Rabu, 03 Juli 2013

TULISAN KAWAN

KAMIS, 4 JULI 2013

Ada Surga di Kandangan?
Oleh : Randu Alamsyah



Saya tidak pernah ke Kandangan. Tidak seperti intensitas dalam dua bulan ini. Jauh sebelum itu, Kandangan hanya berupa kabar-kabar yang berseliweran. Kandangan, yang saya dengar adalah kota dimana semua orang mempunyai keberanian yang tak terukur, tidak gentar beradu pendapat, dan kemana-mana mengantongi lading (pisau). Saya punya banyak teman Urang Kandangan dan kadang-kadang saya mendengar stigma itu diteguhkan dengan ungkapan tautologis yang sering diselorohkan: Kandangan Cing Ai!

Kabar-kabar itu turut menyertai perjalanan pertama kali ke Kandangan. Semalaman begadang nonton bola, saya beserta Sandi, harus melewati sekitar 100 kilometer jalan trans Kalimantan. Mengantuk, lemas dan kedinginan. Kondisi jalanan Binuang yang becek dengan truk-truk besarnya yang senantiasa bisa muncul dari sembarang tikungan, membuat perjalananan semendung hari itu.

Kami tidak membawa bekal, tidak membawa baju dan selimut. Makanan. Belakangan juga kami baru sadar bahwa kami tidak membawa baju tilasan. Dua hari sebelumnya, Saya telah mengingatkan Sandi untuk membawa kamera: Benda yang saya tahu bisa memberi keceriaan dalam perjalanan itu. Alhamdulillah, Sandi membawanya. Dia selalu ingat untuk membawa kamera. Saya sendiri hanya membawa beberapa buah buku. Saya tidak bisa tidur tanpa membaca buku.

Saya mengira kami telah memasuki kota Kandangan saat banyak plang warung tertulis “Kandangan” dengan huruf besar. Sandi mengatakan itu baru Rantau. Tidak jelas apakah kami berdebat lama tentang itu, tapi saya membacanya: Itu adalah warung Dodol Asli Kandangan.

Semakin masuk ke Kandangan, semakin banyak warung dan kios seperti itu. Ada banyak Dodol dengan banyak nama : Dodol Asli Kandangan HJ Wahidah, Dodol Asli Kandangan HJ Siti Khadijah, kemudian Hj Nur Komariyah, Hj Nurul Uyun, Hj Nur Aini, Hj Nurmalasari, dengan varian-variannya. Semuanya Asli. Saya curiga diam-diam mereka berteman dan punya semacam rumah produksi yang sama. Otentisitas tak mungkin bisa dibagi, dalam arti yang kira-kira dimaksudkan plang-plang itu.

Kami singgah di sebuah mushola kecil di pinggiran kota lalu mulai membersihkan diri. Di sebuah warung makan, Sandi memesan kopi. Saya sendiri adalah seorang pecandu kopi, tapi tidak seperti belakangan ini. Saya telah mulai berhenti merokok. Bagi Sandi, kopi adalah teman yang paling baik untuk merokok. Itu memberinya kenikmatan plus eksoktisme bohemian. Dunia boleh berakhir, tetapi secangkir kopi bisa selalu menenangkannya.

Paradoks pertama dari kota ini adalah Aliman Syahrani: Saya menyukai tulisan-tulisannya yang selalu diakhirinya dengan tanda seru di Koran-koran, buku, jejaring sosial. Aliman berkacamata, berbicara dengan lembut, menyenangi humor klasik dan hapal banyak satir –satir masam. Seorang teman di kantor saya mengatakan seniman adalah mereka yang tidak bisa menjaga sikapnya, cenderung liar dan terburu-buru. Aliman tidak. Ia santun, tertib dan tanak. Terburu-buru? Aliman bahkan tidak pernah melewati 20 km perjam saat membawa sepeda motor. Teman lainnya mengatakan sastrawan adalah mereka yang tak pernah peduli dengan badan. Ia salah lagi. Aliman sastrawan, tidak merokok dan amat sangat rajin fitness. Kami hampir curiga, kevakumannya menulis karena ia mengurus tempat fitness tepat di belakang rumahnya.

Kami berencana melakukan perjalanan ke Loksado. Saya membaca tentang Loksado di beberapa tulisan. Beberapa hari lalu, Sandi mengajak untuk pergi ke sana, saya tidak tahu apakah ini Loksado yang itu. Saya pernah pergi ke sebuah kecamatan di Jawa Timur, namanya juga Kandangan. Banyaknya dodol yang mengaku asli membuat kesadaran saya sedikit kacau. Bisa saja ini adalah loksado yang lain, bukan Loksado asli, Loksado yang pernah saya baca.

Jarak ke Loksado mungkin sekitar 70 kilometer dalam rentang lurus. Dari kaki pegunungan Meratus, pertama kali saya ke sana, aspalnya sedang diperbaiki. Plang, tumpukan pasir dan koral nampak disana-sini. Saat pendakian pertama, sebuah eksavator dengan baket terbuka meraung-meraung memahat sisi gunung yang rendah. Jalanan menyempit. Sebuah motor yang datang dari arah sebaliknya melaju membawa berbalok-balok kayu yang dipasang seimbang di boncengan belakang sampai ke depan.
Saat jalanan mulai terlihat meliuk, kami telah melewati perbatasan desa. Rumah-rumah. Pemukiman kecil, semakin jauh, semakin jarang. Menarik nafas saya bisa mencium bau tanah basah, silir angin yang mengempas dedaunan. Aroma pegunungan semakin kental saat pendakian. Jalanan berkelak-kelok dalam kontur yang berayun. Di tanjakan yang lain, saya melihat biawak terlindas mobil. Sandi dan Aliman berboncengan dan menghindarinya dengan gesit.

Ada puluhan kilometer sebelum, gunung Kantauan muncul dari balik awan. Seperti mahkota. Pucaknya nyaris mistis dan menuding langit. Di kaki Kantauan, kabut terlihat memutih dramatis. Udara lembab. Saya harus membuka helem untuk menikmati sensasi ini. Dengan segala kemegahan dan keheningan alamnya, Loksado ini benar Loksado yang asli.

Kami tiba di desa Lok Lahung yang eksotis. Mengaso dan minum kopi. mendengarkan gemericik air. Sepelemparan batu lurus dengan arah jembatan, sebuah gedung bertingkat tampak ganjil membelakangi sungai. Sandi mengatakan itu adalah semacam cottage. Penginapan untuk para wisatawan. Kelak, saat kali kedua kesana, Kayla Untara, seorang teman yang lain, mengatakan bangunan itu jelas sebuah kesalahan. Orang kota mencari desa dengan datang kesini, gedung itu jelas sangat kota, katanya. Kayla mempunyai kapasitas untuk berpandangan seperti itu. Ia seorang konsultan pembangunan. Sembari bercanda, saya berseloroh satu-satunya kesalahan pemkab Kandangan hanyalah kenapa ia tidak merekrut konsultan yang bukan Kayla.

Air terjun saya lupa namanya, tapi kami mandi di sini.

Air terjun saya lupa namanya, tapi kami mandi di sini.

Kami melintasi perkampungan di Malaris. Beberapa bocah dengan baju kusam membonceng bocah lainnya dengan motor yang masih terlihat baru. Begitu saja melewati jembatan, dan jalan-jalan curam di tepian sungai. Sudah biasa, kata salah seorang penduduk. Di kota, bocah-bocah itu tak akan diperbolehkan memakai motor dengan kecepatan seperti itu. Lagipula itu motor Jepang. Aliman mengatakan di awal 90-an, saat Kandangan masih dekaden, Malaris adalah satu-satunya kampung yang memiliki antenna parabola. Saya ternganga.

Kami harus hati-hati melewati kampung, bukan saja karena jalannya yang agak licin tetapi juga karena ada beberapa piaraan anjing dan babi yang berkeliaran. Di ujung kampung itu ada jembatan yang berkelok tajam. Saya menahan nafas saat melewatinya dan ketika tiba di sebuah saya melihat surga lain dari Loksado: air terjun rendah dengan bebatuan besar. Pepohonan, semak-semak dan sulur-sulur liar yang memagari danau sunyi di tengah-tengahnya. Bening. Aliman mengatakan nama tempat itu tapi saya tidak bisa mengingatnya lagi. Kelak, saya baru tahu dalam beberapa tulisan tentang Loksado bahwa itu bukanlah air terjun utama. Ada banyak keindahan air terjun di sana. Di sebuah gubuk dengan dinding terbuka, Aliman menunjuk terowongan yang meliuk dari atas gunung. Disanalah Duncan, kata Aliman, terkurung. Duncan adalah karakter dalam novel Palas karya Aliman. Hingga sekarang saya masih sering membaca novel itu.

Saat matahari menembus celah dedaunan kami beranjak dari sana. Iseng sebelum pergi saya menanyakan Sandi pertanyaan yang sebelumnya ditanyakan Aliman kepada saya: Apakah ikam mau tinggal di sini? Sandi menjawab sediakan kulkas dan internet. Saya tertawa karena tahu ia berbohong. Ia bahkan rela menukar kulkas dan internet dengan kopi dan rokok. (*)            





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...