Senin, 24 Februari 2014
Kai
Imbran ribut. Sepeda kesayangannya tak ada di rumahnya. Akibatnya dia mendadak
temperamental. Nini Ipat, isterinya pun jadi sasaran.
” Aku bosan mendengar ocehanmu,”
ucap Kai Imbran singkat.
Kenapa Kai
Imbran begitu fanatik dengan sepedanya itu ?
” Karena ia punya sejarah tersendiri
bagi kehidupanku,” ujar Kai Imbran saat ditanya tetangganya yang turut prihatin
melihat keadaan Kai Imbran setelah kehilangan sepedanya. Baginya sepeda itu
adalah harta pusakanya.
” Kalau sepintas lalu sepeda itu
adalah biasa-biasa saja. Di pasar pun banyak dijual,” beritahu
Kai Imbran. Sepedanya itu ujar Kai Imbran sudah tua.
“ Sepeda itu dibeli saat aku masih
bujangan dulu hasil dari bertani,” ujar Kai Imbran.
Menurut Kai Imbran saat pacaran
dengan Nini Ipat dulu sepeda itu jadi saksi bisu. Karena saat pacaran sepeda
tersebut selalu dibawa. Kai Imbran sudah puluhan tahun pensiun. Ia dulu jadi
guru di daerah terpencil. Kini bersama dengan Nini Ipat mendiami sebuah rumah
di sudut kampung kelahiran yang indah dan damai. Kai Imbran dan Nini Ipat
dikaruniai dua orang anak. Kini bermukim di pulau Jawa. Saban lebaran mereka
pulang kampung untuk bersilaturrahmi dengan orangtua dan sanak famili lainnya.
Kenapa Kai Imbran
ngotot mencari kemanapun sepedanya itu. Ternyata sepeda itu mempunyai sejarah
tersendiri baginya. Banyak kenangan tersimpan di sepeda itu. Yang tak dapat
digambarkan dengan kata-kata.
Kai Imbran sibuk mencari ke kolong
rumah kalau-kalau sepedanya itu ada disana. Kai Imbran mencari ke pasar loak.
Kalau-kalau sepedanya bisa ditemukan di tempat itu. Setiap sepeda
diamati secara detail dan hati-hati. Berjam-jam Kai Imbran berada disana. Namun
usahanya tetap nihil.
Minggu berikutnya ia kembali
melakukan hal yang sama.
” Bagaimana kalau beli yang baru
untuk mengganti sepeda itu ?” ujar Nini Ipat.
Namun Kai Imbran tetap pada
pendiriannya. ” Sepeda itu punya sejarah tersendiri yang tak bisa dilupakan,”
ujar Kai Imbran.
Hal ini tentu
saja membuat Nini Ipat tak berkutik. Menurut apa kata suami. Namun ia tetap
turut berusaha memecahkan masalah ini.
Dulu sepeda itu selalu digunakan Kai
kemanapun juga seperti ke kenduri, pasar, sawah, dan tempat lainnya.
Entah kenapa hari itu Kai Imbran
tidak memakai sepeda itu lagi. Ia terlihat seperti seorang gadis cantik yang
kehilangan pesona. Tak ada lagi yang berani memandangnya. Seperti orang
yang buruk rupa. Bahkan anak-anak yang tinggal se kampung dengan Kai Imbran
berani mengejek.
” Hilang sepeda seperti orang Kayu Tangi
Ujung,” ucap anak-anak itu sembari memperlihatkan pantat mereka ke arah muka
Kai Imbran. Sungguh terlalu.....
Tentu saja Kai jadi berang melihat
pelecehan diri tersebut, sekaligus juga merasa tersinggung. Sampai-sampai mau
melempar anak-anak tersebut dengan batu. Tapi anak-anak itu keburu kabur.
Sepeda itu sangat khas. Tidak ada
yang menyamainya. Karena sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Tampil unik dan
elegan. Saat di sawah pun sepeda itu selalu dibawa. Karena jarak rumah dengan
sawah lumayan jauh. Lalu, bila bekerja sepeda itu akan disimpannya ke dalam
rampa.
Kai Imbran bahkan ingin melaporkan
kejadian ini ke Komnas HAM segala. Biar tuntas. Tapi
isterinya tidak mendukung.
“ Buru-buru ngurus masalah kita,
yang lain saja masih banyak yang belum terselesaikan,” ucap isterinya ketus.
Kai Imbran tak lagi bergairah
menjalani hidup. Sawahnya dibiarkan saja terbengkalai. Dia tak mampu lagi
mengurus rumah tangga. Akhirnya berantakkanlah kehidupan mereka. Seperti
mengurus kota yang semrawut oleh berbagai masalah. Dari pasar yang kumuh,
penertiban PKL, hingga terminal. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan.
Bagi Kai Imbran sepeda itu adalah
pusaka berharga yang tak dapat dipisahkan dari sejarah hidupnya.
“ Sudahlah Pak, kalau memang Tuhan
menghendaki hilang bagaimana lagi. Manusia saja bisa mati,” ujar isterinya.
Memang benar juga kenapa memikirkan
sepeda yang usianya sudah tua itu. Hidup didunia saja tak ada yang abadi.
” Jabatan bupati saja bisa berakhir
belum saatnya bila ada yang menggoyang ataupun bupatinya yang keburu meninggal
dunia,” ujar Nini Ipat lagi.
Tapi Kai Imbran bingung. Apakah
sepedanya itu hilang karena lupa meletakkan atau diembat oleh maling.
Tatapan orang
tak lagi bersahabat terhadap Kai Imbran. Mereka menganggap Kai Imbran sudah kehilangan
wibawa dan kharismanya. Setelah sepedanya itu hilang. Sungguh kejam sekali
hukum masyarakat ini. Dunia ! Dunia !
Kai Imbran masih ingat dengan
sepedanya itu. Ban depan dan ban belakang baru diganti. Sementara velg-nya
dicat warna hijau muda. Rantai dan bagian lainnya masih terlihat mengkilap.
Karena memang tiap pagi selalu diberi minyak kelapa biar tidak berkarat. Itu
semua dilakukan karena kecintaan kepada sepeda kesayangannya itu. Di usia
tuanya Kai Imbran berharap sepeda itu jadi manfaat untuk menjalani sisa-sisa
hidup.
Dulu sepeda itu tiap subuh dibawa
oleh isterinya untuk berjualan sayuran ke pasar subuh. Paginya giliran Kai
Imbran yang memakai untuk keperluan lainnya.
Kai Imbran sadar. Hidupnya penuh
dengan liku-liku yang tentu dia jalani dengan ikhlas. Sepeda yang hilang itu
jadi salah satu bahan pemikirannya.
” Kenapa sampai terjadi kesenjangan
dimuka bumi ini Pak ?” ujar Nini Ipat kepada suaminya untuk mengalihkan pokok
pembicaraan. Yang ditanya malah diam saja bahkan terlihat melamun.
” Pak,” ucap Nini Ipat sembari
tangannya menggoyang-goyang bahu suaminya itu.
Kai Imbran
melihat jalan hidup ini betapa terjalnya. Sepeda itu tak akan kembali lagi
kepadanya. Tapi Kai Imbran tak mau berputus asa. Ia menghubungi temannya yang
berprofesi sebagai paranormal. Kai Imbran menyerahkan masalah tersebut kepada
teman lamanya itu.
” Sepeda itu tidak hilang cuman ada
yang meminjam saja,” ucap temannya itu yang sudah puluhan tahun menggeluti
profesinya itu. Kai Imbran tambah bingung. Perjalanan itu terlalu jauh. Bagai
roda sepedanya yang hilang itu.
” Tidak punya pekerjaan tetapi tetap
bekerja. Tidak punya penghasilan tetap tetapi punya penghasilan,” ujar Kai
Imbran.
Isterinya
tertawa lebar mendengar kalimat-kalimat manis sang suaminya itu.
” Kaya dulu baru idealis, bukan
idealis baru kaya,” timpal Nini Ipat.
Begitu harmonisnya hubungan Kai
Imbran dengan Nini Ipat. Walau sepeda mereka hilang tak tahu entah kemana
rimbanya.
Tertatih Kai Imbran meniti kehidupan
ini. Sepeda tuanya bukanlah bagian penting hidupnya. Namun sepeda itulah yang
membuatnya bergairah menjalani hidup.
Walaupun zaman sudah berubah. Semua
orang memakai motor dan mobil. Tapi Kai Imbran tetap eksis dengan sepedanya.
Sementara anak muda saat ini bangga memakai motor dan mobil, terlihat gagah dan
angkuh, padahal milik orangtua mereka. Yang belum tentu lunas bayar kreditnya.
Kai Imbran masih ingat saat zamannya
dulu. Naik sepeda menonton orkes dangdut. Begitu ramai sekali. Dijalan menggoda
wanita. Tapi sekarang anak muda sudah naik motor semua. Yang memakai sepeda
pancal diketawakan. Dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Ke sekolahpun sekarang
jarang yang memakai sepeda. Kalau tidak naik motor, naik mobil orang alias naik
taksi. Juga wanita tidak ada yang naksir kepada cowok yang memakai sepeda.
Mereka lebih suka mendambakan laki-laki yang menggunakan jimat Jepang.
Keterlaluan memang !
Ternyata sepeda tak lagi punya
kharisma dimata seorang wanita sekarang ini. Tapi di
kota-kota lain di dunia sepeda malah jadi alat transportasi primadona. Seperti
di negeri Tirai Bambu, China. Karena dapat mengatasi masalah kemacetan lalu
lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan polusi
pabrik industri yang tumbuh kian pesat.
Kandangan,
Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar