Esai : Almin Hatta
Menjelang tahun ajaran baru, aku tiba-tiba teringat penggalan
cerita Kahlil Gibran yang menurutku teramat mempesona untuk disimak :
Di sebuah kebun disuatu rumah sakit
jiwa, aku bertemu seorang pemuda yang wajahnya pucat namun tampan dan penuh
dengan impian. Aku duduk dibangku sebelahnya, dan bertanya, “Mengapa kau
disini?”
Ia melihatku dengan perasaan heran.
“Itu pertanyaan yang sulit, tapi akan tetap kujawab. Ayahku menyuruh aku
menjadi tiruan dirinya, juga pamanku. Ibuku menjadikan bayangan dari suaminya
yang pelaut sebagai contoh sempurna yang harus ditiru. Saudaraku berpikir bahwa
aku harus seperti dia, seorang atlet yang baik. Dan guruku, seorang ahli
filsafat, seorang pemusik, seorang logika, mereka juga ingin mendorongku
menjadi pantulan diri mereka dalam cermin. Untuk itulah aku datang ke tempat
ini. Aku merasa disini lebih waras daripada di luar sana. Paling tidak aku bisa
menjadi diriku sendiri.”
Tiba-tiba ia berpaling ke arahku dan
bertanya,”Tapi katakana padaku, apakah kau ke sini karena pendidikan dan
bimbingan yang baik ?”
Kujawab, “Bukan aku hanya
pengunjung.”
Lalu ia menimpali, “Oh, aku hanya
salah seorang dari mereka yang tinggal di rumah sakit jiwa di seberang sana.”
Orang Gila, begitu Kahlil Gibran
memberi judul ceritanya diatas yang sangat menusuk tajam ke jantung kehidupan.
Gibran ingin mengatakan bahwa diluar rumah sakit jiwa yang sempit itu, yang
penghuninya, terbatas sekian ratus atau sekian ribu orang itu, justru terhampar
luas rumah sakit jiwa malah besar dengan jumlah pasien yang kolosal.
Seperti cerita diatas, kita para
orangtua seringkali berangan-angan dan bahkan sangat mengharapkan agar
anak-anak kita kelak menjadi seperti kita. Kalaupun diri kita dirasa kurang
ideal untuk dijadikan tiruan, maka kita biasanya mencari figur-figur lain yang
diyakini lebih pas dan lebih menjanjikan masa depan untuk dijadikan teladan.
Maka disebutlah nama-nama politikus ternama, artis terkenal, pengusaha sukses,
ilmuan handal, dan atlet kelas dunia. Atau, agar contohnya bisa dilihat secara
nyata, bukan menerawang, kita kerap pula menyarankan anak-anak kita untuk
meniru perjuangan sanak saudara kita yang sukses dalam melayari bahtera
kehidupannya.
“Coba lihat Abahnya Adul itu, dia
dulu sekolahnya naik sepeda saja dan tak pernah diberi uang jajan. Tapi dia tak
pernah bolos, tak pernah mengeluh. Hasilnya kamu lihat sendiri, ia berhasil
meraih sertifikat doctor dan sejak itu uang tentu saja terus mengalir, “kata
seorang ayah kepada anaknya yang kerap bolos sekolah dengan alasan tak punya
kendaraan.
Contoh yang diberikan si ayah
sebenarnya bagus-bagus saja tapi situasinya sudah berbeda. Dulu yang naik
sepeda ke sekolah itu justru anak orang kaya, sedangkan orang kebanyakan cukup
jalan kaki saja. Sekarang anak orang kaya berangkat dan pulang sekolah naik
mobil ; sementara anak orang biasa naik motor, dan anak orang tak berpunya
justru tak bisa sekolah lantaran biaya sekolah sekarang tak terjangkau rakyat
jelata, apalagi harga BBM selalu naik yang berimbas kepada melangitnya
harga-harga kebutuhan lainnya.
Tapi, inti persoalannya bukanlah soal
kemampuan membiayai sekolah ataupun apa cita-cita anak-anak kita. Melainkan
sikap kita yang kerap mendesakkan keinginan kepada anak-anak kita, agar sukses
meniti pendidikan yang pada akhirnya menjadi orang ternama dan dalam sekejap
dapat mengumpulkan harta yang tak terhitung lagi jumlahnya.
“Lihat, tuh, si Fulan yang baru
setahun menjadi anggota dewan. Kini sudah punya rumah mentereng dan mobil
sedan. Padahal sebelumnya ia cuma naik sepeda motor dan tinggal di rumah
kontrakan di dalam gang. Jadi begitu nanti lulus menjadi sarjana, kamu masuk
partai politik saja, biar kemudian terpilih menjadi wakil rakyat pula sehingga
cepat kaya,” kata seorang ayah kepada anak lelakinya.
Si anak pun manggut-manggut, sambil
dalam hati menyimpulkan bahwa gaji anggota dewan itu tentulah besar luar biasa
sehingga dalam waktu satu tahun saja bisa membeli rumah lengkap dengan
mobilnya. Kelak jika ia benar-benar berhasil menjadi anggota dewan maka yang
jadi pikirannya bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyat yang diwakilinya, melainkan
bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Gila memang, tapi
begitulah peran orangtua yang sudah tertanam dalam-dalam sejak beberapa tahun
silam.
Gilanya lagi, pesan untuk
mengangkangi kekayaan dan hidup glamouran itu setiap saat dijejalkan. Bukan
cuma oleh orangtua atau sanak keluarga, tapi justru oleh film atau sinetron
yang setiap waktu mampir ke ruang tengah rumah kita. Setiap saat digambarkan
bahwa kehidupan yang sukses adalah yang bergelimang harta. Kehidupan sukses
adalah menjadi yang tercantik dan tertampan, menjadi bintang film atau bintang
iklan. Profesi yang menjanjikan adalah penyanyi, presenter, atau penari latar
yang dandanannya hampir telanjang. Alhasil, lahirlah generasi yang setiap saat
cuma berpikir soal uang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar