Written by Anton Muhajir on 12
Maret 2015
Dua
tamu mengejutkan kami Sabtu sore pekan lalu.
Mereka
Dandhy Dwi Laksnono dan Ucok Parta, videografer dan fotografer yang sedang
melakukan perjalanan keliling Indonesia dalam Ekspedisi Indonesia Biru.
Keduanya datang lebih cepat dari perkiraan kami.
Menurut
informasi awal, mereka akan tiba di rumah kami pada malam hari. Ternyata sore
sekitar pukul 4, mereka sudah nongol di depan rumah.
Mereka
tiba dengan sepeda motor masing-masing yang sudah dimodifikasi. Roda bagian
depan motor bebek 125 CC itu diberi peredam kejut (shock breaker). Setir
dibuat lebih tinggi sehingga mirip sepeda motor sport.
Mereka
sengaja memilih sepeda motor bebek yang dimodifikasi bukan sepeda motor sport.
“Biar lebih hemat BBM,” kata Dandhy.
Di
jok bagian belakang sepeda motor itu, Dandhy dan Ucok membawa semua bekal
mereka untuk keliling Indonesia hingga Desember 2015 nanti. Di sana ada aneka
peralatan seperti kamera DSLR, kamera underwater, kamera GoPro, drone, dan
lain-lain. Sakin besarnya tas, mereka harus mengikatnya dengan tali dari bekas
ban dalam truk.
Mereka
memang sedang menerapkan metode backpack journalism alias jurnalisme
ransel. Ucok lebih senang menyebutnya “mengembara ala jurnalis”. Semua
peralatan dokumentasi dan perjalanan mereka bawa di ransel. Tak ada kru atau
peralatan tambahan.
Ketimpangan
Sosial
Sejak 1 Januari 2015 lalu, dua jurnalis itu melaksanakan perjalanan keliling melalui Ekspedisi Indonesia Biru. Arah perjalanan mereka melawan arah jarum jam, dari ibu kota Jakarta ke arah timur menyusuri Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Setelah
dua minggu mampir di Lumajang, mereka melanjutkan perjalanan ke Bali dan singgah
di rumah kami.
Ekspedisi
Indonesia Biru berawal dari kegelisahan Dandhy Laksono, jurnalis video yang
juga pendiri agensi dokumenter WatchDoc. Mantan jurnalis video SCTV dan RCTI
ini gelisah terhadap masih adanya kemiskinan struktural akibat terbatasnya
akses pada tanah, energi, dan modal.
Dandhy
juga melihat bahwa model bisnis produksi massal justru melahirkan
ketergantungan dan kerentanan di negara kepulauan seperti Indonesia. Di sisi
lain, kebijakan publik dan sistem keuangan pun mengukuhkan ketimpangan sosial.
“Ada
yang salah dengan sistem ekonomi yang kita anut saat ini,” ujar Dandhy.
Di
sisi lain, menurut Dandhy, di negeri ini ada kearifan-kearifan lokal yang tak
hanya masih bertahan tapi juga menyelamatkan komunitas-komunitas adat tersebut.
Karena itulah Dandhy dan Ucok ingin mendokumentasikan dan mempublikasikan
bagaimana konsep ekonomi biru diterapkan di masyarakat Indonesia berbasis
kearifan lokal.
“Konsep
biru yang kami maksud adalah sebuah konsep tentang kehidupan sosial yang
berkeadilan secara ekonomi, arif dalam budaya, dan lestari bagi lingkungan,”
kata Dandhy.
“Tidak
ada hubungannya dengan konsep ala Jokowi,” dia melanjutkan.
Larangan
Menjual Beras
Sejak memulai eksepedisi dari Jakarta awal tahun, keduanya menyambangi komunitas-komunitas yang terpinggirkan oleh pembangunan maupun yang masih kuat memegang nilai lokal.
Mereka
telah menempuh perjalanan ribuan kilometer, duduk berjam-jam di atas sepeda
motor keluaran 2003 dan 2005. Mendaki ketinggian pegunungan hingga ribuan meter
dari atas permukaan laut. Menerobos banjir. Bahkan sempat pula jatuh di jurang.
“Terus
bagaimana rasanya punggungmu?” tanya saya pada Ucok.
“Pungguh
sih tidak apa-apa. Justru pantat yang awal-awal terasa kayak habis,” jawab Ucok
kemudian tertawa.
“Tapi
setelah dua minggu sih tidak terasa sama sekali. Sudah kebal,” dia melanjutkan.
Persinggahan
pertama mereka adalah Kampung Baduy Dalam di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Selama di sini, mereka melihat bagaimana suku asli ini
mempraktikkan laku akrab dengan lingkungan. Tak ada penggunaan teknologi atau
produk modern lain, bahkan serupa sabun atau shampo sekalipun.
Mereka
harus meninggalkan kameranya, mencatat di kertas-kertas sisa rokok untuk
merekam bagaimana laku menghormati lingkungan dipraktikkan. Salah satu nilai
lokal itu adalah larangan untuk menjual beras. Warga hanya boleh menukarnya
dengan bahan pangan lain.
“Mungkin
nenek moyang mereka sudah sadar betapa bahayanya jika urusan pangan sepenuhnya
diserahkan pada mekanisme pasar,” ujar Dandhy.
Dari
Kampung Baduy Dalam, mereka melanjutkan ke “tempat belajar” lain, Kasepuhan
Ciptagelar. Secara administratif, kawasan ini berada di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 28 km dari lokasi wisata
Pelabuhan Ratu, di pantai selatan pulau Jawa.
Di
tempat dengan ketinggian 1.100 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut ini,
Dandhy dan Ucok merekam sistem pertanian tradisional yang masih dibungkus aneka
mitos dan adat.
Di
bawah pimpinan Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, 29 tahun, warga Kasepuhan Ciptagelar
bisa mewujudkan kedaulatan pangan dan energi. Mereka memiliki 8.000 lumbung
dengan stok pangan hingga tiga tahun. Mereka juga membuat pembangkit listrik
tenaga mikrohidro untuk mencukupi kebutuhan energi.
Cerita
Perlawanan
Tak hanya tentang kearifan lokal, Ekspedisi Indonesia Biru adalah juga upaya mengumpulkan cerita perlawanan. Karena itu, kedua jurnalis tersebut juga berkunjung ke komunitas Samin di Pati, Jawa Tengah. Di daerah pegunungan Kendeng ini, para petani setempat sedang melawan rencana pembangunan pabrik semen.
Dengan
metode live in, tinggal di rumah-rumah warga, Dandhy dan Ucok mengumpulkan
kisah-kisah perlawanan tersebut. Seperti di dua tempat lain sebelumnya, mereka
juga mengisahkan tentang kekayaan tak terlihat di Samin, nilai-nilai lokal.
Samin
merupakan tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Nama lahirnya Raden
Surowijoyo (1859). Setelah sempat ditangkap dan dibuang, dia berganti nama jadi
Ki Samin Surosantiko. Nilai hidup Samin adalah hidup selaras alam. Salah
satunya larangan praktik perdagangan karena dianggap sebagai pintu masuknya
kecurangan.
“Dalam
perdagangan diperbolehkan membeli dengan nilai 1o lalu menjualnya senilai 15.
Itu dianggap sebagai praktik tidak benar. Itu kan dahsyat sekali,” kata Dandhy.
Tempat
terakhir yang mereka singgahi sebelum ke Bali adalah Suku Tengger di Jawa
Timur. Di tempat ini, keduanya merekam bagaimana pariwisata justru pelan-pelan
mengubah daya tahan nilai lokal suku asli di sana. Akibat silau terhadap
cepatnya pendapatan dari pariwisata, sebagian petani di Tengger kini beralih
menjadi buruh pariwisata. Misalnya sebagai pemandu atau pemilik rumah singgah.
Padahal,
menurut Dandhy, pendapatan mereka sebagai petani kentang sebenarnya lebih
tinggi meskipun perlu waktu lebih lama.
Kini,
selama di Bali, mereka akan merekam bagaimana warga di Bali juga menghadapi
ancaman pariwisata massal. Selain bertemu dengan para pegiat gerakan Bali Tolak
Reklamasi, Dandhy dan Ucok juga intens merekam salah satu sistem pariwisata
alternatif di Bali, Jaringan Ekowisata Desa (JED).
Ekowisata,
menurut Dandhy, bisa menjadi alternatif dari industri pariwisata massal yang
kini justru memicu masalah sosial, lingkungan maupun budaya di Bali.
Garis
Merah
“Terus, apa garis merah dari perjalanan lebih dari dua bulan ini” tanya saya dalam obrolan sambil sarapan dua hari lalu.
“Kami
melihat bahwa komunitas-komunitas adat di negeri ini sudah memiliki modal dasar
untuk hidup berkelanjutan,” kata Dandhy.
Menggunakan
nilai-nilai lokal baik dalam ekonomi, sosial, pangan, ataupun lingkungan,
komunitas-komunitas adat itu bisa hidup selaras alam. Mereka bisa mencukupi
kebutuhan hidupnya tanpa mengeksploitasi alam. Komunitas adat punya prinsip
mengambil secukupnya dari alam.
Namun,
kini, modernisasi justru mengancam nilai-nilai lokal tersebut. [b]
Sumber : Bale Bengong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar