PERADABAN dunia mengenal sedikit orang
hebat. Einstein, Newton, Galileo, adalah manusia-manusia hebat, seperti juga
Napoleon, Socrates, Machiavelli, Karl Marx, Adam Smith, Shakespeare, Mozart.
Dunia mengenang mereka sebagai
orang-orang jenius, yang merenung, bekerja, dengan akal, pikiran. Kendati
mereka demikian hebat, dunia tetap menerimanya sebagai manusia, bukan sosok
yang turun dari langit, bukan utusan dewa-dewa dari kahyangan. Orang-orang
jenius itu nyata, bukan perwujudan mimpi-mimpi, bukan dongeng.
Walau orang hebat sedikit, mereka ada di
mana-mana, di setiap zaman, di seluruh waktu. Di Indonesia pun orang jenius
itu ada, Soekarno, proklamator kemerdekaan, seorang di antaranya. Jika di Barat
sang jenius diterima dan ditelaah dengan akal sehat, tidak demikian di Tanah
Air. Soekarno tak cuma dinilai sebagai manusia hebat, namun sering dianggap
titisan dewa.
Menjelang prahara politik disertai
rentetan pergolakan berdarah September 1965, tampang Soekarno dikabarkan muncul
di bulan. Tengah malam hingga dini hari, orang-orang mendongak ke langit,
menatap bulan lama-lama, mencari wajah Soekarno di situ. Ada yang beteriak
kegirangan mengaku melihat jelas wajah pemimpin besar revolusi itu. Yang lain
justru bingung.
“Aku tak melihat apa-apa, cuma bulatan
keemasan dengan silhuet hitam di permukaan bulan,” ujar banyak orang. Namun
wajah Soekarno muncul di bulan, kala itu, sungguh berita yang berubah menjadi
sihir, mencekam, menegangkan, sakral, dan meninabobokkan.
“Hanya manusia titisan dewa yang bisa
begitu,” komentar orang yang mengaku pernah melihat Soekarno di permukaan
bulan. Imajinasi tentang manusia keturunan dewa ini pun segera disambut hangat
oleh orang Bali.
Jika Soekarno keturunan dewa, maka orang
Bali juga titisan dewa. Bukankah Soekarno orang Bali? Dia lahir dari gua-garba
wanita Bali dari Buleleng. Jika seorang perempuan melahirkan “anak” dewa,
tidakkah berarti ia juga perempuan titisan dewa?
Boleh jadi itu sebabnya muncul gelar
Bali itu Pulau Dewata. Pulau ini tak cuma menjadi istana atau tempat plesir
dewa-dewa dari kahyangan, namun sesungguhnya sebuah pulau pemukiman titisan
dewa. Wah, alangkah hebat Bali! Jenius! Pantas orang luar suka memuji Bali
sebagai tanah tumpah darah kaum local genius.
Raja-raja di Bali, yang memerintah
wilayah Badung, Mengwi, Klungkung, Gianyar, Bangli, Karangasem, memang dianggap
titisan dewa oleh rakyatnya, inkarnasi dewa untuk menaburkan kerahayuan jagat,
memberi perlindungan bagi rakyat.
Raja Klungkung misalnya, disebut sebagai
Ratu Dewa Agung oleh rakyat dan bawahannya. Raja ini dianggap titisan dewa,
yang membuat rakyat duduk bersimpuh di tepi jalan jika sang raja lewat. Rakyat
menyembah raja tak beda dengan ketika mereka menyembah dewa: tunduk, takluk,
berserah diri sepenuh hati, tanpa sisa.
P. Swantoro dalam bukunya, Dari Buku
ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, mengungkapkan, pendiri dinasti
sering dinyatakan sebagai keturunan dewa. Kaisar Jepang dianggap keturunan dewa
Matahari.
Romulus, pendiri Roma, diyakini sebagai
keturunan dewa Mars. Julius Caesar menyatakan diri sebagai keturunan dewi
Venus, sedangkan Hengist, Pangeran Anglo-Saksen pendiri kerajaan Britania,
bercikal bakal dewa Wodan.
Ken Arok disebut-sebut pula sebagai
titisan Bhatara Wisnu dan juga putra Bhatara Guru. Ken Dedes, istri Arok, juga
bukan perempuan biasa. Ia dihormati sebagai Ardhanariswari, perempuan yang
gua-garbanya bersinar, pertanda ia paro-perempuan dari paduan Siwa-Durga. Siapa
pun yang berhasil memperisteri seorang ardhanariswari bakal menjadi penakluk
dunia.
Jika kita percaya orang Bali masih
memiliki pertalian darah dengan dinasti Arok, pasti tidak sedikit titisan dewa
di sudut-sudut Bali hingga kini. Arok adalah pendiri Singasari, keturunannya
menjadi pendiri Majapahit.
Kerajaan di Jawa Timur ini punya peran
dan pengaruh sangat kuat terhadap perkembangan peradaban Bali. Dalam ekspedisi
Majapahit menaklukkan Bali, tentu banyak tokoh, senapati, prajurit, punggawa,
kaum intelektual, akhirnya menjadi penduduk Bali, dan beranak pinak di sini.
Tentu Bali harus bersyukur pulau ini
dihuni banyak titisan dewa, pertanda tak susah menciptakan kemakmuran,
keamanan, kedamaian, di sini. Apalagi jika orang-orang (dewa-dewa) itu bersatu
padu membangun Bali.
Tapi, mengapa belakangan sering terbit
baku hantam, pembunuhan, perampokan, di Bali? Orang Bali kini gampang bunuh
diri, mudah marah, dan saling bacok, merusak dan membakar rumah kerabat.
Apakah dewa-dewa (orang Bali?) sedang
memperagakan jurus “Dewa Mabuk” seperti dalam film kungfu? Jurus yang
mengharuskan pendekar mabuk dulu untuk merebut kemenangan.
Tetapi, benarkah ada manusia titisan
dewa? Jangan-jangan semua itu cuma mitos, dongeng untuk menghibur kita agar
lupa pada kesusahan hidup sehari-hari. (T)
Sumber : Tatkala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar