Written by Lanang Taji on 4 Juli
2017
Save
Subak Bali
Sepetak
sawah itu tanahnya telah mengering.
Dia
dipenuhi plastik-plastik bekas yang menjadi artefak sisa makanan. Sebuah
bendera besar tegak berkibar tertiup angin di tengah sawah tersebut. Bendera
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) menjadi pernyataan sikap warga
sekitar terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa.
Terlihat
pelantang suara (oudspeaker), drum, dan gitar yang masih terbungkus
rapat. Panggung kecil telah terpasang di sawah yang telah mengering. Rumput dan
jerami menguning memenuhinya. Di sisi bentangan sawah lainnya, tampak sebuah
traktor masih terbungkus rapi dengan terpal hijau pudar ditinggal pengembalanya
pulang berhari raya.
Sebuah
papan bertuliskan SAVE SUBAK BALI dipajang di pematang sawah. Dia
menjadi penanda pergelaran yang akan dihelat hari itu.
Subak
sebagai sistem tata kelola persawahan di Bali memang sudah cukup populer dan
mulai terancam punah. Hal ini jelas merupakan salah satu akibat aktivitas alih
fungsi lahan pertanian menjadi perumahan.
Pembengkakan
jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan akan tempat tinggal.
Pemukiman pun terus melebar dan mempersempit area sawah yang akhirnya tak lebih
menjadi jeda pendek antara dua bangunan.
Subak
sebagai sebuah sistem irigasi bisa bertahan karena ada sawah. Sawah bisa
bertahan karena masih ada yang tidak tergoda untuk menjualnya dan memilih untuk
bertani. Ketika petani dan sawah tidak lagi, ada maka subak hanya akan menjadi
kenangan.
Berbicara
tentang sawah tidak hanya masalah lahan penghidupan atau sumber tradisi, tetapi
juga sebagai ruang bermain. Anak-anak menjadikan sawah sebagai tanah lapang tempat
mereka bermain. Mulai dari bermain bola, perang lumpur dan yang tidak kalah
seru dan telah menjadi tradisi adalah bermain layang-layang.
Ada
ingatan romantis masa kecil akan sawah lapang dan luas, yang biasa digunakan
untuk arena bermain. Meskipun bermain di sawah akan diselingi teriakan orang
tua yang sedikit bawel karena lumpur memenuhi sekujur tubuh. Atau tangisan
akibat luka kecil karena terjatuh saat sedang asyik berlarian di sawah.
Sayangnya
ingatan itu terancam oleh kekhawatiran. Bahwa anak-anak di masa mendatang tidak
akan lagi memiliki kesempatan mendapat pengalaman sama. Sebab, lahan mereka
telah habis oleh bangunan beton.
“Anak-anak
masih sering melayangan, sedangkan pendatang tambah banyak, batako dan
beton terus bertambah. Kami ingin suasana pedesaan ini masih ada sehingga ada
tempat bermain bagi anak-anak,” kata Koden, salah satu personel grup band
Netterjack.
Akhirnya,
kami pun menggagas acara Brother Keepers Forever yang bertemakan SAVE
SUBAK BALI. Acara ini berlangsung pada Minggu (2/7) di Banjar Apuan, Singapadu,
Sukawati, Gianyar.
“Ini
juga karena dorongan dari Jes. Dia yang bilang kalau tempatnya asyik untuk
sebuah acara,” Koden menambahkan.
Anak-anak
muda Banjar Apuan Singapadu, Sukawati, Gianyar pun kembali memenuhi sawah.
Meski bukan untuk mencangkul, setidaknya ini menjadi stimulan untuk mengingat
kembali kenangan masa kecil. Kenangan yang semakin hari semakin terhapus oleh
ruinitas dan pergeseran intensitas komunikasi dunia maya.
Kekhawatiran
Koden memang beralasan. Melihat bangunan-bangunan perumahan yang menjorok
semakin dalam ke lahan-lahan sawah produktif. Perlahan-lahan menimbun ingatan
masa kecil akan sawah dengan campuran semen, pasir dan batako.
Orang-orang
baru hadir entah dari mana. Tiba-tiba menjadi tetangga. Ada sekitar 250 kepala
keluarga pendatang dan membuka pemukiman baru di lingkungan tersebut. Hal
ini diutarakan oleh Pak Made Parwira, warga setempat yang memberikan sawah
garapannya untuk dijadikan lokasi acara.
“Mungkin
sekitar 8 hektar sawah di sini telah habis menjadi perumahan. Ada sekitar 70
are, yang dulunya sawah kini sudah bertransformasi menjadi rumah-rumah hunian,”
katanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah timur, menunjuk sebuah perumahan
yang berdiri di tengah-tengah sawah.
Anak-anak
muda yang memiliki kenangan romantis akan sawah saling bersolidaritas.
Meminjamkan listrik, seperangkat sound system serta instrumennya, dan
waktu untuk berdendang.
Ada
pula yang memberikan karya-karya mural yang dilukis di dinding. Ada
735art yang menggambar seekor kodok hijau raksasa di atas dinding batako
telanjang. Di sisi lainnya seekor kera mengenakan pakaian belang (bojog poleng)
sedang menggunakn cat spray.
Salah
satu karya mural dari @mardiadinata.
Ada
735art, Frenk (Mardia Dinata), Antox, Peng, Egix dan kawan-kawan yang telah
memulai karya mereka beberapa hari sebelumnya. Sedangkan Easy Tiger, Unkle Joy,
Tockibe dan kawan-kawan lain masih asyik dengan dinding yang disediakan untuk
menjadi media bagi mereka dalam berkarya.
Semakin
malam penonton semakin ramai. Suara genset yang menjadi sumber energi untuk sound
system seolah menjadi background bagi band-band yang bermain. Ada
Moron Bross, Rograg, Matarantai, Rastaflute, Bebangkan Oi! Squad dan tentu saja
tidak ketinggalan Koden Netterjack.
Salah
satu band yang ikut memeriahkan acara Save Subak Bali.
Malam
itu, suara jangkrik terpaksa menyingkir dan diganti dengan alunan musik dari
band-band pengisi acara. Nyamuk-nyamuk pun harus menjauh untuk menghindari
kepulan asap dari api unggun yang memanggang beberapa jenis bahan makanan.
Tidak lupa minuman lokal yang menjadi pelengkap untuk merayakan kebersamaan
tersebut.
Keintiman
muncul dari setiap wajah yang hadir di malam itu. Keintiman di tempat yang
dahulu pernah menjadi arena bermain para pemuda ini. Tempat yang telah mereka
abaikan akibat kesibukan rutinitas akan tuntutan yang mengikuti umur (semakin
bertambah usia semakin menuntut).
Tempat
yang mereka coba pertahankan agar anak-anak mereka masih bisa menikmati
kesegaran udara dan bermain di atas lumpur. Bebas berlari dan menerbangkan
layang-layang seperti halnya yang mereka lakukan dulu di masa kecil. [b]
Sumber
: Bale Bengong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar