Rabu, 14 Agustus 2013

BATAMPUR MERIAM KARBIT DI BARABAI

RABU, 14 AGUSTUS 2013

Kebiasaan Batampur (Perang) Meriam Karbit di Barabai, tepatnya di Daerah Mahang – Palajau masih tidak memudar, setiap Hari Raya Idul Fitri, biasanya pada malam hari raya ke 2, perhelatan perang ini dilaksanakan.berbiaya puluhan juta ini murni hasil urunan dan swadaya masyarakat. Romantisme bunyi yang memekakkan telinga ini ternyata sudah lama ditunggu dan jadi pergunjingan hebat warga Barabai.

Tak salah kalau tradisi yang begitu menguras uang itu tetap digelar. Masyarakat takut kegiatan budaya mereka hilang terus usang dan dilupakan. Kendati persiapan tahun ini terkesan mendadak, dengan semangat yang sama, cita-cita meneruskan tradisi mendentumkan meriam yang bunyinya terdengar puluhan kilo itu harus meriah dan kampung yang sunyi mendadak hidup.

Puluhan batang meriam disipkan, sedikitnya 60 lebih batang meriam (2012) yang  berhadap-hadapan dan terdata di tengah kegelapan malam.

Meriam ini terbuat dari batang pohon aren ini. Hal ini dimulai dengan menebang batang aren dan membelah untuk dilubangi,  menyatukan batang aren, menambal dengan seng, menutupi dengan samawi (pengikat dari bambu) agar lingkarannya makin kuat. Sampai dengan menggulung rantai, memindahkan meriam ke lokasi dan mencobanya.

Photo-0168
Photo-0169Photo-0170
Untuk mencoba, tak perlu ragu, seluruh meriam yang sudah jadi harus dites untuk diuji kekuatan batangnya. Pengujian ini untuk mengukur kadar kebutuhan karbit, air, dan melihat ikatan samawi agar tidak bergerak saat dibunyikan. Selain itu, membunyikan lebih awal bermaksud untuk “memanas-manasi” lawan agar secepatnya menyelesaikan pembuatan meriam. Meriam ini biasanya sepanjang 10 meter, bahkan ada yang lebih.

Adat dan budaya batampur meriam ini jadi alat pemersatu warga Mahang dan Buluan. Silaturahmi tetap lancar kendati namanya perang meriam. Di balik semangat terbersit kesulitan pendanaan. Pasalnya, modal satu batang sekurangnya Rp1 juta, padahal yang bersanding totalnya lebih 60 batang. Dan, kebutuhan karbit sebanyak 1 ton, nilainya sekitar Rp 14 jutaan.

Kalau dilihat dari segi dana, maka hal ini tentunya sangat besar, apalagi kalau dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan sosial yang lebih bermamfaat. Namun demi pelestarian tradisi, makwa warga tetap komitmen  utnuk terus swadaya melaksanakannya.***

Sumber : Muhammad Afif Bizri (avivsyuhada.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...