Oleh : Jamal T Suryanata
*Lahir di Kandangan,
Kalimantan Selatan, 1 September 1966. Lulusan cumlaude S2 FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dengan
mengangkat tesis cerpen berbahasa Banjar, yang notabene digelutinya juga sebagai wilayah penciptaan. Bukunya
antara lain Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Mengenal Teknologi Penerbangan dan
Antariksa (1998), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematika Pembelajaran
Bahasa dan Sastra (2003) dan sebuah kumpulan cerpen berbahasa Banjar, Galuh
(2005). Sekarang ia aktif sebagai dosen tetap dan dosen luar biasa diberbagai
universitas di Kalimantan Selatan.
(Disampaikan pada Kongres Cerpen Indonesia V di
Taman Budaya Kalimantan Selatan, Banjarmasin 26-28 Oktober 2007)
Dengarkanlah
kumandang tanah air
Tidakkah ada saling
mengerti antara Maseri Matali,
Suhana dan Achmad Nur
di pedalaman dan
pesisir Kalimantan dengan penyair-penyair pulau Ambon
Lisapaly dan
Sijaranamual dan penyair Gorontalo MA Kamah ?
Saya tahu, sesungguhnya agak naïf
menempatkan kutipan kalimat di atas untuk mengawali tulisan ini. Kutipan
tersebut tak lebih dari sebuah pertanyaan retoris yang dilontarkan HB Jassin
dalam salah satu esainya yang bertajuk Seni, Seniman, dan Peminat di majalah
Mimbar Indonesia saat menyoal ketidakmengertian banyak orang terhadap bahasa
penyair (baca : puisi). Lalu, apa perlunya saya mengutipkan kalimat itu ? Apa
relevansinya persoalan puisi dan kepenyairan dibawa-bawa ke dalam perbincangan
mengenai tradisi cerpen di Kalimantan Selatan (Kalsel) ini ?
Tentu saja saya punya alasan
tersendiri sehingga merasa perlu menempelkan kutipan kalimat tersebut di awal
tulisan ini. Dengan kutipan itu saya ingin memberikan sebuah gambaran komparatif
antara tradisi penulisan puisi atawa kepenyairan dengan tradisi penulisan
cerpen di Kalsel yang –minimal secara
kuantitas – tampaknya cukup paradoks selama ini. Sebagaimana secara historis
dapat kita lacak, sejak tahun 1930-an Kalsel niscaya merupakan lahan yang sangat
subur bagi pertumbuhkembangan spesies yang bernama puisi dan atau makhluk yang
lazim digelari penyair. Demikianlah, sejarah telah mencatat, pada sekitar dekade
40-an sajak-sajak Maseri Matali sudah pun sahut-bersahut dengan karya-karya
Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini, dan beberapa penyair
berpengaruh lainnya yang kala itu sedang giat-giatnya meramaikan jagat sastra
di tanah air melalui sejumlah majalah yang terbilang cukup prestisius semisal
Mimbar Indonesia, Pantja Raja, dan Spektrum (Jakarta). Dalam kaitan inilah,
disebut-sebutnya nama Maseri Matali oleh HB Jassin-terutama karena posisinya
sebagai tokoh kritikus sastra yang paling berpengaruh, bahkan nyaris tak
tertandingi, pada masa itu-tentunya dapat dipandang sebagai bentuk legimitasi
tak langsung atas popularitas dan kewibawaan penyair asal Kalsel tersebut di
antara sederet nama penyair nasional papan atas lainnya.
Selepas Maseri Matali, anggapan tentang
kedudukan Kalsel sebagai lahan subur bagi pertumbuhkembangan puisi dan atau
kepenyairan kembali dikukuhkan oleh kehadiran beberapa penyair generasi penerus
yang aktif berkarya antara 1950-an hingga 1990-an semisal Hijaz Yamani, D
Zauhidie, Salim Fachri, Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, Noor Aini Cahya
Khairani, Micky Hidayat, Maman S Tawie, Eza Thabry Husano, Burhanuddin Soebely,
Tarman Effendi Tarsyad, YS Agus Suseno, Ariffin Noor Hasby, Jamal T Suryanata,
dan beberapa nama lainnya yang karya-karya mereka pernah menghiasi sejumlah media
sastra maupun antologi puisi bersama berskala nasional. Bahkan, jika kemudian
kita merasa perlu menggunakan parameter kepenyairan yang relatif lebih longgar,
maka telah tercatat tidak kurang dari 300-an nama penyair Kalsel yang pernah
aktif meramaikan dunia perpuisian di tanah air (dalam lingkup Kalsel pada
khususnya). Belum lagi jika peta kepenyairan di Kalsel tersebut menghadirkan
sederet nama baru yang mulai aktif berkarya sejak penghujung abad ke 20 atau
awal abad ke 21 sekarang yang tampaknya lebih didominasi oleh penyair-penyair
muda perempuan.
Eksistensi dan kontinuitas tradisi
kepenyairan sebagaimana tergambar diatas bukan saja telah mengukuhkan posisi
Kalsel sebagai lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan puisi, tetapi
boleh jadi juga menunjukkan bahwa Kalsel selama ini memang merupakan salah satu
lumbung penyair terbesar atau bahkan sebagai daerah yang surplus puisi dan
penyair di tanah air. Kondisi tersebut tampaknya masih berlanjut hingga memasuki
dasawarsa pertama di awal alaf baru sekarang ini. Namun, tidak sebagaimana
maraknya penulisan puisi dan bejibunnya jumlah penyair, sejarah pun telah
mencatat bahwa sepanjang perjalanan sastra Indonesia modern ternyata Kalsel
senantiasa tampil sebagai daerah yang minus karya dan penulisan prosa
(cerpenis, apalagi novelis).
Sejak dimulainya tradisi penulisan
sastra Indonesia modern di Kalsel pada sekitar awal 1930-an-sejauh yang saya
ketahui- hingga kini tak ada satu nama pengarang pun dari daerah ini yang
pernah disebut-sebut-apalagi sampai dibahas secara mendalam dan panjang lebar
dalam karya-karya kritik dan sejarah sastra-sebagai tokoh cerpenis nasional
semacam AA Navis, Yusach Ananda, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Umar Kayam,
Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijaya, Budi Darma, Korie Layun
Rampan, Seno Gumira Ajidarma, atau Gus tf Sakai-untuk menyebut beberapa nama
saja. Jadi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel ? Apa yang
terjadi dalam jagat kepengarangan di Kalsel selama ini ?
Sebelum lebih jauh memasuki
pembahasan tentang tradisi cerpen di Kalsel, sekarang mari kita tengok sebentar
sejarah awal tradisi penulisan prosanya secara umum. Masa-masa awal tradisi
penulisan prosa (fiksi) di daerah ini setidak-tidaknya ditandai sejak lahirnya
karya-karya Merayu Sukma, khususnya dalam bentuk roman, yang terbit pada
sekitar dasawarsa 30-an hingga 40-an. Beberapa romannya yang telah diterbitkan
antara lain Kunang-Kunang Kuning, Berlindung di Balik Tabir Rahasia, Menanti
Kekasih dari Mekkah, Teratai Terkulai, Yurni Yusri, Sinar Memecah Rahasia, Putera
Mahkota yang Terbuang, Jurang Meminta Korban, Dalam Gelombang Darah, Gema dari
Menara, Maria Wanita Ajaib, dan Kawin Cita-Cita.
Pada kurun waktu berikutnya, tradisi
penulisan roman atau novel kemudian dilanjutkan oleh Artum Artha, Anggraeni
Antemas, dan Ian Emti. Antara akhir 1940-an hingga penghujung 1970-an, Artum
Artha antara lain menerbitkan roman Kumala Gadis Zaman Kartini, Tahanan yang
Hilang, Kepada Kekasihku Rokhayanah, Putera Mahkota yang Terbuang, dan
Kartamina. Sementara itu, kendati Anggraeni Antemas sudah memulai karier
kepengarangannya sejak tahun 1940-an, tetapi sejumlah karyanya baru terbit pada
awal tahun 1980-an. Beberapa romannya yang sudah diterbitkan diantaranya
Melamar Puteri Purnama, Si Bunglon Jadi Detektif, Menghindar dari Telaga
Kematian, Tunas-Tunas Mekar Pagi, dan Mendulang Intan. Sedangkan Ian Emti telah
menerbitkan empat novel pada tahun 1978, masing-masing berjudul Dosen Komersiel,
Pada Sebuah Kapal, Perawan Tapi Hamil, dan Insan-Insan Pop. Setelah itu,
penulisan novel nyaris tak ada gaungnya lagi selama hampir dua dasawarsa
sebelum hadirnya Burhanuddin Soebely dengan tiga karyanya yang (ketiganya)
pernah meraih penghargaan sebagai pemenang II dalam sayembara penulisan novel
yang digelar majalah Femina (1997, 1998, 2001) dan kemudian dimuat sebagai
cerita bersambung di majalah tersebut.
Sampai saat ini, barangkali, Aliman
Syahrani adalah satu-satunya generasi novelis Kalsel terkini yang eksis berkat
keberhasilannya menerbitkan novel Palas (2004). Sebab, selepas Aliman tak
tampak lagi cikal-bakal penulis novel baru yang lebih menjanjikan. Namun begitu,
jikapun catatan ini ingin dilengkapi lagi (tentu dengan melepaskan parameter
kesastraan yang agak njelimet dan bersifat normatif), tak pula dapat diabaikan
nama-nama seperti Ajamuddin Tifani, YS Agus Suseno, Alipir Budiman, dan Tajuddin
Noor Ganie karena pada dasarnya mereka pun pernah menulis novel (yang
masing-masing naskah novelnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di koran
lokal).
Berdasarkan data historis diatas, tradisi
penulisan prosa di Kalsel pada masa lampau sesungguhnya sudah cukup
menggembirakan. Kemudian, khusus dalam bidang penulisan cerpen, sejarahpun
telah mencatat prestasi masa lampau yang mesti diperhitungkan. Secara pasti,
sejarah awal tradisi penulisan cerpen di Kalsel setidak-tidaknya telah dimulai
sejak tahun 1950-an dengan tampilnya Masrin Mastur yang kala itu aktif
mempublikasikan karya-karyanya (tercatat 7 cerpen) dalam Mimbar Indonesia
antara 1951-1953. Prestasi serupa juga telah ditunjukkan oleh Ramtha Marta
dengan keberhasilannya menembus sejumlah media nasional dalam kurun waktu
1953-1974. Beberapa cerpennya antara lain dimuat dalam Mimbar Indonesia (11
cerpen), Kisah (2 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Mimbar (1 cerpen).
Selanjutnya, pada kurun waktu antara 1955-1960, Syamsiar Seman juga telah
berhasil mempublikasikan karya-karya cerpennya di empat majalah berskala
nasional ; masing-masing di majalah Star Weekly (1 cerpen), Pantjawarna (1
cerpen), Indonesia (1 cepren), dan Konfrontasi (1 cerpen). Lalu, antara 1955-1959,
Hijaz Yamani telah pun mencatat prestasi tersendiri dengan sejumlah cerpennya
yang berhasil menembus beberapa media nasional seperti Pahatan (1 cerpen),
Minggu Pagi (2 cerpen), Roman (3 cerpen), Tjerita (3 cerpen), Indonesia (2
cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Selain
itu, karya-karya Darmansyah Zauhidie juga telah berhasil menembus Roman
(1 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Zaman (5 cerpen) dalam kurun waktu antara
1955-1981. Sementara itu, Artum Artha hadir dengan 7 cerpen yang semuanya
dimuat di majalah Senang antara 1976-1984.
Selanjutnya, sejak pertengahan
1980-an sampai sekarang, beberapa nama yang karya-karya cerpennya pernah
menembus media dan atau masuk dalam suatu lomba penulisan berskala
nasional antara lain
Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, M Rifani Jamhari, YS Agus Suseno, Jamal T
Suryanata, Sandi Firly, Joni Wijaya, dan Zulfaisal Putera. Karya-karya mereka
diantaranya pernah dimuat dalam majalah Horison, Matra, Jurnal Cerpen Indonesia,
Selarong, SKH Jawa Pos, Surya, dan beberapa media lainnya. Disamping mereka,
memang masih ada sejumlah nama lagi yang pantas dicatat dalam deretan cerpenis
Indonesia asal Kalsel ; sebutlah A Rasyidi Umar, Syukrani Maswan, Zain Noktah,
Eddy Wahyudin SP, Maman S Tawie, Aliman Syahrani, M Fitran Salam, Harie Insani
Putra, Sainul Hermawan, Dewi Alfianti, Rismiyana, Ratih Ayuningrum, dan Syafieqotul
Machmudah – sekedar menyebut beberapa nama yang pernah cukup produktif berkarya.
Berdasarkan pemetaan diatas, pada
tataran tertentu tampak bahwa dari dasawarsa ke dasawarsa tradisi penulisan prosa
(termasuk cerpen) di Kalsel terus mengalami penurunan. Lebih-lebih jika
patokannya terbatas pada publikasi berskala nasional, jelas penurunan itu akan
sangat terasa selepas dekade 80-an. Maka, atas dasar itulah, jika dibanding
dengan tradisi penulisan puisinya yang dari masa ke masa selalu ramai dan terus
tumbuh subur, satu hal yang dapat dikatakan bahwa hingga sejauh ini Kalsel
memang tak ubahnya ibarat lahan gersang bagi persemaian genre cerpen atau prosa
pada umumnya. Diantara sederet nama cerpenis yang disebutkan di atas ternyata
pula hanya ada beberapa nama yang terbilang cukup produktif dan relatif konstan
dalam berkarya. Kemudian, diantara jumlah yang sedikit itu, lebih terbatas lagi
yang karya-karyanya mampu menembus media massa berskala nasional.
Dibanding karya-karya puisinya yang
relatif banyak atau sering dimuat dalam sejumlah buku antologi puisi bersama
yang juga berskala nasional, sampai saat ini hanya ada dua cerpen yang
beruntung ikut diterbitkan dalam dua buku berskala nasional yang cukup
monumental, yakni cerpen berjudul Petaka Teluk Mendung karya Ajamuddin Tifani
(dengan nama pena Laila Fakhriani) dalam buku Cerita Pendek Indonesia, Jilid IV
(Editor : Satyagraha Hoerip, 1984) dan cerpen Sebelas karya Jamal T Suryanata
dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Editor : Korrie Layun Rampan,
2000). Akan tetapi, boleh jadi ada orang yang beranggapan bahwa dimuatnya kedua
cerpen tersebut lebih bersifat kebetulan belaka (baca : kebetulan ada editor
yang secara tidak sengaja menemukan kedua cerpen itu saat ia melakukan
penelitian atau pengumpulan naskah untuk penerbitan bukunya). Namun, lepas dari
persoalan tersebut, pada akhirnya harus diakui bahwa sampai saat ini Kalsel
memang belum punya seorang tokoh cerpenis nasional yang popularitas dan
kewibawaannya setaraf, misalnya, dengan Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Umar
Kayam, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Taufik Ikram Jamil,
Harris Effendi Tahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Gus tf
Sakai, Agus Noor, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut EA, Oka Rusmini,
Djenar Maesa Ayu, atau Raudal Tanjung Banua (maaf, juga hanya untuk menyebut
beberapa saja). Maka, sekali lagi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di
Kalsel ?
Sebagaimana telah disinggung diatas,
prestasi masa lampau yang telah ditunjukkan oleh para penulis roman asal Kalsel
sebenarnya sudah cukup membanggakan. Akan tetapi, mengapa selama ini nama-nama
serta karya-karya mereka tak pernah disebut-sebut dan atau dibahas dalam buku-buku
sejarah dan kritik sastra Indonesia ? Adakah sesuatu yang salah dalam sejarah
masa lalu itu ? Padahal, lewat karya-karya mereka, kita tahu bahwa Merayu
Sukma, Anggraeni Antemas, maupun Artum Artha telah memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam rangka membentangkan khazanah penulisan roman di Indonesia.
Dengan begitu, boleh jadi pengungkapan data historis mengenai sastra Indonesia
yang ada selama ini memang masih bermasalah.
Jika persoalan diatas kita telusuri
lebih jauh, tampak bahwa dalam istilah bermasalah tersebut setidak-tidaknya
mengandaikan terdapatnya tiga kemungkinan yang menjadi faktor penyebabnya. Pertama,
dari segi kualitasnya, kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel tersebut memang
dinilai kalah penting dibanding dengan karya-karya penulis kenamaan Indonesia
lainnya. Hal ini, misalnya, berkaitan dengan konsep pembaruan yang seringkali
dijadikan tolok ukur utama dalam pembahasan kritik sastra. Kedua, mungkin pula
persoalannya lebih dilantarkan oleh perbedaan sudut pandang para kritikus atau
sejarawan sastra mengenai parameter kesastraan yang berlaku ketat pada masa itu
; bahwa kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel itu secara normatif digolongkan
sebagai roman picisan atau sastra populer, sementara para kritikus dan sejarawan
sastra secara kaku hanya memasukkan karya-karya yang lazim disebut sastra
serius. Dengan kata lain, ruang lingkup penelitian mereka pada akhirnya hanya
terfokus pada buku-buku dan media massa yang memuat karya-karya yang dianggap
serius dan dengan sendirinya akan mengesampingkan semua objek yang berbau
populer. Ketiga, mungkin akibat kedua faktor diatas, boleh jadi tradisi
kepengarangan di Kalsel pada saat itu memang belum dianggap ada oleh para
kritikus dan sejarawan sastra Indonesia. Sebab orientasi pemetaan sastra pada
masa itu bahkan jejak-jejaknya masih tampak hingga sekarang – tampaknya punya
kecenderungan untuk terfokus pada titik-titik tertentu yang sejak lama telah
dianggap sebagai kantong-kantong sastra utama di tanah air atau karena telah
punya tradisi sastra yang baik (misalnya Padang, Jakarta, dan Yogyakarta).
Lepas dari keinginan untuk
menghakimi atau sekedar melakukan pembelajaran, pada sisi lain tampak pula
bahwa tradisi penulisan cerpen di Kalsel sebenarnya juga tidaklah terlalu buruk
(minimal jika dibandingkan dengan tradisi kepengarangan di tiga wilayah Kalimantan
lainnya). Berdasarkan data historis diatas, selama rentang waktu antara 1950-an
hingga 1980-an (sekitar empat dasawarsa) sejumlah cerpenis Kalsel jelas telah
menunjukkan prestasi yang cukup signifikan melalui karya mereka masing-masing
yang mampu berbicara di pentas nasional. Namun, kendati demikian, tetap saja
masih terasa ada yang kurang. Sebab, sebagaimana tradisi penulisan novelnya
yang selalu terdengar sayup sampai, sampai saat ini juga tak pernah ada seorang
cerpenis Kalsel pun yang nama dan karya-karyanya dicatat atau dibahas dalam
buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi, ada apa
sesungguhnya dengan tradisi cerpen di Kalsel ? Apakah persoalannya sama dengan
yang berlaku dalam tradisi penulisan roman ? Adakah ia telah mengidap semacam
penyakit kronis, cukup akut, atau bahkan sudah bersifat epidemis ?
Kalau tradisi penulisan cerpen ini
kita coba cermati, persoalannya mungkin sangat berbeda dengan yang berlaku
dalam tradisi penulisan roman atau novel sebagaimana tergambar di atas. Dalam
konteks ini, relevansi masalahnya hampir tak ada gayutannya dengan perbedaan
paradigma kesastraan yang bersifat dikotomis itu : sastra serius versus sastra
popular. Pertanyaan tersebut tampaknya lebih merupakan representasi (mungkin
pula sebagai akumulasi) dari sebentuk kegelisahan yang seyogianya menjadi
kegelisahan bersama. Jawabnya pun bisa jadi bersentuhan dengan segepok
persoalan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis kesastraan maupun
nonkesastraan. Disini, sederet persoalan yang mungkin mengemuka diantaranya
menyangkut faktor-faktor ketiadaan bakat, rendahnya minat, kurangnya semangat,
minimnya pengetahuan, miskinnya pengalaman, tak cukupnya penguasaan bahasa,
rumitnya teknik penulisan, ketatnya seleksi media massa, rendahnya honor
tulisan, kondisi lingkungan yang kurang kondusif, gagap teknologi, kemalasan
pribadi, pertimbangan popularitas pengarang, tumbuh suburnya koncoisme, atau
lantaran sikap apriori para editor penerbit nasional (di Jakarta dan Yogyakarta
pada khususnya) yang sudah terlanjur tak sudi menengok potensi para penulis
dari luar kantong-kantong sastra tanah air (Kalsel pada khususnya).
Terkait dengan masalah diatas, akibat
berbagai faktor atau alasan-alasan yang seringkali justru lebih mengandalkan
pertimbangan-pertimbangan non kesastraan juga cukup menyempitkan peluang bagi
para pengarang Kalsel untuk mempublikasikan karya-karya mereka di media sastra
nasional. Diakui atau tidak, para redaktur kita pada umumnya masih tak bisa
melepaskan sikap mereka dari kuatnya pengaruh ungkapan klasik tak kenal maka
tak sayang. Oleh karena itu, akibat yang muncul kemudian adalah sebentuk
kalimat peringatan, kalau engkau belum mengenal dekat redaktur sebuah media,
maka karyamu tak akan pernah bisa dimuat di media tersebut. Dengan demikian,
dalam upaya menyikapi problem semacam itu sedianya kita harus melazimkan
ayat-ayat cinta. Wahai para pengarang, jika karyamu ingin dimuat dalam suatu
media massa, maka kenalilah redakturnya terlebih dahulu sebelum engkau
mengirimkan karya-karyamu. Akan tetapi, ingatlah pula olehmu bahwa dengan modal
mengenal para redaktur saja tidaklah cukup bagimu sebagai jaminan atas pemuatan
karya-karyamu. Maka pikirkanlah olehmu agar engkau termasuk golongan
orang-orang yang beruntung. Tumbuh suburnya koncoisme dan sikap keberpihakan dalam
aktivitas berkesusastraan, juga masih bertahannya pemikiran sentralistik yang
mengandaikan pemisahan dan atau perbedaan pusat daerah, hingga kini tampaknya
masih begitu kuat mewarnai tradisi penerbitan maupun publikasi karya sastra di
media massa kita. Bertolak dari kondisi yang tidak kondusif semacam itulah
tampaknya yang kemudian memunculkan tradisi atau trend baru dalam konteks
publikasi karya sastra di tanah air dewasa ini. Dimaksudkan sebagai bentuk
penentangan, setidak-tidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah penulis
akhirnya mencoba menempuh jalan pintas dengan menerbitkan sendiri media sastra
alternatif atau menempuh penerbitan buku secara swakelola (self-publisher).
Akan tetapi, sebagai konsekuensi selanjutnya, hanya individu atau komunitas
yang punya modal cukuplah yang akan mampu bertahan lama (survive) ditengah
persaingan yang semakin ketat. Sebaliknya, mereka yang tak punya modal pada
akhirnya tetaplah sebagai penonton.
Akan tetapi, benarkah masih rapuhnya
bangunan tradisi penulisan cerpen di Kalsel selama ini dilantarankan oleh
faktor-faktor tersebut ? Benarkah semua itu merupakan problem utama yang
dihadapi para cerpenis Kalsel sehingga tampak begitu sulit untuk menemukan
jalan ke Indonesia ? Saya kira, persoalannya justru terlebih dahulu harus
dikembalikan kepada pribadi-pribadi pengarang Kalsel sendiri. Mari kita
instropeksi diri sejenak, apakah selama ini para pengarang Kalsel sudah
melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah ditempuh oleh kawan-kawan
cerpenis lain semisal Gus tf Sakai, Taufik Ikram Jamil, Joni Ariadinata, Triyanto
Triwikromo, Puthut EA, Zen Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Linda
Christanty, atau Lan Fang ? Jawabnya, rasanya, emang belum sih !
Bukankah selama ini kita lebih banyak
jadi penonton saja ? Bukankah selama ini kita lebih banyak berbicara daripada
menulis ? Bukankah tradisi lisan kita masih lebih dominan tinimbang tradisi
keberaksaraan ? Kita seringkali lebih tergiur untuk ikut-ikutan membentuk
berbagai komunitas sastra, tetapi kita masih suka lupa bahwa tujuan utama
pembentukan wadah adalah untuk memompa semangat berkarya. Kita juga sudah
begitu banyak menggelar diskusi-diskusi kesastraan, tetapi kita toh tetap saja
tak begitu mengindahkan bahwa puncak berbagai perbincangan itu adalah
meningkatnya produktivitas dan kreativitas dalam berkarya.
Beberapa faktor diatas tampaknya
merupakan sederet alasan yang menyebabkan tradisi penulisan cerpen di Kalsel
selama ini seakan-akan masih menemukan jalan buntu untuk menuju Indonesia. Dan
pada tataran tertentu, celakanya pula, pengertian Indonesia itu agaknya masih
berkiblat pada atau berkonotasi Jakarta (dan kini mungkin juga plus Yogyakarta
karena tradisi penerbitannya yang semakin kuat). Dengan kata lain, sebelum
seorang penulis daerah berhasil menembus Jakarta atau Yogyakarta, maka ia belum
menjadi penulis Indonesia. Sebab, tanpa bermaksud meremehkan, cobalah tanyakan
: seberapa luaskah jangkauan pembaca untuk karya-karya yang sekadar dipublikasikan
di media lokal ?
Kini, dalam perspektif masa depan,
akankah pemetaan sastra Indonesia itu masih terus berkutat dalam zona Jakartasentris
atau Yogyakartasentris ? Kalau begitu, sampai pertengahan abad mendatang pun para
penulis Kalsel akan terus teralienasi di tengah keramaian lalu-lintas sastra Indonesia.
Namun, sekali lagi, marilah kita instropeksi diri. Tak adil rasanya kalau kita
hanya pandai menyalahkan orang lain atau menjadikan keadaan sebagai kambing
hitam. Bagaimanapun, semua itu pastilah tidak layak dijadikan sebagai alasan
pembenaran kemalasan pribadi sehingga tetap saja tidak berkarya pada
akhirnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar