MINGGU, 4 AGUSTUS 2013
Pada zaman dahulu di kampung Pagat, Batu Benawa tinggallah seorang
wanita bernama Diang Ingsun. Dia mempunyai anak laki-laki satu-satunya
bernama Radin Pangantin. Kehidupan kedua anak beranak ini cukup
memprihatinkan. Tidak berkecukupan. Maklum hidup di kampung. Hanya bisa
menggarap sawah peninggalan mendiang ayahnya. Sambil menggarap sawah
sambil mencari kayu ke hutan atau mencari ikan dan binatang buruan. Yang
nanti dijual untuk nafkah hidup sehari-hari.
Sakitnya hidup
seperti terasa benar oleh Radin Pangantin. Terasa menyiksa batin dan
terasa tidak tersandang lagi. Semakin hari ibunya semakin bertambah
usia, Radin Pangantin merasa kasihan melihat ibunya mencari nafkah.
Setelah pulang dari sawah ibunya shalat, menanak nasi kemudian makan
bersama, kalau ibunya tertidur dipandanginya wajah ibunya itu, wajah
yang sudah keriput, sakit hati melihatnya. Dia berpikir mencari jalan
keluar. Hidup seperti orang kebanyakan. Pakaian satu-satunya yang ia
miliki, kapan bias diganti ? Tidak seperti sekarang ini. Kalau dicuci
pakaian itu, ia tak berpakaian lagi, seperti orang telanjang.
Setelah berpikir akhirnya secara bulat ia memutuskan untuk pergi
merantau ke negeri seberang. Ini pilihan terakhir yang ia harapkan.
Malam itu Radin Pangantin memberitahukan kepada ibunya mau berangkat
mengadu nasib ke negeri seberang. Ibunya kaget mendengar keinginan anak
semata wayangnya itu. Dia merasa tak sanggup berpisah dengan anak
kesayangannya itu. Pada awalnya dia tidak menyanggupi. Akan tetapi
setelah diceritakan oleh Radin Pangantin apa yang diinginkannya ingin
merubah nasib, kemudian mengertilah ibunya walau dengan berat hati dia
mau mengizinkan.
Ketika Radin Pangantin mau berangkat Diang
Ingsun mengatakan dengan anaknya itu bahwa harta yang mereka miliki
hanya berupa perahu rombeng dengan sebilah pengayuhnya yang sudah
keropos. Ditambah pula seekor ayam jantan. Juga untuk diingat Radin
Pangantin nanti, ibunya memelihara seekor ikan toman.
Besok
harinya berangkatlah Radin Pangantin. Tidak tahu kemana arah yang
dituju. Dia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dia berangkat
dengan menumpang kapal layar. Semua kebutuhan diserahkan kepada juragan
kapal yang membawanya. Sampai kemudian Radin Pangantin ke negeri
seberang. Akan tetapi dia tidak tahu apa nama negeri yang ditujunya itu.
Pada awalnya Radin Pangantin ikut bekerja dengan seorang saudagar yaitu
berdagang. Selama bekerja dengan saudagar itu perilaku Radin Pangantin
cukup baik. Sangat rajin serta cukup cekatan. Ditambah lagi dengan sifat
yang paling disenangi orang yang pekerjaannya berdagang yaitu sifat
jujur. Tidak pernah membodohi orang lain. Melihat sifatnya yang seperti
itu saudagar tersebut percaya dengan dirinya. Teruslah ia bekerja.
Sedikit demi sdikit hasil berdagang disimpannya dalam bumbung. Lama
kelamaan tabungannya semakin banyak, dan dia punya modal untuk berdagang
sendiri. Walau dengan modal yang sedikit.
Dengan modal yang
sedikit itu Radin Pangantin mencoba berusaha lepas dari saudagar. Dasar
nasibnya sudah untung, dagangannya semakin lama semakin besar. Pada
akhirnya Radin Pangantin menjadi kaya raya, hartanya bertimbun lebih
dari harta tuannya yang dulu. Kapal dagangannya pun cukup besar untuk
mengangkut barang sampai keluar negeri. Semakin hari namanya semakin
tersiar kemana-mana.
Radin Pangantin berpikir, sudah saatnya ia
berumah tangga. Untuk melepas niat itu tidak sulit baginya karena ia
sudah berkecukupan. Kemudian ia melamar puteri bangsawan yang cantik
jelita. Tidak lama setelah itu diadakan acara hiburan perkawinan. Radin
Pangantin dengan puteri bangsawan itu.
Lama kelamaan hidup
dinegeri orang Radin Pangantin teringat dengan kampung halaman. Ia
terkenang akan ibunya. Terbayang-bayang akan kampungnya, juga hutan
tempatnya mencari kayu bakar dan mencari ikan. Untuk meluluskan niatnya.
Lalu dia menyuruh pengawalnya untuk menyiapkan kapal yang besar untuk
dibawanya pulang ke kampong halaman bersama isteri tercintanya.
Berlayarlah kapal besar itu sehari semalam. Akhirnya sampai juga ke
pelabuhan yang dulu pertama kali dia berangkat merantau. Orang di
kampong pun geger karena menyaksikan kapal yang cukup besar. Apalagi
saat tahu kalau pemiliknya Radin Pangantin semakin ramailah mereka.
Kenapa ? Karena dulu Radin Pangantin hidupnya cukup miskin. Tapi kini
jadi berbeda. Hidupnya bermandikan harta.
Kabar Radin Pangantin
yang datang membawa kapal besar cepat tersiar dimasyarakat. Apalagi
kampungnya dulu cukup kecil, mesti saja cepat memperoleh berita itu.
Setelah mendengar anaknya mau datang Diang Ingsun dengan cepat bersiap
untuk menyambut kedatangan puteranya itu. Ikan toman yang dipeliharanya
dulu kini sudah besar. Ikan itu lalu dibersihkan kemudian dibakar.
Karena dulu Radin Pangantin senang makan ikan toman bakar. Sementara
ayam jantan ditangkap, lalu dibawanya juga.
Setelah selesai
semuanya dia berangkat ke pelabuhan. Sampai dipelabuhan melihat kapal
cukup besar, ia merasa kagum tidak bergerak. Kemudian Diang Ingsun
berteriak memanggil anaknya. “ Radin Pangantin aku ibumu. Kemarilah
nak.” Kebetulan saat itu Radin Pangantin sedang berdiri digeledak kapal
bergandengan dengan sang isteri.
Radin Pangantin tidak
menghiraukan panggilan ibunya. Diang Ingsun masih juga berteriak
memanggil anaknya. Akan tetapi Radin Pangantin tetap juga tidak
mempedulikannya. Jangankan menyahut menolehpun tidak. Sebenarnya Radin
Pangantin mendengar saja panggilan ibunya itu, tapi dia malu melihat
keadaan ibunya yang sudah tua bangka itu. Ditambah agak kotor, rambut
kusut, gigi copot, mata tertutup tahi mata sebesar biji jagung.
“ Itu bukan ibuku. Dia tidak tua seperti itu tapi masih muda,” ujar Radin Pangantin kepada isterinya.
Diang Ingsun masih juga tidak putus-putusnya memanggil dari atas perahu
rombeng sambil memamerkan ikan toman bakar yang dulu dipeliharanya,
untuk disediakan kepada Radin Pangantin tanda sukanya pulang ke kampong
halaman. Juga diangkatnya ayam jago kesayangan Radin Pangantin, sambil
mengibas-ngibaskan tangguinya yang sudah lapuk.
Tapi dasar anak
tidak tahu membalas budi orangtua, tetap juga dia tidak mengakui ibunya.
Karena malu dengan isteri juga dengan anak buah Radin Pangantin marah
sekali. Diusirnya Diang Ingsun dari kapalnya. Namun Diang Ingsun tetap
juga tidak beralih posisi dari perahunya. Radin Pangantin semakin marah
kemudian diambilnya sebatang tongkat panjang. Didorongnya perahu ibunya
sampai terbalik.
Sambil merangkak Diang Ingsun merayap sampai ke tebing. Radin Pangantin menyuruh juragan kapal untuk menjalankan kapalnya.
Tidak bias lagi dibilang seperti apa isi hati Diang Ingsun melihat
perilaku anaknya itu. Diang Ingsun sakit hati melihat perilaku anaknya,
anak yang dikasihinya sudah lama ditunggu setelah pulang ke kampung
halaman malah tidak lagi mau mengakuinya sebagai ibu.
Diang
Ingsun berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Radin Pangantin kamu anak
durhaka dengan orangtua, karena aku yang mengandung kamu Sembilan bulan
Sembilan hari, mudah-mudahan kamu tapapar tabias menjadi batu.”
Sekejap matahari gelap, angin rebut, Guntur menggelegar, kilat
menyambar, langit terasa mau runtuh. Kapal Radin Pangantin jatuh bangun
dihantam gelombang kemudian meluncur terbalik.
Ketika sudah sepi
langit kembali terang. Apa yang terlihat ? Tidak ada lagi kapal besar
itu. Tidak ada lagi Radin Pangantin yang berdiri bergandengan dengan
isterinya yang cantik itu. Yang ada, yang terlihat kapal yang sudah
pecah. Bagian haluannya menjadi gunung Batu Bini di Kandangan. Bagian
buritannya menjadi gunung Batu Benawa yang ada di Pagat sekarang ini.
Radin Pangantin, isteri, dan anak buahnya menjadi batu.***
Sabtu, 03 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Aktivitas Selama di Aceh
Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022) Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...
-
Rabu, 26 Maret 2014 Plang penunjuk Makam Datu Taniran Desa Taniran Kubah Kec. Angkinang Kab. HSS Lokasi Makam D...
-
Sabtu, 30 Maret 2013 Selain ketupat dan dodol, apabila menyebut nama daerah pahuluan, khususnya Kandangan, sejurus tentu terbayang kes...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar