Esai : Almin Hatta
Jujur saja, judul diatas diilhami dari roman politik Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
karya Pramoedya Ananta Toer ; Dendang nelangsa seorang tahanan yang suaranya
terbungkam di pulau pengasingan.
Jika orang tak lagi bisa bersuara,
maka bisulah namanya.Jika jeritan seseorang tak ada lagi yang mempedulikan,
maka nasibnya tak ubah tunawicara yang tak kuasa berkata-kata.
Kalau demikian halnya, bagaimana
pula si bisu bisa mengaduh apalagi menjerit ? Ya membisu, diam seribu bahasa :
tak memberikan isyarat apa pun jua, tak dengan tangan ataupun sekadar kedipan
mata.
Meski demikian, haruslah diingat
bahwa diam adalah sebuah sikap. Diam juga merupakan pernyataan. Karena itulah
seorang anak yang merajuk bisa memilih berkurung diri seharian di dalam
kamarnya, dan seorang pejabat yang kesal kepada pers memilih no comment.
Diamnya pejabat mungkin tak
berdampak apa-apa, kecuali pers kehilangan satu sumber berita. Sebaliknya,
diamnya seorang anak, apalagi sampai mengurung diri di dalam kamar terkunci,
orang tuanya haruslah hati-hati. Sebab, si anak diam-diam bisa bunuh diri.
Tapi, yang lebih gawat adalah
diamnya segenap rakyat di sebuah negeri akan penyimpangan-penyimpangan yang
telah dilakukan para pemimpin yang tak tahu diri. Soalnya, diamnya banyak orang
bukanlah berarti menerima begitu saja keadaan yang menyengsarakan. Melainkan
sikap api dalam sekam yang kapan-kapan bisa berkobar menjadi kebakaran besar
yang tak terkendalikan oleh siapapun juga, termasuk oleh aparat keamanan.
Soalnya, diamnya segenap rakyat
lebih merupakan akumulasi dari sedemikian banyak kekecewaan. Diamnya segenap
rakyat, adalah sikap yang kemudian muncul setelah sebelumnya suara mereka tak
pernah dipedulikan. Mulut mereka memang tidak disumbat, tapi aspirasi mereka
tak pernah dihiraukan. Dan itu bukan sikap yang penghabisan melainkan awal dari
munculnya sikap marah yang tak terkendalikan.
Karena itulah, Bung Hatta ketika
mengikuti rapat-rapat menjelang Indonesia merdeka di awal-awal tahun 1945,
secara tegas menyatakan agar beberapa hak rakyat seperti hak menyatakan
pendapat dicantumkan dalam UUD. Maksudnya, hak-hak rakyat itu harus benar-benar
mendapatkan perhatian dari penyelenggara pemerintahan. Bukan Cuma sekadar
dibebaskan untuk bicara menyampaikan keluhan atau keinginan, tapi diperhatikan
dan kalau memang cukup alasan haruslah dikabulkan.
Tapi, Soepomo, ahli hokum yang ikut
membidani lahirnya negara kesatuan ini dengan kesatuan ini dengan sangat tajam
menyerang Hatta. “Pertanyaan yang mempersoalkan bagaimana halnya kalau hak
seseorang untuk bersidang dilanggar oleh pemerintah, sebetulnya berdasar atas
kecurigaan terhadap negara…”tandasnya.
Soepomo yang bersahaja boleh-boleh
saja percaya seratus persen bahwa penyelenggaraan pemerintahan akan benar-benar
memperhatikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sekalian. Tapi, bukankah
zaman terus berubah ?
Kalau diawal kemerdekaan dulu
pejabat adalah mantan pejuang yang mengerti betul betapa sakitnya menjadi orang
tertindas ; maka sekarang tak sedikit jabatan yang dibeli dengan uang. Nah,
untuk mengembalikan ‘modal’ itulah pejabat yang bersangkutan tak segan-segan
melakukan penyimpangan, tak peduli rakyat yang jadi korban.
Maka, rakyat pun Cuma bisa menjerit
dalam kebisuan sebab untuk bicara mereka sudah enggan. Tapi, kenyataan itu
jangan dianggap gampang. Sebab, sekali lagi, bisunya rakyat itu seperti api
dalam sekam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar