oleh Eko
Rusdianto, Toraja di 14 December 2017
Rombongan pendaki, berjejer menapaki
undakan di Kaki Gunung Sesean, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Pada Sabtu
(2/12/17), saya ikut bersama 80 orangan ini dengan sembilan adalah
difabel (tiga orang netra, lima daksa kinetik, dan seorang difabel grahita (down
syndrom)).
Jasri alami down syndrom. Saya
ikut timnya saat mendaki. Ketika menapak turun gunung keesokan hari, saya
beralih ke tim Adil Rani, difabel netra.
Jasri yang disapa Aril, peramah.
Dalam keadaan tertentu, suasana hatinya mudah berubah seketika, misal,
sekali waktu saya meminjam tongkat kaki seorang difabel daksa kinetik. Dia
marah, tak ingin berbicara dengan saya. Di lain waktu, seorang pendamping
lapangan menggandeng seorang perempuan pendamping lain, dia spntan membuang tas
dan minta pulang.
Down syndrom digolongkan
tunagrahita. Usia fisik anak tunagrahita, tak berbanding lurus dengan usia
mental. Jasri usia 18 tahun. Saat pendakian, para pendamping senantiasa membuat
dia nyaman. Mengikuti kemauan dia dan memberikan arahan tepat, terutama soal
keselamatan.
Saat Jasri, merasa kelelahan dia
langsung istirahat. Duduk dimana pun, entah beralas batu, tanah atau rumput.
Setelah pendakian terjal di ujung pos
satu menuju pos dua, Jasri memegang tali. Setelah itu, Puncak Sesean pada
ketinggian 2.100 di atas permukaan laut terlihat. Kabut perlahan membungkus
puncak. “Itu sana puncak. Sebentar lagi,” kata Agil pendamping Jasri.
“Hahahahaha, hoeeee. Uhuiiiiii,”
Jasri berteriak senang.
Ketika, saya tertunduk kelelahan, Eko
Peruge, difabel daksa kinetik, melewati saya. Otot tangan terlihat begitu kuat.
Kaki kiri tampak kokoh. Kaki kanan tak ada karena kecelakaan pada 2005. Dia
tersenyum, berjalan dengan hati-hati pakai tongkat penopang.
“Ini sudah tongkat kedua. Tongkat
pertama, sudah saya gantung bersama sepatu,” katanya.
Saya mencoba pakai tongkat penopang Eko.
Penopang tongkat bagian atas tak boleh menempel di ketiak. Kekuatan harus
berpusat di lengan dan membantunya dengan paha. Rasanya susah sekali. “Saya
pakai tongkat, dan merasa benar-benar cocok, itu tahun 2010.”
Pada titik pendakian dan penurunan
terjal di Sesean, Eko berjalan seakan tak mengalami kendala. Di antara celah
batuan dan akar pohon, tongkatnya berdiri kuat.
Difabel lain sama dengan Eko, Agus
Salim. Dia kehilangan kaki kiri pada 1998 saat jadi buruh ilegal di Malaysia.
Dia bertugas membuka hutan untuk perkebunan sawit. Ketika pohon yang ditebang
roboh, dia mundur dan terjatuh ke jurang. Pohon menimpa paha. Tak ada pesangon,
tak ada bantuan dari perusahaan.
Di camp, tenda Agus berdampingan
dengan saya. Kami berbincang dan saling berbagi kopi. Dia tinggal di Enrekang.
Istrinya juga daksa kinetik. “Istri saya mendukung penuh kegiatan ini. Saya
ikut dengan teman-teman karena penting untuk orang tahu, kalau kami bisa
melakukannya,” katanya.
Beberapa tahun lalu, Agus pernah mencalonkan
diri jadi calon kepala desa. Dia gagal karena cibiran kondisi fisik. “Jadi,
orang baru lihat kami, sudah patah semangat. Itu benar-benar buat sedih.”
Hari Difabel Internasional
Minggu (3/12/17), udara pagi begitu
dingin. Para pendaki keluar dari tenda pakai jaket. Adil Rani, difabel netra,
dituntun pendamping mencari tempat buang air kecil. Kacamata hitam menempel di
wajahnya.
Saya meminta dia membuka kacamata dan melihat
dua matanya mengecil, seperti berhimpit. Adil tak bisa melihat total. Semua
hitam. “Jadi bagaimana rasanya naik gunung, tanpa melihat pemandangan?” kata
saya.
“Saya tahu itu. Orang-orang bilang ada
awan di bawah sana – di bawah camp. Saya tidak lihat, jadi cukup merasakan
suasana saja,” katanya.
Bagi para pendaki, Sesean adalah gunung
cukup mudah ditapak. Dari kaki gunung, perjalanan bisa ditempuh paling lama 1,5
jam. Para difabel memerlukan dua hingga tiga jam.
“Apakah susah naik gunung?” kata saya.
“Kalau sampai sekarang, tidak. Yang
penting pendamping menjelaskan baik. Ada batu atau ada lubang di depan,”
katanya.
Saat turun gunung, Adil berjalan cukup
baik. Dia menapak penuh konsentrasi. Pendamping melangkah di depan, harus
membuat bunyi bekas injakan. Itulah yang diikuti Adil. “Kalau ada suara
langkah, saya bisa ikuti.”
Jelang pukul 10.00 pagi. Sembilan orang
difabel berkumpul di tanah datar Sesean. Tiang bendera Indonesia tertancap di
tengah. Eko Peruge, Aryandhy, Agus Salim, Sukirman, dan Syawal adalah difabel
daksa kinetik. Abdul Rahman, Adil Rani, dan Arifin adalah difabel netra. Jasri
adalah down syndrom. Mereka berjejer berdekatan. Bernyanyi lagu
Indonesia Raya dan berdoa bersama.
“Inilah perayaan kita. Kita berkumpul di
gunung ini untuk peringatan Hari Disabilitas Internasional. Kita disini untuk
menghilangkan stigma jika difabel tak bisa apa-apa,” katanya Abdul Rahman.
Rahman, difabel netra–kategori low
vision. Jarak pandang siang hari beberapa puluh meter saja. Jika malam,
semua menjadi bayangan. Rahman juga Direktur Pergerakan Difabel untuk
Kesetaraan (Perdik) Sulawesi Selatan.
Perdik inilah yang menginisiasi
pendakian bersama difabel. Tahun 2016 , Perdik merancang pendakian di Gunung
Latimojong, Enrekang. Pada 2017 di Gunung Sesean, Toraja Utara.
“Ini bukan untuk gagah-gagahan. Ini
bentuk kampanye, jika kami bisa menjadi bagian dalam pembangunan negeri.”
“Sekarang kita menunggu Bupati Enrekang.
Kita ingin mengusulkan inisiasi perda disabilitas. Salah satunya terkait akses
difabel. Kita ingin lihat bagaimana responnya,” katanya.
Pada 4 Desember 2017, sehari setelah
pendakian Sesean, puluhan orang berkumpul di aula rumah jabatan Bupati
Enrekang. Jelang sore, pertemuan dimulai. Muslimin Bando, Bupati Enrekang,
duduk pakai pakaian pegawai negeri sipil, berwarna coklat dan kopiah.
Bando, mendengar beberapa usulan seraya
bersandar di kursi. Dia meminta, pergerakan difabel membuat usulan dan draf.
“Jadi pemda menunggu saja. Kalau ada surat masuk, kami akan tindak lanjut.
Strukturnya itu dari bawah. Hari ini datang – surat – besok saya akan
disposisi.”
Di Enrekang, data mengenai difabel tak
begitu akurat. Jumlah ribuan tetapi disatukan dengan data orang miskin. Jadi,
katanya, daya belum begitu akurat. “Kalau Dinas Sosial mendata ada 4.000 orang
lebih. Itu belum pasti.”
Sementara itu, sebanyak 180 destinasi
wisata di Enrekang, tak satu pun membuat akses untuk difabel. “Kami membangun
akses jalan, tapi untuk spesifik (difabel-red) belum menjangkau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar