oleh
Chik Rini (Kontributor Aceh) di 24 October 2012
MUSA Rumpedai. Usianya sudah 83
tahun. Bertubuh kecil, kepala nyaris botak ditumbuhi rambut yang sudah memutih.
Kulit hitam khas Melanesia. Garis-garis kerutan kentara di wajahnya.
Kakek ini tinggal di pantai sepi bernama
Inggrisau di Kepulauan Yapen, Papua, hanya ditemani istri dan 20 ekor anjing.
Tak ada penduduk lain di pantai itu. Meskipun usia sudah senja, dia tiada henti
menyelamatkan puluhan ribu telur penyu langka di pantai itu, mulai menetaskan,
lalu melepas tukik-tukik (bayi penyu) ke laut.
Tete (kakek) Musa, begitu dia biasa
dipanggil. Saya bertemu dengan dia pada acara mini simposium penyu di Mataram
21 Oktober 2012. Musa tamu kehormatan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang diperkenalkan kepada seluruh peserta simposium.
Musa telah menangkarkan telur penyu
secara sukarela bertahun-tahun seorang diri tanpa berharap bantuan siapapun.
Kecintaan pada penyu diwariskan turun menurun dari orangtua.
Sejak 2002, hampir tiap malam Musa
menyusuri Pantai Inggrisau sepanjang 3,8 kilometer mulai pukul 19.00 hingga
menjelang subuh. Dia berjalan dalam gelap, seorang diri, mencari-cari jika ada
jejak penyu mendarat di pantai.
Jika ada tanda pasir berserak, jejak
panjang terseret di pantai mulai dari garis pasang surut air laut, naik ke
daratan, dia akan tahu bawa ada penyu baru datang. Musa akan menunggu penyu
bertelur hingga selesai.
Kala penyu selesai bertelur, dan kembali
ke laut lepas, Musa segera menggali sarang dengan tangan dan mengambil telur
hati-hati. Dia harus berlomba dengan biawak dan anjing yang suka membongkar
lubang dan memakan telur-telur penyu. Jika tidak cepat, telur penyu terancam
kena air laut jika laut pasang. “Bila terkena air asin telur bisa tidak
menetas,” katanya.
Musa mengatakan, telur penyu dalam satu
lubang sarang bisa 150-200 butir. Setelah digali, telur dimasukkan dalam noken.
Telur-telur dibawa pulang ke rumah, terletak di ujung timur pantai, persis di
sisi Sungai Kasuwari.
Di samping rumah panggung, Tete Musa
membuat penangkaran penyu sangat sederhana, dengan pengetahuan secara otodidak.
Dia tidak pernah belajar menangkarkan penyu dari siapapun. Semua kebiasaan
penyu bertelur itulah yang dilihat dan dipraktikkan.
Musa menanam telur di lubang yang
berbeda-beda menurut asal tiap telur. Dia mencontoh persis seperti apa penyu
membuat lubang bertelur. Bentuk bulat agak memanjang, dalam setengah lengan
orang dewasa dengan ujung dibuat naik sekitar lima centimeter, menyerupai
sepatu bertumit.
“Di bagian yang seperti tumit itu tempat
tukik-tukik akan naik keluar dari dalam lubang jika mereka menetas,” kata Musa,
sambil menggambar bentuk lubang di atas kertas, agar saya paham.
Setelah telur disusun rapi, Musa menutup
lubang dengan menabur pasir pelahan. Sama seperti penyu menghamburkan
pasir dengan sirip belakang untuk menutup lubang usai bertelur. Lubang-lubang
penangkaran, diberi tanda dengan ranting yang ditancapkan di atasnya.
Sekelilingnya dipagari bambu agar tak ada binatang pemangsa, termasuk anjing
peliharaanya.
Biasanya tukik tukik-tukik akan
berkeluaran dari lubang penetasan setelah 50-75 hari, tergantung jenis. Yang
paling lama menetas penyu belimbing. Jika tukik sudah keluar, mereka segera
dipindahkan ke ember-ember bulat berisi air laut agar tukik berenang.
Tukik akan dipelihara beberapa hari,
bahkan ada yang sebulan lebih sebelum dilepas ke laut. Musa merawat mereka
dengan baik. Setiap hari, air diember diganti. Dibantu istri, Salina Ayomi,
Musa mengambil air laut dengan ember. Mereka bolak-balik pantai-rumah.
Dia juga memberi makan tukik-tukik
dengan ikan hasil pancingan. Ikan dibelah, duri dibuang, direndam sebentar
dengan air asin, lalu daging dicincang halus. Setelah itu langsung diberikan
kepada tukik-tukik yang lapar. “Mereka juga seperti bayi manusia, makanan harus
halus seperti bubur.”
Musa meyakini, penyu-penyu yang datang
ke Pantai Inggrisau, adalah satwa sakral yang dulu menyelamatkan nenek moyang
Suku Wabo, suku Musa. Apa yang dilakukan Musa, pesan Aminadab Rumpedai, sang
ayah.
Saat masih berumur tujuh tahun, Aminadab
membawa Musa pertama kali ke Inggrisau melihat batu hitam di pertengahan garis
pantai. “Batu itu besarnya nyaris sebesar penyu belimbing raksasa dengan
panjang dua meteran.”
Menurut cerita turun temurun suku Wabo,
dahulu kala ada penyu belimbing raksasa yang datang ke Pantai Inggrisau untuk
bertelur. Seorang nenek Suku Wabo mengambil telur itu, hingga dia dibawa ke
tengah laut oleh penyu dan tenggelam.
“Tapi ditolong oleh penyu itu.” Sepuluh
hari kemudian penyu itu membawa si nenek di atas karapas, kembali ke Inggrisau.
Mereka berdua menjelma menjadi batu yang diberi nama Imbeuri. Imbeuri menjadi
tempat keramat di Pantai Inggrisau yang tak boleh diinjak.
Aminadab yang mengenalkan kepada
Musa bagaimana mereka harus menyelamatkan penyu-penyu belimbing yang datang ke
pantai Inggrisau. Jika Imbeuri tertutup pasir pantai, itu petanda penyu tidak
akan datang bertelur.
Maka Musa akan datang dan bicara pada
Imbeuri, ”Nenek, jangan tutup. Bagus kalau bangkit.” Maka ombak akan datang
menyapu pasir dan batu akan timbul kembali. Musa pun bersiap-siap karena tak
lama lagi penyu-penyu pasti datang ke Inggrisau untuk bertelur.***
Sumber : Mongabay Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar