Sabtu, 15 Oktober 2016

Mengenang Opa di Balikpapan

Sabtu, 15 Oktober 2016




Oleh : Randu Alamsyah

Dulu, saya pernah akrab dengan seorang tukang parkir di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dia mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL), yang kemudian pensiun dini dan menjadi petugas parkir di kawasan warung belakang Kantor Pos. Saya memanggilnya Opa, dan dia memanggil saya gondrong.

Di waktu-waktu tertentu, Opa suka merogoh satu persatu uang ribuan dari kantong-kantongnya dan mengeluarkannya di depan saya sambil tertawa-tawa, lalu mengajak saya makan. Itu hanya terjadi saat dia mabuk. Dan karena hampir setiap saat dia mabuk, maka saya selalu ditraktir.

Sebagai upahnya, Opa menyuruh saya bergitar dan bernyanyi satu lagu, betul-betul hanya satu lagu itu, yang entah kenapa, bahkan sebelum sampai di refrainnya, baju Opa sudah basah dengan airmata.

Opa seorang katolik. Dia hidup sendirian. Dia tinggal di belakang tempat cuci mobil di Kantor pos. Dia bercerai. Opa pernah punya seorang istri asal Manado, Sulawesi Utara yang sangat dicintainya, dan mungkin juga memiliki anak.

Tapi, masa tuanya dihabiskan di sebuah ruangan dekat asrama tentara itu. Kadang-kadang, dia menyuruh saya untuk datang memijit tubuh tuanya. Sambil dipijit, dia akan meracau tentang apa saja, kebanyakan hal-hal yang telah terjadi di hidupnya.

Suatu kali, seorang teman lama Opa memintanya mencari anak-anak yang mau bekerja untuknya. Pekerjaanya sederhana, mengumpulkan sisa -sisa nasi di kawasan restoran dan rumah makan di Balikpapan. Berkarung-karung nasi basi dan sisa buangan diangkut ke peternakan ayam di daerah atas Rapak.

Opa merekomendasikan saya, dan saya juga langsung diangkut malamnya.

Malamnya, oleh Bapak itu, saya diajak dalam ibadah ala kristiani. Kami berpegangan tangan membuat lingkaran - ada empat atau lima orang - anak buah beliau, saya lupa, dan saling berdoa dengan memejamkan mata.

Dalam narasi doa yang dipimpin oleh bapak itu, saya diperkenalkan sebagai seorang yang mencari pertolongan tuhan dan karenanya meminta untuk mendapat kasih yang lebih dari Tuhan.

Saya sempat terharu.

Doa belangsung sekitar lima menit atau setengah jam, dan kemudian setelah selesain saya dipeluk oleh Bapak itu, dan para pekerja yang kemudian akan menerima saya sebagai "saudara dalam iman."

Malam itu, saya tidak jenak tidur. Saya membayangkan banyak hal tentang agama. Lebih banyak lagi tentang masa kecil saya, berlari-lari dengan sarung dan kopiah yang kebesaran, di sore hari, untuk mengaji, menikmati dinginnya lantai musala dan manisnya minuman berbuka puasa di bulan Ramadan. Saya kemudian menyadari bahwa Islam, betatapun rumitnya, telah mennjadi bagian dari bangunan cara saya menjalani hidup.

Subuh hari itu, saya berkemas. Dari rumah di bebukitan itu, saya turun dan jalan kaki dengan kepala penuh pikiran. Saya terus berjalan saja, sampai kemudian kembali ke Kantor Pos di siang hari.

Opa melihat saya terheran-heran. Apa yang terjadi, katanya. Saya jawab bahwa saya kira saya hanya akan diajak bekerja. Opa marah besar. "Kamu bodoh!" katanya. "Kenapa mau?"

Dia mengatakan tanpa berpikir bahwa dalam agamanya, seharusnya tak ada cara-cara begitu. Itu hanya dilakukan orang-orang dalam agamanya yang tidak begitu paham dengan keyakinan mereka.

Saya senang mendengar Opa mengatakannya, karena menjauhkan dari sangka buruk saya tentang pemeluk agama lain. Apalagi, kemudian sebagai rasa maafnya, Opa mentraktir saya makan lagi. "Kamu jalan kaki dari sana? Tuhan", katanya. "kamu layak dua piring."

Sambil makan, Opa mengatakan pada saya, selalu ada orang yang fanatik dalam agama. Dan kadang-kadang orang di luar agama itu, menganggap itu adalah sikap dari semua pemeluk agama. Saya mengamininya hari ini.

Jauh setelah saya meninggalkan Balikpapan, saya selalu mengenang Opa. Saat mengunjungi Balikpapan lalu, saya juga mendatangi belakang kantor Pos dan tidak menemukan Opa. Ada yang mengatakan, dia sudah lama meninggal.
 
Kalaupun benar, saya dengan keyakinan saya, menyatakan bahwa Opa adalah seorang pemeluk agama yang baik. Dia orang baik. Saya selalu berdoa untuk kedamaiannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Didatangi Tokoh Nasional

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Senin (13/02/2023)  Guru Ibad perkenalkan Maulid Habsyi di Martapura tahun 1960-an. Sela...