Rabu, 26 Maret 2014

Jadi Nyata Setelah 26 Tahun

Kamis, 27 Maret 2014


Oleh : Yusran Pare

Bersama rombongan Travellindo, Yusran Pare dari Banjarmasin Post Group melaksanakan umrah pada 9-18 Maret 2014. Berikut catatan pribadinya mengenai perjalanan tersebut.

            Seperti mimpi. Setiap hari, ada saja rombongan urang Banjar pergi umrah. Liturgi setahap dibawah ibadah haji ini, seolah sesuatu yang amat biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi saya, tidak.
            Hingga menulis catatan ini pun, sensai keluarbiasaan pengalaman ini masih terasa. Saya masih belum yakin atas apa yang tiba-tiba saya alami : Umrah.
            Selain awam soal agama yang tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk), saya pastilah bukan termasuk orang saleh dan taat menjalankan syariat. Shalat saja masih belangbonteng. Puasa pun mungkin cuma diganjar lapar. Ibadah lain ? Entahlah. Tiba-tiba saya diundang ke Baitullah, Rumah Allah, dengan begitu mudah.
            Ada rasa panik. Khawatir. Malah takut. Apalagi mendengar kisah pribadi orang-orang yang pernah pergi ke Tanah Suci. Bahwa, segalanya serbanyata disana. Semua tindak-tanduk, perkataan, pikiran, langsung jadi kenyataan. Bahkan laku langkah kita sebelumnya, konon akan dapat imbalan ‘kontan’ di Tanah Haram. Hadeh !!!
            Orang-orang yang sudah mendedikasikan dirinya sedemikian rupa dalam kehidupan keagamaan saja, masih memerlukan dan melakukan aneka persiapan batiniah menjelang kepergian ke Tanah Suci agar pelaksanaan ibadah mereka lancar dan sempurna. Apalagi yang sudah menyiapkan diri melaksanakan niat ibadahnya. Lha, saya ? Do’a paling sederhana pun mungkin tak sempurna kalau saya lafalkan.
            Akhirnya saya renungkan kembali. Pasrah sajalah. Ikhlas. Jalani saja yang harus dijalani. Dan, itulah yang terjadi. Tanpa persiapan apapun yang terkait ibadah umrah, keculai sekali ikut manasik ringkas, saya bulatkan tekad untuk berangkat.
            Tak ada rasa letih ketika kaki menjejak pelataran Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia, Minggu (9/3), setelah sembilan jam penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, dan masa penantian hampir enam jam saat transit di bandara setelah satu setengah jam terbang dari Banjarmasin.
            Tepat seperti digambarkan Agus Arianto dan Sugiannor dari Travellindo, saat manasik lima hari sebelum pergi, ujian pertama adalah kesabaran menghadapi para petugas imigrasi di Jeddah. Betul saja.
            Rombongan kami, 48 orang termasuk seorang balita dan beberapa orang yang sudah sepuh, tiga diantaranya bahkan harus dibantu kursi roda, setelah perjalanan sekian panjang itu masih harus menanti lagi sekitar tiga jam sebelum mendapat pelayanan petugas imigrasi. Itu pun dengan kualitas layanan yang terasa sangat lamban, seperti ogah-ogahan. Tapi kami mencoba memahami situasi mereka, yang sepanjang hari tanpa kenal lelah menerima tamu-tamu Allah dari berbagai penjuru dunia.
            Saya bisa membayangkan, ini pasti belum seberapa jika disbanding saat musim haji. Bersama rombongan lain yang satu pesawat, kami menghabiskan waktu untuk beristirahat. Sebagian diantaranya, sibuk bertransaksi dengan para penjaja kartu perdana provider setempat, Mobily, agar bisa segera berhubungan dengan sanak family di tanah air.
            Ini era informasi. Pulsa menjadi kebutuhan utama selain Sembilan bahan pokok. Di ruang tunggu terminal kedatangan, sebelum pemeriksaan imigrasi, setidaknya ada tiga pemuda yang sibuk menjajakan dan melayani para pelanggan yang ingin berganti kartu telepon seluler mereka. Kartu perdana seharga 40 riyal untuk paket seminggu, dijual 50 riyal !
            Persis seperti pedagang riyal yang sibuk melayani penukaran rupiah di ruang tunggu keberangkatan saat transit di Bandara Soekarno Hatta. Mereka melepas satu riyal seharga Rp.3.400.
            Sementara saat pulang sepekan kemudian, gerai penukaran uang di tempat yang sama mematok kurs Rp.2.800 untuk satu riyal yang tersisa dari Tanah Suci. Ya, riyal dan pulsa seolah jadi keniscayaan.
            Bahkan di dalam pesawat pun, disediakan layanan sambungan bagi mereka yang memerlukannya, tentu dengan tarif khusus internasional. Tak ada lagi batasan ruang dan waktu. Pada saat bersamaan, di ruang yang terpisah ribuan kilometer orang tetap dapat dengan mudah saling berhubungan.
            Komunikasi sudah jadi kebutuhan mutlak. Saat hendak berkomunikasi dengan Tuhan di rumah-Nya pun, manusia tak bisa terputus komunikasi dengan sesamanya. Ini sekaligus membuka peluang bisnis bagi mereka yang jeli membaca situasi, sebagaimana gairah menyempurnakan ibadah ke Tanah Suci juga membuka pasar yang demikian luas bagi para pebisnis jasa perjalanan wisata dan turunannya. Mulai dari para penyedia perlengkapan keperluan ibadah, hotel, jasa boga, tranportasi local, hingga jasa pemandu atau mutawwif.
            Dan, kepada pemandu pula saya pasrahkan segala kepapaan saya dalam tata-titi liturgy yang kemudian nanti dijalani selama di rumah Allah. Puji Tuhan, dua pemandu kami, Mas Imam dan Mas Nur sudah demikian profesional.
            Begitu lepas dari bandara, mereka menyambut dan melayani kami dengan telaten dan penuh perhatian, sampai kami tiba di Royal Dyar, hotel tempat menginap kami selama di Madinah, persis di seberang gerbang Masjid Nabawi.
            Subhanallah. Saya masih seperti mimpi saat menatap masjid itu dari gerbangnya sebelum beristirahat di hotel. Hati bergetar menatap kemegahannya dikeremangan malam dalam sejuknya sapuan angin gurun. Tanpa disadari, mata saya berkaca-kaca. Akhirnya tiba juga di masjid yang dulu hanya saya kenal lewat buku-buku dan tafsir berbagai referensi ini.
            Ya, hanya lewat referensi tekstual seperti itu, 26 tahun lalu atau pada 1988 saya menyusun naskah dan syair Balada Tahun Baru Hijriah untuk siaran nasional keagamaan lingkung seni Lingga Binangkit di TVRI. Satu diantara syair itu berjudul Madinatun Nabawi yang lagunya digubah Mutohar dan musiknya diaransemen oleh Purwatjaraka : Madinatun Nabawi, Madinatun Nabawi, Inilah kota Nabawi, Inilah Kota Nabi….!!
            Saat itu pun saya tak pernah berani bermimpi bahwa suatu saat akan menginjakkan kaki di Tanah Yastrib. Tanah yang menjadi tempat hijrah Sang Rasul Allah.***
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...