oleh
Christopel Paino (Kontributor Sulawesi) di 9 March 2013
Dulu, di cagar alam ini pernah
menjadi ‘rumah’ paling besar bagi maleo. Saking banyak burung endemik Sulawesi
ini di sini, satu desa diberi nama Desa Maleo. Bahkan, Panua, dalam bahasa
Gorontalo, berarti Maleo. Kini, Cagar Alam Panua, di ambang kehancuran, habitat
maleo dan species lainpun mengkhawatirkan.
Siang akhir Februari 2013, cahaya
mentari memantulkan sinar di pasir putih. Panas terik. Namun, panas mentari tak
menyurutkan langkah Daud Badu. Dia terus menjejakkan kaki melewati hutan dan
pasir pantai menuju lokasi penangkaran telur maleo (Macrocephalon Maleo).
Dia menjelajah di Cagar Alam Panua.
Usianya 44 tahun. Dia dulu pemburu, awal
2012, direkrut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Gorontalo. Kini, dia
bertugas memantau lokasi penangkaran telur Maleo di Cagar Alam Panua.
Daud memiliki kelebihan yang sulit
ditandingi warga lain: mampu menebak tempat bertelur maleo. Padahal, setiap
bertelur, burung langka khas Sulawesi ini membuat dua atau lebih tempat
bertelur palsu. Bahkan Daud mampu membedakan mana tempat bertelur maleo dan
mana gosong (Eulipoa wallacei), yang bertelur di lokasi sama.
Setelah tiba di lokasi penangkaran telur
maleo sekitar enam hektar, Daud langsung menggali. Tangan terus mengais-ngais
pasir yang dalam mencapai setengah meter itu. “Kalau ini telur burung
Gosong,” katanya.
Dia lalu memperlihatkan temuan dua butir
telur gosong. Gosong dikenal salah satu burung endemik Sulawesi. Bentuk tubuh
hampir menyerupai maleo. Namun telur lebih kecil.
Usai mendapatkan telur burung gosong.
Daud melanjutkan penggalian di lokasi lain. Di tempat ini, ada puluhan lubang
maleo. Sangat sulit mendeteksi tempat bertelur asli. “Kalau yang ini
telur maleo. Usia baru tiga hari.”
Daud memperlihatkan, dua butir telur
maleo dengan besar tiga kali lipat dari telur ayam. Menurut dia, telur maleo
akan menetas pada usia satu bulan lima hari. Ketika menetas, anak maleo langsung
terbang tanpa harus belajar terlebih dahulu seperti burung lain.
Sejak bekerja sebagai penangkar telur
dan pelestari maleo, Daud telah berhasil menangkar sebanyak 150 butir selama
2012. Semua menetas dengan baik. Menariknya, selain telur maleo, Daud ikut
menangkar penyu di Cagar Alam Panua ini.
Banyak yang tak begitu kenal dengan
Cagar Alam Panua di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Namun, di kawasan hutan
dengan garis pantai indah ini, dulu merupakan habitat terbesar maleo di
Sulawesi. Bahkan, nama Panua, diambil dari bahasa Gorontalo, yang berarti
maleo. Karena begitu banyak maleo, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan
cagar alam ini dinamakan Desa Maleo.
Sayangnya, nasib Cagar Alam Panua kini
tak sesuai nama lagi. Populasi si burung endemik Sulawesi yang makin langka dan
di ambang kepunahan ini, dari tahun ke tahun makin menurun. Selain gangguan
predator, alih fungsi dan keserakahan manusia merusak hutan menjadi ancaman
terbesar maleo dan Cagar Alam Panua. Belum lagi perburuan telur maleo yang diyakini
bisa menyembuhkan penyakit, dilakukan sembunyi-sembunyi.
Tatang Abdulah, Kepala Resort di Cagar
Alam Panua, mengatakan, luas hutan Panua 45.575 hektar sesuai SK Menteri
Kehutanan nomor 471/Kpts-11/1992. Namun, luas ini menyusut ketika disahkan
rencana tata ruang wilayah Gorontalo tahun 2010 menjadi 36.575 hektar.
Perubahan kawasan Cagar Alam Panua ini diputuskan melalui SK Menteri Kehutanan
nomor 325/Menhut-11/2010 tentang penunjukan kawasan hutan Gorontalo.
Sesuai kajian tim terpadu pada 2007,
kata Tatang, cagar alam ini dialih fungsi menjadi kawasan pertambangan,
perkebunan, dan tata hutan kota. Padahal, pihaknya tidak memberikan rekomendasi
untuk perubahan kawasan.
Menurut Tatang, selain menjadi habitat
maleo, di cagar alam ini bisa ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu
belimbing, julang Sulawesi (rangkong), babi rusa, anoa, tarcius, monyet
Sulawesi, dan berbagai jenis anggrek.
BKSDA mengalami kendala kekurangan
personil dan tidak ada pos jaga. Untuk memantau penyu pada malam hari mereka
sangat kesulitan. Belum lagi di lokasi penangkaran maleo, kerap kali dimasuki
ternak lepas, seperti sapi milik warga.
“Banyak masalah di cagar alam ini. Ada
perburuan rangkong, pencurian telur maleo dan masih ada meski sedikit, juga
peladang berpindah-pindah. Namun ancaman paling besar adalah alih fungsi hutan
untuk pertambangan dan perkebunan,” ucap Tatang.
Saat ini, Tatang maupun Daud, hanya bisa
berharap, Cagar Alam Panua mendapat perhatian serius, baik pemerintah pusat
juga daerah.***
Sumber : Mongabay Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar