Rabu, 14 Agustus 2013

JALIYAH, MUTIARA INSPIRASI DARI PULAU BAWEAN

RABU, 14 AGUSTUS 2013

Jaliyah, itu namanya. Pendek dan ringkas, tak banyak embel-embel. Nama yang paling mudah aku hapalkan di kelas saat hari pertama mengajar. Ya, dengan begitu, predikatku sebagai seorang guru, wali kelas 6 tidak perlu lagi dipertanyakan. Aku terbukti hapal dengan murid-murid yang aku ajar, setidaknya untuk hari pertama mengajar.
Aku adalah seorang guru yang dulu bertugas di Pulau Bawean. Di manakah pulau Bawean itu berada? Ini adalah pertanyaan favoritku. Hampir semua yang bertanya latar belakangku sebagai guru, pasti menanyakan tempat aku mengajar dulu. Tak banyak yang tahu di mana pulau Bawean berada. Bahkan, ada juga beberapa penduduk yang secara administratif tergabung dalam satu kabupaten dengan Pulau Bawean saja tidak tahu.
Pulau Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Secara administratif, Pulau Bawean termasuk dalam Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Cek saja di peta! Di peta, pulau Bawean sangat kecil. Wajar kok karena secara nyata saja untuk mengelilingi pulaunya hanya diperlukan waktu 3 jam dengan mengendari sepeda motor.
Kembali lagi ke Jaliyah. Jaliyah yang aku sebutkan di awal tulisan tadi adalah nama salah satu muridku di Pulau Bawean. Teman-temannya sering memanggilnya ‘Jali’, begitu pula aku, ibu gurunya. Muridku di kelas 6 hanya berjumlah 17, 6 murid perempuan dan sisanya 11 murid laki-laki. Jadi, bisa dibayangkan betapa akrabnya kami di sekolah yang terletak di atas pegunungan tua ini.
13738759472130116049
bersama murid perempuanku
Dibandingkan dengan teman-temannya, Jaliyah adalah murid yang cukup dewasa. Ada sisi kematangan tersendiri, baik secara fisik dan psikologis, dari dirinya. Setelah kutelusuri, ternyata Jali pernah tidak naik di kelas-kelas sebelumnya. Hal itu juga yang membuat Jali sedikit berkecil hati ketika bergaul dengan teman-temannya di kelas 6. Beberapa kali aku melihat Jali lebih mudah akrab dengan teman-temannya yang sudah duduk di bangku SMP. Dengan kenyataan itu, caraku berkomunikasi dengan Jali pun berbeda dengan caraku berkomunikasi dengan teman-temannya di kelas 6.
Jali tinggal di rumah neneknya. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya, hidup di rumah yang terpisah walaupun masih dalam satu dusun. Sehari-hari, selain sekolah, Jali mengasuh adik dan saudara-saudaranya, serta membantu sang nenek yang sudah tua mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Jali tergolong pekerjaan fisik yang menguras energinya tetapi karena sudah sering dilakukan, dia sama sekali tidak merasa kelelahan. Mencari rumput untuk makanan sapi di perbukitan, mengambil air dari sumber mata air, serta mencari kayu untuk memasak di tungku dilakukan Jali setiap sore dengan suka cita. Sering aku bertemu murid perempuanku itu menyunggi di kepala apa saja yang dia dapat di bukit. Wajah yang terbakar sinar matahari serta keringat yang mengucur di wajahnya sama sekali tak dihiraukannya. Hanya senyum lebar yang diberikannya untukku. “Selamat sore, Bu!” begitu katanya malu-malu. Malam harinya, secara tiba-tiba, selepas mengaji, sering juga aku bertemu dengannya. Jali tersenyum kepadaku sambil menggendong balita. Aku pun penasaran kapan muridku itu beristirahat.
Di kelas 6, Jali memang bukan termasuk anak unggulan yang mampu menjawab semua pertanyaan dengan benar. Nilainya pas-pasan saja untuk beberapa mata pelajaran. Walaupun demikian, menariknya, Jali adalah murid yang mau berusaha. Pengerjaan soal yang salah dan kuminta untuk dibetulkan, dilakukan Jali dengan tekun. Anjuran agar dia datang ke rumahku malam atau sore hari untuk les tambahan pun dipenuhinya. Dia juga salah satu muridku yang rajin meminjam buku di perpustakaan di rumahku. Buku favoritnya adalah cerita putri-putrian dan buku cerita bahasa Inggris bergambar.
1373876120589374088
Taman Pintar, nama perpustakaanku di rumah
Pernah aku datang ke rumahnya. Sengaja. Sebagai gurunya, aku ingin melaporkan perkembangan Jali di kelas 6 kepada walinya. Tetapi rumah Jali sepi. Hanya ada Jali yang kemudian mempersilakanku duduk dan tinggal sebentar di rumahnya. Aku memandang ke sekeliling ruangan. Rumah Jali yang minim perabotan rumah tangga itu seakan menjadi saksi kegigihan Jali selama ini. Di beberapa sudut ruangan tampak kerajinan tangan yang aku ajarkan di sekolah. Jali tersenyum malu-malu ketika aku mengetahuinya. Ternyata Jali senang dengan kerajinan tangan. Bahkan, dia bisa membuat bunga-bungan dari gelas plastik bekas minuman. Bunga-bungan itu dipajang di dinding ruang tamu. “Mudah, Bu, membuatnya. Ibu mau saya ajari?” begitu katanya kepadaku saat itu.
Mengajar di sebuah pulau yang terdiri dari pegunungan tua dan perbukitan yang tak terjangkau sinyal selama satu tahun ternyata cepat berlalu. Setelah kelas 6 mengadakan acara kelulusan, berarti masa tugasku sebagai guru bantu di Pulau Bawean pun berakhir. Murid-muridku menangis melepas kepergianku, termasuk Jali. Aku hanya berpesan kepada murid-muridku untuk terus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Maklum, angka putus sekolah di dusunku cukup tinggi. Biasanya, setelah lulus SD mereka akan langsung bekerja membantu orang tuanya di rumah mengurus sawah dan sapi. Setelah menginjak dewasa, beberapa dari mereka bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Tawaran dan iming-iming dari para penyalur banyak beredar dan sulit ditepis. Belum lagi ditambah dengan cerita sukses sanak saudara yang menjadi TKI di Malaysia. Semuanya menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda Pulau Bawean. Pergi selama beberapa tahun dengan modal seadanya atau tetap tinggal di Pulau Bawean bersama keluarga. Mirisnya, sebagai guru di dusun itu, aku pernah mendapat pertanyaan dari seorang muridku, “Bu, buat apa sih, kita sekolah? Paman saya saja yang tidak lulus SD bisa menjadi TKI di Malaysia dan setiap bulan mengirim uang.” Ya, anak-anak sekecil itu sudah bisa mempunyai standar tersendiri tentang uang.
Walaupun sekarang aku bekerja di Jakarta, hubunganku dengan murid-muridku di Pulau Bawean tidak terputus. Kami masih saling berkirim kabar melalui pesan singkat walau tidak sering. Maklum, di dusunku tidak ada sinyal. Hanya tempat-tempat tertentu yang secara ‘ajaib’ terjangkau sinyal walau hanya satu bar (garis) saja. Jali adalah salah satu dari mereka. Dia rajin menghubungiku walau hanya bertanya kabar, apa yang sedang kulakukan, sampai bertanya tempat di mana aku bekerja sekarang. Kadang aku merasa bersalah juga dengan Jali. Ada pesan singkat yang terlewat dan tidak sempat kujawab. Dia pun tergolong kritis dan sensitif untuk urusan seperti ini. Di pesan selanjutnya, dia pasti bertanya mengapa pesan darinya tidak dibalas dan telpon tidak diangkat. Jali, oh Jali, setelah aku jelaskan bahwa selama bekerja, aku tidak selalu dapat membawa handphone, dia pun mengerti.
1373874861931707002
Salah satu cara mencari sinyal
Mendengar cerita Jali yang berapi-api, bayanganku saat itu Jali sedang berjalan-jalan bersama saudaranya atau untuk kepentingan lainnya. Ternyata aku salah. Setelah telepon ditutup, pesan singkat dari Jali masuk ke handphone-ku. Dia mengatakan bahwa kepergiaannya ke Surabaya dan Gresik adalah untuk mempersiapkan kepergiaannya ke Malaysia sebagai TKI. Dia tidak berani mengatakannya langsung kepadaku. Dia pun minta maaf karena tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak bisa menjalankan nasihat yang aku sampaikan saat perpisahan dahulu.
Suatu hari, Jali meneleponku. Dia senang sekali karena sedang berada di Jawa. Ya, rata-rata orang Bawean menyebut ‘Jawa’ saat mereka berlayar ke Pulau Jawa. Walaupun secara administratif, Pulau Bawean termasuk dalam gugusan Pulau Jawa juga. Jali bercerita betapa ramainya alun-alun Gresik, betapa ramainya Surabaya. Mobil, sepeda motor, pertokoan, perkantoran, semuanya lengkap. Apalagi sinyal, melimpah! Aku maklum saja karena ini memang kali pertama Jali keluar dari Pulau Bawean. Di akhir ceritanya, Jali mengatakan keinginannya untuk bertemu denganku lagi. Melihat betapa megahnya Gresik dan Surabaya, ia pun penasaran dengan Jakarta, kota tempat aku bekerja sekarang.
Shock. Aku tidak bisa berkata-kata setelah membaca pesan singkat dari Jali. Bahkan, butuh beberapa detik untuk sadar. Air mata ini tertahan di sudut mata. “Muridku menjadi TKI, muridku menjadi TKI, muridku menjadi TKI. Guru macam apa aku ini?” Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku mencoba untuk tenang dan tidak gegabah dalam mengambil sikap. Aku tidak pernah mengajarkan kepada murid-muridku untuk membeda-bedakan jenis pekerjaan. Asalkan itu halal dan tidak mencelakaan diri dan orang lain. Mayoritas keluarga dan sanak saudara murid-muridku di Pulau Bawean memang mencari nafkah dengan menjadi TKI di Malaysia. Sehingga, pergi ke Malaysia dan menjadi TKI bukan hal yang aneh lagi di sana.
Setelah berhasil menenangkan diriku sendiri, aku pun menelepon Jali. Aku berbicara dengannya dan berusaha memahami keputusannya untuk menjadi TKI di Malaysia. Jali pun bercerita, sebagai anak, dia ingin membahagiakan keluarganya. Dia ingin membantu perekonomian keluarganya. Dia sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa. Belitan kemiskinan sudah tak tertahankan bagi keluarganya. Jika dia hanya sekolah, dia tidak bisa membantu keluarganya. Jadi, dia memutuskan untuk turun gunung dan pergi ke kecamatan untuk mencari pekerjaan. Saat bertemu dengan orang yang menawarinya bekerja di Malaysia, Jali pun lmengiyakannya tanpa memikirkan hal lain. Toh, ada beberapa pamannya yang bekerja di Malaysia juga. Jadi, Jali berharap di Malaysia, dia bisa berjumpa dengan paman-pamannya.
Aku tersentuh mendengar cerita Jali, sekaligus malu. Anak sekecil itu sudah berpikir untuk turut serta meringankan beban perekonomian keluarga. Dia rela pergi jauh asalkan ada yang bisa dia berikan untuk keluarganya. Walau jujur, sebagai gurunya, aku tidak rela. Saat aku mencoba menghubungi keluarganya, keluarganya pun sudah tidak sanggup melarang. Jali benar-benar penuh tekad. Aku pun menghubungi temankku yang berada di Gresik. Selain mengantarkan buku-buku yang sengaja aku kirimkan untuk Jali, aku ingin temanku langsung berbicara dengan Jali tentang keputusannya menjadi TKI. Hasilnya pun nihil. Temanku hanya berkata, “Tekadnya sudah kuat, Het. Sudah tidak bisa diajak ngomong lagi. Anaknya sungguh-sungguh. Kamu tidak perlu khawatir, dia akan diantar oleh saudaranya sampai di Malaysia dan akan bertemu dengan pamannya.”
Beberapa bulan kemudian, ada nomor Malaysia yang masuk ke handphone-ku. Saat aku angkat, aku bahagia sekali. Ternyata, Jali. Dia senang sekali bisa menghubungiku. Dia bercerita kalau pekerjaannya di Malaysia adalah mengasuh anak-anak saat si majikan bekerja di kantor. Rumah tempatnya bekerja sangat besar, sama seperti yang dia lihat selama ini di TV. Jali terpesona dibuatnya. Satu hal yang masih menjadi kendala bagi Jali adalah kebiasaan sarapan dengan roti. Jali belum bisa menyesuaikan diri karena dia lebih suka makan nasi. Bahkan, saking senangnya bercerita, dia lupa mengabarkan kondisinya di Malaysia.
Aku terharu sekaligus miris mendengarnya. Muridku benar-benar sudah sampai di Malaysia dan bekerja sebagai TKI. Tapi aku tidak mau merusak kebahagiaannya. Dari suaranya saja tampak jelas dia sangat ingin berbagi cerita denganku, guru yang dirindukannya. Aku hanya sanggup mendengarnya bercerita sambil sesekali menimpali ceritanya dengan, “Oh ya?”, “Lalu bagaimana?”, “Terus?”.
Di akhir ceritanya, Jali membuatku kaget. Jali bercerita kalau si majikan ternyata menyuruh Jali pulang kembali ke Pulau Bawean untuk melanjutkan sekolah setelah tahu umur Jali yang masih sangat muda. Bahkan, si majikan meyakinkan Jali dengan uang gaji yang diperolehnya, cukup untuk biaya sekolah. Jali pun mengiyakan. Dia lalu teringat kepada keluarganya di Pulau Bawean. Dia teringat alasan kepergiannya. Dia dengan polos berkata, “Bu, saya teringat Ibu. Ibu dulu bertugas mengajar di Pulau Bawean hanya satu tahun. Saya pun ingin segera kembali ke Pulau Bawean untuk berkumpul bersama keluarga saya. Tapi, saya ingin mengumpulkan uang dan membahagiakan keluarga saya. Saya akan setahun dahulu bekerja di sini lalu pulang sama seperti Ibu dulu.”
Nyess! Hatiku seperti tersentuh ribuan bongkahan es. Ternyata selama ini Jali terinspirasi denganku, tentang keberadaanku di Pulau Bawean selama satu tahun, tentang nasihatku untuk terus sekolah, serta semua ucapan yang aku sampaikan di kelas 6 dulu. Semuanya tersimpan rapi dalam memori Jali.
Bertemu Jali, berkenalan dengannya, berinteraksi dengannya membuat definisiku akan kerja keras bertambah. Muridku yang bernama Jali, ternyata mampu mengajarkan aku tentang sesuatu hal yang selama ini aku lupakan. Mungkin, aku pun sebagai gurunya belum sempat mengajarkan. Kerja keras, pengorbanan, dan cinta keluarga adalah tiga simpul yang saling menguatkan. Tekad Jali bulat, tekad Jali kuat. Aku yakin, Jali sebenarnya tidak sendiri. Di luar sana, tidak sedikit anak-anak Indonesia yang harus berhadapan dengan kerasnya hidup karena tuntutan ekonomi. Mereka yang seharusnya menghabiskan waktu untuk bermain dan merasakan kehangatan kasih sayang keluarga, harus tegak berdiri untuk mencari penghidupan. Anak tetaplah anak. Anak bukanlah orang dewasa mini. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk turun tangan menciptakan lingkungan yang ramah anak dan menjaganya agar dapat menginspirasi.
Untuk Jali dan semua pekerja anak di Indonesia, Tuhan akan menjaga kalian dengan cara-Nya.

Sumber : Mynameishety

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...