Selasa, 26 Januari 2016

Ingin Pejabat Sering ke Meratus

Rabu, 27 Januari 2016



Galimun
 
Tubuhnya bungkuk. Kalau berbicara sering terbatuk-batuk. Sebilah parang panjang selalu terselip dipinggangnya. Itulah penampilan Galimun, yang tinggal di pelosok desa, Balai Macatur, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

Galimun bukanlah orang tenar. Sekolah tidak pernah, hingga baca tulispun dia tak bisa. Namun, pengalaman hidup sebagai pejuang di zaman penjajahan serta keteguhannya memegang adat, membuat dia disegani banyak orang. Tak hanya di lingkungan sendiri, banyak orang luar yang segan dan menghormati dia.

Di masyarakat adat Dayak Meratus, HST, dia adalah tokoh adat yang bersahaja dan diyakini memiliki kelebihan supranatural. Masyarakat pun menasbihkan dia sebagai Ketua Dewan Adat serta Kepala Adat Kundan, Haruyan Dayak yang membawahi 27 balai.

Senin (18/01/2016), Galimun yang gigih melawan berbagai upaya untuk merusak adat dan lingkungan Meratus itu, berpulang. Rasa kehilangan dan ungkapan duka cita untuk kepergian pria yang disebut-sebut berusia 124 tahun itu langsung mengalir deras, termasuk melalui dunia maya.

Salah satunya dari Komunitas Barito Mania Barabai. “Selamat jalan Kai Galimun. Pian banyak melahirkan cerita-cerita kesaktian Dayak Meratus. Juga peduli dengan kehijauan Meratus,” tulis mereka di akun facebook.

Demikian pula Orpala Garimbas, salah satu organisasi pencinta alam. “Beliau tokoh adat yang disegani tak hanya dikalangan masyarakat adat HST, tapi juga di masyarakat Dayak Meratus Kalsel,” tulis anggota Garimbas, Dayat.

Kepastian meninggalnya Galimun diungkapkan seorang cucunya, Muliadi, Selasa (19/01/2016). Menurut dia, sang kakek menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 22.00 WITA saat memimpin ritual Aruh Adat di Balai Kumuh, Haruyan Dayak, Hantakan, HST. “Tiba-tiba saja Kai (Kakek) roboh lalu meninggal,” kata Muliadi.

Meskipun sering sakit karena usia lanjut, Galimun masih kuat melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. “Terakhir, saya bertemu dengan Kai, seminggu lalu di Pasar Kundan. Saat itu Kai minta uang buat beli rokok,” ucap Muliadi.

Menurut dia, banyak saudara dan kerabat yang terlambat mendapat kabar duka itu. “Jaringan komuniksi seluler tidak ada sehingga banyak saudara dan kerabat yang terlambat mendapat informasi meninggalnya Kai. Jalan menuju kesana juga beresiko karena beberapa hari terakhir hujan. Sangat licin dan banyak tanjakan ekstrem,” ujar dia.

Sementara, Koordinator Bartman Barabai, Iroy malam tadi menginformasikan, jenazah Galimun sudah dimakamkan di Halalangin, Selasa sore. Sesuai tradisi, prosesi pemakaman seorang tokoh adat Dayak dilakukan dengan iringan gendang dari rumah sampai lokasi pemakaman.

“Informasi yang kami terima, Kai meninggal saat Aruh Sambu Umang (ritual adat tolak bala agar tanaman tidak rusak dan diganggu binatang). Katanya, Kai turun dari rumah balai untuk buang air kecil. Namun, tidak beberapa lama ditemukan dalam kondisi kepala berdarah,” kata Iroy.

Beberapa waktu lalu, BPost pernah berbincang secara khusus dengan Galimun. Pertemuan dilakukan di Kantor Kecamatan Hantakan yang ditemui dia dengan jalan kaki dari rumah selama lima jam. Namun, pria itu menegaskan tidak lelah. “Saya baru merasa lelah ketika kaki saya tak bisa melangkah lagi. Saya juga baru merasa sakit jika tubuh tak bisa bangkit dari tidur. Selama masih bisa bangun kemudian berjalan, saya merasa sehat,” kata dia saat itu.

Diakui pria perkasa ini, yang menyerang dirinya hanyalah batuk. Maklum, Galimun termasuk pecandu rokok. Sehari, sedikitnya dua bungkus rokok dia isap. “Saya sudah mencoba berhenti merokok. Sudah kecanduan, tidak bisa berhenti,” katanya.

Pada pertemuan itu, Galimun mengungkapkan harapannya agar para pejabat mengunjungi balai-balai adat agar merasakan sulitnya akses jalan disana. Selain itu bisa mengetahui masih minimnya fasilitas pendidikan dan sarana kesehatan untuk warga. Salah satu perjuangan Galimun untuk mempertahankan hutan Meratus terjadi pada tahun 1999 silam.

Saat itu pemerintah berniat mengalihfungsikan Meratus. “Saya juga tidak setuju terhadap status hutan lindung di pemukiman masyarakat adat. Masyarakat yang sudah bermukim sejak zaman nenek moyang, tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan sekedar mengambil kayu untuk kebutuhan hidup juga dianggap pelanggaran,” tegas Galimun.

Ditegasan dia, masyarakat adat Dayak Meratus adalah keluarga yang baik. “Kalau diperlakukan secara baik, kami pasti membantu pemerintah. Tetapi jika disakiti, kami akan melawan. Kami jangan hanya didekati ketika ada kepentingan,” ucapnya. Selamat jalan Galimun….. (hanani)

Sumber : SKH Banjarmasin Post (Edisi Rabu, 20 Januari 2016 Halaman 1 dan 14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...