak pintar, tapi
bisa mulus menjadi pejabat. Sebaliknya ada orang yang sudah bergelar S2 dan
bahkan S3 eh malah tak kebagian jabatan apa-apa. Ada orang yang bekerja hamper
24 jam sehari tapi tak juga kunjung kaya, sementara orang lain yang kerjanya
santai-santai saja justru bisa kaya raya.
Seorang teman kuliah dulu, yang
kerjanya Cuma mabuk-mabukkan tiap hari, seja dua tahun lalu dipercaya menjadi
bupati pada salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kabarnya, menurut teman kuliah
lainnya, tiap kali ada urusan ke Jakarta, teman yang sudah bupati ini masih
saja suka mabuk-mabukan. Setidaknya masih doyan menyeruput minuman keras.
Bedanya , kalau dulu tenggengnya di kawasan kos-kosan belakang kampus, sekarang
telernya di kafe atau pub hotel berbintang.
Seorang teman lainnya yang cuma
lulusan SLTA, sejak sekira enam tahun lalu dipercaya menjadi pimpinan sebuah
perusahaan asuransi ternama pada kantor cabang di sebuah kota di Jawa Tengah. Padahal,
dulu, prestasi sekolahnya biasa-biasa saja, orangnya pun terkesan pendiam dan
bahkan pemalu pula.
Seorang teman kecil sepermainan di
kampung yang sama sekali tak pernah mengantongi ijazah SLTA, nasibnya bahkan
lebih beuntung lagi. Ia tiba-tiba muncul menjadi pengusaha kaya raya setelah
dengan leluasa membabat kayu di rimba belantara. Tak cukup sampai disitu,
lelaki ganteng yang doyan main perempuan ini bahkan dimuliakan pula dengan
diangkat menjadi anggota MPR.
Sementara itu, seorang lulusan S2 sebuah
universitas ternama di Amerika, kini Cuma kebagian jabatan kepala bidang di
kantor pemerintah provinsi. Seorang lainnya yang juga lulusan S2 dari
Australia, nasibnya nyaris sama saja. Tak kebagian jabatan yang pantas
dibanggakan.
Nasib, kata banyak orang, seringkali
tergantung kesempatan dan juga keberanian. Seperti teman sepermainan tadi,
dengan keberanian yang luar biasa dan dengan sangat tepat memanfaatkan
kesempatan mengeruk kekayaan dari lebatnya hutan. Dan dengan kekayaan itulah ia
begitu tepat memanfaatkan kesempatan menjadi anggota MPR yang mulia.
Tapi, setiap pendakian pasti ada
penurunan. Karena itu, seorang pengusaha hotel yang dulu kaya, kini nyaris
miskin papa. Anaknya yang dulu begitu dimanjakannya, kini terpaksa bekerja
serabutan yang tak jelas penghasilnya.
Meski demikian, perjalanan nasib tak
harus diratapi. Sebab, apapun yang terjadi haruslah dijalani. Karena itu, ada
baiknya dibawa bernyanyi, meski syairnya masih juga menyayat hati,” Ya Nasib,
ya nasib, kenapa begini….”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar