Oleh : Yusran Pare
Bersama rombongan Travellindo, Yusran
Pare dari Banjarmasin Post Group melaksanakan umrah pada 9-18 Maret 2014.
Berikut catatan pribadinya mengenai perjalanan tersebut.
Seperti mimpi. Setiap hari, ada saja
rombongan urang Banjar pergi umrah. Liturgi setahap dibawah ibadah haji ini,
seolah sesuatu yang amat biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi saya, tidak.
Hingga menulis catatan ini pun,
sensai keluarbiasaan pengalaman ini masih terasa. Saya masih belum yakin atas
apa yang tiba-tiba saya alami : Umrah.
Selain awam soal agama yang
tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk), saya pastilah bukan termasuk orang
saleh dan taat menjalankan syariat. Shalat saja masih belangbonteng. Puasa pun
mungkin cuma diganjar lapar. Ibadah lain ? Entahlah. Tiba-tiba saya diundang ke
Baitullah, Rumah Allah, dengan begitu mudah.
Ada rasa panik. Khawatir. Malah
takut. Apalagi mendengar kisah pribadi orang-orang yang pernah pergi ke Tanah
Suci. Bahwa, segalanya serbanyata disana. Semua tindak-tanduk, perkataan,
pikiran, langsung jadi kenyataan. Bahkan laku langkah kita sebelumnya, konon
akan dapat imbalan ‘kontan’ di Tanah Haram. Hadeh !!!
Orang-orang yang sudah
mendedikasikan dirinya sedemikian rupa dalam kehidupan keagamaan saja, masih
memerlukan dan melakukan aneka persiapan batiniah menjelang kepergian ke Tanah
Suci agar pelaksanaan ibadah mereka lancar dan sempurna. Apalagi yang sudah
menyiapkan diri melaksanakan niat ibadahnya. Lha, saya ? Do’a paling sederhana
pun mungkin tak sempurna kalau saya lafalkan.
Akhirnya saya renungkan kembali.
Pasrah sajalah. Ikhlas. Jalani saja yang harus dijalani. Dan, itulah yang
terjadi. Tanpa persiapan apapun yang terkait ibadah umrah, keculai sekali ikut
manasik ringkas, saya bulatkan tekad untuk berangkat.
Tak ada rasa letih ketika kaki
menjejak pelataran Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia, Minggu (9/3),
setelah sembilan jam penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang,
Banten, dan masa penantian hampir enam jam saat transit di bandara setelah satu
setengah jam terbang dari Banjarmasin.
Tepat seperti digambarkan Agus
Arianto dan Sugiannor dari Travellindo, saat manasik lima hari sebelum pergi,
ujian pertama adalah kesabaran menghadapi para petugas imigrasi di Jeddah.
Betul saja.
Rombongan kami, 48 orang termasuk
seorang balita dan beberapa orang yang sudah sepuh, tiga diantaranya bahkan
harus dibantu kursi roda, setelah perjalanan sekian panjang itu masih harus
menanti lagi sekitar tiga jam sebelum mendapat pelayanan petugas imigrasi. Itu
pun dengan kualitas layanan yang terasa sangat lamban, seperti ogah-ogahan.
Tapi kami mencoba memahami situasi mereka, yang sepanjang hari tanpa kenal
lelah menerima tamu-tamu Allah dari berbagai penjuru dunia.
Saya bisa membayangkan, ini pasti
belum seberapa jika disbanding saat musim haji. Bersama rombongan lain yang
satu pesawat, kami menghabiskan waktu untuk beristirahat. Sebagian diantaranya,
sibuk bertransaksi dengan para penjaja kartu perdana provider setempat, Mobily,
agar bisa segera berhubungan dengan sanak family di tanah air.
Ini era informasi. Pulsa menjadi
kebutuhan utama selain Sembilan bahan pokok. Di ruang tunggu terminal
kedatangan, sebelum pemeriksaan imigrasi, setidaknya ada tiga pemuda yang sibuk
menjajakan dan melayani para pelanggan yang ingin berganti kartu telepon
seluler mereka. Kartu perdana seharga 40 riyal untuk paket seminggu, dijual 50
riyal !
Persis seperti pedagang riyal yang
sibuk melayani penukaran rupiah di ruang tunggu keberangkatan saat transit di
Bandara Soekarno Hatta. Mereka melepas satu riyal seharga Rp.3.400.
Sementara saat pulang sepekan
kemudian, gerai penukaran uang di tempat yang sama mematok kurs Rp.2.800 untuk
satu riyal yang tersisa dari Tanah Suci. Ya, riyal dan pulsa seolah jadi
keniscayaan.
Bahkan di dalam pesawat pun,
disediakan layanan sambungan bagi mereka yang memerlukannya, tentu dengan tarif
khusus internasional. Tak ada lagi batasan ruang dan waktu. Pada saat bersamaan,
di ruang yang terpisah ribuan kilometer orang tetap dapat dengan mudah saling
berhubungan.
Komunikasi sudah jadi kebutuhan mutlak.
Saat hendak berkomunikasi dengan Tuhan di rumah-Nya pun, manusia tak bisa
terputus komunikasi dengan sesamanya. Ini sekaligus membuka peluang bisnis bagi
mereka yang jeli membaca situasi, sebagaimana gairah menyempurnakan ibadah ke
Tanah Suci juga membuka pasar yang demikian luas bagi para pebisnis jasa
perjalanan wisata dan turunannya. Mulai dari para penyedia perlengkapan
keperluan ibadah, hotel, jasa boga, tranportasi local, hingga jasa pemandu atau
mutawwif.
Dan, kepada pemandu pula saya
pasrahkan segala kepapaan saya dalam tata-titi liturgy yang kemudian nanti
dijalani selama di rumah Allah. Puji Tuhan, dua pemandu kami, Mas Imam dan Mas
Nur sudah demikian profesional.
Begitu lepas dari bandara, mereka
menyambut dan melayani kami dengan telaten dan penuh perhatian, sampai kami
tiba di Royal Dyar, hotel tempat menginap kami selama di Madinah, persis di
seberang gerbang Masjid Nabawi.
Subhanallah. Saya masih seperti
mimpi saat menatap masjid itu dari gerbangnya sebelum beristirahat di hotel.
Hati bergetar menatap kemegahannya dikeremangan malam dalam sejuknya sapuan
angin gurun. Tanpa disadari, mata saya berkaca-kaca. Akhirnya tiba juga di
masjid yang dulu hanya saya kenal lewat buku-buku dan tafsir berbagai referensi
ini.
Ya, hanya lewat referensi tekstual
seperti itu, 26 tahun lalu atau pada 1988 saya menyusun naskah dan syair Balada
Tahun Baru Hijriah untuk siaran nasional keagamaan lingkung seni Lingga
Binangkit di TVRI. Satu diantara syair itu berjudul Madinatun Nabawi yang
lagunya digubah Mutohar dan musiknya diaransemen oleh Purwatjaraka : Madinatun
Nabawi, Madinatun Nabawi, Inilah kota Nabawi, Inilah Kota Nabi….!!
Saat itu pun saya tak pernah berani
bermimpi bahwa suatu saat akan menginjakkan kaki di Tanah Yastrib. Tanah yang
menjadi tempat hijrah Sang Rasul Allah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar