oleh
Eko Rusdianto [Makassar] di 26 January 2020
Perlu ada aksi segera
penyelamatan maleo di Towuti, Sulawesi Selatan. Sampai tahun 2000, maleo acap
kali diburu. Saat itu, tak ada yang menyadari, bagaimana kelak burung ini
bertahan. Makin tahun, spesies ini mulai berkurang. Kini, International Union for Conservation of Nature (IUCN)
memasukkan sebagai satwa terancam punah.
Alfred Russel Wallace pada 1859
dalam Kepulauan Nusantara mencatat, bagaimana maleo ini menghadapi ancaman
nyata terutama dari manusia. Orang-orang sekitar tempat bertelur maleo, dari
kampung berjarak hingga 50 mil, berdatangan mencari telur untuk konsumsi.
Dedi Darman, mahasiswa
Universitas Andi Djemma Palopo yang meneliti populasi maleo di Towuti,
melakukan pengamatan dari 2017-2019, hanya 10 kali perjumpaan. Soal perjumpaan
itu dengan burung sama, atau berbeda, tak ada yang bisa memastikan.
Menyaksikan maleo berjalan
menelusuri pasir hitam dan menari, suatu keindahan dan pengalaman yang
menakjubkan.
“Itu suaranya. Itu suaranya… Di
belakang, dekat sekali,” kata Dedi Darman Sura,’ menunjuk tutupan hutan di
belakang kami. “Ai dekat sekali. Kayaknya itu pasangan lain,”
katanya.
Dedi Darman, adalah mahasiswa
Universitas Andi Djemma Palopo yang meneliti populasi maleo di Towuti.
Di Tanjung Tominanga, dengan beberapa
pohon bakau dan pasir hitam di pesisir Danau Towuti, kami duduk berdiam diri.
Beberapa detik kemudian, kami berdiri dan berjalan pelan. Memasuki semak,
mencoba peruntungan andai-andai si burung itu terlihat. Ketika suaranya makin
keras, kemungkinan kami sudah dekat. Tiba-tiba suara itu hilang.
Di hutan Tominanga, di tempat yang
menyempit di pesisir Danau Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada burung
molo, nama lokal dari maleo. Maleo senkawor (Macrocephalon maleo), jenis
burung gosong, dengan ukuran dua kali lebih besar dari ayam hutan. Burung itu,
dikenal masyarakat setempat bertelur lezat, dan daging empuk.
Sampai 2000, maleo acap kali diburu.
Saat itu, tak ada yang menyadari, bagaimana kelak burung ini bertahan. Makin
tahun, spesies ini mulai berkurang. Kini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan sebagai satwa terancam punah.
Bagi warga lokal, maleo adalah satwa
biasa. Pada 2016, beberapa mahasiswa dari Universitas Andi Djemma, mendengar
keberadaannya. Burung Indonesia, ikut menelisik dan mendukung program
pelestarian lewat sosialisasi.
“Dari situ, saya baru tahu kalau burung
ini endemik. Burung ini spesial,” kata Apping, warga lokal.
Apping, seorang nelayan dan sekaligus
petani. Sebagai nelayan memungkinkan dia acap kali bertemu maleo. Tanjung
Tominanga, adalah tempat istirahat beberapa nelayan di pesisir Danau Towuti
kala mencari ikan. Pada pagi, siang, dan sore, pesisir tanjung adalah tempat
istirahat terbaik. Ketika malam, nelayan juga memilih pesisir itu sebagai
tempat menginap.
Saat menjelang pagi, maleo yang keluar
hutan, akan bermain di pasir, atau bertelur, dan acapkali terganggu karena
aktivitas nelayan. Bahkan, beberapa nelayan tak menyangkal, mencoba menggali
telur, untuk makanan.
Warga juga ada datang mencari telur,
dengan kayu kecil mereka menusuk-nusuk pasir. Maleo adalah satwa yang pandai
menjaga telur. Burung ini membuat beberapa lubang galian dan menempatkan telur
di antara lubang tipuan itu.
***
Minggu pagi, akhir Desember lalu, saya
menyaksikan burung ini menggali pasir. Di dalam shelter dadakan yang
kami bangun pada sore hari sebelumnya, pukul 6.25 ketika matahari belum muncul,
tiga maleo keluar dari hutan Tominanga.
Mereka berjalan, menelusuri pasir hitam.
Jarak saya dengan burung hanya sekitar 10 meter, ketika dua burung saling
berkejaran lalu berjalan memasuki hutan kembali.
Kini, hanya ada dua burung. Kemungkinan
mereka adalah pasangan. Satu terlihat lebih kecil. Burung itu bergantian
menggali pasir, bahkan bersamaan menggali dua lubang. Kakinya terlihat kuat,
menghamburkan pasir. Terkadang, hanya ada ujung ekor yang terlihat, karena
seluruh badan masuk lubang galian.
**
Dari teropong kamera, saya menyaksikan
dari dalam shelter. Ketika shutter shot tertekan dan berbunyi, kepala
burung seakan mencari bunyi suara. Leher dijenjangkan, kemudian mereka kembali
menggali. Burung itu terus berpindah lubang galian.
Menggali lalu menutup kembali. Kemudian
berpindah. Dari dalam shelter, saya menghitung titik perpindahan burung
itu menggali. Lubang galian pertama mulai pukul 06.35, hingga lubang ke
sembilan pukul 09.02. Ada sembilan tempat penggalian, dilakukan dua maleo.
Jumlah lubang sekitar 15.
Pada titik penggalian tertentu, mereka
bersama menutup lubang. Ketika lubang sudah tertutup, seekor burung (dengan
badan lebih kecil) membuat garakan cukup memukau. Burung seperti menghentakkan
kaki di atas pasir – seperti berjalan di tempat. Maju mundur berkali-kali. Saya
menamai itu tarian maleo.
Saya mengagumi tarian itu sekitar dua
menit. Burung lain hanya berdiri melihat dan mengawasi. Pertunjukan itu sangat
memukau. di Pada delapan titik penggalian lain, tarian itu tak ia pertontonkan.
Pukul 07.48, beberapa menit ketika
tarian itu berakhir, mereka berjalan ke dekat shelter. Hati saya
berdebar kencang. Maleo itu melintas di jarak tak sampai dua meter. Saya
berdiri mematung.
Tiba-tiba seekor maleo mengeluarkan
suara. Mereka berbalik dan menjauh sekitar 10 meter. Dua kepala burung bergerak
cepat. Wussssss… kepakan sayap berbunyi kencang.
Maleo itu terbang, melewati jarak
sekitar 200 meter, melintasi ilalang yang tumbuh di rawa. Bertengger di dahan
pohon. Beberapa saat kemudian, mereka muncul kembali dari semak. Menggali
pasir.
Muhammad Jafar, warga Desa Pekaloa,
seorang yang mengenal maleo. Pada dekade 1990-an-2000-an awal, lelaki 50 tahun
ini biasa mengambil telur burung itu.
Pada 1996, dia bahkan memelihara empat
pasang burung itu hasil tangkapan warga lain. Dia beli Rp15.000. Empat pasang
itu, dia taruh di kadang belakang rumah. Dia menghamburkan gabah dan beras untuk
makanan. Beberapa pasangan bertelur dan telur untuk konsumsi sendiri.
Setahun kemudian, burung mulai terlihat
sakit. Satu persatu mati. Ketika hanya tinggal sepasang, Jafar membawa kembali
ke hutan Tominanga dan melepaskan.
“Waktu itu, saya tidak tahu kalau burung
itu makan buah. Saya kira seperti ayam,” kata Jafar, mengenang.
Di Pekaloa, Jafar dianggap sebagai ahli
maleo. Untuk menemukan telur maleo, dia bahkan tak perlu menggunakan kayu,
tetapi menerka langsung. “Jadi, mungkin seperti ada radar sendiri di kepalanya
yang terhubung dengan telur,” kata Irsan, warga lain.
Dalam catatan Burung Indonesia, Jafar
dianggap sebagai seorang pelestari yang melakukan kegiatan dengan sunyi.
Laporan itu bahkan mengutip, bagaimana Jafar menetaskan dan melepasliarkan kembali.
Kanopi hutan yang tipis dalam kawasan
Hutan Lindung Tominanga, sebagai wilayah jelajah maleo, sebelum menuju tempat
bertelur. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Saya menjumpai Jafar pada 30 Desember
2019. Dia sudah tak mencari telur maleo lagi. Saya bertanya, mengenai rasa
telur maleo. “Ai enak memang. Lebih banyak kuningnya itu. Tidak bau,”
katanya.
“Kalau saya dapat telur, saya lihat
dulu. Kalau telur masih baru, bisa dimakan. Kalau sudah lama, saya bawa ke
rumah, terus tetaskan,” katanya.
“Jadi tidak semua telur maleo
ditetaskan?” tanya saya.
“Tidak. Yang ditetaskan yang sudah tua
saja, yang sudah anakan di dalam.”
Maleo yang terancam
Dua maleo yang saya amati itu berjalan
anggun. Ekor terangkat. Bulu sayap, ekor dan punggung hitam mengkilap. Bulu
dada berwarna merah muda dan kaki jenjang bak peragawati. Mengamati maleo
selama hampir tiga jam di alam bebas adalah pertunjukan sangat mewah.
Kekaguman itu juga dituliskan Alfred
Russel Wallace pada 1859 dalam Kepulauan Nusantara, ketika mengunjungi Manado.
Wallace melihat banyak sekali maleo dan menembak beberapa ekor.
“Nyaris tidak ada perbedaan, antara
maleo jantan dan betina, kecuali pada jambul atau topi di belakang kepala.
Selain itu, pada maleo jantan terdapat benjolan di cuping hidung yang lebih
besar dan berwana merahnya lebih tua,” tulisnya.
“Walaupun demikian, membedakan maleo
jantan dan betina tanpa melalui pembedahan sulit dilakukan.”
Wallace juga mencatat, bagaimana maleo
ini menghadapi ancaman nyata terutama dari manusia. Orang-orang sekitar tempat
bertelur maleo, dari kampung berjarak hingga 50 mil, berdatangan mencari telur
untuk konsumsi.
“Telur maleo lebih bergizi daripada
telur ayam. Rasanya lebih enak, sedangkan setiap butir dapat memenuhi satu
cangkir teh biasa dan sangat enak dimakan dengan roti dan nasi.”
Sejak 160 tahun sejak kedatangan
Wallace, ancaman maleo untuk konsumsi manusia tetap berlangsung hingga kini.
Ancaman lain adalah deforestasi. Pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan dan
pemukiman membuat habitat maleo terdesak. Tak jauh dari hutan Tominanga,
pembukaan pemukiman untuk transmigrasi Mahalona, berlangsung sejak 2000.
Sementara ancaman lain adalah perkebunan dan pembalakan liar.
Hutan Tominanga, sejak 1990 merupakan
area penebangan pohon, dan lalu lintas gelondongan menuju Danau Towuti.
Kayu-kayu itu, akan ditarik dengan perahu bermesin dibawa menuju pesisir desa.
Di Kecamatan Towuti, pesisir danau ini, ada puluhan pengolahan kayu beroperasi
hingga kini.
Beberapa orang menduga, kalau kayu
olahan itu didatangkan dari hutan Sulawesi Tenggara, yang berbatasan dengan
Danau Towuti. Bila tak dari hutan jauh, di Sungai Mahalona, dekat Tanjung
Tominanga, kayu-kayu gelondongan itu masih terendam dan siap diangkut.
M.Argeloo dalam The Maleo
Macrocephalon maleo: new information on the distribution and status of
Sulawesi’s endemic megapode, di jurnal Bird Concervation International pada
1994, mencatat, kalau di Sulawesi ada 83 nesting ground (tempat
bertelur) baik alami, atau usaha koservasi. Sebaran itu di Danau Matano dan
Danau Towuti, dengan status hampir terancam.
Di pesisir Matano, saya menemui beberapa
orang tua. Ingatan mereka seragam. Maleo pada 1990-an masih ditemukan di beberapa
pesisir danau yang berpasir hitam. Sekarang, sudah tak pernah lagi terlihat.
Ketika saya membicarakan itu, orang-orang itu mulai sadar, betapa mereka
kehilangan banyak hal.
Di pesisir Danau Towuti, di Tanjung
Tominanga itu, inilah satu-satunya nasting ground maleo yang tersisa.
Satu-satunya di wilayah Sulawesi Selatan, dengan habitat kian terdesak.
Dugaan Dedi, berdasar. Selama pengamatan
dari 2017-2019, hanya 10 kali perjumpaan. Soal perjumpaan itu dengan burung
sama, atau berbeda, tak ada yang bisa memastikan.
“Tapi coba liat. Hari ini, kita hanya
menjumpai tiga. Setelah itu masuk kembali ke hutan, baru kembali terdengar
suaranya. Apakah itu pasangan sama, atau pasangan berbeda. Tidak ada yang
memastikannya,” katanya.
Dedi berharap, ada upaya serius melestarikan
maleo. “Penelitian saya, memperkirakan hanya ada dua pasang maleo saat ini.
Mendengar suaranya saja saya sangat senang. Senang sekali.”
Sumber : Mongabay Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar