Kai Imbran ribut. Sepeda kesayangannya tak ada di rumahnya. Akibatnya dia
mendadak temperamental. Nini Ipat, isterinya pun jadi sasaran.
” Aku bosan mendengar ocehanmu,” ucap Kai Imbran singkat.
Kenapa Kai Imbran begitu fanatik dengan sepedanya itu ?
” Karena ia punya sejarah tersendiri bagi kehidupanku,” ujar Kai Imbran
saat ditanya tetangganya yang turut prihatin melihat keadaan Kai Imbran setelah
kehilangan sepedanya. Baginya sepeda itu adalah harta pusakanya.
” Kalau sepintas lalu sepeda itu adalah biasa-biasa saja. Di pasar pun banyak dijual,” beritahu Kai Imbran.
Sepedanya itu ujar Kai Imbran sudah tua.
“ Sepeda itu dibeli saat aku masih bujangan dulu hasil dari bertani,”
ujar Kai Imbran.
Menurut Kai Imbran saat pacaran dengan Nini Ipat dulu sepeda itu jadi
saksi bisu. Karena saat pacaran sepeda tersebut selalu dibawa. Kai Imbran sudah
puluhan tahun pensiun. Ia dulu jadi guru di daerah terpencil.
Kini bersama dengan Nini Ipat mendiami sebuah rumah di sudut kampung
kelahiran yang indah dan damai. Kai Imbran dan Nini Ipat dikaruniai dua orang
anak. Kini bermukim di pulau Jawa. Saban lebaran mereka pulang kampung untuk
bersilaturrahmi dengan orangtua dan sanak famili lainnya.
Kenapa Kai Imbran ngotot mencari kemanapun sepedanya itu. Ternyata sepeda
itu mempunyai sejarah tersendiri baginya. Banyak kenangan tersimpan di sepeda
itu. Yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata.
Kai Imbran sibuk mencari ke kolong rumah kalau-kalau sepedanya itu ada
disana. Kai Imbran mencari ke pasar loak. Kalau-kalau sepedanya bisa ditemukan
di tempat itu. Setiap sepeda diamati secara detail dan hati-hati.
Berjam-jam Kai Imbran berada disana. Namun usahanya tetap nihil.
Minggu berikutnya ia kembali melakukan hal yang sama.
” Bagaimana kalau beli yang baru untuk mengganti sepeda itu ?” ujar Nini
Ipat.
Namun Kai Imbran tetap pada pendiriannya. ” Sepeda itu punya sejarah
tersendiri yang tak bisa dilupakan,” ujar Kai Imbran.
Hal ini tentu saja membuat Nini Ipat tak berkutik. Menurut apa kata suami.
Namun ia tetap turut berusaha memecahkan masalah ini.
Dulu sepeda itu selalu digunakan Kai kemanapun juga seperti ke kenduri,
pasar, sawah, dan tempat lainnya.
Entah kenapa hari itu Kai Imbran tidak memakai sepeda itu lagi. Ia terlihat
seperti seorang gadis cantik yang kehilangan pesona. Tak ada lagi yang berani memandangnya. Seperti orang yang buruk rupa.
Bahkan anak-anak yang tinggal se kampung dengan Kai Imbran berani mengejek.
” Hilang sepeda seperti orang Kayu Tangi Ujung,” ucap anak-anak itu sembari
memperlihatkan pantat mereka ke arah muka Kai Imbran. Sungguh terlalu.....
Tentu saja Kai jadi berang melihat pelecehan diri tersebut, sekaligus juga
merasa tersinggung. Sampai-sampai mau melempar anak-anak tersebut dengan batu.
Tapi anak-anak itu keburu kabur.
Sepeda itu sangat khas. Tidak ada yang menyamainya. Karena sudah
dimodifikasi sedemikian rupa. Tampil unik dan elegan. Saat di sawah pun sepeda
itu selalu dibawa. Karena jarak rumah dengan sawah lumayan jauh. Lalu, bila
bekerja sepeda itu akan disimpannya ke dalam rampa.
Kai Imbran bahkan ingin melaporkan kejadian ini ke Komnas HAM segala. Biar
tuntas. Tapi isterinya tidak mendukung.
“ Buru-buru ngurus masalah kita, yang lain saja masih banyak yang belum
terselesaikan,” ucap isterinya ketus.
Kai Imbran tak lagi bergairah menjalani hidup. Sawahnya dibiarkan saja
terbengkalai. Dia tak mampu lagi mengurus rumah tangga. Akhirnya berantakkanlah
kehidupan mereka. Seperti mengurus kota yang semrawut oleh berbagai masalah.
Dari pasar yang kumuh, penertiban PKL, hingga terminal. Belum lagi masalah
kerusakan lingkungan.
Bagi Kai Imbran sepeda itu adalah pusaka berharga yang tak dapat
dipisahkan dari sejarah hidupnya.
“ Sudahlah Pak, kalau memang Tuhan menghendaki hilang bagaimana lagi.
Manusia saja bisa mati,” ujar isterinya.
Memang benar juga kenapa memikirkan sepeda yang usianya sudah tua itu.
Hidup didunia saja tak ada yang abadi.
” Jabatan bupati saja bisa berakhir belum saatnya bila ada yang
menggoyang ataupun bupatinya yang keburu meninggal dunia,” ujar Nini Ipat lagi.
Tapi Kai Imbran bingung. Apakah sepedanya itu hilang karena lupa
meletakkan atau diembat oleh maling.
Tatapan orang tak lagi bersahabat terhadap Kai Imbran. Mereka menganggap
Kai Imbran sudah kehilangan wibawa dan kharismanya. Setelah sepedanya itu
hilang. Sungguh kejam sekali hukum masyarakat ini. Dunia ! Dunia !
Kai Imbran masih ingat dengan sepedanya itu. Ban depan dan ban belakang
baru diganti. Sementara velg-nya dicat warna hijau muda. Rantai dan bagian lainnya
masih terlihat mengkilap. Karena memang tiap pagi selalu diberi minyak kelapa
biar tidak berkarat. Itu semua dilakukan karena kecintaan kepada sepeda
kesayangannya itu. Di usia tuanya Kai Imbran berharap sepeda itu jadi manfaat
untuk menjalani sisa-sisa hidup.
Dulu sepeda itu tiap subuh dibawa oleh isterinya untuk berjualan sayuran ke
Pasar Subuh Kandangan.
Paginya giliran Kai Imbran yang memakai untuk keperluan lainnya.
Kai Imbran sadar. Hidupnya penuh dengan liku-liku yang tentu dia jalani
dengan ikhlas. Sepeda yang hilang itu jadi salah satu bahan pemikirannya.
” Kenapa sampai terjadi kesenjangan dimuka bumi ini Pak ?” ujar Nini Ipat
kepada suaminya untuk mengalihkan pokok pembicaraan. Yang ditanya malah diam
saja bahkan terlihat melamun.
” Pak,” ucap Nini Ipat sembari tangannya menggoyang-goyang bahu suaminya
itu.
Kai Imbran melihat jalan hidup ini betapa terjalnya. Sepeda itu tak akan
kembali lagi kepadanya. Tapi Kai Imbran tak mau berputus asa. Ia menghubungi
temannya yang berprofesi sebagai paranormal. Kai Imbran menyerahkan masalah
tersebut kepada teman lamanya itu.
” Sepeda itu tidak hilang cuman ada yang meminjam saja,” ucap temannya itu
yang sudah puluhan tahun menggeluti profesinya itu. Kai Imbran tambah bingung.
Perjalanan itu terlalu jauh. Bagai roda sepedanya yang hilang itu.
” Tidak punya pekerjaan tetapi tetap bekerja. Tidak punya penghasilan tetap
tetapi punya penghasilan,” ujar Kai Imbran.
Isterinya tertawa lebar mendengar kalimat-kalimat manis sang suaminya itu.
” Kaya dulu baru idealis, bukan idealis baru kaya,” timpal Nini Ipat.
Begitu harmonisnya hubungan Kai Imbran dengan Nini Ipat. Walau sepeda
mereka hilang tak tahu entah kemana rimbanya.
Tertatih Kai Imbran meniti kehidupan ini. Sepeda tuanya bukanlah bagian
penting hidupnya. Namun sepeda itulah yang membuatnya bergairah menjalani
hidup.
Walaupun zaman sudah berubah. Semua orang memakai motor dan mobil. Tapi Kai
Imbran tetap eksis dengan sepedanya. Sementara anak muda saat ini bangga
memakai motor dan mobil, terlihat gagah dan angkuh, padahal milik orangtua
mereka. Yang belum tentu lunas bayar kreditnya.
Kai Imbran masih ingat saat zamannya dulu. Naik sepeda menonton orkes
dangdut. Begitu ramai sekali. Dijalan menggoda wanita. Tapi sekarang anak muda
sudah naik motor semua. Yang memakai sepeda pancal diketawakan. Dianggap kuno
dan ketinggalan zaman.
Ke sekolahpun sekarang jarang yang memakai sepeda. Kalau tidak naik motor,
naik mobil orang alias naik taksi. Juga wanita tidak ada yang naksir kepada
cowok yang memakai sepeda. Mereka lebih suka mendambakan laki-laki yang
menggunakan jimat Jepang. Keterlaluan memang !
Ternyata sepeda tak lagi punya kharisma dimata seorang wanita sekarang ini.
Tapi di kota-kota lain di dunia sepeda malah jadi alat
transportasi primadona. Seperti di negeri Tirai Bambu, China. Karena dapat
mengatasi masalah kemacetan lalu lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh
kendaraan bermotor dan polusi pabrik industri yang tumbuh kian pesat.***
Kandangan yang dingin karena diguyur hujan, jelang akhir Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar