Manaradak adalah upacara tradisional menanam
benih padi di kalangan suku Banjar Pahuluan di Desa Amas, Kecamatan Simpur,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan. Upacara yang
diselenggarakan setahun sekali ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga tanaman padi dapat tumbuh dengan subur dan para
petani terhindar dari malapetaka pada saat menggarap lahan petanian.
Istilah manaradak berasal
dari kata bahasa Banjar Pahuluan taradak
yang berarti benih padi yang ditanam di tanah dengan menggunakan halu
atau tongkat kayu yang runcing. Dalam bahasa Banjar Batang Banyu, pengertian
ini dikenal dengan istilah manugal
yang diambil dari kata tugal, yaitu
proses menyemai bibit padi dengan membuat lubang di tanah.
Dari pengertian di atas, maka
upacara manaradak secara umum dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
untuk memulai penanaman benih padi secara simbolis dengan menggunakan alat yang
disebut dengan tutugal atau halu, yaitu sejenis tongkat yang
runcing.
Upacara manaradak
diselenggarakan oleh suku Banjar Pahuluan di Desa Amas, Kecamatan Simpur,
Kabupaten HSS untuk menjaga keselamatan mereka pada saat bekerja dan agar padi
dapat tumbuh subur. Upacara ini didasari oleh kepercayaan suku Banjar Pahuluan
terhadap leluhur mereka yang bernama Datu Ulin.
Menurut mereka, Datu Ulin tidak
meninggal, tetapi menghilang sehingga dipercayai masih bergentayangan di desa
tempat tinggal mereka. Agar Datu Ulin tidak mengganggu mereka dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, terutama ketika mencari nafkah, maka penduduk setempat
mempersembahkan sesaji di Masjid Lama dan Balai Amas yang diyakini dibangun
oleh Datu Ulin.
Cerita rakyat yang berkembang
dalam suku Banjar Pahuluan menyebutkan bahwa Masjid Lama dan Balai Amas dibuat
oleh Datu Ulin dari pohon ulin yang besar dan tinggi. Konon, pohon itu
mempunyai diamater kira-kira sama besarnya dengan rumah tipe 36 dan tingginya
sekitar 200.000 meter. Berdasarkan cerita ini, penduduk setempat setiap tahun
mengadakan berbagai macam selamatan dan upacara manaradak di Masjid Lama
dan Balai Amas untuk menghormati Datu Ulin sebagai pendiri kedua
bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Tata cara pelaksanaan upacara ini
dilakukan dalam dua nuansa yang berbeda, yaitu nuansa keagamaan dan nuansa
kepercayaan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial budaya suku Banjar
Pahuluan sebagai penganut agama Islam yang taat sekaligus juga menganut
kepercayaan leluhur. Upacara yang bernuansa keagamaan dilaksanakan di Masjid
Lama sedangkan upacara yang bernuansa adat atau kepercayaan dilaksanakan di
Balai Amas.
Upacara manaradak
menerapkan beberapa pantangan dan larangan karena upacara ini adalah upacara
yang sakral. Pantangan dan larangan tersebut berlaku pada saat puncak upacara manaradak.
Penerapan aturan tersebut dimaksudkan agar proses pelaksanaan upacara dapat
berjalan lancar dan penuh kekhidmatan sehingga tujuan upacara dapat tercapai.
Adapun peralatan dan bahan-bahan untuk upacara adalah halu atau
alu, yaitu tongkat kayu yang telah diruncingkan untuk membuat lubang di
tanah. Taradak atau tugal, yaitu benih padi yang akan
ditanam. Sesaji atau persembahan.
Jenis-jenis sesaji yang diperlukan
dalam upacara ini adalah hadangan atau kerbau, yaitu kerbau
yang telah diparapah atau dipanggang sebagai persembahan kepada Datu
Ulin. Pepes darah kerbau atau hewan persembahan lainnya seperti kambing
dan ayam. Berbagai jenis kue tradisional, di antaranya: Nasi lamak atau
nasi ketan, sebagai persembahan kepada Datu Ulin
Kikicak, kue yang
terbuat dari ketan dan memakai hinti (gula) yang dimasak bersama kelapa
Kukulih atau bubur sumsum. Nyiur anum atau kelapa muda. Nasi
lakatan hirang atau nasi ketan hitam, lambang pengharapan agar padi dapat
tumbuh subur dan berbuah banyak.
Ketupat yang tidak mempunyai kukulih
dan tidak ber-lakatan (ketan), lambang pengharapan agar akar padi dapat
terbuka. Lakatan kuning atau nasi ketan kuning, lambang pengharapan
agar tanaman padi maupun para petani ketika mengolah sawah terhindar dari
penyakit.
Cucur laki, sejenis kue
cincin, digunakan sebagai taruhan dalam acara sabung ayam. Jenis kue ini
dimaksudkan sebagai bahan pengganti atau penyempurna jika dalam pelaksanaan
upacara terdapat bahan sesaji yang tidak terpenuhi.
Paparahuan, yaitu miniatur
perahu yang terbuat dari pelepah rumbia atau batang pohon sagu. Paparahuan
ini khusus dipersiapkan oleh peserta upacara yang berasal dari desa tetangga
seperti Desa Pulau Baidar dan Desa Tungkaran untuk diarak ke Balai Amas yang
menjadi tempat pelaksanaan upacara.
Paparahuan tersebut berisi
beberapa jenis kue tradisional seperti dodol, wajik, dan pampagu atau lembagan
dari tepung, yaitu kue tepung yang berbentuk patung manusia yang terdiri dari
sepasang suami-isteri (pria dan wanita). Kue patung pria diletakkan di buritan
perahu menghadap ke arah depan layaknya orang sedang mendayung sedangkan patung
wanita ditempatkan di bagian tengah perahu.
Upacara manaradak adalah
upacara tahunan suku Banjar Pahuluan yang dilaksanakan di Desa Balai Amas
setiap bulan Oktober dalam penanggalan Masehi. Puncak upacara adalah hari Ahad
atau hari Minggu yang bertepatan dengan naik
bulan, yaitu ketika bulan mulai membesar hingga menjadi purnama pada malam
Ahad tersebut. Pemilihan waktu ketika naik
bulan ini didasarkan pada pemikiran bahwa hasil panen dapat bertambah
seperti halnya dengan bulan yang dari hari ke hari semakin bertambah besar.
Adapun hari Ahad dianggap baik
karena diyakini tidak mengandung banahas ganal, yakni segala sesuatu yang
dapat mendatangkan gangguan besar dan kemalangan (kesialan). Oleh karena itu,
upacara puncak manaradak selalu dilaksanakan pada Ahad pagi sebelum
matahari naik, yakni sekitar pukul 08.00 atau pukul 09.00. Hal ini dimaksudkan
agar upacara tersebut berjalan lancar dan benih padi yang ditanam dapat selamat
hingga masa panen.
Penyelenggaraan upacara manaradak
dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Masjid Lama dan di Balai
Amas. Jenis upacara yang dilaksanakan di Masjid Lama adalah upacara selamatan
dengan melakukan shalat berjamaah seperti shalat Maghrib, shalat Hajat, dan
shalat Isya serta acara selamatan nasi lakatan (ketan).
Adapun jenis upacara yang
dilaksanakan di Balai Mas adalah upacara puncak yang terdiri dari beberapa
rangkaian acara seperti penyembelihan kerbau, penanaman benih padi secara
simbolis, penyerahan berbagai jenis sesaji, pementasan kesenian, dan berbagai
permainan rakyat tradisional. Meskipun berada di tempat yang berbeda, kedua
lokasi tersebut masih termasuk ke dalam wilayah Desa Balai Amas, Kecamatan
Simpur.
Secara teknis, pelaksanaan
upacara ini dipimpin oleh dua golongan, yaitu golongan agamawan dan golongan
adat. Pemimpin upacara dari golongan agamawan adalah seorang imam atau orang
yang dianggap cukup memiliki pengetahuan agama Islam. Tugasnya adalah memimpin
shalat berjamaah dan pembacaan do’a selamatan di Masjid Lama maupun di Balai
Amas serta menyembelih kerbau persembahan.
Sementara itu, pemimpin upacara
dari golongan adat adalah orang yang dianggap mengetahui seluk-beluk upacara
tersebut. Tugasnya adalah membakar kemenyan, membuat lubang di tanah untuk
tempat benih padi, dan memimpin penyelenggaraan seni dan berbagai permainan
rakyat tradisional yang dilaksanakan di sekitar di Balai Amas.
Upacara manadarak diikuti
oleh penduduk Desa Balai Amas dan penduduk Desa Baidar dan Tungkaran. Sebagai
pemimpin desa, Kepala Desa Balai Amas bertugas mengurus izin dan keamanaan
upacara. Kaum laki-laki bertugas menyiapkan segala peralatan dan tempat-tempat
pelaksanaan upacara. Sementara itu, kaum ibu-ibu bertugas menyiapkan berbagai
sesaji yang akan dipersembahkan dalam upacara tersebut.
Seluruh peserta upacara
bergotong-royong sebelum upacara manaradak dimulai untuk menyiapkan
segala macam peralatan dan perlengkapan upacara. Kaum laki-laki mempersiapkan
semua peralatan yang diperlukan dan tempat-tempat pelaksanaan upacara.
Sementara itu, kaum ibu-ibu menyiapkan berbagai sesaji seperti daging kerbau
dan kue-kue tradisional. Para warga dari Desa Baidar dan Tungkaran yang turut
serta dalam upacara ini juga sibuk menyiapkan paparahuan dengan segala
isinya untuk diarak ke Balai Amas. Setelah semua peralatan dan
perlengkapan disiapkan, upacara manaradak dapat dimulai.
Pelaksanaan upacara manaradak
ditandai oleh dua kegiatan penting, yaitu upacara selamatan di Masjid Lama dan
upacara puncak di Balai Amas. Adapun proses pelaksanaan kedua kegiatan tersebut
adalah sebagai berikut.
Penduduk Desa Balai Amas mulai
memadati Majid Lama pada malam menjelang puncak upacara manaradak, yakni
sekitar pukul 18.30, untuk melakukan upacara selamatan dan melakukan shalat Maghrib,
kemudian dilanjutkan dengan shalat Hajat dan shalat Isya berjamaah yang
dipimpin oleh seorang Imam.
Shalat Hajat dilakukan dengan
maksud untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar padi yang akan mereka
tanam pada keesokan harinya terhindar dari penyakit atau gangguan hama sehingga
dapat tumbuh subur. Selain itu, mereka juga memohon keselamatan agar tidak
tertimpa gangguan selama mengerjakan lahan pertanian.
Acara ditutup dengan pembacaan do’a
selamat yang dipimpin oleh Imam di hadapan sesaji yang berupa lakatan
atau nasi ketan yang dibawa dari rumah masing-masing. Sesaji tersebut kemudian
dimakan bersama-sama oleh jamaah setelah pembacaan do’a selesai.
Upacara puncak manaradak
dimulai dengan penyembelihan hewan persembahan berupa kerbau, kambing atau
ayam. Penyembelihan ini dilakukan di sekitar Balai Amas. Acara penyembelihan
hewan ini dilakukan setelah upacara selamatan di Masjid Lama selesai, yaitu
sekitar pukul 02.00 atau pukul 03.00.
Jenis kerbau yang paling baik
disembelih untuk persembahan adalah kerbau jantan yang umurnya berkisar antara
2 sampai 3 tahun, bersih, dan tidak memiliki cacat fisik. Meski demikian, tidak
ada aturan yang melarang untuk menyembelih kerbau betina. Hanya saja, akan
lebih baik jika kerbau jantan yang dijadikan sebagai hewan persembahan.
Penyembelihan kerbau jarang
dilakukan, bahkan hingga saat ini, karena semakin mahalnya harga kerbau dan
sebagai gantinya hewan yang disembelih adalah kambing jantan atau ayam jantan
yang berwana putih atau hitam. Setelah disembelih, hewan persembahan tersebut diparapah
atau dipanggang dan kemudian dimasak.
Sementara itu, darah hewan
persembahan tersebut dipepes untuk dipersembahkan kepada Datu Ulin. Pepes darah
hewan ini merupakan simbol pengganti darah manusia agar ketika para petani kada
kapuhunan atau tidak mendapat kecelakaan atau terluka selama bekerja di
sawah.
Seluruh peralatan dan
perlengkapan yang telah disiapkan kemudian dibawa ke Balai Amas untuk
diletakkan di tempat khusus. Setelah paparahuan dari Desa Baidar dan
Tungkaran serta seluruh pengiring dan pembawanya tiba di lokasi, upacara puncak
manaradak segera dimulai. Pemimpin upacara dari golongan adat mulai
membakar mayan atau kemenyan, lalu pemuka agama membacakan do’a.
Sementara itu, peserta upacara lainnya duduk mengelilingi Balai Amas. Setelah
pembacaan do’a, saat yang dinanti-nantikan oleh para peserta upacara pun tiba,
yaitu berebut kue-kue tradisional dan sesaji.
Acara dilanjutkan dengan karasmin
atau keramaian. Dalam upacara keramaian ini, dipentaskan berbagai kesenian dan
permainan rakyat tradisional di lapangan khusus di sekitar Balai Amas. Berbagai
keramaian yang mengiringi upacara manaradak tersebut di antaranya
adalah: Basaung hayam atau sabung ayam dengan taruhan kue cucur laki basipak
atau sepak raga. Bagasing atau bermain gasing. Balogo atau
permainan rakyat untuk anak-anak dengan menggunakan logo.
Kemudian ada Basingki atau
sejenis permainan rakyat dengan memukul potongan bambu atau yang disebut
dengan singkup. Bakalikir atau bermain kelereng. Bahahantuan,
yaitu permainan tradisional khas di daerah tersebut. Banaga, yaitu kue
ekor naga yang dibuat dan kemudian dipasang di dekat Balai Amas. Basisingaan,
yaitu kue berbentuk singa yang dipasang di dekat Balai Amas.
Jenis-jenis permainan rakyat
tradisional tersebut merupakan jenis permainan tradisional yang pernah
dilakukan oleh nenek moyang masyarakat setempat pada zaman dahulu. Oleh karena
itu, tujuan pelaksanaan upacara karasmin atau keramaian ini hanya untuk
menghormati atau mengingatkan kembali tentang pekerjaan atau kesenangan leluhur
mereka yang dipersonifikasikan kepada Datu Ulin, yaitu orang yang sangat
berpengaruh dan disegani di desa tersebut pada masa lalu.
Tahap berikutnya adalah acara
inti, yakni upacara manaradak atau memulai penanaman benih padi. Dua
pelaksana teknis yang telah ditunjuk mulai melaksanakan tugasnya masing-masing.
Salah seorang di antaranya membuat tujuh buah lubang di tanah dengan memakai halu
sedangkan seorang yang lainnya mengisi benih padi pada ketujuh lubang tersebut.
Penunjukan kedua pelaksana teknis tersebut tidak dilakukan secara sembarangan.
Ada aturan tertentu yang harus dipatuhi, yaitu nama keduanya harus sesuai
dengan perhitungan tahun yang dipercayai oleh penduduk setempat.
Suku Banjar Pahuluan mengenal
istilah tahun windu, yaitu sistem kalender yang disesuaikan dengan
penanggalan Jawa. Windu adalah istilah untuk selang waktu delapan tahun.
Artinya, satu windu terdiri dari
delapan tahun. Nama masing-masing penggal waktu diambil dari kosakata bahasa
Arab, yaitu Alif, Ha, Jim, Zai, Zal, Ba, Wau, dan Dal. Nama-nama
tahun inilah yang menjadi dasar pemilihan kedua pelaksana teknis tersebut.
Orang yang ditunjuk sebagai
pembuat lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya sesuai dengan huruf
awal pada nama tahun (windu) ketika upacara manaradak dilaksanakan.
Sementara itu, orang yang ditunjuk untuk mengisikan benih ke dalam lubang
adalah orang yang huruf awal pada namanya sesuai dengan huruf awal pada nama
tahun windu berikutnya.
Sebagai contoh, jika seandainya
upacara manaradak dilaksanakan pada tahun Alif, maka orang yang
ditunjuk sebagai pembuat lubang adalah orang yang huruf awal pada namanya
adalah “A”, misalnya Ali, Abu, Ahmad, dan sebagainya. Dengan demikian, orang
yang harus mengisikan benih ke dalam lubang adalah orang yang huruf awal pada
namanya adalah “H”, misalnya Harun, Husin, Hasbullah, Hamsi, dan sebagainya.
Jumlah lubang juga memiliki makna
tersendiri. Angka tujuh diasosiasikan dengan bintang karantika yang
berjumlah tujuh buah yang sering tampak di langit. Hal ini sebagai lambang
pengharapan masyarakat setempat agar benih padi yang mereka tanam tidak rusak
seperti halnya bintang karantika yang selalu utuh sepanjang zaman.
Beberapa jenis tanaman lainnya
juga ditanam bersamaan dengan penanaman benih tersebut, misalnya serumpun pohon
sarai (serai), janar (kunir/kunyit), dan kaminting
(kemiri) di lokasi atau tempat upacara. Tidak mengherankan jika di lokasi
tersebut banyak tumbuh pohon kemiri -- bahkan ada yang sudah berumur puluhan
tahun.
Benih padi bersama tanaman kunyit, serai, dan kemiri yang pada puncak Upacara manaradak sudah mulai tumbuh. Tahap penanaman padi adalah tahap terakhir dalam rangkaian upacara manaradak. Setelah tahap ini selesai, maka proses berikutnya adalah penanaman benih padi di lahan pertanian masing-masing petani yang sebelumnya telah disiapkan.
Do’a yang dilantunkan dalam
upacara manaradak dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepada
Datu Ulin. Permohonan do’a yang disampaikan melalui shalat Hajat ini adalah
permohonan keselamatan dan permohonan agar padi mereka dapat tumbuh subur.
Sementera itu, permohonan do’a kepada Datu Ulin yang disampaikan pada acara
puncak di Balai Amas dimaksudkan agar Datu Ulin tidak mengganggu mereka ketika
mereka sedang melaksanakan berbagai aktivitas sehari-hari.
Karena pembacaan do’a tersebut
dipimpin oleh golongan agamawan atau seorang Imam, tentu saja do’a-do’a yang
digunakan adalah doa-doa yang bernafaskan Islam. Hanya saja, buku yang menjadi
rujukan utama tulisan ini tidak menyembutkan secara rinci jenis-jenis do’a
tersebut.
Upacara manaradak tidak
boleh dilaksanakan selain dari hari Ahad atau Minggu. Hari Senin dan Selasa
paling dilarang keras karena dianggap paling banyak mengandung banahas
ganal.
Tidak boleh tatumbuk umbayang
atau menumbuk bayangan sendiri ketika membuat lubang yang akan ditanami benih
padi. Oleh sebab itulah upacara manaradak harus dilaksanakan pada waktu
pagi, yaitu antara pukul 09.00 sampai pukul 10.00 dan si pembuat lubang harus
menghadap ke arah matahari.
Tidak diperbolehkan ada orang yang
bananaikan atau memanjat pohon dan sebagainya pada saat manaradak
berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan dalam pelaksanaan
upacara.
Para peserta diharapkan tidak babantah
atau tidak bertengkar pada saat upacara berlangsung karena salah satu tujuan
dilaksanakannya upacara ini adalah untuk menjaga kerukunan antarsesama warga.
Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat berhasil dengan baik dan
permintaan mereka dapat dikabulkan.
Nilai sakral. Upacara manaradak
merupakan rangkaian kegiatan yang bersifat sakral di mana pelaksanaannya
mempunyai syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta upacara.
Wujud kesakralan upacara ini juga terlihat pada penggunaan berbagai jenis
sesaji yang akan dipersembahkan kepada leluhur, pembacaan do’a-do’a, dan
pelaksanaan upacara yang dilakukan di tempat-tempat keramat.
Nilai religius. Proses
pelaksanaan upacara ini dipenuhi oleh nuansa-nuansa religius. Hal ini terlihat
dalam pelaksanaan shalat berjamaah yang dipimpin oleh seorang Imam di Masjid
Lama.
Nilai gotong-royong. Hal ini
terlihat pada keterlibatan berbagai pihak dalam upacara tersebut. Mereka saling
membantu dalam menyiapkan segala peralatan dan perlengkapan upacara yang
diperlukan, seperti menyiapkan tempat dan berbagai sesaji demi kelancaran
upacara.
Nilai kebersamaan. Wujud
kebersamaan ini tampak ketika para peserta berkumpul di suatu tempat untuk
melakukan upacara dan berdo’a bersama demi keselamatan bersama. Kebersamaan ini
muncul karena kesadaran masyarakat setempat sebagai komunitas yang merasa
memiliki wilayah, adat-istiadat, dan budaya yang sama untuk dikembangkan secara
bersama-sama.
Nilai pelestarian budaya. Nilai
ini tercermin pada penyelenggaraan berbagai permainan rakyat tradisional dalam
upacara tersebut yang merupakan wujud penghormatan dan pelestarian budaya nenek
moyang.
Upacara manaradak
merupakan salah satu ekspresi budaya suku Banjar Pahuluan yang harus
diapresiasi karena dapat memberikan nilai kegunaan, terutama bagi masyarakat
pendukungnya. Dengan semangat kegotong-royongan, kebersamaan, dan kesadaran
untuk melestarikan nilai-nilai budaya, hubungan sosial kemasyarakatan dapat
terjaga dengan baik.
Hal yang jauh lebih penting
daripada itu adalah bahwa keberadaan upacara manaradak ini
merupakan salah satu upaya masyarakat pendukungnya untuk mempertahankan
eksistensi kebudayaan mereka.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar