Data buku kumpulan puisi
Judul : Aku Ingin Jadi Peluru
Penulis : Wiji Thukul
Cetakan : I, Juni 2000
Penerbit : IndonesiaTera, Magelang. Diterbitkan atas bantuan
Perwakilan KITLV di Indonesia (Koninklijk Instituut voor Taal -, Land-en
Volkenkunde)
Editor : Dorothea Rosa Herliany
Ilustrasi sampul : Sudwinarno (Duweck)
Disain Sampul : M. Iqbal Azcha
ISBN : 979-9375-07-X
Tebal : xix + 176 halaman
Esai pengantar : Munir, SH
Hanya
satu kata, lawan!
Kalimat pendek itu lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul. Ia telah menemukan api
bagi sebuah simbol perlawanan (Munir)
Buku ini memuat 5
kumpulan puisi, yaitu Lingkungan Kita Si Mulut Besar (46 puisi), Ketika
Rakyat Pergi (16 puisi), Darman dan Lain-lain (16 puisi), Puisi
Pelo (29 puisi), dan Baju Loak Sobek Pundaknya (28 puisi)
Beberapa pilihan
puisi Wiji Thukul dalam Ketika Rakyat Pergi
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa
pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka
putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya
sendiri
penguasa harus
waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak
berani mengeluh
itu artinya sudah
gawat
dan bila omongan
penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti
terancam
apabila usul ditolak
tanpa ditimbang
suara dibungkam
kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan
mengganggu keamanan
maka hanya ada satu
kata: lawan!
Solo, 1986
Dalam Kamar 6 x 7 Meter
mimpi-mimpi bagusku
kubunuh dengan kenyataan
tinggal tubuh kurus
kering dan cericit tikus
ketika kuterbaring
tidur di tikar dan bantal
yang banyak
bangsatnya
tak seluruh
mimpi-mimpi itu sirna
tersisa juga yang
sederhana:
alangkah bahagia aku
andai sudah bisa beli
minyak tanah dan
menyalakan lampu teplok
lalu membaca buku
sampai malam larut dan menulis
alangkah bahagia aku andai
sudah beli kompor
dan masak supermi
ketika lapar
alangkah bahagia aku
andai sudah bisa menggaji ibu
membeli baju baru
bagi adik-adik ketika lebaran
rokok buat bapak dan
lain-lain
lapar memang
memalukan!
(tiba-tiba aku
mendengar jutaan nyawa saudaraku yang
karena lapar menjadi
copet, lonte dan gelandangan
tiba-tiba aku merasa
lebih kaya tinimbang mereka
rumah punya, nyewa
tak apa
makan bisa hutang
kiri-kanan
minum tersedia air
sumur umum).
justru hari inilah
ketika aku lapar
sendiri dalam kamar 6 x 7 meter
di sini ini
aku bersyukur masih
sempat nulis puisi
aku bersyukur masih
sempat nulis puisi
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka
membangun
rumah dan merampas
tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka
membangun
jalan raya dan pagar
besi
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang
dirontokkan di bumi
kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok
itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan
tumbuh bersama
dengan keyakinan:
engkau harus hancur!
di dalam keyakinan
kami
di mana pun – tiran
harus tumbang!
Solo, 87-88
Beberapa pilihan
puisi Wiji Thukul dalam Baju Loak Sobek Pundaknya
Puisi Sikap
maumu mulutmu bicara
terus
tapi tuli telingamu
tak mau mendengar
maumu aku ini jadi
pendengar terus
bisu
kamu memang punya
tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi
nanti
setelah kehidupan ini
maka aku kuceritakan
kepada semua makhluk
bahwa sepanjang
umurku dulu
telah kuletakkan rasa
takut itu di tumitku
dan kuhabiskan
hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim
24 januari 97
Gentong Kosong
parit susut
tanah kerontang
langit mengkilau
perak
matahari
menggosongkan pipi
gentong kosong
beras segelas cuma
masak apa kita hari
ini
pakis-pakis hijau
bawang putih dan
garam
kepadamu kami
berterima kasih
atas jawabanmu
pada sang lapar hari
ini
gentong kosong
airmu kering
ciduk jatuh
bergelontang
minum apa hari ini
sungai-sungai pinggir
hutan
yang menolong di
panas terik
dan kalian
pucuk-pucuk muda daun pohon karet
yang mendidih bersama
ikan teri di panci
jadilah tenaga hidup
kami hari ini
dengan iris-irisan
ubi keladi
yang digoreng dengan
minyak
persediaan terakhir
kami
gentong kosong
botol kosong
marilah menyanyi
merayakan hidup ini
6 Januari 97
Nonton Harga
ayo
keluar kita keliling
kota
tak perlu ongkos tak
perlu biaya
masuk toko
perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel pisang rambutan
atau anggur
ayo
kita bisa mencium
baunya
mengumbar hidung
cuma-cuma
tak perlu ongkos tak
perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pengin lihat
orang cantik
di kota kita banyak
gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar
telinga cuma-cuma
mendengarkan detak
musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi
luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian
hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis
ternama dari ibukota
lihat
mobil para tamu
berderet-deret
satu kilometer
panjangnya
kota kita memang
makin megah dan kaya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan
kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan
tangkapan
siap dijual di
pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
18 Nopember 96
Baju Loak Sobek Pundaknya
siang tadi aku beli
baju
harganya murah
harganya murah bojoku
di pedagang loak
di pedagang loak
bojoku
pundaknya sedikit
sobek
sedikit sobek bojoku
bisa dijahit tapi
nanti akan kubeli
benang
akan kubeli jarum
untuk menjahit bajumu
bojoku
untukmu bojoku
baju itu untukmu
tadi siang kucuci
baju itu
kucuci bojoku
tapi aku bimbang
aku bimbang bojoku
kutitip ke kawan
atau kubawa sendiri
nanti kalau aku
pulang
kalau aku pulang
bojoku
karena sekarang aku
buron
diburu penguasa
karena aku berorganisasi
karena aku
berorganisasi bojoku
baju itu kulipat
bojoku
di bawah bantal
tak ada setrika
bojoku
tak ada setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju ini
untukmu bojoku
22 Januari 96
Tujuan Kita Satu Ibu
kutundukkan kepalaku
bersama rakyatmu yang
berkabung
bagimu yang bertahan
di hutan
dan terbunuh di
gunung
di timur sana
di hati rakyatmu
tersebut namamu
selalu
di hatiku
aku penyair
mendirikan tugu
meneruskan pekik
salammu
a
luta continua
kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang
dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos
dan lulus ujian
ujian pertama yang
mengguncang
kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-ibu
hukum yang bisu
telah merampas hak
anakmu
tapi bukan cuma
anakmu ibu
yang diburu dianiaya
difitnah
dan diadili di
pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun
anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:
pembebasan!
kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian
para korban
sebab hanya kepadamu
kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku
membungkuk
aku selalu tegak
4 juli 1997
Catatan
gerimis menderas
tengah malam ini
dingin dari telapak
kaki hingga ke sendi-sendi
dalam sunyi hati
menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium
anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya
(terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka
saat terjaga
aku tak ada (seminggu
sesudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih
panjang dari yang kalian harapkan!)
dada mengepal
perasaan
waktu itu
cuma terbisik
beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak
terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
genap ½ tahun aku
pergi
aku masih bisa
merasakan
bergegasnya pukulan
jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
aku pasti pulang
mungkin tengah malam
dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
aku pasti pulang dan
pasti pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah
diinjak!
kalau kelak anak-anak
bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi
pahlawan
tapi dipaksa menjadi
penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk
merampok
haknya
yang dirampas dan
dicuri
15 januari 97
Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan artis
pembuat berita
tapi aku memang
selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan
berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku
diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan
rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang
dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu
menagih
padaku ia selalu
berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum
binasa
18 juni 97
Beberapa pilihan
puisi Wiji Thukul dalam Lingkungan Kita Si Mulut Besar
Kuburan Purwoloyo
di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya
tergusur
di tanah ini
terkubur orang-orang
yang
sepanjang hidupnya
memburuh
terhisap dan
menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap
Pemilu
terbaring
dan keadilan masih
saja hanya janji
di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum
berubah!
jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 88
Suti
Suti tidak pergi
kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak
ke mana-mana
Suti tidak ke rumah
sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya
menggelegar suara mesin
kuyu matanya
membayangkan
buruh-buruh yang
berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya
sendiri
tubuhnya makin susut
saja
makin kurus menonjol
tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun
dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak
paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali
menggemuruh
bayangan kawannya
bermunculan
Suti menggelengkan
kepala
tahu mereka dibayar
murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep
dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27 februari 88
Tong Potong Roti*
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini datang gantinya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
bagi-bagi tanahnya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
siapa beli gunungnya
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini indonesia
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini siapa yang punya
solo, kalangan, april 89
* diilhami sebuah tembang rakyat dari Madura
Apa yang Berharga dari Puisiku
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau adikku tak
berangkat sekolah
karena belum membayar
SPP
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau becak bapakku
tiba-tiba rusak
Jika nasi harus
dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan
tidak ada?
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau bapak
bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak
terdesak oleh bis kota
Kalau bis kota lebih
murah siapa yang salah?
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau ibu dijiret
utang?
Kalau tetangga dijiret
utang?
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau kami terdesak
mendirikan rumah
Di tanah-tanah
pinggir selokan
Sementara harga tanah
semakin mahal
Kami tak mampu
membeli
Salah siapa kalau
kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga
dari puisiku
Kalau orang sakit mati
di rumah
Karena rumah sakit
yang mahal?
Apa yang berharga
dari puisiku
Yang kutulis makan
waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa
kuberikan dalam kemiskinan
Yang menjiret
kami?
Apa yang telah
kuberikan
Kalau penonton baca
puisi memberi keplokan
Apa yang telah
kuberikan
Apa yang telah
kuberikan?
Semarang, 6 maret 86
Catatan Hari Ini
aku nganggur lagi
semalam ibu tidur di
kursi
jam dua lebih aku
menulis puisi
aku duduk menghadap
meja
ibu kelap-kelip
matanya ngitung utang
jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan
sepiring
lalu mandi tanpa
sabun
tadi siang ibu tanya
padaku:
kapan ada uang?
jam setengah tujuh
malam
aku berangkat latihan
teater
apakah seni bisa
memperbaiki hidup?
Solo, juni 86
Catatan Suram
kucing hitam jalan
pelan
meloncat turun dari
atap
tiga orang muncul
dalam gelap
sembunyi menggenggam
besi
kucing hitam jalan
pelan-pelan
diikuti bayang-bayang
ketika sampai di
mulut gang
tiga orang menggeram
melepaskan pukulan
bulan disaput awan
meremang
saksikan perayaan
kemiskinan
daging kucing pindah
ke perut orang!
Solo, 1987
Beberapa pilihan
puisi Wiji Thukul dalam Darman dan Lain-lain
Darman
desa yang tandus
ditinggalkannya
kota yang ganas
mendupak nasibnya
tetapi dia lelaki
perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki
perkasa
masa remaja belum
habis direguknya
Tukini setia
terlanjur jadi bininya
kini Darman
digantungi lima nyawa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak
akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis
anak-anaknya
tidak bisa menulikan
telinga
lelaki, ya Darman
kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan
ke dalam penjara
Tukini setia
menangisi keperkasaannya
ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang
belum lunas sewanya
di amben bambu
wanita itu tersedu
sulungnya terbaring
diserang kolera
Tukini yang hamil
buncit perutnya
nyawa di kandungan
anak kelima
Kota ini Milik Kalian
di belakang
gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di
mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun
sewaktu kalian mau
jika kedinginan
karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari
hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur
dekat kompor penggorengan
bakmi ayam dan babi
denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping
sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang
kalian bisa mandi
kapan saja
sungai itu milik
kalian
kalian bisa cuci
badan dengan limbah-limbah industri
apa belum cukup
terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup
nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung
tembok pagar besi itu jangan!
Beberapa pilihan
puisi Wiji Thukul dalam Puisi Pelo
Sajak Tiga Bait
kepada: kun
yang gelisah
mengajakku pulang
aku tahu aku tak
sendirian
sesenyap apa di mana
pun
ada yang mengajak
berhenti ketika lari
ada yang mengajak
bicara ketika diam
ada yang mengajak
terbahak ketika bungkam
ada yang mengajak
jaga ketika tidur
aku tak tahu siapa
namamu
yang mengajakku
pulang
dengan suara rindu
bapa pada anaknya
yang membuatku
tersedu
di tengah jalan yang
panjang dan remang
Tentang Sebuah
Gerakan
tadinya aku pengin
bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh
tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari
sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan
baju
untuk menutup
kemaluanku
aku berpikir tentang
gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
1989
Otobiografi
tak pernah selesai
pertarungan menjadi manusia
tak pernah terurai
pertarungan menjadi rahasia
adalah buku lapar arti
tipis segara habis
diburu kubur-kubur waktu
hari-hari pun sajak
menagih kata
kata-kata pun
ketagihan jiwa
dalam sebuah buku
lembar-lembar berguguran
tak seperti bunga
tetap kita sirami di taman-Mu ini
Aku Dilahirkan di
Sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai
aku dilahirkan di
sebuah pesta yang tak pernah selesai
selalu saja ada yang
datang dan pergi hingga hari ini
ada bunga putih dan
ungu dekat jendela di mana
mereka dapat
memandang dan
merasakan kesedihan dan kebahagiaan
tak ada menjadi
miliknya
ada potret penuh
debu, potret mereka yang pernah hadir
dalam pesta itu entah
sekarang di mana setelah mati
ada yang merindukan
kubur bagi angannya sendiri
yang melukis waktu
sebagai ular
ada yang ingin tidur
sepanjang hari bangun ketika hari
penjemputan tiba agar
tidak merasakan menit-menit
yang menekan dan
berat
di sana ada meja
penuh kue aneka warna, mereka
menawarkannya
padaku, kuterima
kucicipi semua, enak!
itulah sebabnya aku
selalu lapar
sebab aku hanya punya
satu, kemungkinan!
Tuhanku aku terluka
dalam keindahan-Mu.
Tentang Wiji
Thukul
Wiji
Thukul lahir 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas
penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang
becak. Anak tertua dari tiga bersaudara, berhasil menamatkan SMP (1979) dan
masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tapi tidak
tamat alias DO (1982). Selanjutnya ia berjualan koran, kemudian oleh
tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan meubel antik menjadi tukang
pelitur. Di sini lah Wiji yang dikenal pelo (cadel) sering mendeklamasikan
puisinya buat teman-teman sekerjanya. Menulis puisi mulai sejak di bangku SD,
dunia teater dimasuki ketika SMP. Lewat seorang teman sekolah dia ikut sebuah
kelompok teater JAGAT (singkatan Jagalan Tengah). Bersama rekan-rekannya di
teater inilah ia keluar masuk kampung ngamen puisi diiringi instrumen musik:
rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dll. Tidak hanya di wilayah solo, tapi
juga sampai ke Yogya, Klaten, Surabaya, Bandung, Jakarta. Juga pernah ke Korea
dan kota-kota besar Australia. Tidak hanya di kampung-kampung, juga masuk
kampus, selain warung dan restoran. Dalam sebuah wawancara dikatakan bahwa
awalnya ia dianggap gila. Akhirnya menurut Wiji, sebelum ngamen puisi, dia
ngamen musik (nyanyi) terlebih dahulu. Setelah empunya rumah siap, baru dia
ngamen puisi. Tahun 1988 pernah menjadi wartawan MASA KINI meski cuma
tiga bulan. Untuk menyambung hidup, di samping membantu isteri membuka usaha
jahitan pakaian, Wiji Thukul juga menerima pesanan sablonan kaos, tas, dll.
Saat mengontrak rumah di kampung Kalangan, Solo, ia menyelenggarakan kegiatan
teater dan melukis untuk anak-anak. Tahun 1992, sebagai penduduk
Jagalan-Purungsawit ikut memprotes pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik
tekstil. Wiji Thukul menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD di negeri Belanda.
Bersama Rendra ia adalah penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan
untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda W.F. Wertheim. (Selanjutnya saya
mengutip biografi Wiji dalam Rahasia Membutuhkan Kata-nya Harry Aveling)
Semenjak serangan atas markas besar PDI-P Megawati Soekarnoputi pada (27) Juli
1996, Wiji merupakan salah seorang dari sejumlah buruh yang menentang melawan
rezim Suharto (1966-98) yang kemudian mendadak “hilang”, dan tak dapat
ditemukan lagi. Sajak Wiji dikumpulkan dan diterbitkan saat dia diperkirakan
sudah meninggal, oleh sebuah penerbit kecil yang cukup mencuat, Indonesia Tera,
pada Juni 2000 dengan judul Aku Ingin jadi Peluru.
Catatan lain
Dia tidak punya
potongan penyair!
Sebuah headline di koran Republika saat saya masih SMA mengutip omongan
seseorang, itu masih jelas saya ingat di benak saya. Luar biasa kata-kata itu:
Tidak punya potongan penyair! Ada-ada saja. Satu-satunya puisi yang dikutip,
seingat saya, yang berisi ini: Apa yang berharga dari puisiku/Kalau adikku
tak berangkat sekolah, dst.
Waktu kuliah di
Jogja, rasanya saya pernah melihat buku Aku Ingin jadi Peluru, tapi tak
punya uang buat beli. Mahasiswa cekak, jangankan beli-beli buku puisi, buku
buat kuliah pun tak terbeli. Seingat saya, buku puisi yang saya beli waktu
kuliah cuma Celana-nya Joko Pinurbo. Nah, pas Hajri bolak-balik
Banjarmasin-Jogja buat nyelesain kuliah S1 yang tertunda (luar biasa kawan kita
ini, dia seangkatanku tahun 1998 dan baru kepikiran untuk menyelesaikannya
tahun 2013!) – kubilang, carikan buku Wiji Thukul. Lama tak ada kabarnya,
beberapa kali ketemu juga tak ada perkembangan. Pikirku, barangkali sudah habis
di pasaran, ketika tiba-tiba ia mengabarkan, ia menemukan buku itu di toko buku
Bang Yos (maksudnya Jose Rizal Manua di TIM). Saya pun datang bersemangat ke
rumah Hajri dan menemukan buku setebal 176 halaman itu. Hajri bilang, ini
seperti buku fotocopi. Lantas kulihat sebuah coretan pensil di pojok kanan
halaman pertama 62500, barangkali itu harganya.
Ada lima sub bagian dalam kumpulan ini. Puisi Pelo dan Darman dan
Lain-lain pernah diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta. Sub bagian
terakhir Baju Loak Sobek Pundaknya, adalah bagian sajak-sajak yang
ditulis Wiji Thukul dalam masa pelarian (setelah 1 Agustus 1996) dengan
menggunakan nama samaran Budi Bang Branang. Koleksi ini hanya dimiliki oleh
Jaap Erkelens yang menerima langsung dari mbak Sipon (istri Wiji) atas permintaan
Wiji Thukul sendiri, hingga ia hilang keberadaannya. Dalam kumpulan terakhir
ini digabung juga 3 sajak lagi yang ditemukan Erkelens di majalah Pembebasan,
yaitu Tujuan Kita Satu Ibu, Aku Masih Utuh dan Kata-kata belum Binasa,
dan sebuah di majalah Bergerak “Tanpa Judul” (keterangan ini ditulis
dalam Pengantar
Redaksi).
Di bagian akhir juga ada wawancara Wiji Thukul yang dijuduli Seniman Harus
Memperjuangkan Gagasannya. Sepertinya ini wawancara yang dilakukan
Kusprihyanto Namma yang dimuat dalam Jurnal RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman)
sebagaimana telah dijelaskan dalam Pengantar Redaksi. Saya terharu di bagian
ini: Penanya: Anda disebut penyair kerakyatan. Ada komentar? Ini jawaban
Wiji: “Dalam menulis puisi saya cenderung tak peduli apa pun. Yang menyebut
saya penyair kerakyatan kan orang lain. Bukan saya. Kalau saya yang
bilang begitu namanya takabur. Dan memang perlu diluruskan bahwa saya tidak
membela rakyat. Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin
disebut pahlawan karena berjasa memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya
hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh
jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan
saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Jadi saya tidak
membela siapa pun. Cuma secara kebetulan, dengan membela diri sendiri ternyata
juga menyuarakan hak-hak orang lain yang sementara ini entah di mana.”
Kalau boleh membagi-bagi, ada 3 kecenderungan puisi Wiji, yaitu Pertama, puisi
yang bercorak pernyataan sikap, berisi pikiran dan idealisme Wiji yang
disuarakan secara keras dan lantang, Kedua, puisi yang berisi potret
orang-orang kecil, memberi deskripsi – perjuangan dan ironi kehidupan mereka.
Dan ketiga, puisi yang berisi kegelisahan pribadi, sebagai seorang kepala
keluarga, individu, maupun makhluk Tuhan. Bagian ini terasa lebih liris, sedih,
murung. Kata sebuah sajaknya: Tuhanku aku terluka dalam keindahan-Mu.
Tapi kadang-kadang juga, ada puisi-puisinya yang merupakan gabungan dari
corak-corak yang ada, tidak melulu satu corak an sich.
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, saya hanya ingin menyayangkan. Setelah
membolak-balik – dari depan ke belakang, dari belakang ke depan, Aku Ingin
Jadi Peluru, sempat kepikiran, sempat membayangkan, sempat menginginkan,
sempat menahan desakan perasaan: Seandainya hari puisi Indonesia jatuh pada 26
Agustus, hari lahirnya Wiji Thukul!
Sumber :
kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar