Kamis, 14 Januari 2016

Mengenal Kegiatan Manaradak

Jum'at, 15 Januari 2016




Manaradak adalah upacara tradisional menanam benih padi di kalangan suku Banjar Pahuluan di Desa Amas, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan. Upacara yang diselenggarakan setahun sekali ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga tanaman padi dapat tumbuh dengan subur dan para petani terhindar dari malapetaka pada saat menggarap lahan petanian.



Istilah manaradak berasal dari kata bahasa Banjar Pahuluan taradak yang berarti benih padi yang ditanam di tanah dengan menggunakan halu atau tongkat kayu yang runcing. Dalam bahasa Banjar Batang Banyu, pengertian ini dikenal dengan istilah manugal yang diambil dari kata tugal, yaitu proses menyemai bibit padi dengan membuat lubang di tanah.



Dari pengertian di atas, maka upacara manaradak secara umum dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk memulai penanaman benih padi secara simbolis dengan menggunakan alat yang disebut dengan tutugal atau halu, yaitu sejenis tongkat yang runcing.



Upacara manaradak diselenggarakan oleh suku Banjar Pahuluan di Desa Amas, Kecamatan Simpur, Kabupaten HSS untuk menjaga keselamatan mereka pada saat bekerja dan agar padi dapat tumbuh subur. Upacara ini didasari oleh kepercayaan suku Banjar Pahuluan terhadap leluhur mereka yang bernama Datu Ulin.



Menurut mereka, Datu Ulin tidak meninggal, tetapi menghilang sehingga dipercayai masih bergentayangan di desa tempat tinggal mereka. Agar Datu Ulin tidak mengganggu mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terutama ketika mencari nafkah, maka penduduk setempat mempersembahkan sesaji di Masjid Lama dan Balai Amas yang diyakini dibangun oleh Datu Ulin.



Cerita rakyat yang berkembang dalam suku Banjar Pahuluan menyebutkan bahwa Masjid Lama dan Balai Amas dibuat oleh Datu Ulin dari pohon ulin yang besar dan tinggi. Konon, pohon itu mempunyai diamater kira-kira sama besarnya dengan rumah tipe 36 dan tingginya sekitar 200.000 meter. Berdasarkan cerita ini, penduduk setempat setiap tahun mengadakan berbagai macam selamatan dan upacara manaradak di Masjid Lama dan Balai Amas untuk menghormati Datu Ulin sebagai pendiri kedua bangunan yang dikeramatkan tersebut.



Tata cara pelaksanaan upacara ini dilakukan dalam dua nuansa yang berbeda, yaitu nuansa keagamaan dan nuansa kepercayaan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial budaya suku Banjar Pahuluan sebagai penganut agama Islam yang taat sekaligus juga menganut kepercayaan leluhur. Upacara yang bernuansa keagamaan dilaksanakan di Masjid Lama sedangkan upacara yang bernuansa adat atau kepercayaan dilaksanakan di Balai Amas.



Upacara manaradak menerapkan beberapa pantangan dan larangan karena upacara ini adalah upacara yang sakral. Pantangan dan larangan tersebut berlaku pada saat puncak upacara manaradak. Penerapan aturan tersebut dimaksudkan agar proses pelaksanaan upacara dapat berjalan lancar dan penuh kekhidmatan sehingga tujuan upacara dapat tercapai.



Adapun peralatan dan bahan-bahan untuk upacara adalah halu atau alu, yaitu tongkat kayu yang telah diruncingkan untuk membuat lubang di tanah. Taradak atau tugal, yaitu benih padi yang akan ditanam. Sesaji atau persembahan.



Jenis-jenis sesaji yang diperlukan dalam upacara ini adalah hadangan atau kerbau, yaitu kerbau yang telah diparapah atau dipanggang sebagai persembahan kepada Datu Ulin. Pepes darah kerbau atau hewan persembahan lainnya seperti kambing dan ayam. Berbagai jenis kue tradisional, di antaranya: Nasi lamak atau nasi ketan, sebagai persembahan kepada Datu Ulin

Kikicak, kue yang terbuat dari ketan dan memakai hinti (gula) yang dimasak bersama kelapa Kukulih atau bubur sumsum. Nyiur anum atau kelapa muda. Nasi lakatan hirang atau nasi ketan hitam, lambang pengharapan agar padi dapat tumbuh subur dan berbuah banyak.



Ketupat yang tidak mempunyai kukulih dan tidak ber-lakatan (ketan), lambang pengharapan agar akar padi dapat terbuka. Lakatan kuning atau nasi ketan kuning, lambang pengharapan agar tanaman padi maupun para petani ketika mengolah sawah terhindar dari penyakit.



Cucur laki, sejenis kue cincin, digunakan sebagai taruhan dalam acara sabung ayam. Jenis kue ini dimaksudkan sebagai bahan pengganti atau penyempurna jika dalam pelaksanaan upacara terdapat bahan sesaji yang tidak terpenuhi.



Paparahuan, yaitu miniatur perahu yang terbuat dari pelepah rumbia atau batang pohon sagu. Paparahuan ini khusus dipersiapkan oleh peserta upacara yang berasal dari desa tetangga seperti Desa Pulau Baidar dan Desa Tungkaran untuk diarak ke Balai Amas yang menjadi tempat pelaksanaan upacara.



Paparahuan tersebut berisi beberapa jenis kue tradisional seperti dodol, wajik, dan pampagu atau lembagan dari tepung, yaitu kue tepung yang berbentuk patung manusia yang terdiri dari sepasang suami-isteri (pria dan wanita). Kue patung pria diletakkan di buritan perahu menghadap ke arah depan layaknya orang sedang mendayung sedangkan patung wanita ditempatkan di bagian tengah perahu.



Upacara manaradak adalah upacara tahunan suku Banjar Pahuluan yang dilaksanakan di Desa Balai Amas setiap bulan Oktober dalam penanggalan Masehi. Puncak upacara adalah hari Ahad atau hari Minggu yang bertepatan dengan naik bulan, yaitu ketika bulan mulai membesar hingga menjadi purnama pada malam Ahad tersebut. Pemilihan waktu ketika naik bulan ini didasarkan pada pemikiran bahwa hasil panen dapat bertambah seperti halnya dengan bulan yang dari hari ke hari semakin bertambah besar.



Adapun hari Ahad dianggap baik karena diyakini tidak mengandung banahas ganal, yakni segala sesuatu yang dapat mendatangkan gangguan besar dan kemalangan (kesialan). Oleh karena itu, upacara puncak manaradak selalu dilaksanakan pada Ahad pagi sebelum matahari naik, yakni sekitar pukul 08.00 atau pukul 09.00. Hal ini dimaksudkan agar upacara tersebut berjalan lancar dan benih padi yang ditanam dapat selamat hingga masa panen.



Penyelenggaraan upacara manaradak dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Masjid Lama dan di Balai Amas. Jenis upacara yang dilaksanakan di Masjid Lama adalah upacara selamatan dengan melakukan shalat berjamaah seperti shalat Maghrib, shalat Hajat, dan shalat Isya serta acara selamatan nasi lakatan (ketan).



Adapun jenis upacara yang dilaksanakan di Balai Mas adalah upacara puncak yang terdiri dari beberapa rangkaian acara seperti penyembelihan kerbau, penanaman benih padi secara simbolis, penyerahan berbagai jenis sesaji, pementasan kesenian, dan berbagai permainan rakyat tradisional. Meskipun berada di tempat yang berbeda, kedua lokasi tersebut masih termasuk ke dalam wilayah Desa Balai Amas, Kecamatan Simpur.



Secara teknis, pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh dua golongan, yaitu golongan agamawan dan golongan adat. Pemimpin upacara dari golongan agamawan adalah seorang imam atau orang yang dianggap cukup memiliki pengetahuan agama Islam. Tugasnya adalah memimpin shalat berjamaah dan pembacaan do’a selamatan di Masjid Lama maupun di Balai Amas serta menyembelih kerbau persembahan.



Sementara itu, pemimpin upacara dari golongan adat adalah orang yang dianggap mengetahui seluk-beluk upacara tersebut. Tugasnya adalah membakar kemenyan, membuat lubang di tanah untuk tempat benih padi, dan memimpin penyelenggaraan seni dan berbagai permainan rakyat tradisional yang dilaksanakan di sekitar di Balai Amas.



Upacara manadarak diikuti oleh penduduk Desa Balai Amas dan penduduk Desa Baidar dan Tungkaran. Sebagai pemimpin desa, Kepala Desa Balai Amas bertugas mengurus izin dan keamanaan upacara. Kaum laki-laki bertugas menyiapkan segala peralatan dan tempat-tempat pelaksanaan upacara. Sementara itu, kaum ibu-ibu bertugas menyiapkan berbagai sesaji yang akan dipersembahkan dalam upacara tersebut.



Seluruh peserta upacara bergotong-royong sebelum upacara manaradak dimulai untuk menyiapkan segala macam peralatan dan perlengkapan upacara. Kaum laki-laki mempersiapkan semua peralatan yang diperlukan dan tempat-tempat pelaksanaan upacara. Sementara itu, kaum ibu-ibu menyiapkan berbagai sesaji seperti daging kerbau dan kue-kue tradisional. Para warga dari Desa Baidar dan Tungkaran yang turut serta dalam upacara ini juga sibuk menyiapkan paparahuan dengan segala isinya untuk diarak ke Balai Amas. Setelah semua peralatan dan perlengkapan disiapkan, upacara manaradak dapat dimulai.



Pelaksanaan upacara manaradak ditandai oleh dua kegiatan penting, yaitu upacara selamatan di Masjid Lama dan upacara puncak di Balai Amas. Adapun proses pelaksanaan kedua kegiatan tersebut adalah sebagai berikut.



Penduduk Desa Balai Amas mulai memadati Majid Lama pada malam menjelang puncak upacara manaradak, yakni sekitar pukul 18.30, untuk melakukan upacara selamatan dan melakukan shalat Maghrib, kemudian dilanjutkan dengan shalat Hajat dan shalat Isya berjamaah yang dipimpin oleh seorang Imam.



Shalat Hajat dilakukan dengan maksud untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar padi yang akan mereka tanam pada keesokan harinya terhindar dari penyakit atau gangguan hama sehingga dapat tumbuh subur. Selain itu, mereka juga memohon keselamatan agar tidak tertimpa gangguan selama mengerjakan lahan pertanian.



Acara ditutup dengan pembacaan do’a selamat yang dipimpin oleh Imam di hadapan sesaji yang berupa lakatan atau nasi ketan yang dibawa dari rumah masing-masing. Sesaji tersebut kemudian dimakan bersama-sama oleh jamaah setelah pembacaan do’a selesai.



Upacara puncak manaradak dimulai dengan penyembelihan hewan persembahan berupa kerbau, kambing atau ayam. Penyembelihan ini dilakukan di sekitar Balai Amas. Acara penyembelihan hewan ini dilakukan setelah upacara selamatan di Masjid Lama selesai, yaitu sekitar pukul 02.00 atau pukul 03.00.



Jenis kerbau yang paling baik disembelih untuk persembahan adalah kerbau jantan yang umurnya berkisar antara 2 sampai 3 tahun, bersih, dan tidak memiliki cacat fisik. Meski demikian, tidak ada aturan yang melarang untuk menyembelih kerbau betina. Hanya saja, akan lebih baik jika kerbau jantan yang dijadikan sebagai hewan persembahan.



Penyembelihan kerbau jarang dilakukan, bahkan hingga saat ini, karena semakin mahalnya harga kerbau dan sebagai gantinya hewan yang disembelih adalah kambing jantan atau ayam jantan yang berwana putih atau hitam. Setelah disembelih, hewan persembahan tersebut diparapah atau dipanggang dan kemudian dimasak.



Sementara itu, darah hewan persembahan tersebut dipepes untuk dipersembahkan kepada Datu Ulin. Pepes darah hewan ini merupakan simbol pengganti darah manusia agar ketika para petani kada kapuhunan atau tidak mendapat kecelakaan atau terluka selama bekerja di sawah.



Seluruh peralatan dan perlengkapan yang telah disiapkan kemudian dibawa ke Balai Amas untuk diletakkan di tempat khusus. Setelah paparahuan dari Desa Baidar dan Tungkaran serta seluruh pengiring dan pembawanya tiba di lokasi, upacara puncak manaradak segera dimulai. Pemimpin upacara dari golongan adat mulai membakar mayan atau kemenyan, lalu pemuka agama membacakan do’a. Sementara itu, peserta upacara lainnya duduk mengelilingi Balai Amas. Setelah pembacaan do’a, saat yang dinanti-nantikan oleh para peserta upacara pun tiba, yaitu berebut kue-kue tradisional dan sesaji.



Acara dilanjutkan dengan karasmin atau keramaian. Dalam upacara keramaian ini, dipentaskan berbagai kesenian dan permainan rakyat tradisional di lapangan khusus di sekitar Balai Amas. Berbagai keramaian yang mengiringi upacara manaradak tersebut di antaranya adalah: Basaung hayam atau sabung ayam dengan taruhan kue cucur laki basipak atau sepak raga. Bagasing atau bermain gasing. Balogo atau permainan rakyat untuk anak-anak dengan menggunakan logo.



Kemudian ada Basingki atau sejenis permainan rakyat dengan memukul potongan bambu atau yang disebut dengan singkup. Bakalikir atau bermain kelereng. Bahahantuan, yaitu permainan tradisional khas di daerah tersebut. Banaga, yaitu kue ekor naga yang dibuat dan kemudian dipasang di dekat Balai Amas. Basisingaan, yaitu kue berbentuk singa yang dipasang di dekat Balai Amas.



Jenis-jenis permainan rakyat tradisional tersebut merupakan jenis permainan tradisional yang pernah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat setempat pada zaman dahulu. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan upacara karasmin atau keramaian ini hanya untuk menghormati atau mengingatkan kembali tentang pekerjaan atau kesenangan leluhur mereka yang dipersonifikasikan kepada Datu Ulin, yaitu orang yang sangat berpengaruh dan disegani di desa tersebut pada masa lalu.



Tahap berikutnya adalah acara inti, yakni upacara manaradak atau memulai penanaman benih padi. Dua pelaksana teknis yang telah ditunjuk mulai melaksanakan tugasnya masing-masing. Salah seorang di antaranya membuat tujuh buah lubang di tanah dengan memakai halu sedangkan seorang yang lainnya mengisi benih padi pada ketujuh lubang tersebut. Penunjukan kedua pelaksana teknis tersebut tidak dilakukan secara sembarangan. Ada aturan tertentu yang harus dipatuhi, yaitu nama keduanya harus sesuai dengan perhitungan tahun yang dipercayai oleh penduduk setempat.



Suku Banjar Pahuluan mengenal istilah tahun windu, yaitu sistem kalender yang disesuaikan dengan penanggalan Jawa. Windu adalah istilah untuk selang waktu delapan tahun.  Artinya, satu windu terdiri dari delapan tahun. Nama masing-masing penggal waktu diambil dari kosakata bahasa Arab, yaitu Alif, Ha, Jim, Zai, Zal, Ba, Wau, dan Dal. Nama-nama tahun inilah yang menjadi dasar pemilihan kedua pelaksana teknis tersebut.



Orang yang ditunjuk sebagai pembuat lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya sesuai dengan huruf awal pada nama tahun (windu) ketika upacara manaradak dilaksanakan. Sementara itu, orang yang ditunjuk untuk mengisikan benih ke dalam lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya sesuai dengan huruf awal pada nama tahun windu berikutnya.



Sebagai contoh, jika seandainya upacara manaradak dilaksanakan pada tahun Alif, maka orang yang ditunjuk sebagai pembuat lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya adalah “A”, misalnya Ali, Abu, Ahmad, dan sebagainya. Dengan demikian, orang yang harus mengisikan benih ke dalam lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya adalah “H”, misalnya Harun, Husin, Hasbullah, Hamsi, dan sebagainya.



Jumlah lubang juga memiliki makna tersendiri. Angka tujuh diasosiasikan dengan bintang karantika yang berjumlah tujuh buah yang sering tampak di langit. Hal ini sebagai lambang pengharapan masyarakat setempat agar benih padi yang mereka tanam tidak rusak seperti halnya bintang karantika yang selalu utuh sepanjang zaman.



Beberapa jenis tanaman lainnya juga ditanam bersamaan dengan penanaman benih tersebut, misalnya serumpun pohon sarai (serai), janar (kunir/kunyit), dan kaminting (kemiri) di lokasi atau tempat upacara. Tidak mengherankan jika di lokasi tersebut banyak tumbuh pohon kemiri -- bahkan ada yang sudah berumur puluhan tahun.


Benih padi bersama tanaman kunyit, serai, dan kemiri yang pada puncak Upacara manaradak sudah mulai tumbuh. Tahap penanaman padi adalah tahap terakhir dalam rangkaian upacara manaradak. Setelah tahap ini selesai, maka proses berikutnya adalah penanaman benih padi di lahan pertanian masing-masing petani yang sebelumnya telah disiapkan.



Do’a yang dilantunkan dalam upacara manaradak dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepada Datu Ulin. Permohonan do’a yang disampaikan melalui shalat Hajat ini adalah permohonan keselamatan dan permohonan agar padi mereka dapat tumbuh subur. Sementera itu, permohonan do’a kepada Datu Ulin yang disampaikan pada acara puncak di Balai Amas dimaksudkan agar Datu Ulin tidak mengganggu mereka ketika mereka sedang melaksanakan berbagai aktivitas sehari-hari.



Karena pembacaan do’a tersebut dipimpin oleh golongan agamawan atau seorang Imam, tentu saja do’a-do’a yang digunakan adalah doa-doa yang bernafaskan Islam. Hanya saja, buku yang menjadi rujukan utama tulisan ini tidak menyembutkan secara rinci jenis-jenis do’a tersebut.



Upacara manaradak tidak boleh dilaksanakan selain dari hari Ahad atau Minggu. Hari Senin dan Selasa paling dilarang keras karena dianggap paling banyak mengandung banahas ganal.



Tidak boleh tatumbuk umbayang atau menumbuk bayangan sendiri ketika membuat lubang yang akan ditanami benih padi. Oleh sebab itulah upacara manaradak harus dilaksanakan pada waktu pagi, yaitu antara pukul 09.00 sampai pukul 10.00 dan si pembuat lubang harus menghadap ke arah matahari.



Tidak diperbolehkan ada orang yang bananaikan atau memanjat pohon dan sebagainya pada saat manaradak berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan dalam pelaksanaan upacara.



Para peserta diharapkan tidak babantah atau tidak bertengkar pada saat upacara berlangsung karena salah satu tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah untuk menjaga kerukunan antarsesama warga. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat berhasil dengan baik dan permintaan mereka dapat dikabulkan.



Nilai sakral. Upacara manaradak merupakan rangkaian kegiatan yang bersifat sakral di mana pelaksanaannya mempunyai syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta upacara. Wujud kesakralan upacara ini juga terlihat pada penggunaan berbagai jenis sesaji yang akan dipersembahkan kepada leluhur, pembacaan do’a-do’a, dan pelaksanaan upacara yang dilakukan di tempat-tempat keramat.



Nilai religius. Proses pelaksanaan upacara ini dipenuhi oleh nuansa-nuansa religius. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan shalat berjamaah yang dipimpin oleh seorang Imam di Masjid Lama.



Nilai gotong-royong. Hal ini terlihat pada keterlibatan berbagai pihak dalam upacara tersebut. Mereka saling membantu dalam menyiapkan segala peralatan dan perlengkapan upacara yang diperlukan, seperti menyiapkan tempat dan berbagai sesaji demi kelancaran upacara.



Nilai kebersamaan. Wujud kebersamaan ini tampak ketika para peserta berkumpul di suatu tempat untuk melakukan upacara dan berdo’a bersama demi keselamatan bersama. Kebersamaan ini muncul karena kesadaran masyarakat setempat sebagai komunitas yang merasa memiliki wilayah, adat-istiadat, dan budaya yang sama untuk dikembangkan secara bersama-sama.



Nilai pelestarian budaya. Nilai ini tercermin pada penyelenggaraan berbagai permainan rakyat tradisional dalam upacara tersebut yang merupakan wujud penghormatan dan pelestarian budaya nenek moyang.



Upacara manaradak merupakan salah satu ekspresi budaya suku Banjar Pahuluan yang harus diapresiasi karena dapat memberikan nilai kegunaan, terutama bagi masyarakat pendukungnya. Dengan semangat kegotong-royongan, kebersamaan, dan kesadaran untuk melestarikan nilai-nilai budaya, hubungan sosial kemasyarakatan dapat terjaga dengan baik.



Hal yang jauh lebih penting daripada itu adalah bahwa keberadaan upacara manaradak ini merupakan salah satu upaya masyarakat pendukungnya untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan mereka.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...