Kamis, 06 Februari 2014

GENERASI PEMUJA HARTA

JUM'AT, 7 FEBRUARI 2014

Esai : Almin Hatta


Menjelang tahun ajaran baru, aku tiba-tiba teringat penggalan cerita Kahlil Gibran yang menurutku teramat mempesona untuk disimak :
            Di sebuah kebun disuatu rumah sakit jiwa, aku bertemu seorang pemuda yang wajahnya pucat namun tampan dan penuh dengan impian. Aku duduk dibangku sebelahnya, dan bertanya, “Mengapa kau disini?”
            Ia melihatku dengan perasaan heran. “Itu pertanyaan yang sulit, tapi akan tetap kujawab. Ayahku menyuruh aku menjadi tiruan dirinya, juga pamanku. Ibuku menjadikan bayangan dari suaminya yang pelaut sebagai contoh sempurna yang harus ditiru. Saudaraku berpikir bahwa aku harus seperti dia, seorang atlet yang baik. Dan guruku, seorang ahli filsafat, seorang pemusik, seorang logika, mereka juga ingin mendorongku menjadi pantulan diri mereka dalam cermin. Untuk itulah aku datang ke tempat ini. Aku merasa disini lebih waras daripada di luar sana. Paling tidak aku bisa menjadi diriku sendiri.”
            Tiba-tiba ia berpaling ke arahku dan bertanya,”Tapi katakana padaku, apakah kau ke sini karena pendidikan dan bimbingan yang baik ?”
            Kujawab, “Bukan aku hanya pengunjung.”
            Lalu ia menimpali, “Oh, aku hanya salah seorang dari mereka yang tinggal di rumah sakit jiwa di seberang sana.”
            Orang Gila, begitu Kahlil Gibran memberi judul ceritanya diatas yang sangat menusuk tajam ke jantung kehidupan. Gibran ingin mengatakan bahwa diluar rumah sakit jiwa yang sempit itu, yang penghuninya, terbatas sekian ratus atau sekian ribu orang itu, justru terhampar luas rumah sakit jiwa malah besar dengan jumlah pasien yang kolosal.
            Seperti cerita diatas, kita para orangtua seringkali berangan-angan dan bahkan sangat mengharapkan agar anak-anak kita kelak menjadi seperti kita. Kalaupun diri kita dirasa kurang ideal untuk dijadikan tiruan, maka kita biasanya mencari figur-figur lain yang diyakini lebih pas dan lebih menjanjikan masa depan untuk dijadikan teladan. Maka disebutlah nama-nama politikus ternama, artis terkenal, pengusaha sukses, ilmuan handal, dan atlet kelas dunia. Atau, agar contohnya bisa dilihat secara nyata, bukan menerawang, kita kerap pula menyarankan anak-anak kita untuk meniru perjuangan sanak saudara kita yang sukses dalam melayari bahtera kehidupannya.
            “Coba lihat Abahnya Adul itu, dia dulu sekolahnya naik sepeda saja dan tak pernah diberi uang jajan. Tapi dia tak pernah bolos, tak pernah mengeluh. Hasilnya kamu lihat sendiri, ia berhasil meraih sertifikat doctor dan sejak itu uang tentu saja terus mengalir, “kata seorang ayah kepada anaknya yang kerap bolos sekolah dengan alasan tak punya kendaraan.
            Contoh yang diberikan si ayah sebenarnya bagus-bagus saja tapi situasinya sudah berbeda. Dulu yang naik sepeda ke sekolah itu justru anak orang kaya, sedangkan orang kebanyakan cukup jalan kaki saja. Sekarang anak orang kaya berangkat dan pulang sekolah naik mobil ; sementara anak orang biasa naik motor, dan anak orang tak berpunya justru tak bisa sekolah lantaran biaya sekolah sekarang tak terjangkau rakyat jelata, apalagi harga BBM selalu naik yang berimbas kepada melangitnya harga-harga kebutuhan lainnya.
            Tapi, inti persoalannya bukanlah soal kemampuan membiayai sekolah ataupun apa cita-cita anak-anak kita. Melainkan sikap kita yang kerap mendesakkan keinginan kepada anak-anak kita, agar sukses meniti pendidikan yang pada akhirnya menjadi orang ternama dan dalam sekejap dapat mengumpulkan harta yang tak terhitung lagi jumlahnya.
            “Lihat, tuh, si Fulan yang baru setahun menjadi anggota dewan. Kini sudah punya rumah mentereng dan mobil sedan. Padahal sebelumnya ia cuma naik sepeda motor dan tinggal di rumah kontrakan di dalam gang. Jadi begitu nanti lulus menjadi sarjana, kamu masuk partai politik saja, biar kemudian terpilih menjadi wakil rakyat pula sehingga cepat kaya,” kata seorang ayah kepada anak lelakinya.
            Si anak pun manggut-manggut, sambil dalam hati menyimpulkan bahwa gaji anggota dewan itu tentulah besar luar biasa sehingga dalam waktu satu tahun saja bisa membeli rumah lengkap dengan mobilnya. Kelak jika ia benar-benar berhasil menjadi anggota dewan maka yang jadi pikirannya bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyat yang diwakilinya, melainkan bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Gila memang, tapi begitulah peran orangtua yang sudah tertanam dalam-dalam sejak beberapa tahun silam.
            Gilanya lagi, pesan untuk mengangkangi kekayaan dan hidup glamouran itu setiap saat dijejalkan. Bukan cuma oleh orangtua atau sanak keluarga, tapi justru oleh film atau sinetron yang setiap waktu mampir ke ruang tengah rumah kita. Setiap saat digambarkan bahwa kehidupan yang sukses adalah yang bergelimang harta. Kehidupan sukses adalah menjadi yang tercantik dan tertampan, menjadi bintang film atau bintang iklan. Profesi yang menjanjikan adalah penyanyi, presenter, atau penari latar yang dandanannya hampir telanjang. Alhasil, lahirlah generasi yang setiap saat cuma berpikir soal uang.***          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan MTsN 3 HSS di Desa Angkinang Selatan

 Jumat, 29 November 2024 Jembatan kayu ulin Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), yang ada di RT 3 Desa Angkinang S...