Minggu, 08 Desember 2019

Taman Itu Darmansyah Zauhidhie Namanya

Senin, 9 Desember 2019

Oleh : Burhanuddin Soebely

(Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Budaya GERBANG belasan tahun lalu. Namun rintihan yang disuarakan di dalamnya masih sangat relevan hingga saat ini, yaitu dunia kesenian di Kandangan. Khususnya lagi dunia sastra, dunia hunian sastrawan kebanggan yang pernah dimiliki Kandangan; Darmansyah Zauhidhie dan Burhanuddin Soebely -- sekadar menyebut sejumlah nama. Di tengah lesunya perkembangan sastra -- dan beberapa kesenian lainnya di Kandangan saat ini, alangkah eloknya para sastrawan, seniman, Dewan Kesenian HSS, Pemangku Kebijakan dan siapa pun yang peduli untuk selalu bergandeng tangan mengurai buhul pungkala seperti yang disuarakan dalam tulisan ini).

“SETIAP hidup yang terputus adalah sekaligus sebuah piringan hitam yang pecah dan sebuah kehidupan yang lengkap” tulis Jean Paul Sartre ketika Albert Camus meninggal dalam kecelakaan mobil. Kalimat Sartre di tahun 1960 itu layakkah pula untuk disuntingkan buat almarhum Darmansyah Zauhidhie, sang penyair yang sampai akhir hayatnya demikian setia mengibarkan panji-panji dunia kesenian Kandangan di berbagai forum Nasional?

Jawabnya: entahlah! Yang jelas, jelang paro siang 1 Desember 1987, Gubernur Kalimantan selatan – di ujung peringatan Hari Jadi ke-37 Kabupaten Hulu Sungai Selatan membubuhkan tanda tangannya di sebuah prasasti. Seputar lapangan Lambung Mangkurat Kandangan riuh oleh tepukan, dan resmilah sudah monumen itu bernama monumen Darmansyah Zauhidhie.

Monumen di tengah taman kecil di bilangan jalan Ahmad Yani itu barangkali tidaklah terlalu “berbau” kesenian. Bentuknya seperti tugu yang di atasnya berbentuk gulungan kertas terbuka bertuliskan puisi ‘Kandangan Kotaku Manis’-nya D. Zauhidhie yang seluruhnya memakai huruf-huruf kapital – sesuatu yang tak lazim dalam penulisan puisi, apalagi puisi D. Zauhidhie. Di dekatnya ada sebuah botol tinta dengan sebuah dawat bulu. Di belakangnya ada bentuk seperti gunung batu dengan dua buah gua yang ditembusi dua buah jembatan.

Kendatipun demikian, menatap sebuah taman tidaklah senantiasa berurusan dengan soal artistika atau estetika semata, tidak pula harus bersinggungan dengan soa kehijauan maupun keteduhan. Kadang-kadang ada bentuk suasana aneh yang sukar dimengerti ujung pangkalnya – sesuatu yang menganyam imajinasi.

Dilihat dari namanya maka barangkali taman dan monument itu merupakan harga bagi kesetiaan dalam menggeluti dunia kesenian, prestasi, dan kreativitas seorang D. Zauhidhie sebagaimana yang dikehendaki oleh kalangan seniman Kalimantan Selatan pada saat haul D. Zauhidhe beberapa tahun lalu. Sebuah usulan yang telah direalisasikan oleh Pemda setempat.

Bagi anak-anak kecil taman itu menjadi wadah bermain-main. Bagi sebagian orang taman itu mungkin cuma jadi penghias kota. Tapi bagi kalangan seniman tentulah taman itu berbicara lebih jauh lagi. Ia tidak sekedar menjadi benang kenangan, tidak pula sekadar salah satu tonggak keemasan dunia kesenian Kandangan, sebab pada hakikatnya di sana tersimpan sebuah dunia, dunia tinggalan D. Zauhidhie yang memanggil-manggil minta dijaga sekaligus menantang untuk digeluti dan diestafetkan.

Berbicara tentang panggilan dan tantangan maka orang pun mau tak mau berbicara tentang dunia kesenian Kandangan sepeninggal Darmansyah Zauhidhie, berbicara tentang masa kini dan akan datang. Sebab pemikiran tidaklah terpaku pada tonggak dan kebesaran D. Zauhidhie semata, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan atau mengembangkan Darmansyah Zauhidhie-Darmansyah Zauhidhie baru yang mampu menyambut serta meneruskan estafet.

Masa lalu memang indah dan hebat. Tapi masa lalu juga seakan mengejek kekinian. Jarum waktu enggan berbagi, dikuburnyalah sekian banyak nama. Maseri Matali, Masroen Effendi, Mansyah Noor Efendi, H. Adusyah, Gafuri Arsyad dan sekian nama lagi telah berpulang. Panji-panji dunia kesenian Kandangan yang mereka kibarkan seakan menjerit karena tali ikatannya mulai lapuk dan terancam untuk gugur kembali ke dasar tiang.

Apabila kibar panji itu telah gugur tentulah diperlukan banyak waktu, usaha dan pengorbanan untuk menaikkan dan mengibarkannya kembali. Keterlambatan regenerasi dan miskinnya perhatian akan menjadi sebab yang pasti. Sanggar “Balahindang” telah membuktikannya. Kelompok “Pandawa Lima” juga telah membuktikannya.

Pertanyaan tentu saja: “haruskan hal semacam ini terulang lagi untuk generasi berikutnya…?”
Selama beberapa tahun ini Kandangan agaknya telah mencoba mengambil ancang-ancang ke arah itu. Pada pameran pembangunan yang dilaksanakan setiap bulan Oktober, dibukalah suatu forum berupa Pagelaran Paket Seni dari anak-anak sekolah. Sekian ratus siswa terjun ke dunia kesenian, keluar dari dinding sekolah, dan menggeluti dunia tinggalan D. Zauhidhie itu dengan penuh hati.

Minimal 10 drama digelar, 10 karya tari dipanggungkan, 10 kelompok vokal mendendangkan suara, sekian puluh pembaca puisi tampil. Sebuan forum yang barangkali bisa dikatakan sebagai “Pekan Kesenian”-nya Kandangan.

Menatap aktivitas itu orang agaknya harus melepas dahulu persoalan bobot atau kualitas, tetapi lebih memfokuskan pada soal terciptanya iklim berkesenian – sesuatu yang amat dibanggakan dan diharapkan kehadirannya dalam dunia kesenian di mana pun.

Sayangnya, forum itu kadang luput dari tangkapan orang, pertanda itu lepas dari tatapan orang-orang, juga kalangan senimannya. Forum itu tak menimbulkan gema lebih jauh. Orang-orang di Dewan Kesenian dan Organisasi Seniman Profesi seakan tidak memanfaatkannya sebagai langkah awal dalam “pembinaan dan pengembangan kesenian” – kata yang konon kesohor di tiap mimbar.

Orang sepertinya tak menangkap suara dari “lembah” yang membutuhkan uluran tangan para seniman dalam membina dan mengembangkan lebih jauh potensi yang dipunya para siswa itu. Orang sepertinya tak mendengar suara lirih dan sekian mulut yang memerlukan pengasahan serta penyaluran bakat maupun kreativitas.

Kandangan sebenarnya punya perangkat untuk semua itu. Sebagaimana kota-kota lain, Kandangan juga punya Dewan Kesenian, punya Organisasi Seniman Profesi, punya seniman-seniman piawai di bidang Tari, Musik, Teater, Lukis, Sastra. Waktu cukup terbuka. Iklim cukup menunjang. Semangat dan kegairahan orang muda berada di atas rata-rata. Lalu, apa yang kurang, saudara?

Ah, taman Kandangan itu bernama Darmansyah Zauhidhie. Di dalamnya ada sebuah dunia. dunia piringan hitam yang pecah kah ia?

Selamat siang, matahari telah tinggi!

Sumber : Akun facebook Aliman Syahrani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...