PARIKINAN
Parikinan artinya ahli hitung yaitu
orang yang memberi apa saja mesti dihitung untung ruginya. Suatu hari Parikinan
berbicara dengan isterinya.
“ Kita ini hidup susah, jadi bisa-bisa
kita saja. Kalau ada tetangga yang minta punting api itu artinya dia mengambil
sebuah puntung kita. Coba kamu hitung, maka artinya bila sepuluh orang yang
minta api sepuluh puntung kita akan rugi. Padahal sepuluh puntung itu bias
untuk kita sekali memasak,” ujarnya mencerocos.
Lalu dia meneruskan, “ Belum lagi
kalau kita sedang makan ada yang datang, terpaksa kembali mengajak makan.
Untung kalau yang datang itu paham, tapi kalau yang tidak paham setelah
ditawari cepat mengaut nasi. Maka makannya banyak, bertambah tak
henti-hentinya. Setelah makan ikut
merokok pula. Matilah kita kalau hidup di tengah orang banyak,” ujar
Parikinan.
Lalu sang isteri menjawab, “ Tapi
macam itulah orang semua, sudah namanya hidup bertetangga.”
“ Makanya aku ingin kita berdiam jauh
dengan orang. Biar ke ujung kampong. Sekira tidak ada lagi orang yang
meminta-minta dengan kita,” ujar Parikinan.
Mendengar pembicaraan sang suami
seperti itu berdiamlah yang isteri. Besoknya Parikinan sibuk menyusun pakaian
dan segala barang dirumahnya, dibantu oleh isterinya. Dia akan berpindah ke
ujung kampung. Setelah semua barangnya dibuat ke jukung , kemudian dikayuhnya kea
rah hulu. Isterinya duduk di depan bertunduk memakai tanggui, dia malu
kalau-kalau terlihat tetangga.
Setelah seharian berkayuh lalu
sampailah ke tempat yang sunyi, tidak ada orang. Suara burungpun tidak
terdengar. Kemudian Parikinan membuat rampa disana. Juga sawah dan kebunnya.
Singkat cerita, sampai hari raya
haji. Lalu Parikinan ingat mau pergi ke kota mencari daging kurban, karena dia
ingat kalau tiap hari raya haji di kampungnya dulu banyak orang menyembelih
sapid an kambing.
Belum pagi isterinya sudah
dibangunkan oleh Parikinan. Disuruhnya memasak untuk bekal ke kota. Setelah
cukup segala macam bekal kemudian berangkatlah sepasang suami isteri itu ke
hilir sungai. Lalu berbelok ke matahari tenggelam. Pukul tiga sore baru sampai
ke tujuan. Tapi disana dilihatnya sapi-sapi yang akan disembelih itu
kurus-kurus. Dipikirkannya, daripada dapat daging sapi kurus, lebih baik dia
pergi ke arah matahari terbit. Disana bisa-bisa memperoleh sapi yang gemuk.
Lalu berpaling menuju arah matahari
terbit. Sesampainya di sana, ternyata orang yang berkurban sedikit sekali.
Karena itu Parikinan tidak mendapat bagian.
Daripada tidak dapat sama sekli ia
balik mendatangi daging sapi kurban yang kurus tadi saja. Lalu dengan cepat
memutar haluan perahunya, mengayuh sekuat tenaga menuju arah matahari
tenggelam. Tapi dasar nasib Parikinan benar-benar sial. Sesampainya disana
orang-orang sudah selesai membagi daging, sampai tidak tersisa. Yang tertinggal
cuma bekasnya saja.
Dengan hati yang kesal, perut
keroncongan, turunlah Parikinan ke perahu mau menyantap bekalnya. Setelah
membuka nasi lalu menuang sayur dan ikannya dari dalam bumbung. Tapi ikan itu
lengket dalam bumbung, tidak mau keluar. Bumbung tadi dihentakkannya ke ujung
perahu, tapi karena terlalu kuat menghentak. Lantas ikannya keluar terpelanting
mencemplung ke dalam air. Parikinan marah lalu mengambil serapang. Ditombaknya
ikan yang jatuh tadi. Serapangnya lengket. Dikiranya pas kena ikan yang jatuh
itu, lantas ia tidak berani mengangkat. Kalau diangkat takut ikannya terjatuh
kembali. Parikinan lalu bercebur mencari ujung serapangnya. Sang isteri tidak
bersuara lagi melihat kelakuan suaminya.
Tengah menyelam itu, si isteri masih
memandang pusaran air, tiba-tiba datang anjing kelaparan menyambar nasi yang terbuka
tidak diberi tutup. Isterinya melihat tapi sudah terlambat, anjingnya lari
dengan cepat.
Parikinan menyusuri ujung
serapangnya, ternyata pas tersangkut dibatang kayu. Sebagian pun tak lagi ada
ikannya. Hati Parikinan benci sekali tak tertahankan lalu naik keatas. Hatinya
semakin benci setelah tahu nasinya dicuri anjing. Terduduk dia diburitan perahu
termangu memikirkan nasibnya yang sial.
Tengah duduk termangu itu kemudian
hadir sesosok orangtua naik perahu kecil sambil berkata,”Hai anakku ! Aku tahu
kamu termangu sakit hati. Tapi aku ingin menolongmu. Biarlah yang berlalu
jangan disesali dan jadikan sebagai pelajaran bagi kamu untuk dimasa yang akan
datang. Ini kamu akan kuberi batu tiga buah. Hentakkan batu ini ke tanah, apa
yang kau inginkan dengan seizing Tuhan akan jadi kenyataan.”
Tak lama kemudian orangtua itu
menghilang.
Senang sekali hati Parikinan
mendapat batu pemberian orangtua itu. Cepat-cepat dia pulang ke rumah. Sampai
dirumah hari sudah tengah malam. Isterinya tertidur kelelahan. Parikinan tidak
bias tidur hanya memegang batu yang tiga buah itu saja. Lalu timbul kata hati
untuk mencoba, benar tidaknya batu itu berkhasiat. Lalu ia berkata, “ Kalau aku
minta kaya, perutku tetap saja lapar, tapi kalau aku minta nasi, aku tidak
kaya.”
Tengah dia berbicara sendiri itu
isterinya terbangun. Karena mendengar suaminya berbicara sendiri. Parikinan
memutuskan.
“ Nah, sebaiknya aku minta kaya
saja,” ujarnya dengan tekad yang bulat.
Lantas sebuah batu dihentakkannya ke
tanah. Tapi saat dia mengatakan minta kaya itu, bersamaan dengan kaki isterinya
menginjak kaki Parikinan. Lalu dikatakan,” Minta kaya kaki!”
Lalu
tumbuhlah kaki dibagian tubuh Parikinan sampai ke muka.
Melihat tubuh suaminya penuh dengan
kaki sakit hati sang isteri. Lalu dia bertanya sambil menangis sesenggukan,
adakah mempunyai batunya lagi. Berceritalah Parikinan bahwa masih ada dua buah
batu lagi.
“Kalau begitu, sebuah lagi batu itu
agar kaki itu hilang semua,” ujar isterinya.
Parikinan kemudian mengambil batu
yang sebuah.
“Hei batu, hilangkanlah semua kaki
yang ada ditubuhku ini,” ujarnya sambil menghentakkan batu ke tanah.
Sekejap mata, semua kaki ditubuh
Parikinan hilang, gaib, termasuk kaki yang asal. Jadi seperti guling saja
Parikinan sekarang. Karena tidak berkaki lagi.
Menangis kembali sang isteri melihat
suaminya tidak punya kaki. Lalu dia minta supaya suaminya menggunakan batu yang
ketiga, supaya kakinya dapat kembali seperti semula.
“ Hati-hati saja. Jangan meminta-minta
yang lain, asal kembali saja kakinya,” ujar isterinya.
Akhirnya digunakanlah batu yang
ketiga dan kembalilah kakinya seperti semula. Jadi, sedikit tidak ada dia
mendapat keuntungan dari batu pemberian orangtua itu. Itulah balasan Tuhan
kepada orang yang terlalu rakus dan tamak dengan harta, tidak mau apa
adanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar