TRADISI adalah perayaan kebersamaan.
Juga di Bali. Untuk menjaga kebersamaan nyama Bali mempertahankan
sekaligus tetap merayakan tradisi di era digital ini. Sebut saja tradisi
magibung, mebat, perang tipat, dan lain-lain. Tanpa keterpaksaan,
masyarakat Bali masih tetap gencar menggelar tradisi-tradisi itu dengan riang
gembira.
Salah satunya, tradisi Perang Pandan
di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem. Tradisi Perang Pandan tentu
saja bukan perang sesungguhnya, melainkan lebih sebagai sebuah ritual dari
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai tradisional.
Tradisi itu senantiasa menyedot
perhatian masyarakat pengusungnya serta mendapat perhatian besar dari
pengunjung luar daerah. Mereka tidak hanya sedang menjaga tradisi, melainkan
juga sedang memupuk rasa kebersamaan antarwarga. Kebersamaan di dunia nyata —
di dunia nyata yang sedang gaduh oleh media sosial dunia maya.
Menjaga kebersamaan melalui tradisi
perang tentu saja unik. Keunikan memang jadi ciri khas masyarakat di Desa
Tenganan Pegringsingan. Meski disebut perang, tapi tak ada pedang, tak ada
pisau belati.
Apalagi bedil. Senjata yang digunakan
hanya pandan berduri. Makanya disebut Perang Pandan atau biasa juga
disebut Makare-kare. Mereka berperang dengan pandan, tanpa rasa marah,
tanpa permusuhan. Mereka bermain, bercanda, lebih banyak saling rangkul, saling
peluk.
Tidak mudah menjaga tradisi itu.
Diperlukan kesadaran dan ketekunan agar tradisi itu terus bisa terlaksana.
Terlebih di era digital, kehadiran tradisi bisa dengan mudah tenggelam. Namun,
tidak begitu dengan masyarakat Tenganan. Tradisi Perang Pandan
selalu digelar, selalu jadi perhatian. Apalagi acara itu dianggap juga sebagai
persembahan bagi Dewa Indra.
Deretan Pandan Berduri
Saat Hari Saraswati, Sabtu, 25 Juni
2016, merupakan hari kedua Perang Pandan di Tenganan. Di sekitar
panggung yang menghadap ke bale pemujaan tampak sudah tersedia
ikatan-ikatan pandan duri. Pandan duri itu berjejer, disusun sedemikian rupa.
Pengunjung mencari tempat nyaman dan
tepat untuk menyaksikan ritual adat itu. Sejumlah pengunjung menyiapkan alat
rekam gambar. Sejumlah yang lain mencari tempat teduh. Ada pula pengunjung yang
sudah siap ikut berpartisipasi sebagai peserta perang.
Deretan Pandan Duri
Di bale penyambutan, beberapa daha
mempersiapkan kudapan untuk tamu undangan dari desa tetangga. Tepat pukul
13.00 Wita, tamu datang. Dengan menggunakan kain tenun khas Tenganan, para daha
menyambut para tamu. Ada yang menyajikan kopi, ada yang menyajikan kudapan
berupa tipat, jaja uli, pisang, ketela rebus, dan sejenisnya.
Perang pandan dimulai dengan
acara ngelawang. Acara ini diikut oleh daha dan truna. Mereka
beiring-iringan mengitari desa dengan iringan tetabuhan. Mengitari desa adalah
simbol kehidupan yang terus berputar.
Setelah dua kali mengitari desa, mereka
siap menggelar acara. Tabuh khas Tenganan mengalun pelan dan khusuk. Para daha
dengan riasan sederhana memadati bale pemujaan. Para truna
dari Desa Tenganan sudah bersiap di sekitar panggung untuk “berperang”. Mereka
menggunakan udeng kombinasi merah, hitam, dan putih.
Aksi Perang Pandan diawali para truna
asli Tenganan. Mereka berhadap-hadapan, satu lawan satu. Mereka saling
memukul dengan pandan duri. Mereka saling melindungi diri dengan perisai
anyaman.
Yang lengah, badannya terpukul ikatan
pandan. Ada yang taka pa-apa, ada juga yang berdarah. Begitu seterusnya secara
bergilir. Acara dilanjutkan oleh truna dari desa tetangga. Setelah itu,
barulah diundang pengunjung yang ingin ngayah sebagai peserta.
Selama acara berlangsung peserta yang
tampil tidak terlihat mengumbar marah, dendam, atau pun kesal. Sebelum mereka
tampil, senyum tawa bahagia selalu ada. Saling merangkul, saling memeluk, dan
menyapa.
Beberapa dari mereka saling memberi dukungan.
Beberapa dari mereka saling membantu menyiapkan kostum perang. Saat “perang”
berlangsung mereka menebar tawa dan bahagia. Mereka bahagia dan bangga.
Pengunjung tertawa dan terhibur.
Pengunjung ikut larut dalam semangat
ketika peserta tampil dengan penuh garang, tetapi tidak sembarang serang.
Terlihat juga peserta yang tampil menari sebelum perang, ada pula mereka yang
menyerah sebelum perang. Ada juga peserta yang terlalu bersemangat menyerang,
sehingga harus dilerai.
Saling Pukul, Saling Rangkul
Yang kalah atau menyerah tidak menyimpan
amarah. Mereka tertawa dan duduk bersama. Setelah ritual selesai, mereka saling
berpeluk dan berjabat tangan. Tidak ada dendam. Ini semua hanya bentuk
persembahan ikhlas. Mereka juga makan bersama dan saling menggosokkan semacam
ramuan ke peserta lain agar luka cepat pulih.
Peserta Perang Pandan kini tak
hanya dilakukan masyarakat asli. Pengunjung yang berani dan berminat juga boleh
mengikuti. Seperti Hare Yashuananda yang sudah berkali-kali mengikuti
acara ini. “Modalnya hanya berani. Tidak saja itu, saya merasa terdorong untuk
berpatisipasi. Walaupun saya bukan asli Tenganan, tetapi saya bersedia ngayah,”
tuturnya.
Warisan Leluhur
Perang Pandan memang
dilakukan para truna. Namun para daha sesungguhnya juga punya peran
sangat penting. Para daha punya peran penting dalam mempersiapkan acara.
Yang menarik, para daha keluar dengan pakaian khas, seperti memakai
kemben khas Tenganan. “Ini merupakan cara kami untuk melestarikan warisan
leluhur. Kami juga mempersiapkan sesajen dan kudapan untuk tamu undangan,” ujar
Yuyun kepala seka daha.
Untuk peserta ritual Perang Pandan
memang diperuntukan bagi truna yang sudah siap secara batin maupun
fisik. Namun orang tua juga boleh ikut. Tidak ada batasan umur untuk acara ini.
“Peserta tidak dibatasi usia, atau pun jumlah. Mereka yang ikut tentu harus
matang secara fisik dan mental, serta niat berani untuk ngayah. Jika
sudah terpenuhi, maka mereka boleh ikut,” ujar Wayan Arsana, pemuka adat Tenganan.
Penulis bersama para daha Tenganan
Pandan berduri digunakan sebagai alat
ganti senjata perang atau pedang. “Kami berusaha agar tradisi ini akan tetap ajeg,
karena penghormatan dan bakti kepada Dewa Indra didasari keyakinan yang
ikhlas. Mereka yang ikut ngayah juga yakin, bahwa darah yang keluar
merupakan wujud persembahan pada dewa.
Terbukti, peserta semakin banyak, bahkan
mencapai 160-an. Kami tentu berharap, tradisi seperti ini terus dilaksanakan.
Siapa lagi yang akan menjaga tradisi ini kalau bukan kita? Banyaknya pengunjung
yang datang dan peserta yang bertambah tentu menunjukkan bahwa tradisi Perang
Pandan masih mendapat perhatian,” ujar Wayan Arsana. (T)
Sumber : Tatkala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar