Senin, 27 Januari 2020

Terancam, Bersegera Selamatkan Maleo Towuti

Selasa, 28 Januari 2020

oleh Eko Rusdianto [Makassar] di 26 January 2020

Perlu ada aksi segera penyelamatan maleo di Towuti, Sulawesi Selatan. Sampai tahun 2000, maleo acap kali diburu. Saat itu, tak ada yang menyadari, bagaimana kelak burung ini bertahan. Makin tahun, spesies ini mulai berkurang. Kini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan sebagai satwa terancam punah.
Alfred Russel Wallace pada 1859 dalam Kepulauan Nusantara mencatat, bagaimana maleo ini menghadapi ancaman nyata terutama dari manusia. Orang-orang sekitar tempat bertelur maleo, dari kampung berjarak hingga 50 mil, berdatangan mencari telur untuk konsumsi.
Dedi Darman, mahasiswa Universitas Andi Djemma Palopo yang meneliti populasi maleo di Towuti, melakukan pengamatan dari 2017-2019, hanya 10 kali perjumpaan. Soal perjumpaan itu dengan burung sama, atau berbeda, tak ada yang bisa memastikan.
Menyaksikan maleo berjalan menelusuri pasir hitam dan menari, suatu keindahan dan pengalaman yang menakjubkan.



“Itu suaranya. Itu suaranya… Di belakang, dekat sekali,” kata Dedi Darman Sura,’ menunjuk tutupan hutan di belakang kami. “Ai dekat sekali. Kayaknya itu pasangan lain,” katanya.

Dedi Darman, adalah mahasiswa Universitas Andi Djemma Palopo yang meneliti populasi maleo di Towuti.

Di Tanjung Tominanga, dengan beberapa pohon bakau dan pasir hitam di pesisir Danau Towuti, kami duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, kami berdiri dan berjalan pelan. Memasuki semak, mencoba peruntungan andai-andai si burung itu terlihat. Ketika suaranya makin keras, kemungkinan kami sudah dekat. Tiba-tiba suara itu hilang.

Di hutan Tominanga, di tempat yang menyempit di pesisir Danau Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada burung molo, nama lokal dari maleo. Maleo senkawor (Macrocephalon maleo), jenis burung gosong, dengan ukuran dua kali lebih besar dari ayam hutan. Burung itu, dikenal masyarakat setempat bertelur lezat, dan daging empuk.

Sampai 2000, maleo acap kali diburu. Saat itu, tak ada yang menyadari, bagaimana kelak burung ini bertahan. Makin tahun, spesies ini mulai berkurang. Kini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan sebagai satwa terancam punah.

Bagi warga lokal, maleo adalah satwa biasa. Pada 2016, beberapa mahasiswa dari Universitas Andi Djemma, mendengar keberadaannya. Burung Indonesia, ikut menelisik dan mendukung program pelestarian lewat sosialisasi.

“Dari situ, saya baru tahu kalau burung ini endemik. Burung ini spesial,” kata Apping, warga lokal.

Apping, seorang nelayan dan sekaligus petani. Sebagai nelayan memungkinkan dia acap kali bertemu maleo. Tanjung Tominanga, adalah tempat istirahat beberapa nelayan di pesisir Danau Towuti kala mencari ikan. Pada pagi, siang, dan sore, pesisir tanjung adalah tempat istirahat terbaik. Ketika malam, nelayan juga memilih pesisir itu sebagai tempat menginap.

Saat menjelang pagi, maleo yang keluar hutan, akan bermain di pasir, atau bertelur, dan acapkali terganggu karena aktivitas nelayan. Bahkan, beberapa nelayan tak menyangkal, mencoba menggali telur, untuk makanan.

Warga juga ada datang mencari telur, dengan kayu kecil mereka menusuk-nusuk pasir. Maleo adalah satwa yang pandai menjaga telur. Burung ini membuat beberapa lubang galian dan menempatkan telur di antara lubang tipuan itu.


***
Minggu pagi, akhir Desember lalu, saya menyaksikan burung ini menggali pasir. Di dalam shelter dadakan yang kami bangun pada sore hari sebelumnya, pukul 6.25 ketika matahari belum muncul, tiga maleo keluar dari hutan Tominanga.

Mereka berjalan, menelusuri pasir hitam. Jarak saya dengan burung hanya sekitar 10 meter, ketika dua burung saling berkejaran lalu berjalan memasuki hutan kembali.

Kini, hanya ada dua burung. Kemungkinan mereka adalah pasangan. Satu terlihat lebih kecil. Burung itu bergantian menggali pasir, bahkan bersamaan menggali dua lubang. Kakinya terlihat kuat, menghamburkan pasir. Terkadang, hanya ada ujung ekor yang terlihat, karena seluruh badan masuk lubang galian.


**
Dari teropong kamera, saya menyaksikan dari dalam shelter. Ketika shutter shot tertekan dan berbunyi, kepala burung seakan mencari bunyi suara. Leher dijenjangkan, kemudian mereka kembali menggali. Burung itu terus berpindah lubang galian.

Menggali lalu menutup kembali. Kemudian berpindah. Dari dalam shelter, saya menghitung titik perpindahan burung itu menggali. Lubang galian pertama mulai pukul 06.35, hingga lubang ke sembilan pukul 09.02. Ada sembilan tempat penggalian, dilakukan dua maleo. Jumlah lubang sekitar 15.
  
Pada titik penggalian tertentu, mereka bersama menutup lubang. Ketika lubang sudah tertutup, seekor burung (dengan badan lebih kecil) membuat garakan cukup memukau. Burung seperti menghentakkan kaki di atas pasir – seperti berjalan di tempat. Maju mundur berkali-kali. Saya menamai itu tarian maleo.

Saya mengagumi tarian itu sekitar dua menit. Burung lain hanya berdiri melihat dan mengawasi. Pertunjukan itu sangat memukau. di Pada delapan titik penggalian lain, tarian itu tak ia pertontonkan.

Pukul 07.48, beberapa menit ketika tarian itu berakhir, mereka berjalan ke dekat shelter. Hati saya berdebar kencang. Maleo itu melintas di jarak tak sampai dua meter. Saya berdiri mematung.

Tiba-tiba seekor maleo mengeluarkan suara. Mereka berbalik dan menjauh sekitar 10 meter. Dua kepala burung bergerak cepat. Wussssss… kepakan sayap berbunyi kencang.

Maleo itu terbang, melewati jarak sekitar 200 meter, melintasi ilalang yang tumbuh di rawa. Bertengger di dahan pohon. Beberapa saat kemudian, mereka muncul kembali dari semak. Menggali pasir.

Muhammad Jafar, warga Desa Pekaloa, seorang yang mengenal maleo. Pada dekade 1990-an-2000-an awal, lelaki 50 tahun ini biasa mengambil telur burung itu.

Pada 1996, dia bahkan memelihara empat pasang burung itu hasil tangkapan warga lain. Dia beli Rp15.000. Empat pasang itu, dia taruh di kadang belakang rumah. Dia menghamburkan gabah dan beras untuk makanan. Beberapa pasangan bertelur dan telur untuk konsumsi sendiri.

Setahun kemudian, burung mulai terlihat sakit. Satu persatu mati. Ketika hanya tinggal sepasang, Jafar membawa kembali ke hutan Tominanga dan melepaskan.

“Waktu itu, saya tidak tahu kalau burung itu makan buah. Saya kira seperti ayam,” kata Jafar, mengenang.

Di Pekaloa, Jafar dianggap sebagai ahli maleo. Untuk menemukan telur maleo, dia bahkan tak perlu menggunakan kayu, tetapi menerka langsung. “Jadi, mungkin seperti ada radar sendiri di kepalanya yang terhubung dengan telur,” kata Irsan, warga lain.

Dalam catatan Burung Indonesia, Jafar dianggap sebagai seorang pelestari yang melakukan kegiatan dengan sunyi. Laporan itu bahkan mengutip, bagaimana Jafar menetaskan dan melepasliarkan kembali.

Kanopi hutan yang tipis dalam kawasan Hutan Lindung Tominanga, sebagai wilayah jelajah maleo, sebelum menuju tempat bertelur. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Saya menjumpai Jafar pada 30 Desember 2019. Dia sudah tak mencari telur maleo lagi. Saya bertanya, mengenai rasa telur maleo. “Ai enak memang. Lebih banyak kuningnya itu. Tidak bau,” katanya.

“Kalau saya dapat telur, saya lihat dulu. Kalau telur masih baru, bisa dimakan. Kalau sudah lama, saya bawa ke rumah, terus tetaskan,” katanya.

“Jadi tidak semua telur maleo ditetaskan?” tanya saya.

“Tidak. Yang ditetaskan yang sudah tua saja, yang sudah anakan di dalam.”

Maleo yang terancam

Dua maleo yang saya amati itu berjalan anggun. Ekor terangkat. Bulu sayap, ekor dan punggung hitam mengkilap. Bulu dada berwarna merah muda dan kaki jenjang bak peragawati. Mengamati maleo selama hampir tiga jam di alam bebas adalah pertunjukan sangat mewah.

Kekaguman itu juga dituliskan Alfred Russel Wallace pada 1859 dalam Kepulauan Nusantara, ketika mengunjungi Manado. Wallace melihat banyak sekali maleo dan menembak beberapa ekor.

“Nyaris tidak ada perbedaan, antara maleo jantan dan betina, kecuali pada jambul atau topi di belakang kepala. Selain itu, pada maleo jantan terdapat benjolan di cuping hidung yang lebih besar dan berwana merahnya lebih tua,” tulisnya.

“Walaupun demikian, membedakan maleo jantan dan betina tanpa melalui pembedahan sulit dilakukan.”

Wallace juga mencatat, bagaimana maleo ini menghadapi ancaman nyata terutama dari manusia. Orang-orang sekitar tempat bertelur maleo, dari kampung berjarak hingga 50 mil, berdatangan mencari telur untuk konsumsi.

“Telur maleo lebih bergizi daripada telur ayam. Rasanya lebih enak, sedangkan setiap butir dapat memenuhi satu cangkir teh biasa dan sangat enak dimakan dengan roti dan nasi.”

Sejak 160 tahun sejak kedatangan Wallace, ancaman maleo untuk konsumsi manusia tetap berlangsung hingga kini. Ancaman lain adalah deforestasi. Pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan dan pemukiman membuat habitat maleo terdesak. Tak jauh dari hutan Tominanga, pembukaan pemukiman untuk transmigrasi Mahalona, berlangsung sejak 2000. Sementara ancaman lain adalah perkebunan dan pembalakan liar.
  
Hutan Tominanga, sejak 1990 merupakan area penebangan pohon, dan lalu lintas gelondongan menuju Danau Towuti. Kayu-kayu itu, akan ditarik dengan perahu bermesin dibawa menuju pesisir desa. Di Kecamatan Towuti, pesisir danau ini, ada puluhan pengolahan kayu beroperasi hingga kini.

Beberapa orang menduga, kalau kayu olahan itu didatangkan dari hutan Sulawesi Tenggara, yang berbatasan dengan Danau Towuti. Bila tak dari hutan jauh, di Sungai Mahalona, dekat Tanjung Tominanga, kayu-kayu gelondongan itu masih terendam dan siap diangkut.

M.Argeloo dalam The Maleo Macrocephalon maleo: new information on the distribution and status of Sulawesi’s endemic megapode, di jurnal Bird Concervation International pada 1994, mencatat, kalau di Sulawesi ada 83 nesting ground (tempat bertelur) baik alami, atau usaha koservasi. Sebaran itu di Danau Matano dan Danau Towuti, dengan status hampir terancam.

Di pesisir Matano, saya menemui beberapa orang tua. Ingatan mereka seragam. Maleo pada 1990-an masih ditemukan di beberapa pesisir danau yang berpasir hitam. Sekarang, sudah tak pernah lagi terlihat. Ketika saya membicarakan itu, orang-orang itu mulai sadar, betapa mereka kehilangan banyak hal.

Di pesisir Danau Towuti, di Tanjung Tominanga itu, inilah satu-satunya nasting ground maleo yang tersisa. Satu-satunya di wilayah Sulawesi Selatan, dengan habitat kian terdesak.
Dugaan Dedi, berdasar. Selama pengamatan dari 2017-2019, hanya 10 kali perjumpaan. Soal perjumpaan itu dengan burung sama, atau berbeda, tak ada yang bisa memastikan.

“Tapi coba liat. Hari ini, kita hanya menjumpai tiga. Setelah itu masuk kembali ke hutan, baru kembali terdengar suaranya. Apakah itu pasangan sama, atau pasangan berbeda. Tidak ada yang memastikannya,” katanya.

Dedi berharap, ada upaya serius melestarikan maleo. “Penelitian saya, memperkirakan hanya ada dua pasang maleo saat ini. Mendengar suaranya saja saya sangat senang. Senang sekali.”

Sumber : Mongabay Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...