Oleh
: Reny Sri Ayu
Anwar Akib (68) bisa saja menjalani
kehidupan yang mapan sebagai pedagang tembakau. Namun, selama 43 tahun ini, ia
justru memilih menjadi juru pelihara situs bersejarah Soppeng, Sulawesi
Selatan, dengan penghasilan pas-pasan. Komitmen itu didorong rasa cintanya pada
benda-benda peninggalan sejarah.
Anwar bukan sembarang juru pelihara
alias jupel situs biasa. Untuk urusan menjaga situs, pegawai Balai Purbakala
(kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya) di Soppeng, Sulawesi Selatan, itu
tidak pernah setengah hati. Ia kerap mengeluarkan uang pribadi untuk merawat
benda-benda kepurbakalaan. Padahal, gajinya tidak seberapa.
Ia juga pernah nekat meminjam uang Rp
3,5 juta pada 1986 untuk membeli balok, semen, seng, dan kaca. Bahan-bahan itu
ia gunakan untuk membangun pondok sederhana tempat penyimpanan sejumlah artefak
dan benda-benda bekas ekskavasi.
"Waktu itu saya sering mendampingi
peneliti dan arkeolog yang datang ke Cabbenge. Rumah saya selalu menjadi tempat
singgah dan bermalam. Di kolong rumah saya, benda dan artefak sisa ekskavasi
ditumpuk," kata bapak dua anak itu saat ditemui akhir September.
"Akhirnya saya memutuskan untuk
menyimpan benda-benda itu di sebuah bangunan agar bisa dilihat siapa saja.
Sebagian saya bawa ke museum di Villa Yuliana di Watansoppeng, ibu kota
Soppeng," tutur Anwar yang tidak menghitung berapa uang pribadinya yang
keluar untuk menyelamatkan benda-benda itu.
Pondok sederhana yang dibangun Anwar di
jalan poros Soppeng-Bone itu belakangan menjadi cikal bakal berdirinya Museum
Prasejarah Calio di Cabbenge. Bangunan itu dipugar menjadi permanen pada 1990.
Tanah yang menjadi lokasi museum adalah
milik warga. Anwar dengan sabar membujuk dan memberikan pengertian kepada pemilik
tanah agar mau menukar tanahnya dengan tanah milik Balai Purbakala. Lewat jalan
berliku, Anwar berhasil meyakinkan si pemilik tanah. Ia mau menukar tanahnya
dengan tanah milik Balai Purbakala yang letaknya jauh di dalam hutan.
Anwar mau bersusah payah seperti itu
karena ia menganggap dirinya bukan sekadar penjaga atau perawat benda
kepurbakalaan, melainkan juga penjaga warisan bagi ilmu pengetahuan.
Dikejar
warga
Di Soppeng, puluhan situs menyebar di
antara rumah dan kebun warga. Ini menjadi pekerjaan berat bagi jupel dan
peneliti lapangan. Mereka kerap berhadapan dengan pemilik lahan yang sebagian
besar tidak hirau arti penting peninggalan sejarah. Padahal, Soppeng menjadi
salah satu lokasi penelitian arkeologi penting dunia karena sebagian warisan
sejarah di wilayah ini berusia hingga 2,5 juta tahun silam.
Anwar bersama peneliti pernah dikejar
warga kampung yang membawa berbagai benda tajam. Mereka marah saat mengetahui
ia berupaya menggagalkan rencana pemasangan sebuah menara komunikasi milik
salah satu operator telepon seluler di sebuah situs penting. Ia beberapa kali
dipanggil ke DPRD dan pemerintah setempat terkait peristiwa itu. Pada akhirnya,
ia bisa meyakinkan banyak orang agar membatalkan pembangunan menara tersebut.
Anwar beberapa kali pasang badan di
hadapan pemilik lahan saat peneliti dan arkeolog tak mendapat akses ke lokasi
penelitian. "Saya tak pernah pakai kekerasan. Saya selalu bilang, apa yang
dijaga dan semua yang diteliti bukan untuk kepentingan saya pribadi atau para
peneliti, melainkan kepentingan bersama untuk anak cucu. Saya yakinkan
tinggalan sejarah yang ada di lahan mereka penting untuk ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah, semua berakhir baik," katanya.
Anwar
Akib
Lahir:
Soppeng, 27 Maret 1948
Istri:
Halawiah
Anak:
Yusraeni dan Hairil
Pendidikan:
SR Salaonro
SMP Negeri 2 Parepare
SMEA Muhammadiyah Parepare
Penghargaan:
Tokoh yang memberikan perhatian khusus
bagi cagar budaya dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan 2016
Sejak
1968
Tamat dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas
(SMEA) di Parepare, ia langsung pulang kampung karena situasi yang tak menentu
pasca peristiwa 30 September 1965. Lalu, tahun 1968, ia membantu penelitian
Paleolitik oleh arkeolog Robert van Heekeren di Cabbenge. Anwar keluar masuk
hutan menemani peneliti itu, tapi belum berpikir bahwa kelak bakal bekerja
menjadi jupel.
Ketajaman ingatan dan penguasaan hampir
setiap jengkal wilayah membuat Anwar seperti peta hidup yang menuntun peneliti
pada jejak-jejak purba di Cabbenge. Walau tampak sepele, peran Anwar sebagai
penunjuk jalan menjadi sangat berarti bagi para peneliti dan arkeolog.
"Kebanyakan peneliti saat itu
berasal dari luar Soppeng dan sebagian orang asing. Saat Heekeren datang, tak
ada orang kampung yang mau terlibat dan sekadar menemani. Lalu, saya
memberanikan diri. Saat saya temui dan melihat peta lokasi yang ditunjukkan,
saya langsung menyatakan bersedia. Lokasi-lokasi yang dicari adalah tempat saya
bermain dan mencari mangga saat kecil," katanya.
Seusai membantu Heekeren, Anwar terus
terlibat dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang melibatkan pakar dari
berbagai disiplin ilmu, seperti ahli biologi dan geologi. Kelak, hasil
penelitian mereka menjadi catatan penting terkuaknya awal peradaban di Soppeng.
Penelitian itu juga menemukan sejumlah fosil babi purba, gajah kerdil,
kura-kura raksasa, dan sejumlah artefak dan fosil penting lain.
Hal itu membuat Soppeng menjadi kawasan
yang nyaris tak pernah sepi dari kegiatan penelitian. Dari semua penelitian
itu, boleh dikata, hampir semuanya melibatkan Anwar. Bahkan, ia selalu diajak
serta dalam penelitian dan praktik mahasiswa arkeologi.
Berada dalam tim peneliti, Anwar
memanfaatkannya untuk menimba ilmu arkeologi. Baginya, penelitian adalah
sekolah lapangan yang membuatnya kian memahami sejarah dan arkeologi. Apalagi,
sejak tahun 1973, ia kemudian menjadi jupel benda-benda peninggalan bersejarah
di Soppeng. Banyak peneliti dan mahasiswa yang akhirnya menjadikan lelaki itu
seperti guru, bapak, dan teman diskusi ataupun debat.
Komitmen Anwar itu berjalan baik karena
dukungan keluarga. Istrinya, Halawiah, sabar mengurus para peneliti yang kerap
bermarkas di rumahnya.
Dekat dengan para peneliti mendorong
Anwar turut membantu penelitian. Ketika mendapati jalan yang sulit di sejumlah
situs, Anwar mencari akal. Dia mendekati kelompok-kelompok petani hingga
menjadi pengurus Kelompok Tani dan Nelayan Andalan, Soppeng. Di setiap program
pembangunan jalan tani, Anwar selalu menyelip sejumlah ruas jalan berdekatan
dengan situs.
"Akhirnya banyak jalan sekitar
situs yang kini mudah ditempuh, bahkan dengan kendaraan. Ini memudahkan
peneliti dan orang-orang yang mau mengunjungi situs. Kalau tidak dengan cara
seperti ini, sulit membangun akses ke situs. Tak ada anggaran khusus untuk
itu," katanya.
Dedikasinya menjaga dan merawat situs
tak pernah berhenti meski dia tak menjadi kaya dari pekerjaan itu. Bagi dia,
kekayaannya adalah ilmu dan teman-teman yang dia dapatkan dari aktivitas
penelitian. Hingga di masa pensiun, Anwar masih menjaga tinggalan sejarah di Soppeng
dan tetap mendampingi para peneliti.
Tak berlebihan jika dalam Archaeological
Partnerships Expose yang digelar Balai Arkeologi Sulsel di Soppeng, akhir
September, Anwar diberi penghargaan sebagai tokoh yang berperan penting dalam
pelestarian dan memberikan perhatian khusus pada cagar budaya. Penghargaan yang
sepadan untuk dedikasinya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar