Jumat, 28 Maret 2014

Romansa Gerbang Sembilan

Jum'at, 28 Maret 2014
Oleh : Yusran Pare

Tanggal 9-18 Maret 2014, Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post Group, Yusran Pare berziarah ke Tanah Suci bersama rombongan umrah Travellindo. Ini tulisan terakhir dari tiga catatan pribadinya mengenai Madinah. Nantikan catatan menarik tentang umrah dan Makkah mulai Senin (31/3) mendatang.

            Hari ketiga di Madinah, pikiran dan perasaan masih tertambat ke Masjid Nabawi. Ada semacam semangat untuk datang lebih awal ke dalam pelukan kenyamanan suasananya. Lima kali dalam sehari, shalat berjamaah di tengah keragaman penampilan dan tata cara, sungguh suatu kenikmatan tersendiri. Di luar itu, suasana masjid ini membuat saya-mungkin juga orang lain-betah berlama-lama berada di dalamnya.
            Ada rasa damai, aman, dan tenteram saat berada di dalam masjid ini. Deretan tiang menciptakan kesan lorong simetrik yang indah berkat ornament-ornamen yang menghiasinya. Di luar waktu shalat, bangunan seluas kira-kira 1.000 x 1.500 meter ini selalu menyediakan ruang nyaman untuk orang beri’tikaf, membaca kitab suci, belajar berdiskusi. Atau, ada yang sekadar berbaring, tiduran sambil menanti saat waktu shalat tiba.
            Begitu azan berkumandang, ribuan orang dari berbagai penjuru berdatangan. Begitu pula saya dan isteri. Kami selalu berusaha memburu kesempatan jangan sampai tak kebagian tempat di dalam masjid. Tempat shalat kaum perempuan, dipisahkan secara tegas dari kaum lelaki. Karena itu kami hanya bisa bersama dari hotel sampai memasuki gerbang.
            Di pelataran, kami berpisah. Dan nanti, selalu kami saling tunggu di tempat berpisah tadi. Siapa yang lebih dahulu tiba, dialah yang menanti pasangannya. Lucu juga. Seperti pasangan remaja yang janji ketemuan saat bolos sekolah.
            Biasanya, kami masuk dari rute paling dekat dari hotel, di gerbang Sembilan, persis di sebelah pusat perbelanjaan Bin Dawood. Subhanallah. Saya baru menyadari, betapa kami saling tergantung satu sama lain. Hampir tiga puluh tahun berumah tangga, tiga perempat dari kurun itu kami ‘habiskan’ dengan cara hidup terpisah karena saya bertugas di berbagai kota. Rupanya, dengan cara itu Tuhan mengingatkan tentang makna relasi diantara satu pasangan.
            Setiap habis dari Nabawi, selalu saja ada hal baru yang kami bicarakan mengenai masjid itu. Entah itu mengenai perilaku jamaah dari negara lain, entah soal tata ruang, kincir, lapisan emas pernak-pernik ornament tertentu dan sebagainya. Ta akan kehabisan topik untuk membahas masjid istimewa ini.
            Bagi saya pribadi, keindahan Masjid Nabawi itu terasa sebagai gabungan antara keindahan artificial dengan keindahan sejati yang hadir dari rekayasa rancang bangun dan tata arsitekutral, plus pemanfaatan teknologi tinggi.
            Suasana hari-harinya, juga merupakan paduan harmoni antara perkawinan tradisi local dengan teknologi tinggi, dan dengan tradisi asal masing-masing pendatang.
            Teknologi diterapkan dan dioptimalkan pemanfaatannya untuk membuat nyaman orang beribadat, di tempat bernilai sejarah tinggi. Saya membayangkan ruwetnya mengatur sistem tata air, tata cahaya, tata suara, kelistrikan dan unsur-unsur lainnya.
            Untuk mengatur 27 kubah geser (sliding dome)-nya saja tentu diperlukan sistem pengoperasian tersendiri yang mutlak harus memanfaatkan kecanggihan teknologi, sebagaimana mengatur kuncup kembangnya 105 payung raksasa berbahan khusus. Ada 12 kubah geser sayap kiri dan kanan dan 12 dibangunan sayap kanan. Tiga kubah lagi ditempatkan di sayap belakang bangunan utama Masjid Nabawi. Terlalu merepotkan jika pengoperasiannya hanya dilakukan secara manual.
            Itu perihal piranti modern yang digunakan, belum lagi benda paling berharga sepanjang manusia, yakni emas. Sangat boleh jadi, seluruh ornament penting di masjid ini dilapisi emas murni. Ada yang menyebutkan, sekitar enam ton emas murni digunakan untuk menghias masjid agung ini. Demikian pula pemanfaatan teknologi tata suara. Nyaris tanpa cela.
            “Kira-kira pengeras suara jenis apa yang dipakai disini ya ? Suaranya enak sekali, tidak membuat sakit telinga, tidak pecah,” ujar seorang rekan seperjalanan, saat kami duduk bersiap-siap menanti shalat. Ia mengarahkan tatapannya ke beberapa sudut pada bagian atas pilar-pilar masjid. Di beberapa tempat, tampak ada pengeras suara, namun bentuknya disesuaikan dengan karakter pilar itu sehingga tersamar. Juga dibeberapa sudut lain, bahkan pada tiang payung-payung raksasa di halaman dan di pelataran tengah.
            Betul. Saya pun baru menyadarinya. Suara yang dipancarkan ke seantero masjid ini demikian empuk. Bahkan di tempat tertentu di dalam masjid itu, suara tersebut terasa seperti datang dari dalam kepala kita sendiri. Demikian pula suara azan atau suara imam saat memimpin sembahyang. Pengeras suara yang dipasang di sepuluh menaranya mengantarkan suara yang lembut. Tinggi tapi empuk. Tidak kasar dan tidak membuat kuping sakit.
            Seorang dosen teknik fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah meneliti tata suara di Masjid Nabawi mengatakan masjid itu menggunakan sistem tata suara terbagi (tidak terpusat). Di masjid ini seluruh pengeras suara yang digunakan, merupakan tipe jangkauan penuh (full range) ukuran kecil. Alat ini dipasang ditiang-tiang masjid yang jumlahnya ribuan.
            Sedangkan area di halaman sekitar masjid yang dinaungi payung-payung yang bisa membuka dan menutup serta halaman atap, dipasok oleh pengeras suara kecil tipe horn.
            Untuk membantu kedalaman akustik, seluruh lantai masjid kecuali halaman luar dilapisi karpet tebal, yang sekaligus menyempurnakan peredaman suara.
            Puji Tuhan, pantas saja suara yang dihasilkan, dipancarkan dan digemakan dari Masjid Nabawi sangatlah indah dan enak didengar. Azan cukup dari satu masjid. Tidak adu nyaring antara satu masjid dengan masjid lain seperti di tanah air kita. Sangat boleh jadi, itulah yang membuat Nabawi menjadi masjid yang amat istimewa, tentu disamping Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.
            Satu Masjid Nabawi menyatukan umat sedunia. Mereka berhimpun dan larut dalam ibadat yang sama meski dalam tata cara yang berbeda. Sebaliknya, demikian banyak masjid di tanah air kita, di kampung halaman kita, yang justru memecah dan memisahkan umat ke dalam kelompok-kelompok kecil.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...