Sabtu, 03 Agustus 2013

RADIN PANGANTIN

MINGGU, 4 AGUSTUS 2013

    Pada zaman dahulu di kampung Pagat, Batu Benawa tinggallah seorang wanita bernama Diang Ingsun. Dia mempunyai anak laki-laki satu-satunya bernama Radin Pangantin. Kehidupan kedua anak beranak ini cukup memprihatinkan. Tidak berkecukupan. Maklum hidup di kampung. Hanya bisa menggarap sawah peninggalan mendiang ayahnya. Sambil menggarap sawah sambil mencari kayu ke hutan atau mencari ikan dan binatang buruan. Yang nanti dijual untuk nafkah hidup sehari-hari.
    Sakitnya hidup seperti terasa benar oleh Radin Pangantin. Terasa menyiksa batin dan terasa tidak tersandang lagi. Semakin hari ibunya semakin bertambah usia, Radin Pangantin merasa kasihan melihat ibunya mencari nafkah. Setelah pulang dari sawah ibunya shalat, menanak nasi kemudian makan bersama, kalau ibunya tertidur dipandanginya wajah ibunya itu, wajah yang sudah keriput, sakit hati melihatnya. Dia berpikir mencari jalan keluar. Hidup seperti orang kebanyakan. Pakaian satu-satunya yang ia miliki, kapan bias diganti ? Tidak seperti sekarang ini. Kalau dicuci pakaian itu, ia tak berpakaian lagi, seperti orang telanjang.
    Setelah berpikir akhirnya secara bulat ia memutuskan untuk pergi merantau ke negeri seberang. Ini pilihan terakhir yang ia harapkan. Malam itu Radin Pangantin memberitahukan kepada ibunya mau berangkat mengadu nasib ke negeri seberang. Ibunya kaget mendengar keinginan anak semata wayangnya itu. Dia merasa tak sanggup berpisah dengan anak kesayangannya itu. Pada awalnya dia tidak menyanggupi. Akan tetapi setelah diceritakan oleh Radin Pangantin apa yang diinginkannya ingin merubah nasib, kemudian mengertilah ibunya walau dengan berat hati dia mau mengizinkan.
    Ketika Radin Pangantin mau berangkat Diang Ingsun mengatakan dengan anaknya itu bahwa harta yang mereka miliki hanya berupa perahu rombeng dengan sebilah pengayuhnya yang sudah keropos. Ditambah pula seekor ayam jantan. Juga untuk diingat Radin Pangantin nanti, ibunya memelihara seekor ikan toman.
    Besok harinya berangkatlah Radin Pangantin. Tidak tahu kemana arah yang dituju. Dia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dia berangkat dengan menumpang kapal layar. Semua kebutuhan diserahkan kepada juragan kapal yang membawanya. Sampai kemudian Radin  Pangantin ke negeri seberang. Akan tetapi dia tidak tahu apa nama negeri yang ditujunya itu.
    Pada awalnya Radin Pangantin ikut bekerja dengan seorang saudagar yaitu berdagang. Selama bekerja dengan saudagar itu perilaku Radin Pangantin cukup baik. Sangat rajin serta cukup cekatan. Ditambah lagi dengan sifat yang paling disenangi orang yang pekerjaannya berdagang yaitu sifat jujur. Tidak pernah membodohi orang lain. Melihat sifatnya yang seperti itu saudagar tersebut percaya dengan dirinya. Teruslah ia bekerja. Sedikit demi sdikit hasil berdagang disimpannya dalam bumbung. Lama kelamaan tabungannya semakin banyak, dan dia punya modal untuk berdagang sendiri. Walau dengan modal yang sedikit.
    Dengan modal yang sedikit itu Radin Pangantin mencoba berusaha lepas dari saudagar. Dasar nasibnya sudah untung, dagangannya semakin lama semakin besar. Pada akhirnya Radin Pangantin menjadi kaya raya, hartanya bertimbun lebih dari harta tuannya yang dulu. Kapal dagangannya pun cukup besar untuk mengangkut barang sampai keluar negeri. Semakin hari namanya semakin tersiar kemana-mana.
    Radin Pangantin berpikir, sudah saatnya ia berumah tangga. Untuk melepas niat itu tidak sulit baginya karena ia sudah berkecukupan. Kemudian ia melamar puteri bangsawan yang cantik jelita. Tidak lama setelah itu diadakan acara hiburan perkawinan. Radin Pangantin dengan puteri bangsawan itu.
    Lama kelamaan hidup dinegeri orang Radin Pangantin teringat dengan kampung halaman. Ia terkenang akan ibunya. Terbayang-bayang akan kampungnya, juga hutan tempatnya mencari kayu bakar dan mencari ikan. Untuk meluluskan niatnya. Lalu dia menyuruh pengawalnya untuk menyiapkan kapal yang besar untuk dibawanya pulang ke kampong halaman bersama isteri tercintanya.
    Berlayarlah kapal besar itu sehari semalam. Akhirnya sampai juga ke pelabuhan yang dulu pertama kali dia berangkat merantau. Orang di kampong pun geger karena menyaksikan kapal yang cukup besar. Apalagi saat tahu kalau pemiliknya Radin Pangantin semakin ramailah mereka. Kenapa ? Karena dulu Radin Pangantin hidupnya cukup miskin. Tapi kini jadi berbeda. Hidupnya bermandikan harta.
    Kabar Radin Pangantin yang datang membawa kapal besar cepat tersiar dimasyarakat. Apalagi kampungnya dulu cukup kecil, mesti saja cepat memperoleh berita itu.
    Setelah mendengar anaknya mau datang Diang Ingsun dengan cepat bersiap untuk menyambut kedatangan puteranya itu. Ikan toman yang dipeliharanya dulu kini sudah besar. Ikan itu lalu dibersihkan kemudian dibakar. Karena dulu Radin Pangantin senang makan ikan toman bakar. Sementara ayam jantan ditangkap, lalu dibawanya juga.
    Setelah selesai semuanya dia berangkat ke pelabuhan. Sampai dipelabuhan melihat kapal cukup besar, ia merasa kagum tidak bergerak. Kemudian Diang Ingsun berteriak memanggil anaknya. “ Radin Pangantin aku ibumu. Kemarilah nak.” Kebetulan saat itu Radin Pangantin sedang berdiri digeledak kapal bergandengan dengan sang isteri.
    Radin Pangantin tidak menghiraukan panggilan ibunya. Diang Ingsun masih juga berteriak memanggil anaknya. Akan tetapi Radin Pangantin tetap juga tidak mempedulikannya. Jangankan menyahut menolehpun tidak. Sebenarnya Radin Pangantin mendengar saja panggilan ibunya itu, tapi dia malu melihat keadaan ibunya yang sudah tua bangka itu. Ditambah agak kotor, rambut kusut, gigi copot, mata tertutup tahi mata sebesar biji jagung.
    “ Itu bukan ibuku. Dia tidak tua seperti itu tapi masih muda,” ujar Radin Pangantin kepada isterinya.
    Diang Ingsun masih juga tidak putus-putusnya memanggil dari atas perahu rombeng sambil memamerkan ikan toman bakar yang dulu dipeliharanya, untuk disediakan kepada Radin Pangantin tanda sukanya pulang ke kampong halaman. Juga diangkatnya ayam jago kesayangan Radin Pangantin, sambil mengibas-ngibaskan tangguinya yang sudah lapuk.
    Tapi dasar anak tidak tahu membalas budi orangtua, tetap juga dia tidak mengakui ibunya. Karena malu dengan isteri juga dengan anak buah Radin Pangantin marah sekali. Diusirnya Diang Ingsun dari kapalnya. Namun Diang Ingsun tetap juga tidak beralih posisi dari perahunya. Radin Pangantin semakin marah kemudian diambilnya sebatang tongkat panjang. Didorongnya perahu ibunya sampai terbalik.
    Sambil merangkak Diang Ingsun merayap sampai ke tebing. Radin Pangantin menyuruh juragan kapal untuk menjalankan kapalnya.
    Tidak bias lagi dibilang seperti apa isi hati Diang Ingsun melihat perilaku anaknya itu. Diang Ingsun sakit hati melihat perilaku anaknya, anak yang dikasihinya sudah lama ditunggu setelah pulang ke kampung halaman malah tidak lagi mau mengakuinya sebagai ibu.
    Diang Ingsun berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Radin Pangantin kamu anak durhaka dengan orangtua, karena aku yang mengandung kamu Sembilan bulan Sembilan hari, mudah-mudahan kamu tapapar tabias menjadi batu.”
    Sekejap matahari gelap, angin rebut, Guntur menggelegar, kilat menyambar, langit terasa mau runtuh. Kapal Radin Pangantin jatuh bangun dihantam gelombang kemudian meluncur terbalik.
    Ketika sudah sepi langit kembali terang. Apa yang terlihat ? Tidak ada lagi kapal besar itu. Tidak ada lagi Radin Pangantin yang berdiri bergandengan dengan isterinya yang cantik itu. Yang ada, yang terlihat kapal yang sudah pecah. Bagian haluannya menjadi gunung Batu Bini di Kandangan. Bagian buritannya menjadi gunung Batu Benawa yang ada di Pagat sekarang ini. Radin Pangantin, isteri, dan anak buahnya menjadi batu.***
   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...