Sabtu, 07 Februari 2015

Peta Sastrawan dan Perkembangan Sastra Mutakhir di Kabupaten Tabalong (Satu Tinjauan Ekspresi Komunal Abad ke 21)

Sabtu, 7 Februari 2015


Oleh : H Akhmad T Bacco

(Disampaikan pada forum Diskusi Panel Aruh Sastra Kalimantan Selatan IX di Banjarmasin, 12 s.d 14 Oktober 2012)

Pendahuluan

            Berbicara sastra sama dengan berbicara bahasa yang terlanjur dikatakan indah. Indah dalam tanda petik sebuah susunan kata-kata dalam untai atau ronce, yang menyiratkan makna tertentu. Baik yang tersurat maupun tersirat. Juga mengandung makna yang tak terhingga. Anggaplah sebuah pesta kata yang berujung pada kalimat yang mengandung banyak makna. Penafsiran adalah alat yang biasa dipakai oleh pembaca untuk memaknai sastra. Terlebih puisi. Kita belum tentu mengerti apa yang ditulis pengarang jika tidak mengamatinya dengan bahasa yang tepat.
            Disini orang baru memahami, bahwa sebenarnya bersastra dengan berbagai genrenya itu sering tidak bisa dimengerti semua khalayak. Maka muncullah berbagai ketidakmenarikannya. Khususnya bagi yang tidak bisa membacanya dengan baik, inilah biang keroknya sehingga sastra menjadi puritan dan cenderung agak terlalu berat mengajarkannya, menyosialisasikannya kepada generasi penerus. Walhasil, menurut saya, kita sebagai penyair agak sulit memasukkannya ke dalam sanubari mereka. Lalu jalannya jadi agak tertatih-tatih. Sekolah adalah jawabannya untuk menjaring anak-anak berbakat. Kemudian pertanyaannya adalah, siapa yang terlebih dahulu mengajarkannya kepada murid ? Tentu guru Bahasa Indonesia dan simpatisannya.
            Dari sisi guru Bahasa Indonesia kami menilai masih bermasalah juga. Karena tidak semua guru Bahasa Indonesia menggemari sastra, khususnya puisi, bahkan ada guru Bahasa Indonesia bukan seniman dan bukan guru pembuat karya sastra yang baik.
            Berlandaskan itulah peta sastrawan dan perkembangan sastra Indonesia di Kabupaten Tabalong akan kita bicarakan.

Munculnya Buku Antologi Duri-Duri Tataba

            Pada tahun 1997, saya masih jadi orang Humas di Setda Tabalong. Tahun itu saya di SK-kan menjadi Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Tabalong. Saat itu Sekretarisnya adalah Bapak Drs Haji Marzuki Hakim yang kini tak aktif lagi di DKD Tabalong. Ketuanya Bapak Ir H Irhamna. Ketika itu kita menggarap satu tarian yang diberi judul Batampai Tari. Maka kami sering kumpul bersama di istananya Ir H Irhamna. Beliau waktu itu menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Akhirnya kami diskusi seputar sastra budaya, baik seni pertunjukkan tradisi maupun sastra. Baik sastra lisan seperti baturai pantun, dan kesenian wayang kulit Banjar dan sastra modern berupa genre puisi aliran pujangga baru.
Saat itu ada Ir H Irhamna, H Bacco, H Indi, H Hairoman Harian, Sabirin Noor, yang kini Pemred Surat Kabar XKasus Tanjung. Jadi disimpulkan bahwa di Tabalong belum ada karya sastra berupa puisi sekalipun yang diterbitkan. Kalau pun ada hanya dibacakan lewat media radio, yakni RRI Banjarmasin dan Radio Siaran Pemerintah Daerah Tabalong. Walhasil, keputusan diskusi adalah ingin membuat antologi puisi. Maka saya sendiri shalat dua rakaat sunat, untuk mencari ilham puisi apa yang bagus untuk memulai pembuatan antologi ini, dan puisinya sekaligus dibacakan saat upacara Hari Jadi Kabupaten Tabalong, 1 Desember 1996. Maka seiring dengan dipergelarkannya Tarian Batampai Tari, juga dibacakanlah salah satu puisi berbahasa Banjar diberi judul : Bahindang Bahindala, karya H Akhmad T Bacco. Berbarengan dengan kegiatan ini kita luncurkan pula antologi puisi pertama Duri-Duri Tataba, yang cover depannya dikoreografikan oleh Bapak Ir H Irhamna, yang pada saat itu sudah mengaplikasikan komputer dan scanner yang besar. Teknologi turut membesarkan para sastrawan Tabalong. Muncul pertama sastrawan Tabalong tahun 1996 dalam antologi Duri-Duri Tataba adalah Ir H Irhamna (Ketua DKD Tabalong), Akhmad T Bacco, H Birhasani Ismail, H Jauhari Effendy, H Hairoman Hairan, M Idi Anshari (mewakili penyair sebelah utara), Aspani Jamin, Muniriadi (alm), Fitriadi, Hj Roosmayati, Mila, Noorhikmah (alm), H Ifna Junaidi (Kadinas Dikbud), dan H Obar Sobari (Bupati Tabalong), semua dari daerah tengah Tabalong, dari selatan tidak muncul.
Inilah cikal bakal bangkitnya para sastrawan dan penyair di Kabupaten Tabalong. Seiring waktu bergulir, meskipun telah berganti pemimpin pemerintahan, secara berkesinambungan lahir pula antologi puisi yang kedua diberi judul Semata Wayang Semata Sayang (1998). Para penyair yang ikut disini adalah H Akhmad T Bacco (28 puisi), H Obar Sobari (1 puisi), Jauhari Effendi (7 puisi), Muniriyadi (4 puisi), H Birhasani (2 puisi), H Irhamna (2 puisi), Fitriadi (4 puisi), Faturrahman (6 puisi), Hj Roosmayati (2 puisi), Lilies Martadiana (5 puisi), Agna Dinnah Lantria (5 puisi). Kemudian tahun 1999 diterbitkan lagi antologi puisi Potret Diri (1999). Buku ini merupakan tanda perpisahan dengan Bupati H Obar Sobari, sebagai Bupati Tabalong yang akan berpisah, H Akhmad T Bacco, H Jauhari Effendi, Mansyur E Mayur, Faturrahman, Muniriyadi (alm), Hj Roosmayati, Lilies Martadinata, Agna Dinnah Lantria, Bambang Rukmana, Ir H Irhamna, Kiswanul Arifin dan Fitriadi. Persis peristiwa stepdownnya Presiden Suharto. Saat tahun setelah Potret Diri. Selama ini para sastrawannya mengalami mutasi, baik karena pindah tugas, karena pendidikan dan meninggal dunia. Jeda waktu selama satu tahun penerbitan Dewan Kesenian Tabalong ternyata vakum.
Pada saat sekolah S2 MEP UGM, saya sempat mengonsep antologi puisi bersama yang diberi judul : Jembatan Tiga Kota, yang akhirnya diterbitkan PT Adicita Karya Nusa Yogyakarta pada tahun 2000. Dalam buku ini hadir penyair di tiga kota lewat tiga sanggar budaya hasil pertemuan lokakarya budaya para seniman Kalsel, Kaltim tahun 1999 oleh Yayasan Kelola untuk seni, Solo, Jawa Tengah, bekerjasama dengan Lembaga  Manajemen PPM, Jakarta, Angkatan ke VI, di Hotel Benakutai, Balikpapan. Kemudian dari sana kami bertemu tiga pimpinan sanggar budaya antara lain : Sanggar Budaya Tataba Tabalong, Sanggar Budaya Posko La Bastari Kandangan dan Sanggar Budaya Samban Sarapun Kotabaru. Pada saat yang sama saya mengeluarkan juga antologi puisi bersama teman-teman mahasiswa dan dosen S2 MEP UGM berjudul Catatan Perjalanan, yang diterbitkan Majalah Mingguan SWARA MEP UGM yang kebetulan saya jadi Pemimpin Redaksinya. Dari Jembatan ini telah bersinergi menghasilkan satu antologi Tiga Kota. Alhamdulillah bukunya laris manis di toko buku Gramedia dan lain-lain di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Di Kalimantan Selatan, buku ini dibeli oleh Bupati Tabalong 2000 eksemplar, Bupati Hulu Sungai Selatan sebanyak 1000 eksemplar dan Bupati Kotabaru 1000 eksemplar. Selebihnya beredar di Jawa, Sumatera, dan Bali.
Setelah itu, ada empat tahun vakum. Saya terbitkan antologi puisi sendiri berjudul Silir Pulau Dewata dan di launching di Kantor Harian Radar Banjarmasin yang juga dihadiri oleh H Ahmad Makkie (Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Selatan). Pada tahun yang sama bersama teman-teman diterbitkan pula buku kumpulan cerita rakyat Nawu Raha. Pada tahun 2005, setelah diisi dengan pemasyarakatan / sosialisasi sastra budaya, baik adanya program Bengkel Sastra dari Balai Bahasa Banjarmasin di Banjarbaru maupun sastrawannya mengajak para pelajar siaran pembacaan puisi melalui media Radio Pemda dan Radio Tanjungpuri Perkasa. Untuk karya tulisnya kami masukkan sebagian ke surat kabar Dinamika Berita dan Surat Kabar Banjarmasin Post.
Dalam kegiatan bengkel sastra telah terbentuk ikatan para penyair SLTA se Kabupaten Tabalong. Tetapi masa itu hanya bertahan satu tahun, karena para siswanya yang dibentuk bengkel sastra telah lulus dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Banjarmasin maupun di Jawa. Dewan Kesenian Tanjung terus memacu para pelajar SD, SMP, dan SMA untuk setiap tahun didatangi ke sekolah dan meminta waktu guru Bahasa Indonesia menyisipkan pengetahuan sastra lewat metode penciptaan puisi, cerpen, dan novel. Hal ini terinspirasi dari program sastrawan Jakarta, yaitu Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Tahun 2004, kegiatan SBSB ini diselenggarakan di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menghadirkan para sastrawan terkemuka Indonesia, seperti Hamid Jabbar (almarhum), D Zawawi Imron, Joni Ariadinata, dan Moh Wan Anwar. Kehadiran para sastrawan nasional ini membuat histeria anak-anak SLTA di Tabalong. Pada tahun 2003, juga ada diterbitkan satu kumpulan cerpen Tabalong yang dimotori oleh H Surkati, berjudul Kisah Bidadari, terbit di Yogyakarta.

