Jum'at, 21 Februari 2014
Naskah syarhil
Qur’an. Ekonomi syariah di era pasar bebas. Pensyarah : Alfisyah Khairini. Qari
: Raudatul Jannah. Terjemah : Anjasmara Manurung. Disampaikan pada MTQ Nasional
Tingkat Kabupaten Hulu Sungai Selatan ke 43 tahun 2014 di Kecamatan Kalumpang.
Bapak-bapak/Ibu-ibu/hadirin dan
hadirat rahimakumullah. Lebih dahulu dan lebih utama, marilah kita bersama-sama
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Alhamdulillah dengan anugerah
hidayah dan taufik-Nya kita dapat bertemu dan berkumpul dalam rangka
menyemarakkan MTQ Nasional ke 43 tingkat Kabupaten Hulu Sungai Selatan tahun
2014 di Kecamatan Kalumpang ini.
Shalawat dan salam marilah kita
mohonkan kehadirat Allah SWT, semoga senantiasa ditambahkan curahannya
keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan segenap
pengikutnya yakni umat pencinta Al-Qur’an sampai akhir zaman.
Kemudian daripada itu,
perkenankanlah dalam kesempatan yang berbahagia ini kami membawakan sebuah
syarahan Al-qur’an berjudul :
EKONOMI SYARIAH DI ERA PASAR BEBAS
Bapak/ibu/hadirin dan hadirat rahimakumullah.
Al-Qur’anul Karim adalah kitab suci yang paling sempurna isinya menjadi
pedoman, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman. Al-Qur’an mengandung
konsep-konsep tentang semua aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi, sosial
politik, dsb.
Hadirin yang kami homati. Dunia
semakin cantik dan molek, dihiasi dengan perkembangan sains dan teknologi yang
semakin canggih dan menarik. Akan tetapi permasalahan-permasalahan di setiap
lini kehidupan termasuk di dalamnya masalah kemiskinan, telah membuat otak
ruwet, mumet dan njelimet. Bukankah karena miskin seseorang tidak dapat
meneruskan pendidikannya maka ia menjadi bodoh ? Bukankah karena miskin
seseorang tidak dapat melihat dan mendengarkan berita-berita terkini (headline
news) maka ia menjadi terbelakang ? Bukankah karena miskin seseorang dapat
menjual akidahnya maka ia menjadi kufur ?
Masalah ini terus dan terus berputar
bagaikan lingkaran setan yang seolah-olah tidak ada pemecahannya, padahal Islam
telah memberikan solusi kongkret, dengan cara “Ekonomi Syariah Pendorong
Penguatan Ekonomi”, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah di dalam
Al-Qur’an Surah Al_baqarah ayat 275 yang artinya Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) ; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka ; mereka kekal
di dalamnya”.
Haidirin Rahimakumullah. Firman
Allah yang baru kita simak bersama mengisyaratkan agar kita umat Islam memiliki
ekonomi yang kuat. Mari kita kaji secara mendalam. Imam Ibnu Katsir di dalam kitabnya
Tafsir Ibnu Katsir jilid ke-3 menyebutkan, bahwa sebab diturunkannya ayat ini
berawal dari sebuah pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqash kepada Saidina Muhammad
Rasululullah SAW, “Wahai Rasulullah aku memiliki harta yang banyak akan tetapi
pewarisku hanya satu orang anak, maka bolehkah jika aku bersedekah dua
pertiganya ? Rasul menjawab : tidak boleh. Bolehkah jika seperduanya ? Rasul
menjawab : tidak boleh. Bagaimana jika sepertiganya ? Rasul menjawab tidak
boleh seraya melanjutkan perkataannya.
Sungguh aku mengharapkan jika engkau
dapat warisi keturunan yang kaya dan berharta dan itulah yang terbaik dari pada
engkau mewarisi keturunan yang lemah lagi papa serta hanya mengharapkan belas
kasih orang lain.
Kisah ini menjelaskan kepada kita
bahwasanya Islam menginginkan agar setiap orangtua dapat meninggalkan generasi
penerus mereka dalam keadaan yang kuat fisik, kuat mental, dan kuat
perekonomiannya.
Syekh Mustofa al-Maroghi menafsirkan
kalimat “khoofu ‘alaihim” sebagai suatu kekhawatiran jikalau anak-anak hidup
terlantar dan tersia-sia. Kenapa demikian ? Karena telah diketahui bersama
bahwa tolak ukur sejahtera tidak sejahteranya seseorang, makmur tidak makmurnya
seseorang dilihat dari keadaan ekonominya, apabila ekonominya baik, maka apa
yang menjadi hajat hidupnya akan mudah untuk didapatkan. Akan tetapi jikalau
ekonominya buruk maka pasti apa yang menjadi hajat hidupnya akan sulit untuk
terpenuhi.
Hadirin rahimakumullah. Dalam dunia
ekonomi kita mengenal adanya tiga buah sistem ekonomi. Pertama, sistem ekonomi
sosialis dimana pemerintah secara mutlak mengurus dan mengelola sistem
perekonomian mereka. Kedua, sistem ekonomi kapitalis dimana setiap individu,
setiap wirausahawan berhak untuk mengelola serta mengurus keadaan perekonomian
mereka. Sistem ekonomi inilah yang telah membuat jarak yang sangat antara yang
kaya dengan yang miskin dan juga telah mengakibatkan yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin (the rich richer and the poor poorer). Ketiga,
sistem ekonomi Islam dimana dalam sistem ini yang diangkat kepermukaan adalah
nilai-nilai kebersamaan, dengan artian bahwa setiap orang harus saling
tolong-menolong, yang kaya menolong yang miskin, yang kuat menolong yang lemah,
tidak ada jarak diantara mereka bahkan mereka merasa bahwa mereka bagaikan
satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Dari penjelasan ini maka timbullah
sebuah pertanyaan, bagaimanakah teknis untuk merealisasikan prinsip ini ?
Sebagai jawabannya mari kita renungkan firman Allah dalam surah Adz-Dzariyat :
19 yang artinya , Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
Hadirin dan hadirat yang kami
hormati. Firman Allah pada ayat ini dengan tegas dan jelas mengisyaratkan
kepada kita bahwa pemberdayaan ekonomi diproyeksikan demi kesejahteraan
bersama. Islam menolak keras sistem ekonomi dalam bentuk monopoli, oligopoli,
dan ekonomi yang diorientasikan hanya untuk kepentingan pribadi. Prinsip ini
harus kita aplikasikan di negara kita jikalau kita menginginkan negara kita
Indonesia ini, masih terdapat 37,5 juta jiwa umat manusia yang berada di bawah
garis kemiskinan, lalu berapa banyakkah umat Islamnya ? Ternyata setelah
diteliti oleh lembaga peneliti di Indonesia, terdapat lebih dari 30 juta jiwa
umat Islam yang berada dibawah garis kemiskinan. Sebuah pertanyaan besar yang
ada pada pikiran kita semua, mengapa umat Islam lebih banyak tenggelam dalam
kemiskinan ?
Menurut KH. Zarkasih, pertama,
banyak diantara kita yang hanya berorientasi pada keakheratan saja. Mereka
memiliki pemahaman yang sempit terhadap hadits Nabi Muhammad SAW “ad-dunya
jiifah” dunia ini adalah bangkai yang menjijikkan. Dan “ad-dunya sijnul
mukminin” dunia adalah penjara bagi umat Islam, pemahaman yang sempit terhadap
kedua hadits ini mengakibatkan permasalahan-permasalahan duniawi ditinggalkan
dan Islam pada akhirnya identik dengan masalah kemiskinan.
Kedua. Kmeunduran ekonomi umat Islam
disebabkan dalam melaksanakan kegiatan ekonomi mayoritas umat Islam masih
berpikir dengan corak agraris dan kolot. Padahal saat ini dunia bisnis
membutuhkan orang-orang yang kreatif dan siap untuk salin berkompetisi dengan
yang lainnya.
Hadirin dan hadirat yang kami
hormati. Bagaimanakah konsepsi Islam dalam perekonomian. Mari kita simak
bersama firman Allah dalam Surah Al-Jum’ah ayat 9-10 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (9) Apabila telah
ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu dimuka bumi ; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung (10)”
Hadirin rahimakumullah. Syekh
Mustafa al-Maraghi dalam tafisir al-Maraghi menyatakan, bahwa halalnya
perniagaan, transaksi jual beli jika terjadi saling meridhoi antara keduanya,
sebaliknya Islam sangat mengharamkan adanya penipuan, pendustaan dan pemalsuan
barang. Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini merupakan dasar dari sebuah sistem
ekonomi Islam, dan ayat ini pula merupakan himbauan pada kita semua agar tidak
mencari keuntungan dengan cara mengisap darah orang lain yakni riba.
Berdasarkan prinsip ini maka dapat
dipahami bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi mu’awanah, terdapat di dalamnya
sistem ekonomi mudharabah, murabahah, musyarakah, dan di negara kita
Alahmdulillah setidaknya telah melaksanakan prinsip ini seperti adanya
bank-bank syariah. Oleh sebab itu, untuk menopang prinsip ini Rasululullah SAW
bersabda :
“Siapa yang memiliki harta maka
bersedekahlah dengan hartanya, siapa yang memiliki kekuasaan maka bersedekahlah
dengan kekuasaannya, siapa yang memiliki ilmu maka bersedekahlah dengan
ilmunya”
Dengan demikian pada akhirnya kami
mengajak pada seluruh umat Islam untuk bersama-sama mengaplikasikan sistem
perekonomian Islam, yakni dengan cara pemberdayaan ekonomi umat, maka secara
tidak langsung segala bentuk kebodohan, keterbelakangan, dan kekufuran akan
hilang dengan sendirinya.
Untuk itu marilah kita berdo’a
kepada Allah semoga kita diberikan kemudahan dalam aktivitas kita. Amin ya
Rabbal ‘alamin. Wassalamu alaikum Wr. Wb.
MOHON IZIN MENNGCOPI YA..
BalasHapusbagus banget
BalasHapusIzin copy Gan !
BalasHapus