Minggu, 26 Januari 2020

Tete Musa, Pahlawan Penyu dari Inggrisau (Bagian 1)

Senin, 27 Januari 2020

oleh Chik Rini (Kontributor Aceh) di 24 October 2012

MUSA Rumpedai. Usianya sudah  83 tahun. Bertubuh kecil, kepala nyaris botak ditumbuhi rambut yang sudah memutih. Kulit hitam khas Melanesia.  Garis-garis kerutan kentara di wajahnya.

Kakek ini tinggal di pantai sepi bernama Inggrisau di Kepulauan Yapen, Papua, hanya ditemani istri dan 20 ekor anjing. Tak ada penduduk lain di pantai itu. Meskipun usia sudah senja, dia tiada henti menyelamatkan puluhan ribu telur penyu langka di pantai itu, mulai menetaskan, lalu melepas tukik-tukik (bayi penyu) ke laut.

Tete (kakek) Musa, begitu dia biasa dipanggil. Saya bertemu dengan dia pada acara mini simposium penyu di Mataram 21 Oktober  2012. Musa tamu kehormatan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan  yang diperkenalkan kepada seluruh peserta simposium.

Musa telah menangkarkan telur penyu secara sukarela bertahun-tahun seorang diri tanpa berharap bantuan siapapun. Kecintaan pada penyu diwariskan turun menurun dari orangtua.

Sejak 2002, hampir tiap malam Musa menyusuri Pantai Inggrisau sepanjang 3,8 kilometer mulai pukul 19.00 hingga menjelang subuh. Dia berjalan dalam gelap, seorang diri, mencari-cari jika ada jejak penyu mendarat di pantai.

Jika ada tanda pasir berserak, jejak panjang terseret di pantai mulai dari garis pasang surut air laut, naik ke daratan, dia akan tahu bawa ada penyu baru datang. Musa akan menunggu penyu bertelur hingga selesai.

Kala penyu selesai bertelur, dan kembali ke laut lepas, Musa segera menggali sarang dengan tangan dan mengambil telur hati-hati. Dia harus berlomba dengan biawak dan anjing yang suka membongkar lubang dan memakan telur-telur penyu. Jika tidak cepat, telur penyu terancam kena air laut jika laut pasang. “Bila terkena air asin telur bisa tidak menetas,” katanya.

Musa mengatakan, telur penyu dalam satu lubang sarang bisa 150-200 butir. Setelah digali, telur dimasukkan dalam noken. Telur-telur dibawa pulang ke rumah, terletak di ujung timur pantai, persis di sisi Sungai Kasuwari. 

Di samping rumah panggung, Tete Musa membuat penangkaran penyu sangat sederhana, dengan pengetahuan secara otodidak. Dia tidak pernah belajar menangkarkan penyu dari siapapun. Semua kebiasaan penyu bertelur itulah yang dilihat dan dipraktikkan.

Musa menanam telur di lubang yang berbeda-beda menurut asal tiap telur. Dia mencontoh persis seperti apa penyu membuat lubang bertelur. Bentuk bulat agak memanjang, dalam setengah lengan orang dewasa dengan ujung dibuat naik sekitar lima centimeter, menyerupai sepatu bertumit.

“Di bagian yang seperti tumit itu tempat tukik-tukik akan naik keluar dari dalam lubang jika mereka menetas,” kata Musa, sambil menggambar bentuk lubang di atas kertas, agar saya paham.

Setelah telur disusun rapi, Musa menutup lubang dengan menabur pasir pelahan.  Sama seperti penyu menghamburkan pasir dengan sirip belakang untuk menutup lubang usai bertelur. Lubang-lubang penangkaran, diberi tanda dengan ranting yang ditancapkan di atasnya. Sekelilingnya dipagari bambu agar tak ada binatang pemangsa, termasuk anjing peliharaanya.

Biasanya tukik tukik-tukik akan berkeluaran dari lubang penetasan setelah 50-75 hari, tergantung jenis. Yang paling lama menetas penyu belimbing. Jika tukik sudah keluar, mereka segera dipindahkan ke ember-ember bulat berisi air laut agar tukik berenang.

Tukik akan dipelihara beberapa hari, bahkan ada yang sebulan lebih sebelum dilepas ke laut. Musa merawat mereka dengan baik. Setiap hari, air diember diganti. Dibantu istri, Salina Ayomi, Musa mengambil air laut dengan ember. Mereka bolak-balik pantai-rumah.

Dia juga memberi makan tukik-tukik dengan ikan hasil pancingan. Ikan dibelah, duri dibuang, direndam sebentar dengan air asin, lalu daging dicincang halus. Setelah itu langsung diberikan kepada tukik-tukik yang lapar. “Mereka juga seperti bayi manusia, makanan harus halus seperti bubur.”

Musa meyakini, penyu-penyu yang datang ke Pantai Inggrisau, adalah satwa sakral yang dulu menyelamatkan nenek moyang Suku Wabo, suku Musa. Apa yang dilakukan Musa, pesan Aminadab Rumpedai, sang ayah.

Saat masih berumur tujuh tahun, Aminadab membawa Musa pertama kali ke Inggrisau melihat batu hitam di pertengahan garis pantai. “Batu itu besarnya nyaris sebesar penyu belimbing raksasa dengan panjang dua meteran.”

Menurut cerita turun temurun suku Wabo, dahulu kala ada penyu belimbing raksasa yang datang ke Pantai Inggrisau untuk bertelur. Seorang nenek Suku Wabo mengambil telur itu, hingga dia dibawa ke tengah laut oleh penyu dan tenggelam.

“Tapi ditolong oleh penyu itu.” Sepuluh hari kemudian penyu itu membawa si nenek di atas karapas, kembali ke Inggrisau. Mereka berdua menjelma menjadi batu yang diberi nama Imbeuri. Imbeuri menjadi tempat keramat di Pantai Inggrisau yang tak boleh diinjak.

Aminadab yang mengenalkan  kepada Musa bagaimana mereka harus menyelamatkan penyu-penyu belimbing yang datang ke pantai Inggrisau. Jika Imbeuri tertutup pasir pantai, itu petanda penyu tidak akan datang bertelur.

Maka Musa akan datang dan bicara pada Imbeuri, ”Nenek, jangan tutup. Bagus kalau bangkit.” Maka ombak akan datang menyapu pasir dan batu akan timbul kembali. Musa pun bersiap-siap karena tak lama lagi penyu-penyu pasti datang ke Inggrisau untuk bertelur.***

Sumber : Mongabay Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...