Langkah Selanjutnya
            Dari kegiatan SBSB ini Jejaring Sastra Pahuluan menggagas penerbitan sebuah antologi penyair untuk siswa-siswi Pahuluan. Pada tahun 2005 terbit lagi antologi Ronce Bunga-Bunga Mekar. Berisi puisi dan cerpen anak-anak SLTA Pahuluan dari Tabalong anak-anak SMA Negeri 1 Tanjung, SMAN 2 Tanjung, SMAN 3 Tanjung, SMAN 1 Muara Uya, SMAN 1 Muara Harus, SMAN 1 Kelua, MAN 1 Tanjung serta para penyair seniornya. Juga masuk Kabupaten Balangan, antara lain MAN 1 Paringin Layap. Kabupaten Hulu Sungai Utara, antara lain, SMAN 1 Amuntai dan MAN 1 Amuntai. Untuk Kabupaten Hulu Sungai Tengah, antara lain SMAN 1 Barabai dan SMAN 2 Barabai. Kabupaten Hulu Sungai Selatan, adalah SMAN 1 Kandangan dan MAN 2 Kandangan. Kabupaten Tapin diwakili oleh SMAN 1 Rantau dan MAN 1 Rantau. Selebihnya puisi dan cerpen penyair seniornya.
            April 2006, terbit lagi antologi cerpen Raja Anum yang dimotori Dewan Kesenian Tanjung, karena kosong selama sekian tahun. Selanjutnya kita melihat gerakan sastra mutakhir di Tanjung agak tersendat. Hal ini karena tugas penyairnya cukup jauh.
            Kemudian untuk antologi bersama sudah tidak terdengar lagi. Setiap sanggar pada diam. Untuk sastra genre drama juga tidak banyak. Hanya tahun 2001, Sanggar SMAN 1 Tanjung mengadakan happening art dengan berjalan kaki dari SMAN 1 Tanjung di Murung Pudak ke depan  Taman Kota Tanjung sambil berekspresi dengan gugatan keterkurungan seni.
            Dalam beberapa kurun terakhir yakni sejak lahirnya Raja Anum agak diam. Kemudian saya berinisiatif lagi untuk membuat novel Bahasa Banjar diberi tajuk Kaminting Pidakan yang diluncurkan oleh Bupati Tabalong tahun 2010. Semenjak itu tidak ada penerbitan lagi. Para siswa SLTA se Kabupaten Tabalong tidak ada gerakan, kecuali lomba-lomba sastra. Misalnya lomba teaterikalisasi puisi tahun 2012 di Gedung Saraba Kawa, diselenggarakan Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan.
            Tetapi Sanggar Budaya Tataba Grup unit sastranya akan mencetak kumpulan puisi para siswa / siswi SD, SMP, dan SMA diberi tajuk Sehijau Pucuk Selembar Daun yang Insya Allah akan terbit dan sekarang masih proses cetak di Yogyakarta. Juga dari Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong akan menerbitkan satu buku kumpulan cerita rakyat yang masih dalam proses cetak. Kita tunggu saja.
            Peta sastrawan Tabalong sebenarnya sudah terwakili ditiap bagian wilayah Tabalong, baik di utara dimulai dari M Idi Anshari di tengah untuk wilayah Kecamatan Tanjung, Tanta dan Murung Pudak bisa kita lihat menumbuk disini, misalnya H Jauhar Effendie dan kawan-kawan. Sedangkan di wilayah selatan bisa diwakili dari Muara Harus, misalnya Dewi Puspita Rini (alm), Herlian dan kawan-kawan.
            Demikian untuk diketahui semua. Semoga bermanfaat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Akun Kegiatan Harian

 Kamis, 25 April 2024 Dugal punya akun kegiatan harian / vlog diary di Snack Video dengan nama OK 18, itu singkatan dari Orang Kebun, sement...