Kamis, 13 Februari 2014

MERENDA CERITA DALAM MAMANDA

KAMIS, 13 FEBRUARI 2014

    Mamanda adalah seni teater tradisional yang sangat populer di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan. Meskipun belum didapat data pasti mengenai kelahirannya, namun menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa mamanda sudah ada di HSS dan Kabupaten Tapin sejak abad ke -17 dan kemudian muncul di daerah lainnya sekitar abad ke-18 dan ke-19.

    Mamanda dimainkan dalam bentuk arena sentral, dimana posisi para pemain saat berlakon berada di tengah-tengah penonton. Sedangkan lakon yang dibawakan diambil berdasarkan cerita-cerita rakyat, hikayat, sejarah, dan bahkan juga cerita kekinian (karangan baru). Mamanda di dalam perkembangannya mengalami berbagai proses sampai akhirnya tumbuh aliran-aliran baru. Benar atau tidak istilah aliran tersebut, yang jelas dapat diketahui ada dua aliran, yaitu mamanda Batang Banyu dan kedua adalah Mamanda Tubau. Mamanda Batang Banyu yang berasal dari daerah Margasari sering pula disebut Mamanda Periuk. Sedangkan Mamanda Tubau merupakan perkembangan baru dari seni Mamanda yang pengaruhnya cukup kuat dan terkenal di daerah asalnya Desa Tubau Kab. HST. Mamanda Tubau dewasa ini berkembang dengan pesat di daerah di seluruh pelosok Kalimantan Selatan, tetapi tidak lagi disebutkan istilah Mamanda Tubau. Struktur menganut suatu sistem yang sudah dibakukan, yaitu dimulai dengan ladon atau kanon, siding kerajaan dan kemudian cerita.

    Mamanda termasuk ke dalam jenis kesenian tradisional (teater rakyat) yang ada di Hulu Sungai Selatan, bahkan juga berkembang hampir di seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Pada awalnya, mamanda menceritakan seputar kehidupan istana dimasa kerajaan. Dalam waktu yang sangat lama sejak kehadirannya, mamanda begitu berurat-berakar dalam kehidupan kesenian lokal masyarakat HSS dengan bentuk yang hampir tidak berubah; peran-peran yang hampir serupa, bentuk arena pagelaran yang sama yaitu arena sentral segi empat, tata lakon yang statis, struktur cerita yang tak pernah berubah, namun ia tetap digemari dan bahkan berkembang sampai ke pelosok pedesaan yang paling terpencil sekalipun. Masyarakat HSS umumnya menggelar mamanda pada saat upacara perkawinan, pesta keramaian kampung, dsb.

    Dari sejumlah data yang dihimpun, baik dari sejumlah referensi tertulis dan wawancara dengan para pelaku dan grup mamanda, didapat keterangan bahwa pada awalnya cerita yang dipentaskan dalam mamanda mengambil sumber dari sastra lama, seperti syair Abdul Muluk, Hikayat Si Miskin, Hikayat Cindra Hasan, Cerita Seribu Satu Malam dan yang lainnya. Namun saat ini para seniman mamanda sudah berani mencari model-model baru yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat modern untuk diangkat dalam mamanda. Cerita-cerita yang ditampilkan berkembang dengan mengambil tema dari problem masyarakat yang disesuaikan dengan kehidupan dalam kerajaan.

    Peranan baku dalam mamanda ialah raja, wajir, mangkubumi, perdana menteri, kepala pertanda (panglima perang), harapan pertama dan harapan kedua.

    Pada mulanya mamanda dikenal dengan nama badamuluk atau Ba Abdul Muluk (“ba” dalam bahasa Banjar membentuk kata kerja). Setelah berkembang sekian lama masyarakat lebih mengenal dengan sebutan mamanda. Penamaan ini mungkin bersumber dari peniruan dialog Sultan atau Raja dengan Mamanda Mangkubumi Wajir. Hal ini tidak aneh karena seorang raja atau sultan merupakan aktor utama diantara pemain yang ada. Sehingga gerak lakon maupun isi dialognya dalam berperan menjadi tiruan dari penonton.

    Namun pertanyaannya adalah, apa arti mamanda ? Karena dalam kosakata Bahasa Banjar tidak ditemukan arti kata mamanda yang mengandung arti kata kerja, kata sifat maupun kata benda. Ada dua penjelasan yang memberikan keterangan tentang kata mamanda. Pertama, mamanda boleh jadi berasal dari kata “panda” yang artinya “persis” atau “mirip”. Dalam bahasa Banjar, apabila sebuah kata membentuk kata kerja maka ditambah dengan awalan “ma”. “Pinda” mendapat awalah “ma” maka menjadi “maminda” (huruf “p” menjadi lebur atau hilang). Berbuat persis atau mirip menjadi sama dengan berperan sebagai…….di daerah pelosok di Hulu Sungai Selatan, “maminda” juga diucapkan dengan “mainda”. Contoh, “Si Galuh nintu handak banar balaki, inya maindaakan kalakuan kaya urang pangantin hanyar.” Di sejumlah pelosok di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan, mamanda sering disebut orang dengan kata “manda” saja. “Manda” (urang manda)= urang balakun, diberi awalan “ma” untuk membentuk kata kerja sehingga menjadi “mamanda”

    Kedua, mamanda dimungkinkan pula berasal dari kata “mamakda” yang artinya paman atau mamarina. Dalam dialognya, seorang raja dalam peran mamanda sering menyanyikan kepada Mangkubumi dengan kalimat berikut,” Bagaimana Mamanda Wajir ?” atau “ Bagaimana pendapat Pamanda Mangkubumi?”. Penonton lalu menamakan pertunjukan tersebut dengan sebutan Mamanda. Dalam dialek masyarakat Hulu Sungai Selatan khususnya di Kandangan diucapkan pula dengan bamanda.

    Dalam sejarah pagelaran mamanda, seperti sudah disebutkan diatas, ada dua aliran teknis tatacara pelaksanaan, yang pertama disebut mamanda Batang Banyu atau Periuk dan kedua dinamakan Mamanda Tubau. Baik kata periuk maupun kata Tubau merujuk pada asal yang sama yaitu nama desa.

    Mamanda periuk dinamakan juga Mamanda Batang Banyu. Batang Banyu berarti aliran sungai. Barangkali, karena dipengaruhi oleh kehidupan sungai, maka lagu-lagu mamanda periuk ini bernada panjang dan berkelok-kelok. Adapun lagu pada Mamanda Tubau bernada pendek, meninggi dan rendah dengan irama yang cukup cepat, barangkali juga menyesuaikan dengan dataran tinggi tempat asal para pelakon.

    Kedua aliran mamanda ini pada mulanya juga membawakan cerita yang berkisar seputar kehidupan istana dengan tokoh raja dan para stafnya, jongos, puteri, raja jin, atau perampok. Namun kemudian masing-masing mengalami perkembangan dalam cerita. Perbedaan lain dari kedua aliran mamanda ini adalah, mamanda periuk lebih sering membawakan cerita-cerita Abdul Muluknya yang terkenal, sedangkan Mamanda Tubau lebih sering membawakan cerita-cerita bertema kerakyatan dan kekinian. Lagu-lagu yang dibawakan dalam Mamanda Tubau tidak lagi bernuansa tradisional tetapi sudah diganti dengan lagu-lagu pop atau melayu. Alat musik yang digunakan pun juga mengalami kolaborasi, meski alat musik seperti babun, suling atau biola masih ada, tetapi tidak difungsikan untuk keseluruhan lakon seperti pada awal kehadiran mamanda, hanya digunakan pada saat-saat tertentu seperti pada waktu adegan staf kerajaan. Singkatnya, Mamanda Tubau sudah tidak lagi semurni sebagaimana awal kehadirannya, sudah berubah menjadi sandiwara rakyat semi modern yang mempergunakan arena sentral.

    Sebelum para pelakon dalam pagelaran mamanda bermain, terlebih dahulu ditampilkan sesi parados, yaitu menampilkan para pelaku dalam acara lagu dan tari. Pada Mamanda Periuk sesi ini disebut dengan baladon, menampilkan tiga, lima sampai tujuh orang. Pada Mamanda Tubau dibawakan oleh tiga orang yang disebut kanon. Sesi baladon ini semacam acara pendahuluan atau salam pembukaan.

    Sebagaimana kesenian pada umumnya, mamanda juga menggunakan pakaian khusus yang dikenakan oleh para pemainnya, terutama peran seorang raja. Seorang yang memerankan lakon raja biasa mengenakan baju yang dinamakan baju raja. Baju ini juga digunakan oleh para penari dan penyanyi saat membawakan sesi baladon (pembukaaan). Pada sesi baladon, para peladon mengenakan baju raja dan celana panjang tanpa mengenakan tutup kepala. Pada waktu dahulu para peladon menggunakan kaca mata hitam.

    Ada beberapa kelompok atau grup pamandaan (para seniman mamanda) yang pernah ada di Hulu Sungai Selatan, diantaranya adalah Sampuraga dari Karang Jawa pimpinan Bahrani, Ambang Fajar di Desa Amawang pimpinan Ismail, Tanjung Pusaka (juga di Desa Amawang), Rangganala di Kandangan Hulu dan Kumba di Muara Banta. Selain itu, hampir di seluruh daerah lain di wilayah Hulu Sungai Selatan pernah pula ada komunitas pamandaan, seperti Angkinang, Telaga Langsat, Bamban, Riam Tajam, Tabihi, Kaliring Dalam, Ambarai, Jalatang, Tanah Bangkang, Sungai Kudung, Tanayung, Ambutun, Binjai Tiga, Parincahan, dll.

    Satu-satunya grup mamanda di Hulu Sungai Selatan yang masih bertahan sampai hari ini adalah Sampuraga dari Karang Jawa, memadukan antara pemain senior dan junior. Berikut diantara pamandaan yang tergabung dalam grup Sampuraga. Bahrani, selain sebagai pimpinan juga sering ikut berlakon dengan berbagai peran. Iyus, bisa berlakon sebagai raja, hadam atau pembawa ladon. Ibu Itah, sering berperan sebagai permaisuri. Rika Ayu Zainab atau Icha, kena lakon sebagai putri raja. Idang (puteri dari Bahrani), juga sebagai putri raja. Unat dan Iwan, memerankan anak muda. Asmuni, berlakon sebagai panglima perang. Nafiah, kena peran sebagai perdana menteri. M. Riduan, memerankan wajir. Aspar, Norman dan Ipul sebagai harapan. Udin Apam sebagai amban. Bagan Topeng, sering kena bagian memerankan kepala rampok, bisa juga sebagai harapan, anak muda atau panglima perang, didukung pula oleh Anton dan Mamar sebagai anak buah rampok. Khalik sebagai Gigiwal atau mantra. Jumberi berlakon menjadi orangtua, dll.

    Terdapat banyak sekali nama seniman mamanda atau pamandaan yang sangat kesohor di Hulu Sungai Selatan, baik yang sudah pensiun atau masih aktif bergelar, diantaranya A. Syarmidin  dari Kandangan. Ancah dari Parincahan. H Syahrani dari Pisangan. Semasa aktif menggelar mamanda biasanya berlakon sebagai raja. Pambakal Aan asal Karang Jawa, sering berperan sebagai rampok. Asikin asal Karang Jawa membawa lakon seorang perempuan. Ruslan Faridi (alm) asal Tibung Raya. Muliadi (alm) dari Teluk Masjid, Bahtiar (alm) dari Karang Jawa. Hairin Najrin dari Jambu Hlir Baluti. Bahrani dari Karang Jawa. Jafuri Baseri (alm) dari Padang Panjang. Ahmad Riduan dari Gambah Luar. Desi Alisa Pujianti dai Gambah Luar Muka. Abdaludin dari Kandangan. Fakhruddin dari Jambu Hulu Banua Hanyar. Jumberi dari Jalatang. Burhan dari Tabihi Lajar. Beberapa tokoh muda yang juga sering ikut berperan dalam mamanda adalah Rahman Rizani atau Bagan Topeng dari Taniran Kubah. Rika Ayu Zainab atau Icha, dll.

    Saat ini pagelaran mamanda di Hulu Sungai Selatan sudah dijadikan agenda wajib tahunan. Setiap tahun digelar sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 17 Mei, bertepatan dengan peringatan ALRI Divisi IV, tanggal 2 Desember saat Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan tanggal 17 Agustus pada peringatan Hari Kemerdekaan RI.***



Kandangan, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Rusdiansyah (Kelas VIII MTsN 3 HSS)

 Sabtu, 23 November 2024 Dengan Rusdiansyah, atau biasa disapa Iyan, siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selata...