Oleh : Burhanuddin Soebely
(Tulisan
ini pernah diterbitkan di Tabloid Budaya GERBANG belasan tahun lalu. Namun
rintihan yang disuarakan di dalamnya masih sangat relevan hingga saat ini,
yaitu dunia kesenian di Kandangan. Khususnya lagi dunia sastra, dunia hunian
sastrawan kebanggan yang pernah dimiliki Kandangan; Darmansyah Zauhidhie dan
Burhanuddin Soebely -- sekadar menyebut sejumlah nama. Di tengah lesunya
perkembangan sastra -- dan beberapa kesenian lainnya di Kandangan saat ini,
alangkah eloknya para sastrawan, seniman, Dewan Kesenian HSS, Pemangku
Kebijakan dan siapa pun yang peduli untuk selalu bergandeng tangan mengurai
buhul pungkala seperti yang disuarakan dalam tulisan ini).
“SETIAP
hidup yang terputus adalah sekaligus sebuah piringan hitam yang pecah dan
sebuah kehidupan yang lengkap” tulis Jean Paul Sartre ketika Albert Camus meninggal
dalam kecelakaan mobil. Kalimat Sartre di tahun 1960 itu layakkah pula untuk
disuntingkan buat almarhum Darmansyah Zauhidhie, sang penyair yang sampai akhir
hayatnya demikian setia mengibarkan panji-panji dunia kesenian Kandangan di
berbagai forum Nasional?
Jawabnya:
entahlah! Yang jelas, jelang paro siang 1 Desember 1987, Gubernur Kalimantan
selatan – di ujung peringatan Hari Jadi ke-37 Kabupaten Hulu Sungai Selatan
membubuhkan tanda tangannya di sebuah prasasti. Seputar lapangan Lambung
Mangkurat Kandangan riuh oleh tepukan, dan resmilah sudah monumen itu bernama
monumen Darmansyah Zauhidhie.
Monumen
di tengah taman kecil di bilangan jalan Ahmad Yani itu barangkali tidaklah
terlalu “berbau” kesenian. Bentuknya seperti tugu yang di atasnya berbentuk
gulungan kertas terbuka bertuliskan puisi ‘Kandangan Kotaku Manis’-nya D.
Zauhidhie yang seluruhnya memakai huruf-huruf kapital – sesuatu yang tak lazim
dalam penulisan puisi, apalagi puisi D. Zauhidhie. Di dekatnya ada sebuah botol
tinta dengan sebuah dawat bulu. Di belakangnya ada bentuk seperti gunung batu
dengan dua buah gua yang ditembusi dua buah jembatan.
Kendatipun
demikian, menatap sebuah taman tidaklah senantiasa berurusan dengan soal
artistika atau estetika semata, tidak pula harus bersinggungan dengan soa
kehijauan maupun keteduhan. Kadang-kadang ada bentuk suasana aneh yang sukar
dimengerti ujung pangkalnya – sesuatu yang menganyam imajinasi.
Dilihat
dari namanya maka barangkali taman dan monument itu merupakan harga bagi
kesetiaan dalam menggeluti dunia kesenian, prestasi, dan kreativitas seorang D.
Zauhidhie sebagaimana yang dikehendaki oleh kalangan seniman Kalimantan Selatan
pada saat haul D. Zauhidhe beberapa tahun lalu. Sebuah usulan yang telah
direalisasikan oleh Pemda setempat.
Bagi
anak-anak kecil taman itu menjadi wadah bermain-main. Bagi sebagian orang taman
itu mungkin cuma jadi penghias kota. Tapi bagi kalangan seniman tentulah taman
itu berbicara lebih jauh lagi. Ia tidak sekedar menjadi benang kenangan, tidak
pula sekadar salah satu tonggak keemasan dunia kesenian Kandangan, sebab pada
hakikatnya di sana tersimpan sebuah dunia, dunia tinggalan D. Zauhidhie yang
memanggil-manggil minta dijaga sekaligus menantang untuk digeluti dan
diestafetkan.
Berbicara
tentang panggilan dan tantangan maka orang pun mau tak mau berbicara tentang
dunia kesenian Kandangan sepeninggal Darmansyah Zauhidhie, berbicara tentang
masa kini dan akan datang. Sebab pemikiran tidaklah terpaku pada tonggak dan
kebesaran D. Zauhidhie semata, tetapi juga tentang bagaimana menciptakan atau
mengembangkan Darmansyah Zauhidhie-Darmansyah Zauhidhie baru yang mampu
menyambut serta meneruskan estafet.
Masa
lalu memang indah dan hebat. Tapi masa lalu juga seakan mengejek kekinian.
Jarum waktu enggan berbagi, dikuburnyalah sekian banyak nama. Maseri Matali,
Masroen Effendi, Mansyah Noor Efendi, H. Adusyah, Gafuri Arsyad dan sekian nama
lagi telah berpulang. Panji-panji dunia kesenian Kandangan yang mereka kibarkan
seakan menjerit karena tali ikatannya mulai lapuk dan terancam untuk gugur
kembali ke dasar tiang.
Apabila
kibar panji itu telah gugur tentulah diperlukan banyak waktu, usaha dan
pengorbanan untuk menaikkan dan mengibarkannya kembali. Keterlambatan
regenerasi dan miskinnya perhatian akan menjadi sebab yang pasti. Sanggar
“Balahindang” telah membuktikannya. Kelompok “Pandawa Lima” juga telah
membuktikannya.
Pertanyaan
tentu saja: “haruskan hal semacam ini terulang lagi untuk generasi
berikutnya…?”
Selama
beberapa tahun ini Kandangan agaknya telah mencoba mengambil ancang-ancang ke
arah itu. Pada pameran pembangunan yang dilaksanakan setiap bulan Oktober,
dibukalah suatu forum berupa Pagelaran Paket Seni dari anak-anak sekolah.
Sekian ratus siswa terjun ke dunia kesenian, keluar dari dinding sekolah, dan
menggeluti dunia tinggalan D. Zauhidhie itu dengan penuh hati.
Minimal
10 drama digelar, 10 karya tari dipanggungkan, 10 kelompok vokal mendendangkan
suara, sekian puluh pembaca puisi tampil. Sebuan forum yang barangkali bisa
dikatakan sebagai “Pekan Kesenian”-nya Kandangan.
Menatap
aktivitas itu orang agaknya harus melepas dahulu persoalan bobot atau kualitas,
tetapi lebih memfokuskan pada soal terciptanya iklim berkesenian – sesuatu yang
amat dibanggakan dan diharapkan kehadirannya dalam dunia kesenian di mana pun.
Sayangnya,
forum itu kadang luput dari tangkapan orang, pertanda itu lepas dari tatapan
orang-orang, juga kalangan senimannya. Forum itu tak menimbulkan gema lebih
jauh. Orang-orang di Dewan Kesenian dan Organisasi Seniman Profesi seakan tidak
memanfaatkannya sebagai langkah awal dalam “pembinaan dan pengembangan
kesenian” – kata yang konon kesohor di tiap mimbar.
Orang
sepertinya tak menangkap suara dari “lembah” yang membutuhkan uluran tangan
para seniman dalam membina dan mengembangkan lebih jauh potensi yang dipunya
para siswa itu. Orang sepertinya tak mendengar suara lirih dan sekian mulut
yang memerlukan pengasahan serta penyaluran bakat maupun kreativitas.
Kandangan
sebenarnya punya perangkat untuk semua itu. Sebagaimana kota-kota lain,
Kandangan juga punya Dewan Kesenian, punya Organisasi Seniman Profesi, punya
seniman-seniman piawai di bidang Tari, Musik, Teater, Lukis, Sastra. Waktu
cukup terbuka. Iklim cukup menunjang. Semangat dan kegairahan orang muda berada
di atas rata-rata. Lalu, apa yang kurang, saudara?
Ah,
taman Kandangan itu bernama Darmansyah Zauhidhie. Di dalamnya ada sebuah dunia.
dunia piringan hitam yang pecah kah ia?
Selamat
siang, matahari telah tinggi!
Sumber
: Akun facebook Aliman Syahrani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar