Ada satu cerita. Cerita tentang warik dengan kura-kura.
Kura-kura itu namanya Jinglur. Sedang warik temannya bernama si Hirang. Warik
dan kura-kura ini sangat bersahabat. Kesana-kemari tak pernah berpisah.
Suatu hari, “Mari Jinglur kita beradu menanam pisang ?”
ujar Hirang.
“ Mari !” sahut Jinglur.
Jadilah mereka menanam pisang. Jinglur menanam di
belakang rumah. Disini cukup bagus untuk ditanami, subur tanahnya, cocok untuk
tanaman pisang. Bagaimana dengan Hirang ? Si Hirang sembarangan saja dia
menanam. Dimana ia ingin. Hiduplah pisang kedua-duanya. Pisang milik warik ini,
bila berpucuk dimakannya, berpucuk kembali dimakannya kembali. Mulai berpucuk
dibukanya kembali. Tak pernah berbuah sempurna.
Sementara pisang milik Jinglur tidak diapa-apakan. Lama kelamaan
berbuah sampai matang. Buahnya cukup rimbun. Siapa yang melihat, melelehlah air
liurnya. Tapi Jinglur merasa serba salah. Ingin menaiki tapi tidak bias, tak
berdaya. Pernah ia juga yang naik. Setelah naik meluncur, naik meluncur
kembali, dia tidak bias memegang batang pisang seperti warik. Warik ingin juga
menaikkan tapi malu mengatakan, “ Tolong naikkan pisangku ingin sahabatku warik
!” ujar Jinglur.
“ Pas sekali tebakanku mesti dia menyuruhku,” ujar warik
dalam hati. Senang sekali ia disuruh Jinglur menaikkan pohon pisangnya.
Namanya juga warik, sifatnya jelek dan culas. Disuruh
naik, sebentar saja ia sudah sampai ke atas. “ Ayo jatuhkan pisangnya dulu,”
ujar Jinglur.
“ Tunggu dulu, aku mencoba apakah matang atau belum,”
sahut warik. Tapi dilihat dari bawah ternyata pisang itu sudah matang, rimbun
sekali kelihatannya.
Ternyata warik asyik sekali menikmati pisang milik
Jinglur. Lupa akan segalanya.
“ Ayo ! Jatuhkan pisangnya. Sungguh terlalu kamu,
kulitnya saja kalau tidak pisangnya,” ujar Jinglur.
“ Kulitnya juga enak,” jawab Warik.
“ Payah warik ini,” ucap Jinglur dalam hati.
Setelah itu Jinglur terdiam dibawah. Seperti jatuh air liur
melihat warik menikmati pisang miliknya. Setelah habis turunlah warik itu.
Jinglur menangis dalam hati. Punya kawan yang curang. Jinglur berpikir
bagaimana cara membalasnya. Lalu pulanglah mereka ke rumah bersama-sama.
Waktu malam warik tidur dengan lelapnya karena
kekenyangan makan pisang. Sementara Jinglur tidak bias tidur. Perutnya
keroncongan tidak makan sejak tadi siang. Sebentar-sebentar perutnya berbunyi.
Mendengar bunyi itu warik terbangun. “ Jinglur kenapa perut kamu berbunyi ?”
ujar warik.
“ Aku bermimpi melihat buah rambutan yang cukup lebat,”
ujar Jinglur. Warik menanyakan dimana letaknya. Lalu dikatakan oleh Jinglur.
Pagi-pagi berangkatlah mereka mencari pohon rambutan
tadi. Jinglur tidak bias berjalan. Betapa lemah sekali. Dia kelaparan tidak
makan-makan. Terpaksa warik memanggulnya. Sampai ke pohon rambutan. Ternyata
benar pohon rambutan itu lebat sekali buahnya. Pohonnya tinggi menjulang.
Sebentar saja warik berloncatan sampai ke atas. Warik
makan rambutan kembali. Tabiat buruknya muncul lagi. Lupa dengan Jinglur yang
menanti dibawah. Jinglur memohon kepada si Hirang untuk diberi. “ Ayolah jatuhkan
kepadaku rambutannya. Aku lapar. Biarlah kulitnya saja,” ujar Jinglur.
“ Kulitnya pun enak,” seperti itu terus jawaban si Hirang
bila Jinglur memelas.
Sungguh jahat sekali perangai Hirang kepada Jinglur.
“ Awas Hirang !” lalu Jinglur mengumpulkan kayu-kayu
dengan daun-daun kering. Lalu mencari api. Lantas dibakarnya kayu-kayu kering
itu. Asap api menebar ke atas. Hirang bertanya kepada Jinglur, kenapa asap api
cukup tebal. “ Hari dekat kemarau,” jawab Jinglur.
Tak lama kemudian api semakin membesar. Bagaimana dengan
Hirang ? Mau turun tidak bias lagi. Api sudah mengelilingi. Tamatlah riwayat
hidup si Hirang. Ia jatuh ke tanah. Tubuhnya gosong terbakar api. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar