Jumat, 19 Juli 2013

INTINGAN DAN DAYUHAN

SABTU, 20 JULI 2013

            Dulu, ada dua bersaudara, berdiam di ujung kampung. Yang tua bernama Intingan, yang muda bernama Dayuhan. Ayahnya sudah lama tiada, meninggal dunia lantaran kena bisa waktu menaiki pohon enau untuk membuat gula merah. Ibunya dua bersaudara itu baru saja meninggal dunia lantaran ketumpahan air panas yang mendidih.

            Walaupun Intingan dan Dayuhan itu bersaudara kandung, namun berbeda sekali perangainya. Intingan yang kakak agak terpintar. Dia mau dinasehati, mau belajar, kelakuannya baik, dan senang menolong orang. Sementara Dayuhan adiknya, agak bodoh, tidak mau dinasehati. Suka iri jika melihat keberhasilan orang lain. Dulu ibunya mengajari Intingan bekerja didapur, cepat Intingan menurut. Sedang Dayuhan tidak mau belajar, bekerja, sampai sekarang tidak bisa bekerja apa-apa. Begitu juga sewaktu ayahnya dulu menyuruh belajar supaya pintar. Intingan mau saja belajar, tapi Dayuhan tidak mau. Pendeknya yang dua bersaudara itu tidak sama kepintaran dan kelakuannya.

            Waktu itu sampai bulan Rajab, genap seratus hari ibunya meninggal dunia. Intingan ingin mengadakan kenduri manyaratus ibunya. Lalu Dayuhan dipanggil.

            “ Dayuhan kita ingin mengadakan selamatan seratus hari ibu kita meninggal dunia.”

            “ Bagus sekali,” sahut Dayuhan.

            “ Kita selamatannya besar-besaran. Menyembelih seekor kerbau,” ujar Intingan.

            “ Apa warna kerbau itu ?” tanya Dayuhan.

            “ Yang abu-abu, kmau nanti yang membelinya maukan ?”

            “ Mau saja. Berapa harganya ?”

            “ Tiga ringgit,” sahut Intingan.

            Besoknya Intingan menyerahkan uang kepada Dayuhan untuk membeli seekor kerbau. Waktu itu Intingan di rumah membuat sambal untuk memasak daging kerbau.

            Dayuhan dasar tidak pintar, disuruh pergi ke pasar mencari kerbau, malah dia pergi ke hutan. Dia menerobos semak belukar, melompati sungai mencari kerbau. Setelah itu Dayuhan sampai di dekat pohon enau. Dilihatnya dekat pohon enau ada seekor tikus yang besarnya seperti pergelangan tangan manusia, berwarna abu-abu.

            “ Pas ini, mungkin ini kerbaunya, warnanya abu-abu,” ujar Dayuhan dalam hati.

            Tikus itu cepat-cepat ditangkapnya. Namun tikus itu lari ketakutan, lantas dikepung Dayuhan. Pas tikus itu lari disela-sela batang bilaran, dapat ditangkap dengan mudah oleh Dayuhan.

            “ Nah, kamu tidak bisa bergerak lagi, kalau-kalau nanti tubuh kamu kupegang,” ujar Dayuhan sambil memegang tubuh tikus yang menggeliat ingin lepas.

            Tak jauh dari Dayuhan berada ada pohon pisang jaranang yang tali batangnya cukup kokoh. Dayuhan mengambil tali dari batang pisang jaranang itu untuk mengikat leher tikus. Uang tiga ringgit diberikan Intingan untuk harga kerbau, diletakkan Dayuhan dibatang pohon pisang jaranang, sambil berucap, “ Ini duitnya tiga ringgit harga kerbau saya beli lah.”

            Lalu Dayuhan pulang ke rumah mengirit tikus. Sesampai di rumah tali tikus diikatkan di ujung tangga lalu dia memanggil :

            “ Kak Intingan, ini kerbaunya. Sudah kubeli tiga ringgit.”

            Intingan dengan cepat keluar dari dalam rumah.

            “ Mana kerbaunya ?”

            “ Turun dulu kamu.”

            Intingan turun, namun ia tidak melihat ada kerbau.

            “ Mana kerbaunya ?” Tanya Intingan.

            “ Hati-hati Kak kalau terinjak kerbaunya,” ujar Dayuhan.

            “ Lihat, dekat kaki kamu,” ujar Dayuhan.

            Intingan memandang ke bawah, ternyata tikus. Marah sekali ia kepada Dayuhan. Namun setelah itu ingat akan adiknya yang tidak pintar itu, lalu dia diam saja.

            “ Dayuhan, isi tajau yang kosong ini. Aku mau ke pasar.”

            Intingan pergi ke pasar mencari kerbau. Seekor kerbau yang sedang besarnya dibelinya dengan harga tiga ringgit. Kerbau itu lalu dibawa Intingan pulang ke rumah. Tali kerbau diikatkan Intingan ke tiang tangga, lalu ia berteriak :

            “ Oh Dayuhan ! Keluar kamu ini kerbaunya.”

            Dayuhan cepat keluar melihat kerbau itu.

            “ Duh besarnya kerbau, tidak berani aku,” ujar Dayuhan yang cepat kembali masuk ke kamar ketakutan.

            Intingan lalu memanggil tetangga dekat rumah untuk menyembelih kerbau itu. Setelah disembelih lama mereka membersihkan kerbau itu. Ada yang membersihkan perutnya, kulitnya, memotong kakinya, membelah kepalanya, bermacam-macam yang mereka kerjakan.

            “ Dayuhan kamu berangkat undang warga kampung,” ujar Intingan menyuruh Dayuhan.

            “ Siapa yang diundang ?” Tanya Dayuhan.

            “ Tuan-tuan guru untuk nantinya membaca do’a. Juga orang-orang di kampong sebelah.”

            Dayuhan berangkat untuk mengundang. Tapi dia pergi ke hutan kembali. Tidak ke kampung sebelah. Dayuhan sampai ke tengah persawahan. Disana dilihatnya banyak burung putih. Burung putih itu dikira Dayuhan tuan-tuan haji, karena bulunya putih semua.

            “ Hai Patuan Haji. Kami mengundang untuk selamatan seratus hari meninggalnya ibu saya,” ujar Dayuhan.

            Burung yang banyak itu berterbangan saat didekati Dayuhan.

            “ Mereka tidak mau diundang,” ujar Dayuhan.

            Lalu dia berjalan kembali. Lalu ia bertemu babi. Babi itu kakiny pendek, ekornya mencuir, mulutnya luncur.

            “ Oh Busu. Kami mau mengundang acara selamatan.”

            Namun babi itu tidak menyahut, malah disodornya kaki Dayuhan sampai terjatuh. Setelah itu babi tersebut lari masuk ke semak belukar.

            “ Tidak mau pula diundang,” ujar Dayuhan sambil mengusap kakinya yang luka bekas disodor babi.

            Dayuhan melangkah kembali, lalu bertemu pohon hambawang. Disana ada sarang lebah yang hitam-hitam.

            Pohon hambawang itu digoyangnya sambil berucap :

            “ Pakacil, kami ingin mengundang.”

            Lebah itu geger, lalu disengatnya muka Dayuhan. Dayuhan kesakitan. Mencari sampai ke rumah.

            “ Tidak ada yang maunya orang diundang. Malahan kepalaku bengkak ditamparnya,” ujar Dayuhan.

            “ Siapa yang kamu undang itu ?” Tanya Dayuhan.

            Lalu Dayuhan mengatakan ada tiga yakni Patuan Haji, Busu, dan Pakacil.

            “ Yang kamu katakan tuan haji itu burung putih, yang dipanggil busu itu babi, dan pakacil itu wanyi,” kata Intingan.

            Ternyata Intingan juga yang mengundang ke kampong sebelah. Dayuhan salah terus . Malam itu penuh rumah Intingan. Orang berdatangan untuk selamatan manyaratus. Nasi tiga kawah, kerbau seekor habis dimakan semua. Dayuhan makan yang banyak, lahap sekali.***




2 komentar:

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...