Sabtu, 25 Januari 2020
oleh Wahyu Candra, Sinjai di 28
February 2015
Siang itu, Sabtu (20/2/15), cuaca
terik, jalanan berdebu. Puluhan pengendara sepeda motor menyusuri pesisir timur
Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Mereka ingin mengunjungi kawasan mangrove
yang dulu termahsyur di daerah bernama Tongke-tongke. Jalan rusak dan
bergelombang. Pengendara harus berhati-hati.
Rombongan itu, mahasiswa sejumlah
perguruan tinggi di Sinjai sedang mencari bahan penulisan feature. Ini bagian pelatihan
jurnalistik lanjutan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP)
Muhammadiyah Sinjai kerjasama dengan Mongabay, 19-21 Februari 2015.
Tongke-tongke punya sejarah indah.
Para pecinta mangrove menyebut, sebagai surga mangrove di Sulsel. Banyak yang
berkunjung dan belajar mangrove di Tongke-tongke masa lalu.
Desa berjarak lima km dari Sinjai
ini pernah menjadi tujuan wisata mancanegara karena bentangan hutan mangrove
luas dan tertata rapi. Pengelola awal, Tayeb, bahkan pernah mendapatkan penghargaan
Kalpataru bidang penyelamatan lingkungan dari Presiden Soeharto pada 1995.
Namun, kondisi desa berpenduduk
sekitar 3.650 jiwa terdiri dari lima dusun ini, kini tidak seindah dulu.
Pesona memudar meskipun mangrove terlihat tumbuh dan terjaga baik, setinggi
belasan meter.
Hanya tidak senyaman dulu sebagai
kawasan wisata. Jembatan-jembatan kecil untuk menikmati kesejukan kawasaan
rusak berat, tak bisa dilalui. Sebagian besar papan tercabut. Warga membuat
jalan papan, hanya jangkauan terbatas.
Dulu, tersedia perahu kecil bagi
pelancong sekadar menyusuri kawasan rindang ini. Kini, hanya perahu nelayan
banyak bersandar.
Tiba di lokasi, tampak
beberapa nelayan sibuk mempersiapkan perahu mesin. Mereka akan berangkat ke
Selayar ntuk membeli ikan dari nelayan-nelayan di sana.
“Sekarang ikan kurang,
harus dibeli dari nelayan-nelayan di Selayar,” kata Basir, seorang nelayan.
Kala Basir tak melaut biasa membeli
dari nelayan lain. Dia biasa melaut 5-10 hari dan kadang sampai sebulan.
Sejak beberapa tahun terakhir,
katanya, perhatian warga melestarikan mangrove di kawasan itu mulai berkurang.
“Sekarang lebih banyak melaut. Mangrove juga banyak rusak. Perhatian pemerintah
sudah tak ada. Tak ada lagi petugas berjaga.”
Sebagian besar jalur utama menuju
lokasi ini sudah rusak parah. Setelah kasus korupsi pembangunan jalanan kayu
ini pada 2007 tak ada upaya lagi memperbaiki. Warga takut memperbaiki karena
menganggap itu wewenang pemerintah.
Foto: Wahyu Chandra
Petta Pala, warga yang dulu banyak
terlibat program penghijauan kawasan itu, bercerita, ketika Menteri Kelautan
Susi Pudjianti, berkunjung ke tempat itu hanya bisa sampai di pintu
masuk.
“Karena jembatan rusak dan
goyang-goyang,” kata pria 81 tahun ini, sambil menunjuk pos di pintu masuk.
Petta bercerita, menanam mangrove
mulai 1990-an. Dia bersama warga lain memperluas area tanam hingga ratusan
hektar. Luas kawasan itu sekitar 786 hektar. “Setiap hari cari bibit lalu
ditanam. Itu awalnya swadaya. Kadang juga ada program pemerintah. Kita
sama-sama menanam.”
Petta dan warga lain sempat usaha
pembibitan mangrove sebagai lahan bisnis. Mereka mengambil bibit-bibit
berserakan, dibibitkan lalu dijual.
Dia hanya beberapa tahun karena
makin banyak orang ingin terlibat. Dia memilih bekerja sendiri. Petta memiliki
lahan pribadi 1,5 hektar di situ, yang terus ditanami mangrove.
Menurut dia, meski tak terawat
tetapi warga tetap menjaga mangrove. Ada larangan menebang.
“Dilarang menebang
kalau dihabiskan. Kalau dipakai sedikit tidak masalah tapi harus ditanam lagi
supaya tak kosong. Siapa yang rugi kalau banyak ombak? Masyarakat sendiri. Ini
untuk masyarakat.”
Tidak hanya menjaga desa dari
terjangan ombak, ekosistem mangrove sebagai sumber penghidupan warga. Mereka
budidaya rumput laut. Di sela-sela akar mangrove juga banyak kepiting dan ikan
yang bisa dikonsumsi ataupun dijual.
Namun, Petta tak memungkiri ada
warga mengambil melebihi kebutuhan hingga menyebabkan kerusakan.
“Mungkin ada
tebang banyak pohon, tapi tidak ketahuan.”
Jasmadi Akbar, warga setempat juga
mahasiswa STISIP Muhammadiyah, mengatakan, konon kata Tongke-tongke berasal
dari ‘toke’ sebutan bagi pedagang keturunan Tionghoa.
“Kampung ini terkenal tempat tinggal
para toke, maka orang menyebut kampung toke menjadi Tongke-tongke, meski
banyak juga warga Bugis di sini.”
Tongke-tongke, katanya, dikenal luas
karena kaya biota laut dan mangrove. Kawasan ini dulu laboratorium alam bagi
peneliti.
Daerah ini pernah menjadi sasaran
Field Work Program (FWP) kerjasama tim JICA dan Ausaid karena keindahan alam
dan biota laut. Biota laut seperti kepiting, benur, nener, udang, biri, tiram.
Beragam jenis ikan bisa ditemukan seperti sunu, baronang, bandeng, cakalang,
bua-bua, ikan terbang dan teri.
Jasmadi optimistis, pengembangan
Tongke-tongke. Dia yakin, setelah kunjungan Menteri Kelautan berdampak
pada perhatian pemerintah menata kembali kawasan itu.
Sumber : Mongabay Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar