Oleh : Rezqie Muhammad Al Fajar dan Ali
Syamsudin Arsi
Pengantar Diskusi Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI,
Tapin, 6 Desember 2014
-Ditujukan kepada Ahmadun
Yosi Herfanda dan Abidah El Khalieqy
-Tentu kepada yang
hadir dalam diskusi sastra hari ini di tempat ini
Warna, tidak hanya Artum Artha
sebagai cikal bakal bermula perkembangan sastra di Kalimantan Selatan pada
tahun 1930-an, tentu saja beliau-beliau bersama kawan-kawan. D Zauhidie, Hijaz
Yamani, Yustan Aziddin beserta Ajamuddin Tifani, Burhanuddin Soebely, Hamami
Adaby, Maman S Tawie, Ahmad Fahrawi, M Rifani Djamhari, Eza Thabry Husano,
mereka memang telah pergi tapi perjalanan terus berlanjut hingga Micky Hidayat,
Tajuddin Noor Ganie, YS Agus Suseno, Eko Suryadi WS, Jamal T Suryanata, sampai
yang berjuluk Penyair Gila Arsyad Indradi ?
Semua warna meninggalkan jejak
begitu pula dengan Aruh Sastra Kalimantan Selatan dari tahun 2004 sampai 2014
ini menjadi sebelas tahun pelaksanaan, tentu memberi warna dan meningkatkan
jejak bagi kesastraan Kalimantan Selatan. Kalsel adalah juga bagian kecil dari
Kalimantan. Pertanyaannya warna apa sebagai jejak, dibentuk apa sastra
Kalimantan dimata terbuka sastra Indonesia ?
Perkembangan terkini, tiba-tiba kita
terhenyak atas kehadiran kembali penulis-penulis gurindam sebagai letup
bunga-bunga Raja Ali Haji dari Sumatera. Atau kita juga mempertanyakan dimana
warna dan jejaknya, entah hanya sebagai Gumam Asa belaka ?
Seperti juga kehadiran seorang
penyair gila dari Kalimantan Selatan diberbagai acara kegiatan sastra di lokal
maupun Indonesia tentu juga memberi warna dan jejak bahwa penyair Kalimantan
Selatan penting adanya.
Korrie Layun Rampan tak hanya
menyuguhkan Upacara di hamparan Tanah Huma Hijaz Yamani, D Zauhidie dan Yustan
Azidin yang menjadi kebangkitan karya penyair Kalimantan Selatan. Dan tentu
karya-karya penyair Kalimantan Selatan lainnya yang tersebar banyak di
antologi-antologi sastra Indonesia itu sebagian bukti bahwa penyair Kalimantan
Selatan memberi warna disetiap jejaknya bagi sastra Indonesia. Selain itu juga
kegiatan-kegiatan sastra yang terus bermunculan diakhir-akhir tahun ini seperti
pembacaan puisi disetiap bulannya di Panggung Bundar Minggu Raya, upaya
pengunjung Minggu Raya sebagai orang awam dipersilakan membaca puisi dari
warung-warung sampai pengunjung kafe itu tidak lain sebagai tujuan
mentradisikan pemasyarakatan puisi dan pembacaan puisi atau sastra lebih
jauhnya yang membuka pintu cikal bakal warna dan jejak sebuah wadah bernama
kota sastra.
Aruh Sastra Kalimantan Selatan
diselenggarakan berurutan digelar di Kandangan (2004), Pagatan (2005), Kotabaru
(2006), Amuntai (2007), Paringin (2008), Marabahan (2009), Tanjung (2010),
Barabai (2011), Banjarmasin (2012), Banjarbaru (2013), dan selanjutnya di tahun
ini adalah Rantau (2014).
Dari 13 kabupaten / kota semua
memiliki penyairnya yang tersebar di kota sampai pelosok Kalimantan Selatan.
Dari Batas Laut itu Eko Suryadi WS berteriak, “Laut kami terhampar, pulau-pulau
kami tersebar,” ternyata begitu banyak yang dapat kita tuliskan untuk mengubah
Kalimantan menjadi lebih baik, Andi Jamaluddin AR AK begitu dengan angin dan tarian burung-burung
lautnya, adalah laut Pagatan sebagai kota Mappanretasi sampai pada bagaimana
cara membaca puisinya Fahmi Wahid dan Imam Bukhori yang terus memperjuangkan
tanah Kalimantan melalui aksi dan sastra. Sedang Taberi Lipani tidak hanya diam
duduk bertadarus rindu pada Helwatin Najwa di Haru Biru-nya Kotabaru, disahut
oleh Abdurrahman El-Husaini dengan Do’a Banyu Mata-nya sampai pada Fahrurraji
Asmuni dengan Darah Impian-nya dan lihatlah ditangan Lilis MS suluh sastra
terus berkobar di Kalimantan Selatan. Pada akhirnya Segalanya Tetap Memberi
Makna ditangan Tarman Effendi Tarsyad ada juga Rock Syamsuri, Sandi Firly,
Randu Alamsyah, Zulfaisal Putera, Harie Insani Putra, Aliman Syahrani, Tajuddin
A Bacco, Tajuddin Noor Ganie, Hasbi Salim sampai pada generasi penerus penyair
Kalimantan Selatan Hudan Nur, Kalsum Belgis, Rahmatiah, Rezqie dan yang
lainnya. Banyak, sangat banyak bahkan. Hingga dalam catatan Tajuddin Noor Ganie
sampai mencapai 500 lebih nama, dan tentu saja akan terus bertambah. Sekarang
sebagai Petualang Tanah Kering apa yang bisa kau teriakkan tentang warna,
tentang jejak, bahkan tinggal menghitung hari kita akan bertemu di ujung
pengembaraan di kota Rantau Kabupaten Tapin ini. Di Penghujung tahun 2014
sebagai pelaksanaan ke XI bernama Aruh Sastra Kalimantan Selatan.
Perkembangan sastra di Kalsel tidak
lepas pula dengan perhatian yang dilakukan oleh pihak-pihak lain diluar
kemampaun sastrawannya sendiri. Banyak lembaga, banyak badan, banyak organisasi
dan banyak nama yang sangat memperhatikan untuk terus memberikan motivasi, daya
rangsang ke arah yang lebih baik. Dan bila dirasa masih kurang maka akan lebih
baik semoga ditahun-tahun mendatang, semua tetap memiliki harapan dan semua
orang boleh saja berharap karena semua orang tetap akan memperhatikan. Tahun
ini mengusung tema : Membuka Cakrawala, Menyentuh Fitrah Manusia, Kalimantan di
Mata Sastra Indonesia.
Tujuan Aruh Sastra Kalimatan Selatan
:
1.Membentuk silaturrahmi
seluruh sastrawan sampai penggiat seni yang berada atau berdomisili di Provinsi
Kalimantan Selatan.
2.Dari 13 kabupaten /
kota secara bergiliran menyelenggarakan Aruh Sastra Kalimantan Selatan setiap
tahunnya dan dari 13 kabupaten / kota sudah 11 kali penyelenggaraan, hingga
akhirnya memberikan penguatan agar tahun-tahun selanjutnya tetap dilaksakanan
pada putaran kedua.
3.Selalu
mengupayakan, menghimpun, dan menerbitkan karya sastra para penulis Kalsel.
4.Selalu berupaya
memperkenalkan diri dan karyanya ke sekolah-sekolah.
5.Memotivasi agar
sastra tumbuh dan berkembang di Kalsel.
6.Sebagai sumbangsih
budaya dan peradaban bahwa sastra penting adanya, karena sastra sebenarnya
mampu membuka wawasan, daya pikir, sikap dan karakter bagi masyarakat melalui
apresiasi dan penghargaan terhadap penulis dan karya sastra itu sendiri.
Bigg
Caffe Banjarbaru, 11 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar