Antara Roma dan Paris,
Di Mana HSS?
Oleh : Taufik 79
Alangkah
beruntung sebuah kota yang disebut dalam sebuah puisi. Kota itu menjadi
dikenal, bahkan terkenal, selain selalu dikenang oleh orang yang
menyenangi puisi itu. Ingat larik ’’Tanjung Perak tepi laut,’’ syair
’’Selamat tinggal Teluk Bayur permai,’’ atau lagu “Kotabaru gunungnya
bamega”, yang membuat ketiga tempat itu bukan hanya berada di ujung
lidah, tetapi juga berada pada salah satu sudut jantung.
Sebuah
kota atau tempat yang disebut dalam bait lagu atau puisi seperti
menjadi sangat layak untuk dikunjungi, bahkan mengundang keinginan untuk
datang ke sana.
“Roma atau Paris. Indah Kandangan Kotaku Manis”.
Demikian sebagian dari bait syair tokoh sastra Kandangan di era tahun
1960-an, almarhum Darmansyah Zauhidi. Jika saja tidak berlebihan, berani
saya katakan, untuk lingkup Kalsel siapakah yang tidak mengenal
Kandangan. Sebuah kota yang usianya mungkin tertua di wilayah hulu
sungai.
Selain itu, Kandangan dikenal sebagai ibu dari cikal bakal berdirinya kabupaten di kawasan banua
enam, sampai ada istilah Kandangan “Boston”nya Kalsel. Karena itu
gerakannya tidak segesit zaman perjuangan. Sehingga terkesan kalah gesit
dengan adik-adiknya seperti kota Tanjung, Barabai, Amuntai, Balangan
atau Tanah Bumbu (maaf bukan membanding-bandingkan).
Padahal
Kota Kandangan dan HSS banyak menyimpan kenangan manis dan heroik. Bagi
pelaku sejarah, Kandangan dikenal sebagai basis perlawanan terhadap
penjajahan Belanda dan NICA-nya yang melahirkan Pahlawan Nasional
H.Hasan Basry, Bapak Gerilyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Atau barangkali kita juga mengenal Kandangan, kota yang melahirkan imej
‘jawara’ karena terkenal berani dan “badarah panasan”. Kandangan cing
ai!
Kota
dengan luas wilayah 1.804.92 Km2 dan tingkat kepadatan penduduk 108
jiwa per-km2 ini tak hanya dikenal karena kelezatan Katupat
Kandangan-nya, atau karena dodolnya yang manis dan gurih. Barangkali
juga karena Loksado yang menawan, air terjun Haratai dan budaya
masyarakatnya di kaki Pegunungan Meratus yang khas dan terkenal dengan
Aruh Ganal, atau karena ikan samunya yang enak. Boleh jadi pula karena lamangnya yang lamak.
Juga
sangat popoler pula bagi kaum sastrawan, Kandangan melahirkan sastrawan
andal dan terkenal dengan karyanya yang membuat orang selalu
memperhitungkannya di panggung pentas seni budaya. Tentu juga sangat
tidak berlebihan jika Kandangan melahirkan tokoh yang dapat mengangkat
nama daerah, baik dalam skala regional Kalimantan maupun nasional.
Dari
sisi mana pun melihat, itu hak setiap kita. Tetapi bagi saya yang asli
putra Kandangan, Kandangan adalah tetap sebuah Kota Paris, Indah
Kandangan Kotaku manis, disana saya dilahirkan, mengenal diri dan juga
arti cinta.
Kini,
masihkah Kandangan menjadi episentrum pergerakan di Kalimantan atau
paling tidak di Kalsel? Memang, Kandangan telah menasbihkan dirinya
sebagai pusat pembangunan banua enam plus, pegunungan, rawa dan perkotaan. Tetapi, sebagai orang banua
saya merasa itu belum menjadi kenyataan. Sebab masih banyak yang perlu
dibenahi dan perlu dieksplorasi agar Kota Kandangan dan HSS kembali
manis.
Kadang
di sanubari yang paling dalam, dalam alam pikiran sadar, dari ungkapan
tokoh masyarakat, sering terbesit pertanyaan: kenapa Kota Kandangan,
yang jauh lebih tua dari kabupaten lain khususnya banua enam,
mengalami kemajuan yang agak lambat, jika tidak mau dibilang ketinggalan
kereta. Atau apakah kita yang tidak terlalu sabar dalam menghadapi
lajunya pembangunan. Tetapi ini realitas. Nang kaya itu pang adanya.
Tuntutan perbaikan dan kemajuan perkembangan pembangunan oleh hampir
sebagian besar masyarakat Hulu Sungai Selatan, sebenarnya merupakan hal
yang sangat positif.
Tuntutan
dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun, sebenarnya itu semua adalah
sebuah kepedulian. Namun terkadang kita salah mengartikan saran, kritik
konstruktif dan bahkan cemoohan lebih dianggap sebagai sebuah kenistaan
ketimbang bentuk partisipasi pembangunan.
Termenunglah
diri ini. Kenangan akan kalimat puitis: Roma atau Paris, Indah
Kandangan Kotaku Manis, membuat dahi berkerut. Mungkin ada yang salah
dengan “penjelmaan” kekinian atas etos dan epos idealisme di atas dengan
cara menghadapi kenyataan masa kini: membangun daerah.
Ya,
membangun daerah, tak mesti tugas bupati, birokrat atau apalah yang
namanya pemerintah. Membangun daerah merupakan kewajiban semua pihak
yang tinggal, memamah sari bumi, meminum air, menanak nasi bahkan –maaf-
sampai yang berak di sungai saban hari, semuanya tak luput dari tugas
ini.
Sebab,
kalau hanya mengandalkan pemerintah, ekonomi akan bergerak karena APBD,
yang muncul adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan kemakmuran.
Akibatnya, gigantis, besar tapi keropos, tampangnya kokoh namun ternyata
gampang roboh dan dirobohkan. Efeknya juga banyak, bangkrut
kreatifitas, miskin ide dan gagasan. Alhasil, ujung-ujungnya jadi
gelandangan di negeri sendiri. Sesuatu yang ironi, tapi ini nyata
terjadi, di negeri ini.
Contoh,
kita memiliki luasan area untuk perkebunan karet terbesar dunia,
ternyata kita kalah dengan Malaysia. Sawit kita pun menuju “pengalahan”
ke arah sana kalau kita tidak cermat dan bergegas membangunnya sendiri.
Uniknya lagi, Singapura yang tak berhutan itu, ekspor kayu
gelondongannya melebihi Indonesia yang kaya hutan tropis. Ada apa dengan
mentalitas kita ini.
Merenungi
hal-hal tadi, mengenang saat-saat senggang melihat tugu Proklamasi di
Ni’ih atau monumen “kenangan” di Kampung Jawa, HSS, lagi-lagi batin ini
bergelora, ada semacam geliat-geliat geram dalam diri. Apa yang akan
saya perbuat untuk banua ini? Apa yang akan ku sumbang-bhaktikan bagi
daerah ini?
Kegemasan
ini akhirnya membuat lintasan-lintasan pikiran meloncat-loncat membawa
ingatan dan kenangan akan negeri-negeri maju yang ada dalam impian.
Membawa saya pada dua kota yang melegenda, Roma dan Paris.
Kota
yang maju dan bersejarah tinggi itu tentu dibangun dengan cara yang
sama: dari sebuah batu bata, batu, pasir atau apapun. Tapi yang jelas
dari hal yang secuil, dari yang sedikit. Selalu ada fase-fase yang harus
dilalui. Proses-proses yang mesti dijalani.
Tapi
apa yang membuatnya melegenda? Visi dan motivasi. Sekalipun sejarah
tidak menuliskan visi dan motivasi dibangunnya dua kota berbeda negara
yang melegenda itu, tentu hasil dari itu, telah berbicara lebih banyak,
lebih besar, lebih menyejarah dan tentu saja lebih heboh dan
menginspirasi.
Maka,
apa yang kurang di sini? Alam luas, SDA melimpah, manusia banyak?
Barangkali visi dan motivasi yang belum tergali atau kering, yang
menjadi penyumbat aliran-aliran kemakmuran. Atau juga kemalasan, yang
membuat ketertinggalan betah bersemayam.
Ah
tidak, kampungku, daerahku, kini terus berbenah. Ada berita-berita
terobosan pembangunan telah dilakukan oleh pemerintah daerah. Manfaatnya
pun sebagian mulai dirasakan.
Tapi,
tepatkah kita berpangku diri, menunggu BLT menjamah setiap rumah? Atau,
kita bergerak dengan cepat, mengambil posisi yang lebih tepat, dengan
visi dan motivasi berdikari. Bukan kah Tugu Proklamasi 17 Mei telah
berbicara lebih dari itu? Kenapa kita lupa mengambil saripati
sejarahnya?
Kalau
Roma dan Paris, mulai dibangun dengan satu batu yang dirangkai dengan
ketekunan lantas melegenda dan menyejarah, maka HSS pun demikian adanya
kalau visi dan motivasinya dibawa rakyatnya ke sana.
Antara Roma dan Paris, HSS di mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar