Written
by Riri
Prabandari on 6 November 2010
Teks dan Foto Riri Prabandari
Arsitek muda kelahiran Desa
Tenganan membagi pengalaman dan pandangannya tentang pengaruh Dewa Perang
pada penataan desa.
I Putu Wiadnyana hadir sebagai penyaji
(presenter) di hadapan sekitar 30 audiens Architect Under Big 3. Diskusi
bulanan ini diadakan di kebun Danes Art Veranda, Jumat malam kemarin. Putu
mengenalkan audiens pada tanah kelahirannya. Dia menyajikan film dokumenter
mengenai Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Film ini
dibuat TVRI Nasional untuk program acara Suku-suku.
Pada bagian pertama cerita, Place and
People, Putu bercerita mengenai Desa Tenganan secara umum; lokasi dan sejarah
Desa Tenganan. Putu menceritakan sistem sosial Tenganan, salah satunya bahwa
warga desa setempat diharapkan melakukan pernikahan indogami, ritual dan
upacara khas Desa Tenganan. Misalnya, Maling-malingan dan Perang Pandan yang
tersohor. Putu juga menceritakan bagaimana pariwisata berdampak pada Desa
Tenganan.
Cerita tentang kain Geringsing yang
cantik menandai dimulainya bagian kedua, Art and Architecture. Putu berkisah,
kain Geringsing Tenganan merupakan kain dobel ikat di mana sistem pembuatannya
hanya ada dua di dunia, yaitu di Desa Tenganan dan di India.
Motifnya yang unik merupakan
representasi dari alam semesta. Putu menunjukkan beberapa slide gambar
alat musik khas Tenganan, Selonding. Tidak semua orang diperbolehkan memainkan
alat musik ini. Diperlukan proses bagi orang yang ingin memainkannya.
Menurut Putu Desa Tenganan memiliki pola
yang linear dari utara ke selatan. Penataannya bertumpu pada konsep mandala
Dandaka Mandala, konsep kosmologi alam semesta. Sebagai pemuja Dewa indra (Dewa
Perang), Desa Tenganan ditata seolah-olah seperti benteng (barak tentara).
Masyarakat Desa Tenganan diumpamakan tentara bagi Dewa Indra. Benteng di sini
tidaklah berwujud fisik seperti tembok, melainkan berupa kondisi alam, yaitu bukit
dan aliran sungai.
Menuju lingkup lebih kecil, alumnus
Universitas Gajah Mada angkatan 2001 ini menjelaskan mengenai pola rumah di
Tenganan. Sesama rumah letaknya berhadapan membentuk ruang kosong di tengahnya.
Ada ruang publik dan sakral. Hal ini mempermudah infrastruktur desa.
Pada sistem drainasenya, semua air kotor
dialirkan ke arah belakang. Akibatnya ruang publik maupun sakral akan tetap
sesuai konsepnya, bersih dan sakral. Rumah-rumah di Tenganan berbentuk seragam,
dari utara ke selatan. Pola ini membentuk sifat masyarakat lebih mementingkan
kebersamaan daripada perorangan (individual).
The Architect and Community merupakan
bagian akhir ceritanya. Pemuda kelahiran Desa Tenganan, 29 Desember 1982 ini
menceritakan kiprahnya sebagai arsitek dalam beberapa proyek di masyarakat
Tenganan.
Tenganan Microhydro Power Plant
merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam melalui
sumber energi terbaru. Dalam proyek yang didanai UNDP ini Putu terlibat desain
proses maupun konstruksi penyusunan rumah pembangkit listrik dan fasilitas
produksi beras.
Selain itu, Putu terlibat dalam
pengelolaan operasi produksi melalui kerjasama bisnis berbasis masyarakat. Dia
sebagai manajer lapangan. Proyek ini menghasilkan “Green Rice”, beras
dihasilkan dari pemanfaatan energi baru dengan biaya produksi murah.
Proyek selanjutnya Tenganan Water Supply
Project. Tujuan proyek ini memperbaiki seluruh teknis dan sosial aspek alokasi
kuantitas air, penilaian kualitas air dan kapasitas bangunan masyarakat
setempat.
Secara umum, Putu yang pernah bekerja di
Popo Danes Architect ini bertanggung jawab sebagai manajer proyek lokal.
Tugasnya mengoordinir dan mengelola seluruh program di tingkat lokal. Selain
itu, Putu juga mengerjakan desain dan persiapan konstruksi.
Menurut Putu, pencapaian terbesar proyek
ini ditandai dengan kolaborasi masyarakat dalam memberikan sistem infrasuktur
air baru bagi warga yang sebelumnya tidak memiliki akses air bersih.
Menurutnya, sudah dua tahun sejak proyek
ini dilaksanakan, distribusi air tidak pernah putus. Tujuan jangka panjang
proyek ini menyediakan sistem organisasi air sumur dengan pengelolaan yang
melibatkan masyarakat.
Selain mengerjakan proyek besar untuk
keberlangsungan desanya, Putu juga mengerjakan proyek rumah tinggal di Tenganan.
Dia tetap mengindahkan pakem-pakem di Tenganan.
Usai presentasi apik Putu, audiens
dipersilakan bertanya.
Desa Tenganan memiliki aturan
infrastruktur tersendiri. Kekhasan Tenganan ini memancing audiens untuk
bertanya sejauh mana batasan-batasan renovasi rumah tinggal di Tenganan.
Menurut Putu, renovasi rumah tinggal di Tenganan dilakukan tanpa lepas dari
keberlangsungan upacara-upacara yang akan dilakukan pemiliknya. “Ini peraturan
tidak tertulis yang sebaiknya diindahkan,” kata Putu.
Salah satu audiens, Fitorio Bowo
Leksono, memberi masukan tentang kain dengan sistem double ikat yang menurut
Putu hanya ada dua di dunia. Menurut Fitorio di Okinawa, Jepang juga terdapat
kain yang dibuat dengan sistem double ikat secara turun-temurun.
Salah satu presenter Architects Under
Big 3 #6, Andika Priya Utama, menanyakan pandangan Putu yang sudah pernah
melihat daerah daerah maju di luar Desa Tenganan. “Apakah pengalaman itu
menimbulkan pemikiran-pemikiran bagi perkembangan Desa Tenganan?” tanya Andika.
Putu mengakui, banyak hal perlu
diperbaiki, khususnya konsep dan filosofi yang mulai bergeser. Putu memberi
contoh persepsi warga Desa Tenganan terhadap periwisata. Dampak nyatanya adalah
pergeseran pola pikir warga Tenganan yang cenderung menjual demi kepentingan materi
daripada mendalami makna dari upacara.
Nampaknya alam memiliki waktunya
sendiri. Ketika interaksi Putu dengan audiens dirasa cukup, hujan mulai turun
membasahi kami semua.
Putu, pemuda asli Tenganan
Pageringsingan hari ini telah memberi pelajaran pada kita untuk membangun tanah
kelahirannya dengan tetap berpegang pada kearifan lokal. [b]
Sumber : Bale Bengong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar