Oleh : H Akhmad T Bacco
(Disampaikan pada forum Diskusi Panel Aruh Sastra
Kalimantan Selatan IX di Banjarmasin, 12 s.d 14 Oktober 2012)
Pendahuluan
Berbicara sastra sama dengan berbicara
bahasa yang terlanjur dikatakan indah. Indah dalam tanda petik sebuah susunan
kata-kata dalam untai atau ronce,
yang menyiratkan makna tertentu. Baik yang tersurat maupun tersirat. Juga
mengandung makna yang tak terhingga. Anggaplah sebuah pesta kata yang berujung
pada kalimat yang mengandung banyak makna. Penafsiran adalah alat yang biasa
dipakai oleh pembaca untuk memaknai sastra. Terlebih puisi. Kita belum tentu
mengerti apa yang ditulis pengarang jika tidak mengamatinya dengan bahasa yang
tepat.
Disini orang baru memahami, bahwa
sebenarnya bersastra dengan berbagai genrenya itu sering tidak bisa dimengerti
semua khalayak. Maka muncullah berbagai ketidakmenarikannya. Khususnya bagi
yang tidak bisa membacanya dengan baik, inilah biang keroknya sehingga sastra
menjadi puritan dan cenderung agak terlalu berat mengajarkannya,
menyosialisasikannya kepada generasi penerus. Walhasil, menurut saya, kita sebagai
penyair agak sulit memasukkannya ke dalam sanubari mereka. Lalu jalannya jadi
agak tertatih-tatih. Sekolah adalah jawabannya untuk menjaring anak-anak
berbakat. Kemudian pertanyaannya adalah, siapa yang terlebih dahulu mengajarkannya
kepada murid ? Tentu guru Bahasa Indonesia dan simpatisannya.
Dari sisi guru Bahasa Indonesia kami
menilai masih bermasalah juga. Karena tidak semua guru Bahasa Indonesia
menggemari sastra, khususnya puisi, bahkan ada guru Bahasa Indonesia bukan
seniman dan bukan guru pembuat karya sastra yang baik.
Berlandaskan itulah peta sastrawan
dan perkembangan sastra Indonesia di Kabupaten Tabalong akan kita bicarakan.
Munculnya Buku Antologi Duri-Duri Tataba
Pada tahun 1997, saya masih jadi
orang Humas di Setda Tabalong. Tahun itu saya di SK-kan menjadi Wakil
Sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Tabalong. Saat itu Sekretarisnya adalah
Bapak Drs Haji Marzuki Hakim yang kini tak aktif lagi di DKD Tabalong. Ketuanya
Bapak Ir H Irhamna. Ketika itu kita menggarap satu tarian yang diberi judul
Batampai Tari. Maka kami sering kumpul bersama di istananya Ir H Irhamna.
Beliau waktu itu menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Akhirnya kami diskusi
seputar sastra budaya, baik seni pertunjukkan tradisi maupun sastra. Baik
sastra lisan seperti baturai pantun, dan kesenian wayang kulit Banjar dan
sastra modern berupa genre puisi aliran pujangga baru.
Saat
itu ada Ir H Irhamna, H Bacco, H Indi, H Hairoman Harian, Sabirin Noor, yang
kini Pemred Surat Kabar XKasus Tanjung. Jadi disimpulkan bahwa di Tabalong
belum ada karya sastra berupa puisi sekalipun yang diterbitkan. Kalau pun ada
hanya dibacakan lewat media radio, yakni RRI Banjarmasin dan Radio Siaran
Pemerintah Daerah Tabalong. Walhasil, keputusan diskusi adalah ingin membuat
antologi puisi. Maka saya sendiri shalat dua rakaat sunat, untuk mencari ilham
puisi apa yang bagus untuk memulai pembuatan antologi ini, dan puisinya
sekaligus dibacakan saat upacara Hari Jadi Kabupaten Tabalong, 1 Desember 1996.
Maka seiring dengan dipergelarkannya Tarian Batampai Tari, juga dibacakanlah
salah satu puisi berbahasa Banjar diberi judul : Bahindang Bahindala, karya H
Akhmad T Bacco. Berbarengan dengan kegiatan ini kita luncurkan pula antologi
puisi pertama Duri-Duri Tataba, yang cover depannya dikoreografikan oleh Bapak
Ir H Irhamna, yang pada saat itu sudah mengaplikasikan komputer dan scanner
yang besar. Teknologi turut membesarkan para sastrawan Tabalong. Muncul pertama
sastrawan Tabalong tahun 1996 dalam antologi Duri-Duri Tataba adalah Ir H
Irhamna (Ketua DKD Tabalong), Akhmad T Bacco, H Birhasani Ismail, H Jauhari
Effendy, H Hairoman Hairan, M Idi Anshari (mewakili penyair sebelah utara),
Aspani Jamin, Muniriadi (alm), Fitriadi, Hj Roosmayati, Mila, Noorhikmah (alm),
H Ifna Junaidi (Kadinas Dikbud), dan H Obar Sobari (Bupati Tabalong), semua
dari daerah tengah Tabalong, dari selatan tidak muncul.
Inilah
cikal bakal bangkitnya para sastrawan dan penyair di Kabupaten Tabalong.
Seiring waktu bergulir, meskipun telah berganti pemimpin pemerintahan, secara
berkesinambungan lahir pula antologi puisi yang kedua diberi judul Semata
Wayang Semata Sayang (1998). Para penyair yang ikut disini adalah H Akhmad T
Bacco (28 puisi), H Obar Sobari (1 puisi), Jauhari Effendi (7 puisi),
Muniriyadi (4 puisi), H Birhasani (2 puisi), H Irhamna (2 puisi), Fitriadi (4
puisi), Faturrahman (6 puisi), Hj Roosmayati (2 puisi), Lilies Martadiana (5
puisi), Agna Dinnah Lantria (5 puisi). Kemudian tahun 1999 diterbitkan lagi
antologi puisi Potret Diri (1999). Buku ini merupakan tanda perpisahan dengan
Bupati H Obar Sobari, sebagai Bupati Tabalong yang akan berpisah, H Akhmad T
Bacco, H Jauhari Effendi, Mansyur E Mayur, Faturrahman, Muniriyadi (alm), Hj
Roosmayati, Lilies Martadinata, Agna Dinnah Lantria, Bambang Rukmana, Ir H
Irhamna, Kiswanul Arifin dan Fitriadi. Persis peristiwa stepdownnya Presiden Suharto. Saat tahun setelah Potret Diri.
Selama ini para sastrawannya mengalami mutasi, baik karena pindah tugas, karena
pendidikan dan meninggal dunia. Jeda waktu selama satu tahun penerbitan Dewan
Kesenian Tabalong ternyata vakum.
Pada
saat sekolah S2 MEP UGM, saya sempat mengonsep antologi puisi bersama yang diberi
judul : Jembatan Tiga Kota, yang akhirnya diterbitkan PT Adicita Karya Nusa
Yogyakarta pada tahun 2000. Dalam buku ini hadir penyair di tiga kota lewat
tiga sanggar budaya hasil pertemuan lokakarya budaya para seniman Kalsel,
Kaltim tahun 1999 oleh Yayasan Kelola untuk seni, Solo, Jawa Tengah,
bekerjasama dengan Lembaga Manajemen
PPM, Jakarta, Angkatan ke VI, di Hotel Benakutai, Balikpapan. Kemudian dari
sana kami bertemu tiga pimpinan sanggar budaya antara lain : Sanggar Budaya
Tataba Tabalong, Sanggar Budaya Posko La Bastari Kandangan dan Sanggar Budaya
Samban Sarapun Kotabaru. Pada saat yang sama saya mengeluarkan juga antologi
puisi bersama teman-teman mahasiswa dan dosen S2 MEP UGM berjudul Catatan
Perjalanan, yang diterbitkan Majalah Mingguan SWARA MEP UGM yang kebetulan saya
jadi Pemimpin Redaksinya. Dari Jembatan ini telah bersinergi menghasilkan satu
antologi Tiga Kota. Alhamdulillah bukunya laris manis di toko buku Gramedia dan
lain-lain di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Di Kalimantan Selatan, buku ini
dibeli oleh Bupati Tabalong 2000 eksemplar, Bupati Hulu Sungai Selatan sebanyak
1000 eksemplar dan Bupati Kotabaru 1000 eksemplar. Selebihnya beredar di Jawa, Sumatera,
dan Bali.
Setelah
itu, ada empat tahun vakum. Saya terbitkan antologi puisi sendiri berjudul
Silir Pulau Dewata dan di launching di Kantor Harian Radar Banjarmasin yang
juga dihadiri oleh H Ahmad Makkie (Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Selatan). Pada
tahun yang sama bersama teman-teman diterbitkan pula buku kumpulan cerita rakyat
Nawu Raha. Pada tahun 2005, setelah diisi dengan pemasyarakatan / sosialisasi
sastra budaya, baik adanya program Bengkel Sastra dari Balai Bahasa Banjarmasin
di Banjarbaru maupun sastrawannya mengajak para pelajar siaran pembacaan puisi
melalui media Radio Pemda dan Radio Tanjungpuri Perkasa. Untuk karya tulisnya
kami masukkan sebagian ke surat kabar Dinamika Berita dan Surat Kabar
Banjarmasin Post.
Dalam
kegiatan bengkel sastra telah terbentuk ikatan para penyair SLTA se Kabupaten
Tabalong. Tetapi masa itu hanya bertahan satu tahun, karena para siswanya yang
dibentuk bengkel sastra telah lulus dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi
di Banjarmasin maupun di Jawa. Dewan Kesenian Tanjung terus memacu para pelajar
SD, SMP, dan SMA untuk setiap tahun didatangi ke sekolah dan meminta waktu guru
Bahasa Indonesia menyisipkan pengetahuan sastra lewat metode penciptaan puisi,
cerpen, dan novel. Hal ini terinspirasi dari program sastrawan Jakarta, yaitu
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Tahun 2004, kegiatan SBSB ini diselenggarakan
di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menghadirkan para sastrawan terkemuka
Indonesia, seperti Hamid Jabbar (almarhum), D Zawawi Imron, Joni Ariadinata, dan
Moh Wan Anwar. Kehadiran para sastrawan nasional ini membuat histeria anak-anak
SLTA di Tabalong. Pada tahun 2003, juga ada diterbitkan satu kumpulan cerpen Tabalong
yang dimotori oleh H Surkati, berjudul Kisah Bidadari, terbit di Yogyakarta.
Langkah Selanjutnya
Dari kegiatan SBSB ini Jejaring
Sastra Pahuluan menggagas penerbitan sebuah antologi penyair untuk siswa-siswi
Pahuluan. Pada tahun 2005 terbit lagi antologi Ronce Bunga-Bunga Mekar. Berisi
puisi dan cerpen anak-anak SLTA Pahuluan dari Tabalong anak-anak SMA Negeri 1
Tanjung, SMAN 2 Tanjung, SMAN 3 Tanjung, SMAN 1 Muara Uya, SMAN 1 Muara Harus,
SMAN 1 Kelua, MAN 1 Tanjung serta para penyair seniornya. Juga masuk Kabupaten
Balangan, antara lain MAN 1 Paringin Layap. Kabupaten Hulu Sungai Utara, antara
lain, SMAN 1 Amuntai dan MAN 1 Amuntai. Untuk Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
antara lain SMAN 1 Barabai dan SMAN 2 Barabai. Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
adalah SMAN 1 Kandangan dan MAN 2 Kandangan. Kabupaten Tapin diwakili oleh SMAN
1 Rantau dan MAN 1 Rantau. Selebihnya puisi dan cerpen penyair seniornya.
April 2006, terbit lagi antologi
cerpen Raja Anum yang dimotori Dewan Kesenian Tanjung, karena kosong selama
sekian tahun. Selanjutnya kita melihat gerakan sastra mutakhir di Tanjung agak
tersendat. Hal ini karena tugas penyairnya cukup jauh.
Kemudian untuk antologi bersama
sudah tidak terdengar lagi. Setiap sanggar pada diam. Untuk sastra genre drama
juga tidak banyak. Hanya tahun 2001, Sanggar SMAN 1 Tanjung mengadakan
happening art dengan berjalan kaki dari SMAN 1 Tanjung di Murung Pudak ke depan
Taman Kota Tanjung sambil berekspresi
dengan gugatan keterkurungan seni.
Dalam beberapa kurun terakhir yakni
sejak lahirnya Raja Anum agak diam. Kemudian saya berinisiatif lagi untuk
membuat novel Bahasa Banjar diberi tajuk Kaminting Pidakan yang diluncurkan
oleh Bupati Tabalong tahun 2010. Semenjak itu tidak ada penerbitan lagi. Para
siswa SLTA se Kabupaten Tabalong tidak ada gerakan, kecuali lomba-lomba sastra.
Misalnya lomba teaterikalisasi puisi tahun 2012 di Gedung Saraba Kawa, diselenggarakan
Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan.
Tetapi Sanggar Budaya Tataba Grup
unit sastranya akan mencetak kumpulan puisi para siswa / siswi SD, SMP, dan SMA
diberi tajuk Sehijau Pucuk Selembar Daun yang Insya Allah akan terbit dan
sekarang masih proses cetak di Yogyakarta. Juga dari Dinas Sosial Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Tabalong akan menerbitkan satu buku kumpulan cerita
rakyat yang masih dalam proses cetak. Kita tunggu saja.
Peta sastrawan Tabalong sebenarnya
sudah terwakili ditiap bagian wilayah Tabalong, baik di utara dimulai dari M
Idi Anshari di tengah untuk wilayah Kecamatan Tanjung, Tanta dan Murung Pudak
bisa kita lihat menumbuk disini, misalnya H Jauhar Effendie dan kawan-kawan.
Sedangkan di wilayah selatan bisa diwakili dari Muara Harus, misalnya Dewi
Puspita Rini (alm), Herlian dan kawan-kawan.
Demikian untuk diketahui semua.
Semoga bermanfaat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar