Mengirim Surat
Aku telah menelusuri lorong-lorong
beraroma beku yang kau sebut hati itu. Menyeduh panas dengan bait-bait yang
bagimu tak pernah genap. Takdir selalu tersurat, katamu. Dan takdir kita adalah
temu yang bernafaskan sekat.
Itu tak masalah, bagiku.
: aku akan menyurati takdir.
: aku akan menyurati takdir.
Belajar
Lewat sayup-sayup rahasiamu, kau
akan belajar mencintai segalanya. Kau akan mencintai petir, getir, juga
setangkai bunga kamboja yang menua di sela-sela kisut rumahmu. Kau akan
merayakan sakit, mensyukuri sedih, dan gempita menyambut oditur yang membawa
surat berstempel takdir.
Kau akan mencintai kematian.
Menjadi Perspektif
Surat cinta boleh ditulis oleh jari
di deretan tuts-tuts piano yang kehilangan nada
Surat cinta boleh ditulis oleh bahasa yang setia mengkhianati aksara
Surat cinta boleh ditulis oleh arah yang kehilangan peta
Surat cinta boleh ditulis oleh penyair yang tidak bisa membedakan tinta dengan airmata
Surat cinta boleh ditulis oleh hati yang tidak pernah merasakan cinta
Surat cinta boleh ditulis oleh bahasa yang setia mengkhianati aksara
Surat cinta boleh ditulis oleh arah yang kehilangan peta
Surat cinta boleh ditulis oleh penyair yang tidak bisa membedakan tinta dengan airmata
Surat cinta boleh ditulis oleh hati yang tidak pernah merasakan cinta
Maka dari itu, aku ingin menjadi
surat cinta.
Tidak. Aku ingin menjadi perspektif.
Tidak. Aku ingin menjadi perspektif.
Saksi Mata
Kata laut tadi pagi, kau menjelma
saksi buta pembunuhan seorang nahkoda. Tragis, nahkoda mati dengan senyum
setengah tangis. Ditemukan guratan luka di lehernya, berwarna merah, dengan
pemandangan musim gugur yang kau suka. Tak ditemukan barang bukti apa pun,
hanya bayang-bayangmu yang tak tanggal walau matahari telah menenggelamkan
diri.
Aneh.
Apa kau tahu siapa pelakunya?
Aneh.
Apa kau tahu siapa pelakunya?
Kepada Abadi
Aku ingin melabuhkan lekuk-lekuk
lapukmu,
di dasar pagi yang kalah perang.
Aku ingin melarungkan kutukan ayat-ayat tuamu,
di dalam takbir yang gelisah.
Aku ingin menjelma entinem tanpa majasmu,
di headline surat kabar yang kehabisan tinta.
Aku ingin menghidupkan kematianmu,
di tangkai teratai yang membenci air.
di dasar pagi yang kalah perang.
Aku ingin melarungkan kutukan ayat-ayat tuamu,
di dalam takbir yang gelisah.
Aku ingin menjelma entinem tanpa majasmu,
di headline surat kabar yang kehabisan tinta.
Aku ingin menghidupkan kematianmu,
di tangkai teratai yang membenci air.
Aku Tidak Pernah
Aku tidak pernah mengajarimu
menangis
Aku hanya tidak bilang, mata pisau adalah tabu,
apalagi untuk hatimu yang ragu.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, berhati-hatilah dengan duri,
ikan-ikan kini tak tahu diri.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, membunuh bayang-bayang
sama sulitnya dengan menolak kenangan.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, jangan terlalu lama memelihara sepi,
bahkan hati sekokoh baja itu bisa teriris.
Aku hanya tidak bilang, mata pisau adalah tabu,
apalagi untuk hatimu yang ragu.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, berhati-hatilah dengan duri,
ikan-ikan kini tak tahu diri.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, membunuh bayang-bayang
sama sulitnya dengan menolak kenangan.
Aku tidak pernah mengajarimu menangis
Aku hanya tidak bilang, jangan terlalu lama memelihara sepi,
bahkan hati sekokoh baja itu bisa teriris.
Nabila Cahyawati Santosa, alumnus SMP Negeri 6 Yogyakarta, dan kini siswi SMA Negeri
9 Yogyakarta, Jalan Sagan 1, Yogyakarta. Puisi- puisinya bisa dilihat di
blognya: nblcs.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar