Oleh
: Anita Yossihara & Kris Razianto Mada
Eni Lestari Andayani Adi menjadi sorotan
dunia saat berpidato di depan 193 pemimpin negara di Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pertengahan September lalu.
Perempuan asal Kediri, Jawa Timur, itu mewakili 224 juta pekerja migran di
seluruh dunia.
Eni adalah pekerja rumah tangga (PRT)
pertama yang berpidato di forum utama Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang
Pengungsi dan Pekerja Migran. Kepada para pemimpin dunia, ia menyampaikan
pengalaman, pandangan, serta harapannya mengenai penanganan pekerja migran.
Setelah berpidato, Senin (19/09/2016) itu, Eni
pun menjadi incaran banyak pihak. Selain meladeni permintaan wawancara berbagai
media massa, ia juga memenuhi undangan sejumlah lembaga dan tokoh, termasuk
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang memimpin delegasi Indonesia di forum itu.
Eni sampai di podium Sidang Umum PBB
setelah 16 tahun memperjuangkan hak pekerja migran. Ia membentuk Asosiasi
Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong tahun 2000 dan memimpinnya hingga
tahun 2011.
Ia juga turut merintis aliansi
organisasi-organisasi pekerja migran sedunia atau International Migrants
Alliance (IMA) dan terpilih menjadi ketuanya pada kongres pertama di Hongkong
tahun 2008. Posisi itu diembannya hingga sekarang.
Melalui IMA, Eni mengadvokasi semua
pekerja migran di seluruh dunia, termasuk para pekerja level manajerial atau
profesional. Aliansi ini mendorong Konvensi Organisasi Buruh Internasional
(ILO) Nomor 189 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga serta aktif dalam
proses legislasi terkait pekerja migran.
Saat berpidato di PBB, Eni menyampaikan
penghargaan atas kesempatan berbicara mewakili pekerja migran. Selama ini,
isu-isu pekerja migran dibahas tanpa melibatkan mereka.
Para pekerja migran sebenarnya tidak
pernah membayangkan mengadu nasib di luar negeri. Mereka menempuh jalan sulit
karena terdesak kebutuhan serta berharap membangun kehidupan lebih layak.
Namun, tidak sedikit dari mereka yang terjerat utang, diperdagangkan, bahkan
diperbudak.
”Hak-hak dasar kami diingkari. Kami
rentan mendapatkan kekerasan, bahkan banyak yang hilang dan mati,” kata Eni.
Untuk itulah, ia meminta agar pekerja
migran dipandang sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan manusia
lain. Semua pihak harus menjamin pemenuhan hak-hak dasar mereka.
Legislasi
Indonesia
Eni mengkhawatirkan nasib pekerja migran
Indonesia. Pemerintah kita belum melibatkan mereka dalam proses legislasi.
Peraturan terkait pekerja migran kerap merugikannya.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya mengatur
penempatan tenaga kerja. Perlindungannya masih minim.
”Penempatan itu sangat saklekoleh PJTKI
(penyalur jasa TKI). Dan apakah melalui PJTKI itu hak kami terlindungi?
Ternyata tidak!” kata Eni saat ditemui di sebuah hotel di New York sehari
setelah pidatonya.
Ia mencontohkan pengalamannya sendiri
saat bekerja di Hongkong tahun 1999. Kendati disalurkan PJTKI, ternyata ia
termasuk TKI ilegal, bahkan dibayar di bawah standar.
UU Nomor 39 Tahun 2004 cenderung hanya
mewakili kepentingan bisnis PJTKI. Hak-hak para pekerja migran justru kurang
dilindungi.
Kondisi itu terjadi karena tidak sedikit
anggota legislatif penyusun UU itu menjadi bagian dari perusahaan penyalur TKI.
Aturannya pun kental kepentingan bisnis penyalur, bahkan seakan melegalkan
perdagangan manusia.
Pekerja migran harus melewati rantai
panjang sebelum berangkat ke luar negeri. Biaya persiapannya juga besar. ”Orang
bekerja ke luar negeri karena tidak punya penghasilan di kampungnya. Ini malah
diminta bayar macam-macam,” katanya.
Dalam catatan Kompas, Ketua
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid pernah
mengungkapkan kerumitan proses pemberangkatan TKI. Mereka harus melewati 22
pintu dan membayar biaya besar.
Eni
Lestari Andayani
Lahir:
Kediri, Jawa Timur
Hobi:
Membaca, olahraga
Pekerjaan:
Pekerja rumah tangga di Hongkong
(1999-sekarang)
Organisasi:
Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di
Hongkong (tahun 2000-2011)
Ketua International Migrants Alliance
tahun 2008-sekarang
”Karena prosesnya mahal dan rumit,
banyak orang berangkat secara ilegal. Di Malaysia dan Singapura, mudah sekali
menemukan TKI ilegal. Masuk dengan visa pelancong, tetapi malah bekerja,” tutur
Eni. Kondisi itu sangat rawan dan jutaan pekerja migran selalu ketakutan.
Tiadanya kepastian hukum untuk pekerja
migran memicu soal ini. Di banyak negara, pekerja migran dianggap masalah.
Padahal, perekonomian sejumlah negara justru bergerak karena pekerja migran.
Eni bersama IMA berusaha keras mendorong
perlindungan hukum bagi pekerja migran serta menyadarkan mereka akan
hak-haknya. Itu pekerjaan berat.
Hingga hampir dua dekade lalu, banyak
TKI di Hongkong takut untuk sekadar bertanya apa hak mereka. Eni dan
rekan-rekannya memanfaatkan Minggu pagi di Taman Victoria, waktu dan tempat
libur mayoritas TKI di negeri itu, untuk membangkitkan keberanian mereka.
”Butuh tiga tahun, setiap Minggu pagi,
untuk menghapus ketakutan itu Belum sampai tahap mengajak kawan-kawan tahu apa
yang harus dilakukan untuk mendapatkan haknya,” katanya.
Mayoritas TKI di sejumlah negara tidak
tahu apa hak mereka. Di tempat pelatihan dan penampungan, mereka hanya
diajarkan menggunakan aneka alat rumah tangga. ”Tidak ada pelajaran tentang
hukum, kebudayaan masyarakat di negara tujuan, apalagi soal hak-hak pekerja.
Padahal, itu semua dibutuhkan agar tidak ada perampasan hak,” ujarnya.
Pengalaman
pribadi
Eni lahir dari keluarga pekerja migran.
Beberapa paman dan sepupunya jadi pekerja migran, sebagian ilegal. Hingga kini,
ia masih menjadi PRT di Hongkong.
Eni terpaksa berangkat ke Hongkong
karena ingin mendapatkan uang untuk kuliah. Namun, apa yang dia hadapi justru
jauh dari bayangan itu.
Sejak melamar ke PJTKI, ia harus tinggal
di penampungan selama lima bulan. Tidak ada pelatihan. Para calon TKI justru
diperlakukan tidak manusiawi, tidur di kasur gulung tipis, dan dilarang
berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk keluarga.
”Kami semua tidak berdaya. Paspor kami
ditahan agen. Saat meminta pulang, saya malah diminta bayar denda Rp 2 juta,”
ujarnya.
Setelah diberangkatkan ke Hongkong, Eni
disalurkan secara ilegal oleh PJTKI kepada seorang majikan. Majikan itu
memperlakukannya dengan tidak manusiawi. Atas saran PJTKI, ia dibayar di bawah
standar gaji PRT di negeri itu.
Banyak pula larangan, seperti tidak
boleh menggunakan mesin cuci, alat pel, hingga dilarang libur selama empat
bulan. Peralatan makan untuk Eni pun dipisah dengan peralatan makan keluarga
majikan.
Perlakuan diskriminatif itu membuat Eni
kabur setelah tujuh bulan bekerja. Namun, saat minta paspornya kepada pihak
PJTKI, ia malah mendapat kekerasan. Untung saja ada teman dan polisi yang
menyelamatkannya. Perempuan berperawakan kecil itu kemudian ditempatkan di
penampungan bernama Bethune House.
Selama lima bulan di sana, ia tidak
mendapatkan gaji, tetapi mengambil banyak pelajaran. Ia bertemu dengan banyak
buruh migran dari sejumlah negara dan mulai menyadari pentingnya memperjuangkan
hak-hak pekerja migran. Ia juga belajar mengadvokasi para pekerja migran yang
bermasalah.
Eni getol memperjuangkan hak-hak pekerja
migran. Partisipasinya di organisasi migran internasional merupakan jembatan
untuk memperbaiki pengaturan pekerja migran di Indonesia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar