Selasa, 23 Juli 2013

KISAH RAKYAT KALSEL

RABU, 24 JULI 2013

PARIKINAN
 
            Parikinan artinya ahli hitung yaitu orang yang memberi apa saja mesti dihitung untung ruginya. Suatu hari Parikinan berbicara dengan isterinya.
            “ Kita ini hidup susah, jadi bisa-bisa kita saja. Kalau ada tetangga yang minta punting api itu artinya dia mengambil sebuah puntung kita. Coba kamu hitung, maka artinya bila sepuluh orang yang minta api sepuluh puntung kita akan rugi. Padahal sepuluh puntung itu bias untuk kita sekali memasak,” ujarnya mencerocos.
            Lalu dia meneruskan, “ Belum lagi kalau kita sedang makan ada yang datang, terpaksa kembali mengajak makan. Untung kalau yang datang itu paham, tapi kalau yang tidak paham setelah ditawari cepat mengaut nasi. Maka makannya banyak, bertambah tak henti-hentinya. Setelah makan ikut  merokok pula. Matilah kita kalau hidup di tengah orang banyak,” ujar Parikinan.
            Lalu sang isteri menjawab, “ Tapi macam itulah orang semua, sudah namanya hidup bertetangga.”
            “ Makanya aku ingin kita berdiam jauh dengan orang. Biar ke ujung kampong. Sekira tidak ada lagi orang yang meminta-minta dengan kita,” ujar Parikinan.
            Mendengar pembicaraan sang suami seperti itu berdiamlah yang isteri. Besoknya Parikinan sibuk menyusun pakaian dan segala barang dirumahnya, dibantu oleh isterinya. Dia akan berpindah ke ujung kampung. Setelah semua barangnya dibuat ke jukung , kemudian dikayuhnya kea rah hulu. Isterinya duduk di depan bertunduk memakai tanggui, dia malu kalau-kalau terlihat tetangga.
            Setelah seharian berkayuh lalu sampailah ke tempat yang sunyi, tidak ada orang. Suara burungpun tidak terdengar. Kemudian Parikinan membuat rampa disana. Juga sawah dan kebunnya.
            Singkat cerita, sampai hari raya haji. Lalu Parikinan ingat mau pergi ke kota mencari daging kurban, karena dia ingat kalau tiap hari raya haji di kampungnya dulu banyak orang menyembelih sapid an kambing.
            Belum pagi isterinya sudah dibangunkan oleh Parikinan. Disuruhnya memasak untuk bekal ke kota. Setelah cukup segala macam bekal kemudian berangkatlah sepasang suami isteri itu ke hilir sungai. Lalu berbelok ke matahari tenggelam. Pukul tiga sore baru sampai ke tujuan. Tapi disana dilihatnya sapi-sapi yang akan disembelih itu kurus-kurus. Dipikirkannya, daripada dapat daging sapi kurus, lebih baik dia pergi ke arah matahari terbit. Disana bisa-bisa memperoleh sapi yang gemuk.
            Lalu berpaling menuju arah matahari terbit. Sesampainya di sana, ternyata orang yang berkurban sedikit sekali. Karena itu Parikinan tidak mendapat bagian.
            Daripada tidak dapat sama sekli ia balik mendatangi daging sapi kurban yang kurus tadi saja. Lalu dengan cepat memutar haluan perahunya, mengayuh sekuat tenaga menuju arah matahari tenggelam. Tapi dasar nasib Parikinan benar-benar sial. Sesampainya disana orang-orang sudah selesai membagi daging, sampai tidak tersisa. Yang tertinggal cuma bekasnya saja.
            Dengan hati yang kesal, perut keroncongan, turunlah Parikinan ke perahu mau menyantap bekalnya. Setelah membuka nasi lalu menuang sayur dan ikannya dari dalam bumbung. Tapi ikan itu lengket dalam bumbung, tidak mau keluar. Bumbung tadi dihentakkannya ke ujung perahu, tapi karena terlalu kuat menghentak. Lantas ikannya keluar terpelanting mencemplung ke dalam air. Parikinan marah lalu mengambil serapang. Ditombaknya ikan yang jatuh tadi. Serapangnya lengket. Dikiranya pas kena ikan yang jatuh itu, lantas ia tidak berani mengangkat. Kalau diangkat takut ikannya terjatuh kembali. Parikinan lalu bercebur mencari ujung serapangnya. Sang isteri tidak bersuara lagi melihat kelakuan suaminya.
            Tengah menyelam itu, si isteri masih memandang pusaran air, tiba-tiba datang anjing kelaparan menyambar nasi yang terbuka tidak diberi tutup. Isterinya melihat tapi sudah terlambat, anjingnya lari dengan cepat.
            Parikinan menyusuri ujung serapangnya, ternyata pas tersangkut dibatang kayu. Sebagian pun tak lagi ada ikannya. Hati Parikinan benci sekali tak tertahankan lalu naik keatas. Hatinya semakin benci setelah tahu nasinya dicuri anjing. Terduduk dia diburitan perahu termangu memikirkan nasibnya yang sial.
            Tengah duduk termangu itu kemudian hadir sesosok orangtua naik perahu kecil sambil berkata,”Hai anakku ! Aku tahu kamu termangu sakit hati. Tapi aku ingin menolongmu. Biarlah yang berlalu jangan disesali dan jadikan sebagai pelajaran bagi kamu untuk dimasa yang akan datang. Ini kamu akan kuberi batu tiga buah. Hentakkan batu ini ke tanah, apa yang kau inginkan dengan seizing Tuhan akan jadi kenyataan.”
            Tak lama kemudian orangtua itu menghilang.
            Senang sekali hati Parikinan mendapat batu pemberian orangtua itu. Cepat-cepat dia pulang ke rumah. Sampai dirumah hari sudah tengah malam. Isterinya tertidur kelelahan. Parikinan tidak bias tidur hanya memegang batu yang tiga buah itu saja. Lalu timbul kata hati untuk mencoba, benar tidaknya batu itu berkhasiat. Lalu ia berkata, “ Kalau aku minta kaya, perutku tetap saja lapar, tapi kalau aku minta nasi, aku tidak kaya.”
            Tengah dia berbicara sendiri itu isterinya terbangun. Karena mendengar suaminya berbicara sendiri. Parikinan memutuskan.
            “ Nah, sebaiknya aku minta kaya saja,” ujarnya dengan tekad yang bulat.
            Lantas sebuah batu dihentakkannya ke tanah. Tapi saat dia mengatakan minta kaya itu, bersamaan dengan kaki isterinya menginjak kaki Parikinan. Lalu dikatakan,” Minta kaya kaki!”
Lalu tumbuhlah kaki dibagian tubuh Parikinan sampai ke muka.
            Melihat tubuh suaminya penuh dengan kaki sakit hati sang isteri. Lalu dia bertanya sambil menangis sesenggukan, adakah mempunyai batunya lagi. Berceritalah Parikinan bahwa masih ada dua buah batu lagi.
            “Kalau begitu, sebuah lagi batu itu agar kaki itu hilang semua,” ujar isterinya.
            Parikinan kemudian mengambil batu yang sebuah.
            “Hei batu, hilangkanlah semua kaki yang ada ditubuhku ini,” ujarnya sambil menghentakkan  batu ke tanah.
            Sekejap mata, semua kaki ditubuh Parikinan hilang, gaib, termasuk kaki yang asal. Jadi seperti guling saja Parikinan sekarang. Karena tidak berkaki lagi.
            Menangis kembali sang isteri melihat suaminya tidak punya kaki. Lalu dia minta supaya suaminya menggunakan batu yang ketiga, supaya kakinya dapat kembali seperti semula.
            “ Hati-hati saja. Jangan meminta-minta yang lain, asal kembali saja kakinya,” ujar isterinya.
            Akhirnya digunakanlah batu yang ketiga dan kembalilah kakinya seperti semula. Jadi, sedikit tidak ada dia mendapat keuntungan dari batu pemberian orangtua itu. Itulah balasan Tuhan kepada orang yang terlalu rakus dan tamak dengan harta, tidak mau apa adanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...