Mamanda adalah seni teater tradisional yang sangat populer di Hulu
Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan. Meskipun belum didapat data pasti
mengenai kelahirannya, namun menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa
mamanda sudah ada di HSS dan Kabupaten Tapin sejak abad ke -17 dan
kemudian muncul di daerah lainnya sekitar abad ke-18 dan ke-19.
Mamanda dimainkan dalam bentuk arena sentral, dimana posisi para
pemain saat berlakon berada di tengah-tengah penonton. Sedangkan lakon
yang dibawakan diambil berdasarkan cerita-cerita rakyat, hikayat,
sejarah, dan bahkan juga cerita kekinian (karangan baru). Mamanda di
dalam perkembangannya mengalami berbagai proses sampai akhirnya tumbuh
aliran-aliran baru. Benar atau tidak istilah aliran tersebut, yang jelas
dapat diketahui ada dua aliran, yaitu mamanda Batang Banyu dan kedua
adalah Mamanda Tubau. Mamanda Batang Banyu yang berasal dari daerah
Margasari sering pula disebut Mamanda Periuk. Sedangkan Mamanda Tubau
merupakan perkembangan baru dari seni Mamanda yang pengaruhnya cukup
kuat dan terkenal di daerah asalnya Desa Tubau Kab. HST. Mamanda Tubau
dewasa ini berkembang dengan pesat di daerah di seluruh pelosok
Kalimantan Selatan, tetapi tidak lagi disebutkan istilah Mamanda Tubau.
Struktur menganut suatu sistem yang sudah dibakukan, yaitu dimulai
dengan ladon atau kanon, siding kerajaan dan kemudian cerita.
Mamanda termasuk ke dalam jenis kesenian tradisional (teater rakyat)
yang ada di Hulu Sungai Selatan, bahkan juga berkembang hampir di
seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Pada awalnya, mamanda menceritakan
seputar kehidupan istana dimasa kerajaan. Dalam waktu yang sangat lama
sejak kehadirannya, mamanda begitu berurat-berakar dalam kehidupan
kesenian lokal masyarakat HSS dengan bentuk yang hampir tidak berubah;
peran-peran yang hampir serupa, bentuk arena pagelaran yang sama yaitu
arena sentral segi empat, tata lakon yang statis, struktur cerita yang
tak pernah berubah, namun ia tetap digemari dan bahkan berkembang sampai
ke pelosok pedesaan yang paling terpencil sekalipun. Masyarakat HSS
umumnya menggelar mamanda pada saat upacara perkawinan, pesta keramaian
kampung, dsb.
Dari sejumlah data yang dihimpun, baik dari sejumlah referensi
tertulis dan wawancara dengan para pelaku dan grup mamanda, didapat
keterangan bahwa pada awalnya cerita yang dipentaskan dalam mamanda
mengambil sumber dari sastra lama, seperti syair Abdul Muluk, Hikayat Si
Miskin, Hikayat Cindra Hasan, Cerita Seribu Satu Malam dan yang
lainnya. Namun saat ini para seniman mamanda sudah berani mencari
model-model baru yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat modern
untuk diangkat dalam mamanda. Cerita-cerita yang ditampilkan berkembang
dengan mengambil tema dari problem masyarakat yang disesuaikan dengan
kehidupan dalam kerajaan.
Peranan baku dalam mamanda ialah raja, wajir, mangkubumi, perdana
menteri, kepala pertanda (panglima perang), harapan pertama dan harapan
kedua.
Pada mulanya mamanda dikenal dengan nama badamuluk atau Ba Abdul
Muluk (“ba” dalam bahasa Banjar membentuk kata kerja). Setelah
berkembang sekian lama masyarakat lebih mengenal dengan sebutan mamanda.
Penamaan ini mungkin bersumber dari peniruan dialog Sultan atau Raja
dengan Mamanda Mangkubumi Wajir. Hal ini tidak aneh karena seorang raja
atau sultan merupakan aktor utama diantara pemain yang ada. Sehingga
gerak lakon maupun isi dialognya dalam berperan menjadi tiruan dari
penonton.
Namun pertanyaannya adalah, apa arti mamanda ? Karena dalam kosakata
Bahasa Banjar tidak ditemukan arti kata mamanda yang mengandung arti
kata kerja, kata sifat maupun kata benda. Ada dua penjelasan yang
memberikan keterangan tentang kata mamanda. Pertama, mamanda boleh jadi
berasal dari kata “panda” yang artinya “persis” atau “mirip”. Dalam
bahasa Banjar, apabila sebuah kata membentuk kata kerja maka ditambah
dengan awalan “ma”. “Pinda” mendapat awalah “ma” maka menjadi “maminda”
(huruf “p” menjadi lebur atau hilang). Berbuat persis atau mirip menjadi
sama dengan berperan sebagai…….di daerah pelosok di Hulu Sungai
Selatan, “maminda” juga diucapkan dengan “mainda”. Contoh, “Si Galuh
nintu handak banar balaki, inya maindaakan kalakuan kaya urang pangantin
hanyar.” Di sejumlah pelosok di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan
Selatan, mamanda sering disebut orang dengan kata “manda” saja. “Manda”
(urang manda)= urang balakun, diberi awalan “ma” untuk membentuk kata
kerja sehingga menjadi “mamanda”
Kedua, mamanda dimungkinkan pula berasal dari kata “mamakda” yang
artinya paman atau mamarina. Dalam dialognya, seorang raja dalam peran
mamanda sering menyanyikan kepada Mangkubumi dengan kalimat berikut,”
Bagaimana Mamanda Wajir ?” atau “ Bagaimana pendapat Pamanda
Mangkubumi?”. Penonton lalu menamakan pertunjukan tersebut dengan
sebutan Mamanda. Dalam dialek masyarakat Hulu Sungai Selatan khususnya
di Kandangan diucapkan pula dengan bamanda.
Dalam sejarah pagelaran mamanda, seperti sudah disebutkan diatas,
ada dua aliran teknis tatacara pelaksanaan, yang pertama disebut mamanda
Batang Banyu atau Periuk dan kedua dinamakan Mamanda Tubau. Baik kata
periuk maupun kata Tubau merujuk pada asal yang sama yaitu nama desa.
Mamanda periuk dinamakan juga Mamanda Batang Banyu. Batang Banyu
berarti aliran sungai. Barangkali, karena dipengaruhi oleh kehidupan
sungai, maka lagu-lagu mamanda periuk ini bernada panjang dan
berkelok-kelok. Adapun lagu pada Mamanda Tubau bernada pendek, meninggi
dan rendah dengan irama yang cukup cepat, barangkali juga menyesuaikan
dengan dataran tinggi tempat asal para pelakon.
Kedua aliran mamanda ini pada mulanya juga membawakan cerita yang
berkisar seputar kehidupan istana dengan tokoh raja dan para stafnya,
jongos, puteri, raja jin, atau perampok. Namun kemudian masing-masing
mengalami perkembangan dalam cerita. Perbedaan lain dari kedua aliran
mamanda ini adalah, mamanda periuk lebih sering membawakan cerita-cerita
Abdul Muluknya yang terkenal, sedangkan Mamanda Tubau lebih sering
membawakan cerita-cerita bertema kerakyatan dan kekinian. Lagu-lagu yang
dibawakan dalam Mamanda Tubau tidak lagi bernuansa tradisional tetapi
sudah diganti dengan lagu-lagu pop atau melayu. Alat musik yang
digunakan pun juga mengalami kolaborasi, meski alat musik seperti babun,
suling atau biola masih ada, tetapi tidak difungsikan untuk keseluruhan
lakon seperti pada awal kehadiran mamanda, hanya digunakan pada
saat-saat tertentu seperti pada waktu adegan staf kerajaan. Singkatnya,
Mamanda Tubau sudah tidak lagi semurni sebagaimana awal kehadirannya,
sudah berubah menjadi sandiwara rakyat semi modern yang mempergunakan
arena sentral.
Sebelum para pelakon dalam pagelaran mamanda bermain, terlebih
dahulu ditampilkan sesi parados, yaitu menampilkan para pelaku dalam
acara lagu dan tari. Pada Mamanda Periuk sesi ini disebut dengan
baladon, menampilkan tiga, lima sampai tujuh orang. Pada Mamanda Tubau
dibawakan oleh tiga orang yang disebut kanon. Sesi baladon ini semacam
acara pendahuluan atau salam pembukaan.
Sebagaimana kesenian pada umumnya, mamanda juga menggunakan pakaian
khusus yang dikenakan oleh para pemainnya, terutama peran seorang raja.
Seorang yang memerankan lakon raja biasa mengenakan baju yang dinamakan
baju raja. Baju ini juga digunakan oleh para penari dan penyanyi saat
membawakan sesi baladon (pembukaaan). Pada sesi baladon, para peladon
mengenakan baju raja dan celana panjang tanpa mengenakan tutup kepala.
Pada waktu dahulu para peladon menggunakan kaca mata hitam.
Ada beberapa kelompok atau grup pamandaan (para seniman mamanda)
yang pernah ada di Hulu Sungai Selatan, diantaranya adalah Sampuraga
dari Karang Jawa pimpinan Bahrani, Ambang Fajar di Desa Amawang pimpinan
Ismail, Tanjung Pusaka (juga di Desa Amawang), Rangganala di Kandangan
Hulu dan Kumba di Muara Banta. Selain itu, hampir di seluruh daerah lain
di wilayah Hulu Sungai Selatan pernah pula ada komunitas pamandaan,
seperti Angkinang, Telaga Langsat, Bamban, Riam Tajam, Tabihi, Kaliring
Dalam, Ambarai, Jalatang, Tanah Bangkang, Sungai Kudung, Tanayung,
Ambutun, Binjai Tiga, Parincahan, dll.
Satu-satunya grup mamanda di Hulu Sungai Selatan yang masih bertahan
sampai hari ini adalah Sampuraga dari Karang Jawa, memadukan antara
pemain senior dan junior. Berikut diantara pamandaan yang tergabung
dalam grup Sampuraga. Bahrani, selain sebagai pimpinan juga sering ikut
berlakon dengan berbagai peran. Iyus, bisa berlakon sebagai raja, hadam
atau pembawa ladon. Ibu Itah, sering berperan sebagai permaisuri. Rika
Ayu Zainab atau Icha, kena lakon sebagai putri raja. Idang (puteri dari
Bahrani), juga sebagai putri raja. Unat dan Iwan, memerankan anak muda.
Asmuni, berlakon sebagai panglima perang. Nafiah, kena peran sebagai
perdana menteri. M. Riduan, memerankan wajir. Aspar, Norman dan Ipul
sebagai harapan. Udin Apam sebagai amban. Bagan Topeng, sering kena
bagian memerankan kepala rampok, bisa juga sebagai harapan, anak muda
atau panglima perang, didukung pula oleh Anton dan Mamar sebagai anak
buah rampok. Khalik sebagai Gigiwal atau mantra. Jumberi berlakon
menjadi orangtua, dll.
Terdapat banyak sekali nama seniman mamanda atau pamandaan yang
sangat kesohor di Hulu Sungai Selatan, baik yang sudah pensiun atau
masih aktif bergelar, diantaranya A. Syarmidin dari Kandangan. Ancah
dari Parincahan. H Syahrani dari Pisangan. Semasa aktif menggelar
mamanda biasanya berlakon sebagai raja. Pambakal Aan asal Karang Jawa,
sering berperan sebagai rampok. Asikin asal Karang Jawa membawa lakon
seorang perempuan. Ruslan Faridi (alm) asal Tibung Raya. Muliadi (alm)
dari Teluk Masjid, Bahtiar (alm) dari Karang Jawa. Hairin Najrin dari
Jambu Hlir Baluti. Bahrani dari Karang Jawa. Jafuri Baseri (alm) dari
Padang Panjang. Ahmad Riduan dari Gambah Luar. Desi Alisa Pujianti dai
Gambah Luar Muka. Abdaludin dari Kandangan. Fakhruddin dari Jambu Hulu
Banua Hanyar. Jumberi dari Jalatang. Burhan dari Tabihi Lajar. Beberapa
tokoh muda yang juga sering ikut berperan dalam mamanda adalah Rahman
Rizani atau Bagan Topeng dari Taniran Kubah. Rika Ayu Zainab atau Icha,
dll.
Saat ini pagelaran mamanda di Hulu Sungai Selatan sudah dijadikan
agenda wajib tahunan. Setiap tahun digelar sebanyak tiga kali, yaitu
pada tanggal 17 Mei, bertepatan dengan peringatan ALRI Divisi IV,
tanggal 2 Desember saat Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan
tanggal 17 Agustus pada peringatan Hari Kemerdekaan RI.***
Kandangan, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar