Kamis, 06 Februari 2014

JERITAN BISU

JUM'AT, 7 FEBRUARI 2014
Esai : Almin Hatta

Jujur saja, judul diatas diilhami dari roman politik Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer ; Dendang nelangsa seorang tahanan yang suaranya terbungkam di pulau pengasingan.
            Jika orang tak lagi bisa bersuara, maka bisulah namanya.Jika jeritan seseorang tak ada lagi yang mempedulikan, maka nasibnya tak ubah tunawicara yang tak kuasa berkata-kata.
            Kalau demikian halnya, bagaimana pula si bisu bisa mengaduh apalagi menjerit ? Ya membisu, diam seribu bahasa : tak memberikan isyarat apa pun jua, tak dengan tangan ataupun sekadar kedipan mata.
            Meski demikian, haruslah diingat bahwa diam adalah sebuah sikap. Diam juga merupakan pernyataan. Karena itulah seorang anak yang merajuk bisa memilih berkurung diri seharian di dalam kamarnya, dan seorang pejabat yang kesal kepada pers memilih no comment.
            Diamnya pejabat mungkin tak berdampak apa-apa, kecuali pers kehilangan satu sumber berita. Sebaliknya, diamnya seorang anak, apalagi sampai mengurung diri di dalam kamar terkunci, orang tuanya haruslah hati-hati. Sebab, si anak diam-diam bisa bunuh diri.
            Tapi, yang lebih gawat adalah diamnya segenap rakyat di sebuah negeri akan penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan para pemimpin yang tak tahu diri. Soalnya, diamnya banyak orang bukanlah berarti menerima begitu saja keadaan yang menyengsarakan. Melainkan sikap api dalam sekam yang kapan-kapan bisa berkobar menjadi kebakaran besar yang tak terkendalikan oleh siapapun juga, termasuk oleh aparat keamanan.
            Soalnya, diamnya segenap rakyat lebih merupakan akumulasi dari sedemikian banyak kekecewaan. Diamnya segenap rakyat, adalah sikap yang kemudian muncul setelah sebelumnya suara mereka tak pernah dipedulikan. Mulut mereka memang tidak disumbat, tapi aspirasi mereka tak pernah dihiraukan. Dan itu bukan sikap yang penghabisan melainkan awal dari munculnya sikap marah yang tak terkendalikan.
            Karena itulah, Bung Hatta ketika mengikuti rapat-rapat menjelang Indonesia merdeka di awal-awal tahun 1945, secara tegas menyatakan agar beberapa hak rakyat seperti hak menyatakan pendapat dicantumkan dalam UUD. Maksudnya, hak-hak rakyat itu harus benar-benar mendapatkan perhatian dari penyelenggara pemerintahan. Bukan Cuma sekadar dibebaskan untuk bicara menyampaikan keluhan atau keinginan, tapi diperhatikan dan kalau memang cukup alasan haruslah dikabulkan.
            Tapi, Soepomo, ahli hokum yang ikut membidani lahirnya negara kesatuan ini dengan kesatuan ini dengan sangat tajam menyerang Hatta. “Pertanyaan yang mempersoalkan bagaimana halnya kalau hak seseorang untuk bersidang dilanggar oleh pemerintah, sebetulnya berdasar atas kecurigaan terhadap negara…”tandasnya.
            Soepomo yang bersahaja boleh-boleh saja percaya seratus persen bahwa penyelenggaraan pemerintahan akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sekalian. Tapi, bukankah zaman terus berubah ?
            Kalau diawal kemerdekaan dulu pejabat adalah mantan pejuang yang mengerti betul betapa sakitnya menjadi orang tertindas ; maka sekarang tak sedikit jabatan yang dibeli dengan uang. Nah, untuk mengembalikan ‘modal’ itulah pejabat yang bersangkutan tak segan-segan melakukan penyimpangan, tak peduli rakyat yang jadi korban.
            Maka, rakyat pun Cuma bisa menjerit dalam kebisuan sebab untuk bicara mereka sudah enggan. Tapi, kenyataan itu jangan dianggap gampang. Sebab, sekali lagi, bisunya rakyat itu seperti api dalam sekam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemandangan Alam di Sekitaran Desa Telaga Sili-Sili HSS

 Jumat, 29 November 2024 Pemandangan alam yang ada di sekitaran Desa Telaga Sili-Sili, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, p...