Dulu, ada dua bersaudara,
berdiam di ujung kampung. Yang tua bernama Intingan, yang muda bernama Dayuhan.
Ayahnya sudah lama tiada, meninggal dunia lantaran kena bisa waktu menaiki
pohon enau untuk membuat gula merah. Ibunya dua bersaudara itu baru saja
meninggal dunia lantaran ketumpahan air panas yang mendidih.
Walaupun Intingan dan
Dayuhan itu bersaudara kandung, namun berbeda sekali perangainya. Intingan yang
kakak agak terpintar. Dia mau dinasehati, mau belajar, kelakuannya baik, dan
senang menolong orang. Sementara Dayuhan adiknya, agak bodoh, tidak mau
dinasehati. Suka iri jika melihat keberhasilan orang lain. Dulu ibunya mengajari
Intingan bekerja didapur, cepat Intingan menurut. Sedang Dayuhan tidak mau
belajar, bekerja, sampai sekarang tidak bisa bekerja apa-apa. Begitu juga
sewaktu ayahnya dulu menyuruh belajar supaya pintar. Intingan mau saja belajar,
tapi Dayuhan tidak mau. Pendeknya yang dua bersaudara itu tidak sama kepintaran
dan kelakuannya.
Waktu itu sampai bulan
Rajab, genap seratus hari ibunya meninggal dunia. Intingan ingin mengadakan
kenduri manyaratus ibunya. Lalu Dayuhan
dipanggil.
“ Dayuhan kita ingin
mengadakan selamatan seratus hari ibu kita meninggal dunia.”
“ Bagus sekali,” sahut
Dayuhan.
“ Kita selamatannya
besar-besaran. Menyembelih seekor kerbau,” ujar Intingan.
“ Apa warna kerbau itu
?” tanya Dayuhan.
“ Yang abu-abu, kmau
nanti yang membelinya maukan ?”
“ Mau saja. Berapa harganya
?”
“ Tiga ringgit,” sahut
Intingan.
Besoknya Intingan
menyerahkan uang kepada Dayuhan untuk membeli seekor kerbau. Waktu itu Intingan
di rumah membuat sambal untuk memasak daging kerbau.
Dayuhan dasar tidak
pintar, disuruh pergi ke pasar mencari kerbau, malah dia pergi ke hutan. Dia
menerobos semak belukar, melompati sungai mencari kerbau. Setelah itu Dayuhan
sampai di dekat pohon enau. Dilihatnya dekat pohon enau ada seekor tikus yang
besarnya seperti pergelangan tangan manusia, berwarna abu-abu.
“ Pas ini, mungkin ini
kerbaunya, warnanya abu-abu,” ujar Dayuhan dalam hati.
Tikus itu cepat-cepat
ditangkapnya. Namun tikus itu lari ketakutan, lantas dikepung Dayuhan. Pas
tikus itu lari disela-sela batang bilaran, dapat ditangkap dengan mudah oleh
Dayuhan.
“ Nah, kamu tidak bisa bergerak
lagi, kalau-kalau nanti tubuh kamu kupegang,” ujar Dayuhan sambil memegang
tubuh tikus yang menggeliat ingin lepas.
Tak jauh dari Dayuhan
berada ada pohon pisang jaranang yang tali batangnya cukup
kokoh. Dayuhan mengambil tali dari batang pisang
jaranang itu untuk mengikat leher tikus. Uang tiga ringgit diberikan
Intingan untuk harga kerbau, diletakkan Dayuhan dibatang pohon pisang jaranang,
sambil berucap, “ Ini duitnya tiga ringgit harga kerbau saya beli lah.”
Lalu Dayuhan pulang ke
rumah mengirit tikus. Sesampai di rumah tali tikus diikatkan di ujung tangga
lalu dia memanggil :
“ Kak Intingan, ini
kerbaunya. Sudah kubeli tiga ringgit.”
Intingan dengan cepat
keluar dari dalam rumah.
“ Mana kerbaunya ?”
“ Turun dulu kamu.”
Intingan turun, namun
ia tidak melihat ada kerbau.
“ Mana kerbaunya ?”
Tanya Intingan.
“ Hati-hati Kak kalau
terinjak kerbaunya,” ujar Dayuhan.
“ Lihat, dekat kaki
kamu,” ujar Dayuhan.
Intingan memandang ke
bawah, ternyata tikus. Marah sekali ia kepada Dayuhan. Namun setelah itu ingat
akan adiknya yang tidak pintar itu, lalu dia diam saja.
“ Dayuhan, isi tajau yang kosong ini. Aku mau ke
pasar.”
Intingan pergi ke pasar
mencari kerbau. Seekor kerbau yang sedang besarnya dibelinya dengan harga tiga
ringgit. Kerbau itu lalu dibawa Intingan pulang ke rumah. Tali kerbau diikatkan
Intingan ke tiang tangga, lalu ia berteriak :
“ Oh Dayuhan ! Keluar
kamu ini kerbaunya.”
Dayuhan cepat keluar
melihat kerbau itu.
“ Duh besarnya kerbau,
tidak berani aku,” ujar Dayuhan yang cepat kembali masuk ke kamar ketakutan.
Intingan lalu memanggil
tetangga dekat rumah untuk menyembelih kerbau itu. Setelah disembelih lama
mereka membersihkan kerbau itu. Ada yang membersihkan perutnya, kulitnya,
memotong kakinya, membelah kepalanya, bermacam-macam yang mereka kerjakan.
“ Dayuhan kamu
berangkat undang warga kampung,” ujar Intingan menyuruh Dayuhan.
“ Siapa yang diundang
?” Tanya Dayuhan.
“ Tuan-tuan guru untuk
nantinya membaca do’a. Juga orang-orang di kampong sebelah.”
Dayuhan berangkat untuk
mengundang. Tapi dia pergi ke hutan kembali. Tidak ke kampung sebelah. Dayuhan
sampai ke tengah persawahan. Disana dilihatnya banyak burung putih. Burung
putih itu dikira Dayuhan tuan-tuan haji, karena bulunya putih semua.
“ Hai Patuan Haji. Kami
mengundang untuk selamatan seratus hari meninggalnya ibu saya,” ujar Dayuhan.
Burung yang banyak itu
berterbangan saat didekati Dayuhan.
“ Mereka tidak mau
diundang,” ujar Dayuhan.
Lalu dia berjalan
kembali. Lalu ia bertemu babi. Babi itu kakiny pendek, ekornya mencuir,
mulutnya luncur.
“ Oh Busu. Kami mau
mengundang acara selamatan.”
Namun babi itu tidak
menyahut, malah disodornya kaki Dayuhan sampai terjatuh. Setelah itu babi
tersebut lari masuk ke semak belukar.
“ Tidak mau pula
diundang,” ujar Dayuhan sambil mengusap kakinya yang luka bekas disodor babi.
Dayuhan melangkah
kembali, lalu bertemu pohon hambawang. Disana ada sarang lebah yang
hitam-hitam.
Pohon hambawang itu
digoyangnya sambil berucap :
“ Pakacil, kami ingin
mengundang.”
Lebah itu geger, lalu disengatnya
muka Dayuhan. Dayuhan kesakitan. Mencari sampai ke rumah.
“ Tidak ada yang maunya
orang diundang. Malahan kepalaku bengkak ditamparnya,” ujar Dayuhan.
“ Siapa yang kamu
undang itu ?” Tanya Dayuhan.
Lalu Dayuhan mengatakan
ada tiga yakni Patuan Haji, Busu, dan Pakacil.
“ Yang kamu katakan tuan
haji itu burung putih, yang dipanggil busu itu babi, dan pakacil itu wanyi,”
kata Intingan.
Ternyata Intingan juga
yang mengundang ke kampong sebelah. Dayuhan salah terus . Malam itu penuh rumah
Intingan. Orang berdatangan untuk selamatan manyaratus. Nasi tiga kawah, kerbau
seekor habis dimakan semua. Dayuhan makan yang banyak, lahap sekali.***
mantap........lestarikan hikayat banua.......
BalasHapusBtw baru tahu
BalasHapus