Oleh : Yusran Pare
Bersama rombongan
Travellindo, Yusran Pare dari Banjarmasin Post Group melaksanakan umrah pada
9-18 Maret 2014. Berikut catatan pribadinya mengenai perjalanan tersebut.
Hari pertama di kota Nabi, tinggal tersisa beberapa jam saja setelah
perjalanan panjang dari Jakarta-Jeddah disambung Jeddah-Madinah. Pemandu
menyarankan kami beristirahat agar esok hari bisa memperbanyak ibadat di Masjid
Nabawi dan menziarahi situs-situs penting setelahnya. Di kamar hotel, saya dan
isteri baku tatap, masih mengherani diri, sama-sama merasa belum yakin berada
di bumi sang Nabi.
Ya, kami memang tak menduga bisa berangkat secepat ini. Sudah tiga atau
empat kali Pak Pangeran Rusdi Effendi AR, Pemimpin Umum Banjarmasin Post Group,
memberi saya kesempatan pergi umrah. Namun dengan berbagai dalih, terutama
karena merasa belum siap dan belum patut, saya selalu berhasil menghindar.
Tapi, kemarin itu tak bisa lagi menghindar. Dengan persiapan seadanya, kami pun
berangkat. Segalanya seolah serbamudah, serba tiba-tiba, serba mendadak.
Makanya kami masih terkaget-kaget.
“Awas, jangan terlambat bangun. Besok kita awali hari dengan shalat Subuh
disana…” isteri saya menyarankan sambil menoleh ke seberang jendela hotel. Daun
payung-payung peneduh yang merekah disinari lelampuan, jadi latar depan
menara-menara Masjid Nabawi yang malam itu tampak cemerlang menusuk langit.
Rasanya baru beberapa saat saja terlelap dalam tidur, ketika isteri
mengguncang-guncang tubuh saya. “Bangun….!!Kita terlambat….”katanya.Waduh. Dari
luar, terdengar azan mendayu. Indah. Isteri saya tampak masygul, seperti
menyesali saya yang terlalu lena tidur. Dia ingin sekali shalat Subuh berjamaah
di dalam Masjid Nabawi. Saya merasa bersalah. Bisa saja memaksakan diri
buru-buru berlari ke masjid, tapi pasti takkan dapat tempat. Paling di emperan,
di halaman.
Akhirnya, meski dengan penuh penyesalan dan seperti menyalahkan saya, dia
menerima saran kali ini shalat di kamar hotel saja. Kami pun berjamaah berdua.
Selesai shalat, berdo’a dan berzikir, saya lirik isteri saya mengusap airmata.
Menangis ! ‘Seumur kehidupan perkawinan kita, baru kali ini kamu imami
shalat….”ujarnya lirih. Astaga ! Betul juga. Untung remang. Kalau kamar itu benderang,
niscaya dia bisa melihat merah muka saya menahan malu.
Sedang saling merenungi ‘pertemuan aneh’ suami iateri ini, azan menggema.
Kali ini lebih tegas. Hah??? Kami saling tatap. Sama-sama heran. Lalu berdebat
mengenai keabsahan shalat kami barusan, sebab dipastikan belum masuk waktu
subuh. Dia bilang, mungkin tadi itu azan awal. Kata saya, belum tentu “kultur”
di Madinah memakai tata cara azan awal dan azan akhir, lalu iqamah penanda
masuk waktu shalat.
Selagi bincang-bincang itu, terdengar iqamah, panggilan untuk memulai
shalat. Dan, kami pun bangkit berdiri, memutuskan shalat kembali mengikuti saat
yang dipandu muazin dan imam Masjid Nabawi. “Trus, shalat kita tadi gimana ?
Sah nggak, ya ?”kata dia. Kami sama-sama tertawa menertawakan ketololan kami
berdua. Terserah lah, sah atau tidak, diterima atau tidak, hanya Allah yang
tahu.
Gairah beribadat di kalangan jamaah umrah terasa begitu menderu-deru
setiap saat. Satu jam sebelum tiba waktu shalat, orang sudah berbondong-bondong
mengalir memasuki Masjid Nabawi dari berbagai arah. Semua ingin memperoleh
tempat dibangunan utama, syukur kalau bisa dibaris paling depan yang menghadap
makam Rasululullah. Bagi saya, asal kebagian tempat di dalam gedung utama saja
sudah bersyukur, karena bisa menerobos kebaris depan itu bukan perkara mudah
jika umat sudah menyesaki setiap jengkal areal masjid.
Lagi pula, saya agak risih jika harus melintas di depan orang yang sedang
shalat. Jadi, amatlah tidak leluasa memilih tempat, karena di tiap jaur
persembahyangan, pasti ada saja orang yang sedang shalat. Nah, berbeda dengan
saudara-saudara kita dari negara-negara lain. Bagi mereka, tampaknya tatakrama
menghormati orang yang sedang shalat itu tidak begitu dikenal. Mereka enak saja
melintas di depan, dari samping, menyilang, di depan orang yang sedang shalat.
Bahkan, kakinya menyenggol orang yang sedang sujud seolah bukan masalah.
Saya menyaksikan, seorang anggota jamaah (emblemnya menunjukan dia dari
Jawa Tengah—kelihatannya tokoh sangat dihormati karena diiringi dan dilayani
dua orang yang lebih muda dengan penuh takzim) jadi tumpuan orang yang lewat.
Saat itu dia baru saja duduk setelah sujud pertama. Tiba-tiba dari sampingnya
seorang tinggi besar berkulit gelap menekan kepala dia, menjadikannya tumpuan
untuk bangkit berdiri. Kontan kedua pengawal tokoh tadi hendak beraksi, tapi si
kulit gelap sudah melangkah jauh ke tiga saf berikutnya, di depan.
Luar biasa, umat Islam diberbagai belahan bumi punya tata-cara dan
sopan-santun sendiri sesuai latar belakang kulturnya. Di masjid ini, di
keteduhan 27 kubah geser, dan dibawah kerindangan 105 payung
elektronik-rancangan Dr Bodo Rasch dari Jerman-yang memayungi seantero
pelataran terbuka, berlangsung pergelaran perbedaan tata cara bersembahyang.
Orang dari Iran, Turki, Afganistan, Indonesia, Bosnia, Uzbekistandan lain
sebagainya melaksanakan ibadah dengan cara masing-masing. Yang menyamakan
hanyalah kiblat, jumlah rakaat, dan ayat-ayat.
“Subhanallah. Itulah yang saya kagumi dan saya sukai setiap saat saya
berada di masjid Nabawi. Saya sengaja sering pergi sendiri, lepas dari
rombongan untuk blusukan sendiri di masjid, mendekati saudara-saudara dari
berbagai negara. Biasanya, saya melihat tata busananya dahulu, lalu berusaha
mengenali tanda-tanda darimana dia berasal. Oh, dari Bangladesh. O, dari
Albania. O, dari Malawi. O, dari Pakistan…dan seterusnya. Lalu saya perhatikan
tatacara shalat mereka.
Luar biasa, masjid ini menyatukan demikian banyak dan kompleksnya
perbedaan umat Islam. Tak ada klaim dari pihak manapun yang menyatakan dirinya
paling benar dan paling tepat melaksanakan liturgy. Tak ada yang memaksakan
bahwa pihaknyalah yang harus diikuti dan jadi panutan dan pusat kebenaran.
Semua melaksanakan shalat sesuai cara masing-masing, begitu saatnya tiba, tak
satu pun yang tidak menaati imam. Betapa indah dan mengagumkan demokrasi shalat
seperti ini.
Keanekaragaman, bersatu di masjid ini. Saya ingat ke kampung halaman.
Sering terjadi sebaliknya, kita masih suka meributkan hal-hal kecil terkait
praktek sembahyang. Atas nama keyakinan atas kebenaran, kita pun kadang memaksa
orang lain agar tunduk pada apa yang kita yakini. Jika tidak, kafirlah dia.
Astaga !! Di Tanah Sang nabi, tak ada hal semacam itu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar