Minggu, 26 Januari 2020

Merekam Laku dan Cerita Tentang Indonesia Biru

Senin, 27 Januari 2020

Written by Anton Muhajir on 12 Maret 2015

Dua tamu mengejutkan kami Sabtu sore pekan lalu.

Mereka Dandhy Dwi Laksnono dan Ucok Parta, videografer dan fotografer yang sedang melakukan perjalanan keliling Indonesia dalam Ekspedisi Indonesia Biru. Keduanya datang lebih cepat dari perkiraan kami.

Menurut informasi awal, mereka akan tiba di rumah kami pada malam hari. Ternyata sore sekitar pukul 4, mereka sudah nongol di depan rumah.

Mereka tiba dengan sepeda motor masing-masing yang sudah dimodifikasi. Roda bagian depan motor bebek 125 CC itu diberi peredam kejut (shock breaker). Setir dibuat lebih tinggi sehingga mirip sepeda motor sport.

Mereka sengaja memilih sepeda motor bebek yang dimodifikasi bukan sepeda motor sport. “Biar lebih hemat BBM,” kata Dandhy.

Di jok bagian belakang sepeda motor itu, Dandhy dan Ucok membawa semua bekal mereka untuk keliling Indonesia hingga Desember 2015 nanti. Di sana ada aneka peralatan seperti kamera DSLR, kamera underwater, kamera GoPro, drone, dan lain-lain. Sakin besarnya tas, mereka harus mengikatnya dengan tali dari bekas ban dalam truk.

Mereka memang sedang menerapkan metode backpack journalism alias jurnalisme ransel. Ucok lebih senang menyebutnya “mengembara ala jurnalis”. Semua peralatan dokumentasi dan perjalanan mereka bawa di ransel. Tak ada kru atau peralatan tambahan.

Ketimpangan Sosial

Sejak 1 Januari 2015 lalu, dua jurnalis itu melaksanakan perjalanan keliling melalui Ekspedisi Indonesia Biru. Arah perjalanan mereka melawan arah jarum jam, dari ibu kota Jakarta ke arah timur menyusuri Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Setelah dua minggu mampir di Lumajang, mereka melanjutkan perjalanan ke Bali dan singgah di rumah kami.

Ekspedisi Indonesia Biru berawal dari kegelisahan Dandhy Laksono, jurnalis video yang juga pendiri agensi dokumenter WatchDoc. Mantan jurnalis video SCTV dan RCTI ini gelisah terhadap masih adanya kemiskinan struktural akibat terbatasnya akses pada tanah, energi, dan modal.

Dandhy juga melihat bahwa model bisnis produksi massal justru melahirkan ketergantungan dan kerentanan di negara kepulauan seperti Indonesia. Di sisi lain, kebijakan publik dan sistem keuangan pun mengukuhkan ketimpangan sosial.

“Ada yang salah dengan sistem ekonomi yang kita anut saat ini,” ujar Dandhy.

Di sisi lain, menurut Dandhy, di negeri ini ada kearifan-kearifan lokal yang tak hanya masih bertahan tapi juga menyelamatkan komunitas-komunitas adat tersebut. Karena itulah Dandhy dan Ucok ingin mendokumentasikan dan mempublikasikan bagaimana konsep ekonomi biru diterapkan di masyarakat Indonesia berbasis kearifan lokal.

“Konsep biru yang kami maksud adalah sebuah konsep tentang kehidupan sosial yang berkeadilan secara ekonomi, arif dalam budaya, dan lestari bagi lingkungan,” kata Dandhy.
“Tidak ada hubungannya dengan konsep ala Jokowi,” dia melanjutkan.

Larangan Menjual Beras

Sejak memulai eksepedisi dari Jakarta awal tahun, keduanya menyambangi komunitas-komunitas yang terpinggirkan oleh pembangunan maupun yang masih kuat memegang nilai lokal.

Mereka telah menempuh perjalanan ribuan kilometer, duduk berjam-jam di atas sepeda motor keluaran 2003 dan 2005. Mendaki ketinggian pegunungan hingga ribuan meter dari atas permukaan laut. Menerobos banjir. Bahkan sempat pula jatuh di jurang.

“Terus bagaimana rasanya punggungmu?” tanya saya pada Ucok.

“Pungguh sih tidak apa-apa. Justru pantat yang awal-awal terasa kayak habis,” jawab Ucok kemudian tertawa.

“Tapi setelah dua minggu sih tidak terasa sama sekali. Sudah kebal,” dia melanjutkan.

Persinggahan pertama mereka adalah Kampung Baduy Dalam di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Selama di sini, mereka melihat bagaimana suku asli ini mempraktikkan laku akrab dengan lingkungan. Tak ada penggunaan teknologi atau produk modern lain, bahkan serupa sabun atau shampo sekalipun.

Mereka harus meninggalkan kameranya, mencatat di kertas-kertas sisa rokok untuk merekam bagaimana laku menghormati lingkungan dipraktikkan. Salah satu nilai lokal itu adalah larangan untuk menjual beras. Warga hanya boleh menukarnya dengan bahan pangan lain.

“Mungkin nenek moyang mereka sudah sadar betapa bahayanya jika urusan pangan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar,” ujar Dandhy.

Dari Kampung Baduy Dalam, mereka melanjutkan ke “tempat belajar” lain, Kasepuhan Ciptagelar. Secara administratif, kawasan ini berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 28 km dari lokasi wisata Pelabuhan Ratu, di pantai selatan pulau Jawa.

Di tempat dengan ketinggian 1.100 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut ini, Dandhy dan Ucok merekam sistem pertanian tradisional yang masih dibungkus aneka mitos dan adat.

Di bawah pimpinan Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, 29 tahun, warga Kasepuhan Ciptagelar bisa mewujudkan kedaulatan pangan dan energi. Mereka memiliki 8.000 lumbung dengan stok pangan hingga tiga tahun. Mereka juga membuat pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk mencukupi kebutuhan energi.

Cerita Perlawanan

Tak hanya tentang kearifan lokal, Ekspedisi Indonesia Biru adalah juga upaya mengumpulkan cerita perlawanan. Karena itu, kedua jurnalis tersebut juga berkunjung ke komunitas Samin di Pati, Jawa Tengah. Di daerah pegunungan Kendeng ini, para petani setempat sedang melawan rencana pembangunan pabrik semen.

Dengan metode live in, tinggal di rumah-rumah warga, Dandhy dan Ucok mengumpulkan kisah-kisah perlawanan tersebut. Seperti di dua tempat lain sebelumnya, mereka juga mengisahkan tentang kekayaan tak terlihat di Samin, nilai-nilai lokal.

Samin merupakan tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Nama lahirnya Raden Surowijoyo (1859). Setelah sempat ditangkap dan dibuang, dia berganti nama jadi Ki Samin Surosantiko. Nilai hidup Samin adalah hidup selaras alam. Salah satunya larangan praktik perdagangan karena dianggap sebagai pintu masuknya kecurangan.

“Dalam perdagangan diperbolehkan membeli dengan nilai 1o lalu menjualnya senilai 15. Itu dianggap sebagai praktik tidak benar. Itu kan dahsyat sekali,” kata Dandhy.

Tempat terakhir yang mereka singgahi sebelum ke Bali adalah Suku Tengger di Jawa Timur. Di tempat ini, keduanya merekam bagaimana pariwisata justru pelan-pelan mengubah daya tahan nilai lokal suku asli di sana. Akibat silau terhadap cepatnya pendapatan dari pariwisata, sebagian petani di Tengger kini beralih menjadi buruh pariwisata. Misalnya sebagai pemandu atau pemilik rumah singgah.

Padahal, menurut Dandhy, pendapatan mereka sebagai petani kentang sebenarnya lebih tinggi meskipun perlu waktu lebih lama.

Kini, selama di Bali, mereka akan merekam bagaimana warga di Bali juga menghadapi ancaman pariwisata massal. Selain bertemu dengan para pegiat gerakan Bali Tolak Reklamasi, Dandhy dan Ucok juga intens merekam salah satu sistem pariwisata alternatif di Bali, Jaringan Ekowisata Desa (JED).

Ekowisata, menurut Dandhy, bisa menjadi alternatif dari industri pariwisata massal yang kini justru memicu masalah sosial, lingkungan maupun budaya di Bali.

Garis Merah

“Terus, apa garis merah dari perjalanan lebih dari dua bulan ini” tanya saya dalam obrolan sambil sarapan dua hari lalu.

“Kami melihat bahwa komunitas-komunitas adat di negeri ini sudah memiliki modal dasar untuk hidup berkelanjutan,” kata Dandhy.

Menggunakan nilai-nilai lokal baik dalam ekonomi, sosial, pangan, ataupun lingkungan, komunitas-komunitas adat itu bisa hidup selaras alam. Mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa mengeksploitasi alam. Komunitas adat punya prinsip mengambil secukupnya dari alam.

Namun, kini, modernisasi justru mengancam nilai-nilai lokal tersebut. [b]

Sumber : Bale Bengong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Sebuah Kelas di MTsN 3 HSS

 Sabtu, 23 November 2024 Menengok dari luar kaca jendela, suasana di dalam sebuah kelas di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai S...