Suasana bedah buku Novel Lampau karya Sandi Firly
di SMAN 1 Kandangan, Selasa, 8 Oktober 2013
Oleh: HE. Benyamine
“When knowledgeable old person dies, a whole library disappears”
Loksado
merupakan tujuan wisata yang ada di Kalimantan Selatan. Wisata alam
yang mempunyai daya tarik dari segi keindahan alam dan tradisi
masyarakatnya. Jika menyebut bambu rafting, maka nama Loksado yang
terlintas. Pengetahuan lokal sesungguhnya merupakan hal penting dalam
kehidupan masyarakat yang berdiam di wilayah Loksado, yang menempatkan
tokoh/orang tua pada tempat yang terhormat dan bernilai sebagaimana
pepatah Afrika di atas.
Pengetahuan dan teknologi lokal, berdasarkan beberapa penelitian, seperti sistem tumpang sari (multiplecropping), perladangan yang meniru ekosistem hutan tropis (Geertz, 1976), atau pertanian Sistem Orang Banjar (Banjarese system)
dalam pemanfaatan lahan pasang surut di Kalimantan Selatan (Rifani,
1998), menunjukkan kesesuaian dengan logika ilmu pengetahuan modern.
Seperti dalam menilai sifat-sifat tanah, pengetahuan lokal lebih
merupakan penilaian kualitatif murni, tetapi hasilnya lebih banyak
kesesuaian dengan hasil dari analisis sains (Ali, 2002). Jadi menurut
Ali (2002), bahwa perbedaan dalam tipologi antara tipologi
tanah berdasarkan pengetahuan lokal dengan ilmu pengetahuan
(scientific) karena beragamnya di dalam tujuan dan pendekatan dalam
studi tanah perdesaan. Di samping itu, kepentingan petani pada tanah
adalah untuk tanaman yang mereka pilih, yang klasifikasi tanah
berdasarkan kondisi-kondisi tanah atas (topsoil).
Perbandingan
antara sistem pengetahuan lokal dan sistem pengetahuan modern akan
ditemukan bukan saja perbedaan dalam hubungan secara politik tetapi
perbedaan sistem pengetahuan (systems of knowledge), perbedaan cara pemahaman (ways of understanding), perasaan (perceiving), pengalaman dan pendefinisian realita (experiencing and of defining reality) (Studley, 1998).
Seperti proses transformasi pengetahuan, di mana pengetahuan modern
dilakukan secara deduktif melalui penulisan kata sedangkan tradisional
biasanya dilakukan secara oral atau kadang melalui cara rahasia. Karena
dengan cara oral diwariskan kepada generasi berikutnya, maka pengetahuan
lokal (indigenous) terancam punah.
Kehadiran
novel Lampau karya Sandi Firly secara langsung dan nyata mengingatkan
kembali bagaimana pengetahuan lokal, khususnya di Loksado, dihadapkan
dengan pengetahuan modern melalui tokoh Sandayuhan dan Amang Dulalin.
Ada pergeseran kebutuhan, terutama dalam pengetahuan dan godaannya
“kemajuan” dan kemodernan yang ditawarkan buku-buku dari peninggalan
Genta.
Sadayuhan memilih jalan “kemajuan” dengan
tradisi aksara, dan meninggalkan tradisi lisan dan sistem yang
menunjangnya, seperti tidak begitu meyakini dalam dirinya ada darah
Balian. Hal ini tentu saja berkaitan dengan sistem pengetahuan,
sebagaimana Balian yang juga termasuk ramuan obat yang digunakan;
misalnya Dayak Benuaq misalnya, membuktikannya dalam
upacara Belian dengan memanfaatkan ramuan obat dari tetumbuhan hutan.
Dalam konteks ini, mereka mengenal obat-obatan tradisional untuk
pelbagai penyakit yang dibuat dari akar atau pepohonan tertentu.
Novel
Lampau menghadirkan konflik antara pengetahuan lokal yang diwakili Uli
Idang dan pengetahuan modern yang diwakili Sadayuhan (juga Amang
Dulalin), yang secara jelas tentu saja dimenangkan pengetahuan modern
dengan kematian Uli Idang. Sedangkan Sandayuhan melanjutkan hidupnya
sesuai dengan pilihannya dengan tradisi aksara. Banyak ungkapan yang
sudah sering diucapkan untuk mendukung langkahnya itu, seperti ingin
mengunjungi daerah atau bagian dunia lain dengan membaca buku.
Balian dalam novel Lampau lebih banyak dilihat dari segi upacaranya, dan mengabaikan bagian lainnya yang juga penting; seperti pengobatan
dan ramuan obat yang diwarisi secara turun temurun. Mungkin, hal ini
untuk kepentingan cerita yang lancar dan ringan sehingga enak dinikmati,
dan memberikan gambaran tokoh yang memperjuangkan harapannya pada
kehidupan yang lebih baik. Pilihan pandangan tokoh dalam novel ini tentu
dapat dianggap sebagai pandangan penulisnya. Penokohan Sandayuhan
terkesan lebih pada mengikuti arus yang membawanya, namun demikian hal
ini yang membuat cerita menjadi seperti berjalan secara alami, seakan
begitulah aliran sungai Loksado yang mengantarkan apa saja ke hilirnya.
Bahwa
buku dapat memberikan pilihan jalan yang beragam, tidak hanya sebatas
pendidikan formal, tergambar dari tokoh Sandayuhan yang terus bergerak
dan mampu keluar dari lingkungan budaya dan sosialnya dan tokoh Amang
Dulalin yang tak bergerak sehingga tetap berada dalam lingkungan
asalnya. Keduanya dapat dikatakan sebagai tokoh yang terdidik melalui
kegemarannya membaca buku. Buku membukakan jalan perubahan, sebagaimana
pendidikan secara formal diyakini sebagai jalan perubahan.
Di sini, jelas terlihat adanya perbedaan dalam hasrat untuk mewujudkan
mimpi, meski keduanya sama-sama pelahap buku. Perbedaan itu pada memulai
mengenal buku, di mana Sandayuhan sejak kecil sedangkan Amang Dulalin
sudah berumur. Hal ini dapat dilihat sebagai kekuatan penulis dalam
membangun penokohan, sehingga pilihan jalan Sandayuhan pada usianya yang
belum genap 25 tahun seperti petunjuk masih terbuka perubahan demi
perubahan, yang tidak menutup kemungkinan berbalik kembali untuk
menggali pengetahuan lokal atau dengan kata lain Sandayuhan masih terus
mencari dan mencari sebagai wujud pembelajaran yang tak pernah berakhir.
Di
samping itu, pilihan penulis kepada perempuan yang menempati posisi
Balian Tuha, dapat dilihat sebagai perlawanan pada kebiasaan bahwa
seorang Balian adalah laki-laki atau sebagai tanda semakin lemahnya
posisi Balian dalam kehidupan masyarakat Loksado (dayak). Perempuan
berada pada posisi yang lebih mengandalkan perasaan dibandingkan akal,
yang tergambar pada keadaan Uli Idang setelah ditinggalkan Genta; yang
hingga akhir hidupnya terus terbawa. Menjadi tiada yang berubah pada
sifat perempuan dalam hal persoalan cinta.
Hal
di atas merupakan sebagian penafsiran dalam pembacaan novel Lampau,
yang masih banyak hal yang terbuka untuk penafsiran lainnya. Terbukanya
banyak pintu penafsiran menandakan sebuah novel berhasil memberikan
tempat pada pembaca yang beragam.
Lampau,
walaupun dari judul tak sebanding dengan isinya, menghadirkan cerita
kehidupan masyarakat Loksado secara menarik dan menghibur. Kehadiran
novel Lampau merupakan hadiah istimewa bagi Kabupaten Hulu Sungai
Selatan dan Kalimantan Selatan, karena melalui buku ini orang dapat
berimajinasi tentang alam dan budaya sosial masyarakat Loksado. Novel
ini juga membuka peluang ekonomi kreatif dalam bidang sastra maupun
perfilman. Apalagi Lampau ditulis untuk dapat dibaca segala umur.
Warga Hulu
Sungai Selatan yang mengenyam pendidikan jika belum membaca novel ini,
maka dapat dikatakan membiarkan hadiah khusus buat mereka; seperti guru
dan pelajar misalnya. Novel ini layak diangkat ke layar lebar, baik
untuk memulai peluang investasi dalam perfilman (ekonomi kreatif) maupun
untuk kepentingan promosi daerah, terutama menunjang kepentingan dinas
pariwisata dan kebudayaan. Apakah pengusaha Kalsel (juga pemerintah
daerah) tidak mempunyai imajinasi investasi dalam bidang ekonomi
kreatif? Membuat film Lampau (atau disesuaikan judulnya) dengan dana Rp.
2 miliar, yang mungkin tidak lebih dari 1 atau 2 mobil mewah para
pengusaha Kalsel. Hal ini berhubungan dengan pengembangan sumberdaya
manusia Kalsel, agar tidak terus membebani alam dan lingkungan untuk
menopang kemakmuran sebagian kecil orang. Kerusakan alam dan lingkungan
akan semakin mempercepat pengetahuan lokal punah, dan keadaan ini
menempatkan pengetahuan modern sebagai alat memperbudak manusia.
Banjarbaru, 8 Oktober 2013
(Launching Buku Penulis Kandangan dan Bincang Novel Lampau, Kandangan, 8 Oktober 2013 di SMAN 1 Kandangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar