Ketika penyair berpulang maka di
pusaranya bulan pun turun menjelang, sebuah ucapan kuno yang barangkali terlalu
romantis. Akan tetapi, disuatu negeri dimana penyair menempati posisi
terpandang, ungkapan tersebut bukanlah ihwal yang berkelebihan. Demikian
pulakah ihwalnya di suatu negeri bernama Indonesia, di sebuah Kabupaten
berjuluk Hulu Sungai Selatan.
Apapun jawabnya, dunia sastra Hulu
Sungai Selatan telah menegaskan keberadaannya, jauh sebelum kabupaten yang
dibelah kali Amandit itu dibidani kelahirannya. Dimana sejarah adalah rangkaian
mata rantai dari data dan fakta. Oleh sebab itu, betapapun buruk wajah
sejarah tak baik bila mata rantainya
yang diputus atau dihilangkan karena akan berpengaruh kepada rekontruksi masa
selanjutnya.
Antologi ini bukanlah rangkaian
peristiwa sejarah namun demikian tak eloklah bila ada sebuah keniscayaan yang sengaja
dibuang atau ditinggalkan begitu saja apapun alasan yang mendasarinya. Berbagai
nuansa tulisan yang dihimpun dalam terbitan ini diyakini ditulis oleh berbagai
sumber yang peduli terhadap Kandangan khususnya atau terhadap Hulu Sungai
Selatan umumnya. Berbagai romantisme sastra dari berbagai generasi dikurun
1930-an sampai 2000-an kiranya tak pelak lagi pernah menyemangati banua ini
dengan tulisan-tulisannya. Karya mereka adalah pilar monumen yang dibangun
penulis pada zamannya.
Bila kita simak dan hayati, saat ini
ia bagaikan membuka jendela masa lalu yang mengisyaratkan bahwa mereka pernah
ada dan pernah hadir disini, di kota Kandangan ini. Tidaklah berlebihan bila
usaha ini dikatakan sebagai bukti bahwa kecintaan terhadap banua yang merupakan
perwujudan dari perasaan cinta terhadap tanah air Indonesia tidaklah pernah
padam. Berbagai cara dapat dilakukan dan salah satunya adalah membangun
kebersamaan perasaan memiliki seperti ditemukan dalam kumpulan nuansa sastra
ini. Kita berharap karya ini mendapat tempat di hati pembaca dan memperkaya
khazanah tulis di bumi tercinta.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar