Kamis, 04 Juli 2013

PERNIK HSS

JUM'AT, 5 JULI 2013

Antara Roma dan Paris, 

Di Mana HSS?

 

Oleh : Taufik 79


Alangkah beruntung sebuah kota yang disebut dalam sebuah puisi. Kota itu menjadi dikenal, bahkan terkenal, selain selalu dikenang oleh orang yang menyenangi puisi itu. Ingat larik ’’Tanjung Perak tepi laut,’’ syair ’’Selamat tinggal Teluk Bayur permai,’’ atau lagu “Kotabaru gunungnya bamega”, yang membuat ketiga tempat itu bukan hanya berada di ujung lidah, tetapi juga berada pada salah satu sudut jantung.
Sebuah kota atau tempat yang disebut dalam bait lagu atau puisi seperti menjadi sangat layak untuk dikunjungi, bahkan mengundang keinginan untuk datang ke sana.
Roma atau Paris. Indah Kandangan Kotaku Manis”. Demikian sebagian dari bait syair tokoh sastra Kandangan di era tahun 1960-an, almarhum Darmansyah Zauhidi. Jika saja tidak berlebihan, berani saya katakan, untuk lingkup Kalsel siapakah yang tidak mengenal Kandangan. Sebuah kota yang usianya mungkin tertua di wilayah hulu sungai.
Selain itu, Kandangan dikenal sebagai ibu dari cikal bakal berdirinya kabupaten di kawasan banua enam, sampai ada istilah Kandangan “Boston”nya Kalsel. Karena itu gerakannya tidak segesit zaman perjuangan. Sehingga terkesan kalah gesit dengan adik-adiknya seperti kota Tanjung, Barabai, Amuntai, Balangan atau Tanah Bumbu (maaf bukan membanding-bandingkan).
Padahal Kota Kandangan dan HSS banyak menyimpan kenangan manis dan heroik. Bagi pelaku sejarah, Kandangan dikenal sebagai basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan NICA-nya yang melahirkan Pahlawan Nasional H.Hasan Basry, Bapak Gerilyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Atau barangkali kita juga mengenal Kandangan, kota yang melahirkan imej ‘jawara’ karena terkenal berani dan “badarah panasan”. Kandangan cing ai!
Kota dengan luas wilayah 1.804.92 Km2 dan tingkat kepadatan penduduk 108 jiwa per-km2 ini tak hanya dikenal karena kelezatan Katupat Kandangan-nya, atau karena dodolnya yang manis dan gurih. Barangkali juga karena Loksado yang menawan, air terjun Haratai dan budaya masyarakatnya di kaki Pegunungan Meratus yang khas dan terkenal dengan Aruh Ganal, atau karena ikan samunya yang enak. Boleh jadi pula karena lamangnya yang lamak.
Juga sangat popoler pula bagi kaum sastrawan, Kandangan melahirkan sastrawan andal dan terkenal dengan karyanya yang membuat orang selalu memperhitungkannya di panggung pentas seni budaya. Tentu juga sangat tidak berlebihan jika Kandangan melahirkan tokoh yang dapat mengangkat nama daerah, baik dalam skala regional Kalimantan maupun nasional.
Dari sisi mana pun melihat, itu hak setiap kita. Tetapi bagi saya yang asli putra Kandangan, Kandangan adalah tetap sebuah Kota Paris, Indah Kandangan Kotaku manis, disana saya dilahirkan, mengenal diri dan juga arti cinta.
Kini, masihkah Kandangan menjadi episentrum pergerakan di Kalimantan atau paling tidak di Kalsel? Memang, Kandangan telah menasbihkan dirinya sebagai pusat pembangunan banua enam plus, pegunungan, rawa dan perkotaan. Tetapi, sebagai orang banua saya merasa itu belum menjadi kenyataan. Sebab masih banyak yang perlu dibenahi dan perlu dieksplorasi agar Kota Kandangan dan HSS kembali manis.
Kadang di sanubari yang paling dalam, dalam alam pikiran sadar, dari ungkapan tokoh masyarakat, sering terbesit pertanyaan: kenapa Kota Kandangan, yang jauh lebih tua dari kabupaten lain khususnya banua enam, mengalami kemajuan yang agak lambat, jika tidak mau dibilang ketinggalan kereta. Atau apakah kita yang tidak terlalu sabar dalam menghadapi lajunya pembangunan. Tetapi ini realitas. Nang kaya itu pang adanya. Tuntutan perbaikan dan kemajuan perkembangan pembangunan oleh hampir sebagian besar masyarakat Hulu Sungai Selatan, sebenarnya merupakan hal yang sangat positif.
Tuntutan dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun, sebenarnya itu semua adalah sebuah kepedulian. Namun terkadang kita salah mengartikan saran, kritik konstruktif dan bahkan cemoohan lebih dianggap sebagai sebuah kenistaan ketimbang bentuk partisipasi pembangunan.
Termenunglah diri ini. Kenangan akan kalimat puitis: Roma atau Paris, Indah Kandangan Kotaku Manis, membuat dahi berkerut. Mungkin ada yang salah dengan “penjelmaan” kekinian atas etos dan epos idealisme di atas dengan cara menghadapi kenyataan masa kini: membangun daerah.
Ya, membangun daerah, tak mesti tugas bupati, birokrat atau apalah yang namanya pemerintah. Membangun daerah merupakan kewajiban semua pihak yang tinggal, memamah sari bumi, meminum air, menanak nasi bahkan –maaf- sampai yang berak di sungai saban hari, semuanya tak luput dari tugas ini.
Sebab, kalau hanya mengandalkan pemerintah, ekonomi akan bergerak karena APBD, yang muncul adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan kemakmuran. Akibatnya, gigantis, besar tapi keropos, tampangnya kokoh namun ternyata gampang roboh dan dirobohkan. Efeknya juga banyak, bangkrut kreatifitas, miskin ide dan gagasan. Alhasil, ujung-ujungnya jadi gelandangan di negeri sendiri. Sesuatu yang ironi, tapi ini nyata terjadi, di negeri ini.
Contoh, kita memiliki luasan area untuk perkebunan karet terbesar dunia, ternyata kita kalah dengan Malaysia. Sawit kita pun menuju “pengalahan” ke arah sana kalau kita tidak cermat dan bergegas membangunnya sendiri. Uniknya lagi, Singapura yang tak berhutan itu, ekspor kayu gelondongannya melebihi Indonesia yang kaya hutan tropis. Ada apa dengan mentalitas kita ini.
Merenungi hal-hal tadi, mengenang saat-saat senggang melihat tugu Proklamasi di Ni’ih atau monumen “kenangan” di Kampung Jawa, HSS, lagi-lagi batin ini bergelora, ada semacam geliat-geliat geram dalam diri. Apa yang akan saya perbuat untuk banua ini? Apa yang akan ku sumbang-bhaktikan bagi daerah ini?
Kegemasan ini akhirnya membuat lintasan-lintasan pikiran meloncat-loncat membawa ingatan dan kenangan akan negeri-negeri maju yang ada dalam impian. Membawa saya pada dua kota yang melegenda, Roma dan Paris.
Kota yang maju dan bersejarah tinggi itu tentu dibangun dengan cara yang sama: dari sebuah batu bata, batu, pasir atau apapun. Tapi yang jelas dari hal yang secuil, dari yang sedikit. Selalu ada fase-fase yang harus dilalui. Proses-proses yang mesti dijalani.
Tapi apa yang membuatnya melegenda? Visi dan motivasi. Sekalipun sejarah tidak menuliskan visi dan motivasi dibangunnya dua kota berbeda negara yang melegenda itu, tentu hasil dari itu, telah berbicara lebih banyak, lebih besar, lebih menyejarah dan tentu saja lebih heboh dan menginspirasi.
Maka, apa yang kurang di sini? Alam luas, SDA melimpah, manusia banyak? Barangkali visi dan motivasi yang belum tergali atau kering, yang menjadi penyumbat aliran-aliran kemakmuran. Atau juga kemalasan, yang membuat ketertinggalan betah bersemayam.
Ah tidak, kampungku, daerahku, kini terus berbenah. Ada berita-berita terobosan pembangunan telah dilakukan oleh pemerintah daerah. Manfaatnya pun sebagian mulai dirasakan.
Tapi, tepatkah kita berpangku diri, menunggu BLT menjamah setiap rumah? Atau, kita bergerak dengan cepat, mengambil posisi yang lebih tepat, dengan visi dan motivasi berdikari. Bukan kah Tugu Proklamasi 17 Mei telah berbicara lebih dari itu? Kenapa kita lupa mengambil saripati sejarahnya?
Kalau Roma dan Paris, mulai dibangun dengan satu batu yang dirangkai dengan ketekunan lantas melegenda dan menyejarah, maka HSS pun demikian adanya kalau visi dan motivasinya dibawa rakyatnya ke sana.
Antara Roma dan Paris, HSS di mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...