Jaliyah, itu namanya. Pendek dan ringkas, tak banyak embel-embel. Nama yang paling mudah aku hapalkan di kelas saat hari pertama mengajar. Ya, dengan begitu, predikatku sebagai seorang guru, wali kelas 6 tidak perlu lagi dipertanyakan. Aku terbukti hapal dengan murid-murid yang aku ajar, setidaknya untuk hari pertama mengajar.
Aku
adalah seorang guru yang dulu bertugas di Pulau Bawean. Di manakah
pulau Bawean itu berada? Ini adalah pertanyaan favoritku. Hampir semua
yang bertanya latar belakangku sebagai guru, pasti menanyakan tempat aku
mengajar dulu. Tak banyak yang tahu di mana pulau Bawean berada.
Bahkan, ada juga beberapa penduduk yang secara administratif tergabung
dalam satu kabupaten dengan Pulau Bawean saja tidak tahu.
Pulau
Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, di antara Pulau
Kalimantan dan Pulau Jawa. Secara administratif, Pulau Bawean termasuk
dalam Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Cek saja di peta! Di peta,
pulau Bawean sangat kecil. Wajar kok karena secara nyata saja untuk
mengelilingi pulaunya hanya diperlukan waktu 3 jam dengan mengendari
sepeda motor.
Kembali
lagi ke Jaliyah. Jaliyah yang aku sebutkan di awal tulisan tadi adalah
nama salah satu muridku di Pulau Bawean. Teman-temannya sering
memanggilnya ‘Jali’, begitu pula aku, ibu gurunya. Muridku di kelas 6
hanya berjumlah 17, 6 murid perempuan dan sisanya 11 murid laki-laki.
Jadi, bisa dibayangkan betapa akrabnya kami di sekolah yang terletak di
atas pegunungan tua ini.
Dibandingkan
dengan teman-temannya, Jaliyah adalah murid yang cukup dewasa. Ada sisi
kematangan tersendiri, baik secara fisik dan psikologis, dari dirinya.
Setelah kutelusuri, ternyata Jali pernah tidak naik di kelas-kelas
sebelumnya. Hal itu juga yang membuat Jali sedikit berkecil hati ketika
bergaul dengan teman-temannya di kelas 6. Beberapa kali aku melihat Jali
lebih mudah akrab dengan teman-temannya yang sudah duduk di bangku SMP.
Dengan kenyataan itu, caraku berkomunikasi dengan Jali pun berbeda
dengan caraku berkomunikasi dengan teman-temannya di kelas 6.
Jali
tinggal di rumah neneknya. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang
lalu. Sedangkan ayahnya, hidup di rumah yang terpisah walaupun masih
dalam satu dusun. Sehari-hari, selain sekolah, Jali mengasuh adik dan
saudara-saudaranya, serta membantu sang nenek yang sudah tua mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Jali
tergolong pekerjaan fisik yang menguras energinya tetapi karena sudah
sering dilakukan, dia sama sekali tidak merasa kelelahan. Mencari rumput
untuk makanan sapi di perbukitan, mengambil air dari sumber mata air,
serta mencari kayu untuk memasak di tungku dilakukan Jali setiap sore
dengan suka cita. Sering aku bertemu murid perempuanku itu menyunggi di
kepala apa saja yang dia dapat di bukit. Wajah yang terbakar sinar
matahari serta keringat yang mengucur di wajahnya sama sekali tak
dihiraukannya. Hanya senyum lebar yang diberikannya untukku. “Selamat sore, Bu!”
begitu katanya malu-malu. Malam harinya, secara tiba-tiba, selepas
mengaji, sering juga aku bertemu dengannya. Jali tersenyum kepadaku
sambil menggendong balita. Aku pun penasaran kapan muridku itu
beristirahat.
Di
kelas 6, Jali memang bukan termasuk anak unggulan yang mampu menjawab
semua pertanyaan dengan benar. Nilainya pas-pasan saja untuk beberapa
mata pelajaran. Walaupun demikian, menariknya, Jali adalah murid yang
mau berusaha. Pengerjaan soal yang salah dan kuminta untuk dibetulkan,
dilakukan Jali dengan tekun. Anjuran agar dia datang ke rumahku malam
atau sore hari untuk les tambahan pun dipenuhinya. Dia juga salah satu
muridku yang rajin meminjam buku di perpustakaan di rumahku. Buku
favoritnya adalah cerita putri-putrian dan buku cerita bahasa Inggris
bergambar.
Pernah
aku datang ke rumahnya. Sengaja. Sebagai gurunya, aku ingin melaporkan
perkembangan Jali di kelas 6 kepada walinya. Tetapi rumah Jali sepi.
Hanya ada Jali yang kemudian mempersilakanku duduk dan tinggal sebentar
di rumahnya. Aku memandang ke sekeliling ruangan. Rumah Jali yang minim
perabotan rumah tangga itu seakan menjadi saksi kegigihan Jali selama
ini. Di beberapa sudut ruangan tampak kerajinan tangan yang aku ajarkan
di sekolah. Jali tersenyum malu-malu ketika aku mengetahuinya. Ternyata
Jali senang dengan kerajinan tangan. Bahkan, dia bisa membuat
bunga-bungan dari gelas plastik bekas minuman. Bunga-bungan itu dipajang
di dinding ruang tamu. “Mudah, Bu, membuatnya. Ibu mau saya ajari?” begitu katanya kepadaku saat itu.
Mengajar
di sebuah pulau yang terdiri dari pegunungan tua dan perbukitan yang
tak terjangkau sinyal selama satu tahun ternyata cepat berlalu. Setelah
kelas 6 mengadakan acara kelulusan, berarti masa tugasku sebagai guru
bantu di Pulau Bawean pun berakhir. Murid-muridku menangis melepas
kepergianku, termasuk Jali. Aku hanya berpesan kepada murid-muridku
untuk terus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Maklum,
angka putus sekolah di dusunku cukup tinggi. Biasanya, setelah lulus SD
mereka akan langsung bekerja membantu orang tuanya di rumah mengurus
sawah dan sapi. Setelah menginjak dewasa, beberapa dari mereka bahkan
menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Tawaran dan
iming-iming dari para penyalur banyak beredar dan sulit ditepis. Belum
lagi ditambah dengan cerita sukses sanak saudara yang menjadi TKI di
Malaysia. Semuanya menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda Pulau
Bawean. Pergi selama beberapa tahun dengan modal seadanya atau tetap
tinggal di Pulau Bawean bersama keluarga. Mirisnya, sebagai guru di
dusun itu, aku pernah mendapat pertanyaan dari seorang muridku, “Bu, buat apa sih, kita sekolah? Paman saya saja yang tidak lulus SD bisa menjadi TKI di Malaysia dan setiap bulan mengirim uang.” Ya, anak-anak sekecil itu sudah bisa mempunyai standar tersendiri tentang uang.
Walaupun
sekarang aku bekerja di Jakarta, hubunganku dengan murid-muridku di
Pulau Bawean tidak terputus. Kami masih saling berkirim kabar melalui
pesan singkat walau tidak sering. Maklum, di dusunku tidak ada sinyal.
Hanya tempat-tempat tertentu yang secara ‘ajaib’ terjangkau sinyal walau
hanya satu bar (garis) saja. Jali adalah salah satu dari
mereka. Dia rajin menghubungiku walau hanya bertanya kabar, apa yang
sedang kulakukan, sampai bertanya tempat di mana aku bekerja sekarang.
Kadang aku merasa bersalah juga dengan Jali. Ada pesan singkat yang
terlewat dan tidak sempat kujawab. Dia pun tergolong kritis dan sensitif
untuk urusan seperti ini. Di pesan selanjutnya, dia pasti bertanya
mengapa pesan darinya tidak dibalas dan telpon tidak diangkat. Jali, oh
Jali, setelah aku jelaskan bahwa selama bekerja, aku tidak selalu dapat
membawa handphone, dia pun mengerti.
Mendengar
cerita Jali yang berapi-api, bayanganku saat itu Jali sedang
berjalan-jalan bersama saudaranya atau untuk kepentingan lainnya.
Ternyata aku salah. Setelah telepon ditutup, pesan singkat dari Jali
masuk ke handphone-ku. Dia mengatakan bahwa kepergiaannya ke
Surabaya dan Gresik adalah untuk mempersiapkan kepergiaannya ke Malaysia
sebagai TKI. Dia tidak berani mengatakannya langsung kepadaku. Dia pun
minta maaf karena tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak bisa menjalankan
nasihat yang aku sampaikan saat perpisahan dahulu.
Suatu
hari, Jali meneleponku. Dia senang sekali karena sedang berada di Jawa.
Ya, rata-rata orang Bawean menyebut ‘Jawa’ saat mereka berlayar ke
Pulau Jawa. Walaupun secara administratif, Pulau Bawean termasuk dalam
gugusan Pulau Jawa juga. Jali bercerita betapa ramainya alun-alun
Gresik, betapa ramainya Surabaya. Mobil, sepeda motor, pertokoan,
perkantoran, semuanya lengkap. Apalagi sinyal, melimpah! Aku maklum saja
karena ini memang kali pertama Jali keluar dari Pulau Bawean. Di akhir
ceritanya, Jali mengatakan keinginannya untuk bertemu denganku lagi.
Melihat betapa megahnya Gresik dan Surabaya, ia pun penasaran dengan
Jakarta, kota tempat aku bekerja sekarang.
Shock.
Aku tidak bisa berkata-kata setelah membaca pesan singkat dari Jali.
Bahkan, butuh beberapa detik untuk sadar. Air mata ini tertahan di sudut
mata. “Muridku menjadi TKI, muridku menjadi TKI, muridku menjadi TKI. Guru macam apa aku ini?”
Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku mencoba untuk tenang dan
tidak gegabah dalam mengambil sikap. Aku tidak pernah mengajarkan kepada
murid-muridku untuk membeda-bedakan jenis pekerjaan. Asalkan itu halal
dan tidak mencelakaan diri dan orang lain. Mayoritas keluarga dan sanak
saudara murid-muridku di Pulau Bawean memang mencari nafkah dengan
menjadi TKI di Malaysia. Sehingga, pergi ke Malaysia dan menjadi TKI
bukan hal yang aneh lagi di sana.
Setelah
berhasil menenangkan diriku sendiri, aku pun menelepon Jali. Aku
berbicara dengannya dan berusaha memahami keputusannya untuk menjadi TKI
di Malaysia. Jali pun bercerita, sebagai anak, dia ingin membahagiakan
keluarganya. Dia ingin membantu perekonomian keluarganya. Dia sudah
tidak tahu lagi harus melakukan apa. Belitan kemiskinan sudah tak
tertahankan bagi keluarganya. Jika dia hanya sekolah, dia tidak bisa
membantu keluarganya. Jadi, dia memutuskan untuk turun gunung dan pergi
ke kecamatan untuk mencari pekerjaan. Saat bertemu dengan orang yang
menawarinya bekerja di Malaysia, Jali pun lmengiyakannya tanpa
memikirkan hal lain. Toh, ada beberapa pamannya yang bekerja di Malaysia
juga. Jadi, Jali berharap di Malaysia, dia bisa berjumpa dengan
paman-pamannya.
Aku
tersentuh mendengar cerita Jali, sekaligus malu. Anak sekecil itu sudah
berpikir untuk turut serta meringankan beban perekonomian keluarga. Dia
rela pergi jauh asalkan ada yang bisa dia berikan untuk keluarganya.
Walau jujur, sebagai gurunya, aku tidak rela. Saat aku mencoba
menghubungi keluarganya, keluarganya pun sudah tidak sanggup melarang.
Jali benar-benar penuh tekad. Aku pun menghubungi temankku yang berada
di Gresik. Selain mengantarkan buku-buku yang sengaja aku kirimkan untuk
Jali, aku ingin temanku langsung berbicara dengan Jali tentang
keputusannya menjadi TKI. Hasilnya pun nihil. Temanku hanya berkata, “Tekadnya
sudah kuat, Het. Sudah tidak bisa diajak ngomong lagi. Anaknya
sungguh-sungguh. Kamu tidak perlu khawatir, dia akan diantar oleh
saudaranya sampai di Malaysia dan akan bertemu dengan pamannya.”
Beberapa bulan kemudian, ada nomor Malaysia yang masuk ke handphone-ku.
Saat aku angkat, aku bahagia sekali. Ternyata, Jali. Dia senang sekali
bisa menghubungiku. Dia bercerita kalau pekerjaannya di Malaysia adalah
mengasuh anak-anak saat si majikan bekerja di kantor. Rumah tempatnya
bekerja sangat besar, sama seperti yang dia lihat selama ini di TV. Jali
terpesona dibuatnya. Satu hal yang masih menjadi kendala bagi Jali
adalah kebiasaan sarapan dengan roti. Jali belum bisa menyesuaikan diri
karena dia lebih suka makan nasi. Bahkan, saking senangnya bercerita,
dia lupa mengabarkan kondisinya di Malaysia.
Aku
terharu sekaligus miris mendengarnya. Muridku benar-benar sudah sampai
di Malaysia dan bekerja sebagai TKI. Tapi aku tidak mau merusak
kebahagiaannya. Dari suaranya saja tampak jelas dia sangat ingin berbagi
cerita denganku, guru yang dirindukannya. Aku hanya sanggup
mendengarnya bercerita sambil sesekali menimpali ceritanya dengan, “Oh ya?”, “Lalu bagaimana?”, “Terus?”.
Di
akhir ceritanya, Jali membuatku kaget. Jali bercerita kalau si majikan
ternyata menyuruh Jali pulang kembali ke Pulau Bawean untuk melanjutkan
sekolah setelah tahu umur Jali yang masih sangat muda. Bahkan, si
majikan meyakinkan Jali dengan uang gaji yang diperolehnya, cukup untuk
biaya sekolah. Jali pun mengiyakan. Dia lalu teringat kepada keluarganya
di Pulau Bawean. Dia teringat alasan kepergiannya. Dia dengan polos
berkata, “Bu, saya teringat Ibu. Ibu dulu bertugas mengajar di Pulau
Bawean hanya satu tahun. Saya pun ingin segera kembali ke Pulau Bawean
untuk berkumpul bersama keluarga saya. Tapi, saya ingin mengumpulkan
uang dan membahagiakan keluarga saya. Saya akan setahun dahulu bekerja
di sini lalu pulang sama seperti Ibu dulu.”
Nyess!
Hatiku seperti tersentuh ribuan bongkahan es. Ternyata selama ini Jali
terinspirasi denganku, tentang keberadaanku di Pulau Bawean selama satu
tahun, tentang nasihatku untuk terus sekolah, serta semua ucapan yang
aku sampaikan di kelas 6 dulu. Semuanya tersimpan rapi dalam memori
Jali.
Bertemu
Jali, berkenalan dengannya, berinteraksi dengannya membuat definisiku
akan kerja keras bertambah. Muridku yang bernama Jali, ternyata mampu
mengajarkan aku tentang sesuatu hal yang selama ini aku lupakan.
Mungkin, aku pun sebagai gurunya belum sempat mengajarkan. Kerja keras,
pengorbanan, dan cinta keluarga adalah tiga simpul yang saling
menguatkan. Tekad Jali bulat, tekad Jali kuat. Aku yakin, Jali
sebenarnya tidak sendiri. Di luar sana, tidak sedikit anak-anak
Indonesia yang harus berhadapan dengan kerasnya hidup karena tuntutan
ekonomi. Mereka yang seharusnya menghabiskan waktu untuk bermain dan
merasakan kehangatan kasih sayang keluarga, harus tegak berdiri untuk
mencari penghidupan. Anak tetaplah anak. Anak bukanlah orang dewasa
mini. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk turun tangan
menciptakan lingkungan yang ramah anak dan menjaganya agar dapat
menginspirasi.
Untuk Jali dan semua pekerja anak di Indonesia, Tuhan akan menjaga kalian dengan cara-Nya.
Sumber : Mynameishety
Tidak ada komentar:
Posting Komentar