Oleh
: Randu Alamsyah
Dulu, saya pernah akrab dengan seorang
tukang parkir di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dia mantan anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL), yang kemudian pensiun dini dan
menjadi petugas parkir di kawasan warung belakang Kantor Pos. Saya memanggilnya
Opa, dan dia memanggil saya gondrong.
Di waktu-waktu tertentu, Opa suka
merogoh satu persatu uang ribuan dari kantong-kantongnya dan mengeluarkannya di
depan saya sambil tertawa-tawa, lalu mengajak saya makan. Itu hanya terjadi
saat dia mabuk. Dan karena hampir setiap saat dia mabuk, maka saya selalu
ditraktir.
Sebagai upahnya, Opa menyuruh saya
bergitar dan bernyanyi satu lagu, betul-betul hanya satu lagu itu, yang entah
kenapa, bahkan sebelum sampai di refrainnya, baju Opa sudah basah dengan
airmata.
Opa seorang katolik. Dia hidup
sendirian. Dia tinggal di belakang tempat cuci mobil di Kantor pos. Dia
bercerai. Opa pernah punya seorang istri asal Manado, Sulawesi Utara yang sangat
dicintainya, dan mungkin juga memiliki anak.
Tapi, masa tuanya dihabiskan di sebuah
ruangan dekat asrama tentara itu. Kadang-kadang, dia menyuruh saya untuk datang
memijit tubuh tuanya. Sambil dipijit, dia akan meracau tentang apa saja,
kebanyakan hal-hal yang telah terjadi di hidupnya.
Suatu kali, seorang teman lama Opa
memintanya mencari anak-anak yang mau bekerja untuknya. Pekerjaanya sederhana,
mengumpulkan sisa -sisa nasi di kawasan restoran dan rumah makan di Balikpapan.
Berkarung-karung nasi basi dan sisa buangan diangkut ke peternakan ayam di
daerah atas Rapak.
Opa merekomendasikan saya, dan saya juga
langsung diangkut malamnya.
Malamnya, oleh Bapak itu, saya diajak
dalam ibadah ala kristiani. Kami berpegangan tangan membuat lingkaran - ada
empat atau lima orang - anak buah beliau, saya lupa, dan saling berdoa dengan
memejamkan mata.
Dalam narasi doa yang dipimpin oleh
bapak itu, saya diperkenalkan sebagai seorang yang mencari pertolongan tuhan
dan karenanya meminta untuk mendapat kasih yang lebih dari Tuhan.
Saya sempat terharu.
Doa belangsung sekitar lima menit atau
setengah jam, dan kemudian setelah selesain saya dipeluk oleh Bapak itu, dan
para pekerja yang kemudian akan menerima saya sebagai "saudara dalam
iman."
Malam itu, saya tidak jenak tidur. Saya
membayangkan banyak hal tentang agama. Lebih banyak lagi tentang masa kecil
saya, berlari-lari dengan sarung dan kopiah yang kebesaran, di sore hari, untuk
mengaji, menikmati dinginnya lantai musala dan manisnya minuman berbuka puasa
di bulan Ramadan. Saya kemudian menyadari bahwa Islam, betatapun rumitnya,
telah mennjadi bagian dari bangunan cara saya menjalani hidup.
Subuh hari itu, saya berkemas. Dari
rumah di bebukitan itu, saya turun dan jalan kaki dengan kepala penuh pikiran.
Saya terus berjalan saja, sampai kemudian kembali ke Kantor Pos di siang hari.
Opa melihat saya terheran-heran. Apa
yang terjadi, katanya. Saya jawab bahwa saya kira saya hanya akan diajak
bekerja. Opa marah besar. "Kamu bodoh!" katanya. "Kenapa
mau?"
Dia mengatakan tanpa berpikir bahwa
dalam agamanya, seharusnya tak ada cara-cara begitu. Itu hanya dilakukan
orang-orang dalam agamanya yang tidak begitu paham dengan keyakinan mereka.
Saya senang mendengar Opa mengatakannya,
karena menjauhkan dari sangka buruk saya tentang pemeluk agama lain. Apalagi,
kemudian sebagai rasa maafnya, Opa mentraktir saya makan lagi. "Kamu jalan
kaki dari sana? Tuhan", katanya. "kamu layak dua piring."
Sambil makan, Opa mengatakan pada saya,
selalu ada orang yang fanatik dalam agama. Dan kadang-kadang orang di luar
agama itu, menganggap itu adalah sikap dari semua pemeluk agama. Saya
mengamininya hari ini.
Jauh setelah saya meninggalkan
Balikpapan, saya selalu mengenang Opa. Saat mengunjungi Balikpapan lalu, saya
juga mendatangi belakang kantor Pos dan tidak menemukan Opa. Ada yang
mengatakan, dia sudah lama meninggal.
Kalaupun benar, saya dengan keyakinan saya, menyatakan bahwa Opa adalah seorang pemeluk agama yang baik. Dia orang baik. Saya selalu berdoa untuk kedamaiannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar