Minggu, 13 Oktober 2013

NOVEL LAMPAU : HADIAH KHUSUS UNTUK HSS

SENIN, 14 OKTOBER 2013


 Suasana bedah buku Novel Lampau karya Sandi Firly
di SMAN 1 Kandangan, Selasa, 8 Oktober 2013


Oleh: HE. Benyamine

When knowledgeable old person dies, a whole library disappears” 

Loksado merupakan tujuan wisata yang ada di Kalimantan Selatan. Wisata alam yang mempunyai daya tarik dari segi keindahan alam dan tradisi masyarakatnya. Jika menyebut bambu rafting, maka nama Loksado yang terlintas. Pengetahuan lokal sesungguhnya merupakan hal penting dalam kehidupan masyarakat yang berdiam di wilayah Loksado, yang menempatkan tokoh/orang tua pada tempat yang terhormat dan bernilai sebagaimana pepatah Afrika di atas.

Pengetahuan dan teknologi lokal, berdasarkan beberapa penelitian, seperti sistem tumpang sari (multiplecropping), perladangan yang meniru ekosistem hutan tropis (Geertz, 1976), atau pertanian Sistem Orang Banjar (Banjarese system) dalam pemanfaatan lahan pasang surut di Kalimantan Selatan (Rifani, 1998), menunjukkan kesesuaian dengan logika ilmu pengetahuan modern. Seperti dalam menilai sifat-sifat tanah, pengetahuan lokal lebih merupakan penilaian kualitatif murni, tetapi hasilnya lebih banyak kesesuaian dengan hasil dari analisis sains (Ali, 2002). Jadi menurut Ali (2002), bahwa perbedaan dalam tipologi  antara tipologi tanah berdasarkan pengetahuan lokal dengan ilmu pengetahuan (scientific) karena beragamnya di dalam tujuan dan pendekatan dalam studi tanah perdesaan. Di samping itu, kepentingan petani pada tanah adalah untuk tanaman yang mereka pilih, yang klasifikasi tanah berdasarkan kondisi-kondisi tanah atas (topsoil).

Perbandingan antara sistem pengetahuan lokal dan sistem pengetahuan modern akan ditemukan bukan saja perbedaan dalam hubungan secara politik tetapi perbedaan sistem pengetahuan (systems of knowledge), perbedaan cara  pemahaman (ways of understanding), perasaan (perceiving), pengalaman dan pendefinisian realita (experiencing and of defining reality) (Studley, 1998). Seperti proses transformasi pengetahuan, di mana pengetahuan modern dilakukan secara deduktif melalui penulisan kata sedangkan tradisional biasanya dilakukan secara oral atau kadang melalui cara rahasia. Karena dengan cara oral diwariskan kepada generasi berikutnya, maka pengetahuan lokal (indigenous) terancam punah.

Kehadiran novel Lampau karya Sandi Firly secara langsung dan nyata mengingatkan kembali bagaimana pengetahuan lokal, khususnya di Loksado, dihadapkan dengan pengetahuan modern melalui tokoh Sandayuhan dan Amang Dulalin. Ada pergeseran kebutuhan, terutama dalam pengetahuan dan godaannya “kemajuan” dan kemodernan yang ditawarkan buku-buku dari peninggalan Genta.
Sadayuhan memilih jalan “kemajuan” dengan tradisi aksara, dan meninggalkan tradisi lisan dan sistem yang menunjangnya, seperti tidak begitu meyakini dalam dirinya ada darah Balian. Hal ini tentu saja berkaitan dengan sistem pengetahuan, sebagaimana Balian yang juga termasuk ramuan obat yang digunakan; misalnya Dayak Benuaq misalnya, membuktikannya dalam upacara Belian dengan memanfaatkan ramuan obat dari tetumbuhan hutan. Dalam konteks ini, mereka mengenal obat-obatan tradisional untuk pelbagai penyakit yang dibuat dari akar atau pepohonan tertentu.

Novel Lampau menghadirkan konflik antara pengetahuan lokal yang diwakili Uli Idang dan pengetahuan modern yang diwakili Sadayuhan (juga Amang Dulalin), yang secara jelas tentu saja dimenangkan pengetahuan modern dengan kematian Uli Idang. Sedangkan Sandayuhan melanjutkan hidupnya sesuai dengan pilihannya dengan tradisi aksara. Banyak ungkapan yang sudah sering diucapkan untuk mendukung langkahnya itu, seperti ingin mengunjungi daerah atau bagian dunia lain dengan membaca buku.

Balian dalam novel Lampau lebih banyak dilihat dari segi upacaranya, dan mengabaikan bagian lainnya yang juga penting; seperti  pengobatan dan ramuan obat yang diwarisi secara turun temurun. Mungkin, hal ini untuk kepentingan cerita yang lancar dan ringan sehingga enak dinikmati, dan memberikan gambaran tokoh yang memperjuangkan harapannya pada kehidupan yang lebih baik. Pilihan pandangan tokoh dalam novel ini tentu dapat dianggap sebagai pandangan penulisnya. Penokohan Sandayuhan terkesan lebih pada mengikuti arus yang membawanya, namun demikian hal ini yang membuat cerita menjadi seperti berjalan secara alami, seakan begitulah aliran sungai Loksado yang mengantarkan apa saja ke hilirnya.

Bahwa buku dapat memberikan pilihan jalan yang beragam, tidak hanya sebatas pendidikan formal, tergambar dari tokoh Sandayuhan yang terus bergerak dan mampu keluar dari lingkungan budaya dan sosialnya dan tokoh Amang Dulalin yang tak bergerak sehingga tetap berada dalam lingkungan asalnya. Keduanya dapat dikatakan sebagai tokoh yang terdidik melalui kegemarannya membaca buku. Buku membukakan jalan perubahan, sebagaimana pendidikan secara formal diyakini sebagai jalan perubahan.

Di sini, jelas terlihat adanya perbedaan dalam hasrat untuk mewujudkan mimpi, meski keduanya sama-sama pelahap buku. Perbedaan itu pada memulai mengenal buku, di mana Sandayuhan sejak kecil sedangkan Amang Dulalin sudah berumur. Hal ini dapat dilihat sebagai kekuatan penulis dalam membangun penokohan, sehingga pilihan jalan Sandayuhan pada usianya yang belum genap 25 tahun seperti petunjuk masih terbuka perubahan demi perubahan, yang tidak menutup kemungkinan berbalik kembali untuk menggali pengetahuan lokal atau dengan kata lain Sandayuhan masih terus mencari dan mencari sebagai wujud pembelajaran yang tak pernah berakhir.

Di samping itu, pilihan penulis kepada perempuan yang menempati posisi Balian Tuha, dapat dilihat sebagai perlawanan pada kebiasaan bahwa seorang Balian adalah laki-laki atau sebagai tanda semakin lemahnya posisi Balian dalam kehidupan masyarakat Loksado (dayak). Perempuan berada pada posisi yang lebih mengandalkan perasaan dibandingkan akal, yang tergambar pada keadaan Uli Idang setelah ditinggalkan Genta; yang hingga akhir hidupnya terus terbawa. Menjadi tiada yang berubah pada sifat perempuan dalam hal persoalan cinta.

Hal di atas merupakan sebagian penafsiran dalam pembacaan novel Lampau, yang masih banyak hal yang terbuka untuk penafsiran lainnya. Terbukanya banyak pintu penafsiran menandakan sebuah novel berhasil memberikan tempat pada pembaca yang beragam.

Lampau, walaupun dari judul tak sebanding dengan isinya, menghadirkan cerita kehidupan masyarakat Loksado secara menarik dan menghibur. Kehadiran novel Lampau merupakan hadiah istimewa bagi Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan, karena melalui buku ini orang dapat berimajinasi tentang alam dan budaya sosial masyarakat Loksado. Novel ini juga membuka peluang ekonomi kreatif dalam bidang sastra maupun perfilman. Apalagi Lampau ditulis untuk dapat dibaca segala umur.

Warga  Hulu Sungai Selatan yang mengenyam pendidikan jika belum membaca novel ini, maka dapat dikatakan membiarkan hadiah khusus buat mereka; seperti guru dan pelajar misalnya. Novel ini layak diangkat ke layar lebar, baik untuk memulai peluang investasi dalam perfilman (ekonomi kreatif) maupun untuk kepentingan promosi daerah, terutama menunjang kepentingan dinas pariwisata dan kebudayaan. Apakah pengusaha Kalsel (juga pemerintah daerah) tidak mempunyai imajinasi investasi dalam bidang ekonomi kreatif? Membuat film Lampau (atau disesuaikan judulnya) dengan dana Rp. 2 miliar, yang mungkin tidak lebih dari 1 atau 2 mobil mewah para pengusaha Kalsel. Hal ini berhubungan dengan pengembangan sumberdaya manusia Kalsel, agar tidak terus membebani alam dan lingkungan untuk menopang kemakmuran sebagian kecil orang. Kerusakan alam dan lingkungan akan semakin mempercepat pengetahuan lokal punah, dan keadaan ini menempatkan pengetahuan modern sebagai alat memperbudak manusia.

Banjarbaru, 8 Oktober 2013 

(Launching Buku Penulis Kandangan dan Bincang Novel Lampau, Kandangan, 8 Oktober 2013 di SMAN 1 Kandangan) 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Rusdiansyah (Kelas VIII MTsN 3 HSS)

 Sabtu, 23 November 2024 Dengan Rusdiansyah, atau biasa disapa Iyan, siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selata...