Written
by Diana Pramesti on 15 Juni 2019
Salah satu gambar unggahan Dicky saat
mempersiapkan bahan terbaik untuk perayaan Musim Panen Mnahatfeu di Komunitas
Lakoat Kujawas. Ilustrasi: Deny Pratama.
Saat memikirkan ide tulisan tentang
desa, saya terngiang-ngiang Ibu saya.
Dia selalu mengatakan pada saya, ia akan
bahagia hidup sederhana di desa dengan tanaman-tanaman yang bisa diolahnya jadi
makanan. “Ih asyik sekali pasti, Dek. Buat gubuk kecil di kebun juga
sudah cukup.”
Ibu hampir tak pernah absen menyebut
impiannya ini tiap kali kami menyantap makanan olahannya: jaje timus, kolak,
pisang goreng, bolu pandan dengan daun pandan dan kayu suji yang tinggal
dipetik di halaman rumah. Saat-saat di rumah dan sering mendengarkan ia
bercerita soal mimpinya itu, saya hanya mendengarkan sepintas lalu.
Beberapa tahun kemudian, saat
menyaksikan seorang teman, Christian Dicky Senda, memilih untuk pulang ke
kampung halamannya di Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa
Tenggara Timur barulah saya paham kesungguhan mimpi Ibu saya. Niat awal melakukan
riset di kampung halaman berujung kemantapan hati Dicky untuk tinggal.
Sebelumnya, saya melihat cuitannya di Twitter
pada 27 April 2016; Mimpi saat ini. Pulang kampung ke Mollo, Timor, beli
tanah, jadi petani kopi, bikin homestay, bikin perpus dan sekolah alam, menulis
buku. Kemudian tak lama, Dicky membangun komunitas Lakoat Kujawas di
desanya.
Lakoat Kujawas, komunitas dengan konsep social
enterprise yang dikembangkan untuk pemberdayaan masyarakat, khususnya
anak-anak muda Mollo. Fokus kegiatannya di bidang literasi, kesenian,
kebudayaan, dan ekonomi kreatif.
Hingga saya menulis ini, saya melihat
Lakoat Kujawas terus bertumbuh bersamaan dengan semangat Dicky untuk desa
kelahirannya. Saya pikir, mimpinya perlahan-lahan menjadi nyata dan semoga
tetap didukung semesta.
Saya bertemu Dicky untuk kali pertama
pada 2015, saat kami sama-sama mengikuti Youth Adventure dan Youth
Leader Forum yang diselenggarakan oleh Gerakan Mari Berbagi di Cibubur.
Setelah itu, sekali pun kami belum pernah bertemu lagi. Kami hanya saling
berkabar secara tidak langsung melalui Instagram, tempat di mana saya
bisa menyaksikan pergerakan Dicky dan Lakoat Kujawas.
Cerita saya tentang Dicky kali ini juga
merupakan hasil amatan saya di media sosial. Semoga kelak ada kesempatan saya
mengobrol lebih jauh dengannya.
Sejak 2016, Dicky sangat konsisten
mengunggah foto berisi keterangan singkat ataupun panjang prihal aktivitasnya
di Lakoat Kujawas. Tentang perpustakaan yang dibangunnya di co-working space
Lakoat Kujawas—begitu ia kerap menyebut.
Saya turut senang menyaksikan bahwa
semangat Dicky di Lakoat Kujawas menular, kawan-kawannya, komunitas lain turut
berkolaborasi dengan menyumbangkan buku untuk perpustakaan ini. Anak-anak Mollo
semakin giat membaca.
Dicky juga memberikan apresiasi untuk
anak-anak yang paling rajin meminjam buku. Baru-baru ini ia meneritakan tiga
anak paling banyak meminjam buku, Dino, Edo Sesfaot dan Dimi Otemusu. Rata-rata
meminjam lebih dari 75 buku per tahun.
“Memang angka bukan segalanya. Dino
tahun ini lulus dengan nilai bahasa Indonesia terbaik di sekolahnya, pernah
diliput Tempo English, dan tulisannya ada di tiga buku terbitan Lakoat
Kujawas,” tulis Dicky pada foto yang memperlihatkan ketiga anak ini sedang
duduk di teras sambil membawa buku.
Impian di Mollo
Hal-hal yang membuat saya tertarik,
sekaligus ngiler, adalah saat Dicky mengunggah makanan khas Mollo dengan
bahan-bahan dari kebun Lakoat Kujawas dan petani Mollo. Sekali waktu, saya
melihat pisang Deli dan ubi kapuk bakar yang dijual di Pasar Kapan. Saya
membayangkan, nagasari dimasak dengan pisang Deli itu atau makan ubi kapuk
bakar saat Mollo sedang dingin-dinginnya.
Ada juga jagung bunga atau popcorn, bisa
saya rasakan kenikmatannya sambil melumat film-film di Netflix sambil bersantai
di hari Minggu. Belum lagi, sambal Lu’at organik produksi Lakoat Kujawas yang
terlihat menggoda itu, sungguh benar-benar menggiurkan.
Belum sampai di sana. Ada ubi jalar
ketan hitam, singkong rebus dan pisang Luang yang dimakan dengan madu asli
Mollo, dan berbagai panganan lokal pengganti nasi seperti bose, ubi, jali,
krotok, tewawut, pisang, keladi, sorgum, dan makanan lain yang diolah Dicky
dari bahan-bahan organik di kebun Lakoat Kujawas.
Saya membuat daftar sendiri di buku saya
berjudul, Impian di Mollo, berisi hal-hal yang ingin saya makan dan
ingin saya lakukan ketika kelak saya bisa bertandang ke Lakoat Kujawas.
Dicky tertarik dengan pangan, terutama
makanan khas Mollo yang sudah ada sejak zaman nenek moyangnya di sana. Ia
pernah menulis impiannya melalui akun Lakoat Kujawas di Facebook.
Mimpinya begini; Lagi berpikir untuk
menulis buku resep makanan khas Mollo tapi ditulis ala buku sastra. Atau
sebaliknya, menulis cerpen atau puisi tapi sebenarnya resep masakan (plus
mitos-mitosnya). Selain itu, ia juga jago masak, tak diragukan lagi!
Lewat berbagai makanan yang dihasilkan
di Lakoat Kujawas, saya bisa menjamin bahwa masyarakat Mollo tak akan kelaparan
dengan berbagai tanaman dan hasil alam yang Mollo suguhkan. Pisang ambon,
alpukat, kujawas/guava, kopi Kartika khas Mollo, lakoat/loquat,
lemun asam, labu siam, onat lau/daun mint lokal, dan masih banyak lagi
warna-warni tanaman yang tumbuh di kebun Lakoat Kujawas.
Nama Lakoat Kujawas sendiri diambil dari
dua tanaman yang dekat dengan masa kecil masyarakat Mollo; lakuat dan kujawas.
Dua tanaman yang selalu ada dan dekat dengan Mollo.
Kenapa Mesti Balik?
Dengan segala hal-hal inspiratif yang
saya lihat dari Dicky di Lakuat Kujawas, tiba-tiba saya dialihkan oleh
pertanyaan Ukke Kosasih pada Januari lalu. Menurut Diana, kenapa orang-orang
mesti pindah dan balik ke kampung?
Pertanyaan ini membuat saya berpikir
sejenak. Sebagai penduduk asal Bali yang sudah lima tahun di Bandung dan
Jakarta, tentu ini pertanyaan yang memberikan saya ruang untuk berpikir.
Pertama, ada kemungkinan sulit untuk melepaskan peluang yang kita dapat di
kota. Kedua, teman-teman dan jejaring lebih kuat terbentuk di kota. Pertanyaan
ini sungguh membuat saya bimbang.
Hal-hal yang kemudian, pada hari ini,
memberi saya kekuatan bahwa kelak saya tetap harus pulang. Mengingat kembali
tujuan saya bersekolah sejauh-jauh, setinggi-tingginya—meski tak harus, untuk
bekal saya pulang dan bisa menjadi lebih baik buat orang-orang di rumah.
Lebih-lebih jika saya bisa melakukan hal yang dilakukan oleh Dicky di kampung
saya sendiri, di Bali.
Sedikit cerita, Ukke merupakan pendiri
Circa Handmade. Sebuah komunitas dengan konsep serupa yang dilakukan Dicky, social
enterprise dengan produk utamanya adalah boneka dengan karakter unik yang
dibuat oleh para perempuan di desa Cihanjuang, Bandung.
Berbeda dengan Dicky, Cihanjuang bukan
kampung Ukke. Ia memutuskan untuk membentuk Circa atas dasar kesenjangan
desa-kota yang dilihatnya, utamanya terkait isu perempuan. Terutama pernikahan
dini dan kekerasan domestik yang terjadi dalam rumah tangga.
Pada 2006, ketika kredit mikro banyak
diberikan oleh pemerintah untuk pemberdayaan perempuan, Ukke tak berpikir ini
cara yang tepat untuk melakukan pemberdayaan perempuan. “Tapi apakah dengan
cara itu? Karena ternyata ketika perempuan tidak memiliki self esteem,
tidak mempunyai self existence, tidak bisa membayangkan mimpinya apa,
uang yang di tangan pun nggak akan jadi apa-apa,” ujarnya melalui
pembicaraan di telepon.
Saat wawancara via telepon pada Januari
lalu, Ukke menjelaskan Circa dalam sebulan bisa menerima sebanyak 400 boneka.
Penjualan bonekanya pun sudah merambah Australia. Namun, apa yang lebih penting
dalam pencapaian ini bahwa salah satu dari perempuan yang ada dalam Circa,
Wati, sudah bisa melakukan pekerjaan secara mandiri. Beberapa pekerjaan
administratif yang dulu dikerjakan oleh Ukke, kini sudah bisa ditangani Wati.
Hal ini membuat Ukke yakin, bahwa tanpa
dirinya pun Circa tetap bisa berkembang. Ia juga mengatakan bahwa pencapaian
yang membuatnya senang adalah ketika melihat teman-teman Circa sudah bisa
membuat inovasi produk, berani mempresentasikan karyanya, dan bisa dengan
bangga menghargai hasil karyanya. Buat Ukke hal ini menjadi bagian yang paling
penting dalam proses pemberdayaan komunitas.
Cerita panjang tentang Dicky dan sedikit
cerita tentang Ukke yang sampaikan dalam tulisan ini membawa saya kembali pada
mimpi Ibu saya. Bahwa cerita dari desa yang saya kabarkan ini membuat saya
yakin bahwa desa kelak tidak akan menjadi rumah untuk pulang. Desa bisa berdiri
sendiri, desa bisa berdaya.
Benar kata Dicky, kelak kita tak perlu
lagi pergi ke kota untuk iming-iming pekerjaan di kota. Atau ke luar negeri
untuk iming-iming gaji tinggi puluhan juta.
Semoga kelak semakin banyak kabar dari
desa yang bisa saya sampaikan. Salam. [b]
Sumber : Bale Bengong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar