Galimun
Tubuhnya bungkuk. Kalau berbicara sering
terbatuk-batuk. Sebilah parang panjang selalu terselip dipinggangnya. Itulah
penampilan Galimun, yang tinggal di pelosok desa, Balai Macatur, Kecamatan
Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.
Galimun bukanlah orang tenar. Sekolah
tidak pernah, hingga baca tulispun dia tak bisa. Namun, pengalaman hidup
sebagai pejuang di zaman penjajahan serta keteguhannya memegang adat, membuat
dia disegani banyak orang. Tak hanya di lingkungan sendiri, banyak orang luar
yang segan dan menghormati dia.
Di masyarakat adat Dayak Meratus, HST,
dia adalah tokoh adat yang bersahaja dan diyakini memiliki kelebihan supranatural.
Masyarakat pun menasbihkan dia sebagai Ketua Dewan Adat serta Kepala Adat Kundan,
Haruyan Dayak yang membawahi 27 balai.
Senin (18/01/2016), Galimun yang gigih
melawan berbagai upaya untuk merusak adat dan lingkungan Meratus itu,
berpulang. Rasa kehilangan dan ungkapan duka cita untuk kepergian pria yang disebut-sebut
berusia 124 tahun itu langsung mengalir deras, termasuk melalui dunia maya.
Salah satunya dari Komunitas Barito
Mania Barabai. “Selamat jalan Kai Galimun. Pian banyak melahirkan cerita-cerita
kesaktian Dayak Meratus. Juga peduli dengan kehijauan Meratus,” tulis mereka di
akun facebook.
Demikian pula Orpala Garimbas, salah
satu organisasi pencinta alam. “Beliau tokoh adat yang disegani tak hanya dikalangan
masyarakat adat HST, tapi juga di masyarakat Dayak Meratus Kalsel,” tulis
anggota Garimbas, Dayat.
Kepastian meninggalnya Galimun
diungkapkan seorang cucunya, Muliadi, Selasa (19/01/2016). Menurut dia, sang kakek
menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 22.00 WITA saat memimpin ritual Aruh
Adat di Balai Kumuh, Haruyan Dayak, Hantakan, HST. “Tiba-tiba saja Kai (Kakek)
roboh lalu meninggal,” kata Muliadi.
Meskipun sering sakit karena usia
lanjut, Galimun masih kuat melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. “Terakhir,
saya bertemu dengan Kai, seminggu lalu di Pasar Kundan. Saat itu Kai minta uang
buat beli rokok,” ucap Muliadi.
Menurut dia, banyak saudara dan kerabat
yang terlambat mendapat kabar duka itu. “Jaringan komuniksi seluler tidak ada
sehingga banyak saudara dan kerabat yang terlambat mendapat informasi
meninggalnya Kai. Jalan menuju kesana juga beresiko karena beberapa hari
terakhir hujan. Sangat licin dan banyak tanjakan ekstrem,” ujar dia.
Sementara, Koordinator Bartman Barabai,
Iroy malam tadi menginformasikan, jenazah Galimun sudah dimakamkan di
Halalangin, Selasa sore. Sesuai tradisi, prosesi pemakaman seorang tokoh adat
Dayak dilakukan dengan iringan gendang dari rumah sampai lokasi pemakaman.
“Informasi yang kami terima, Kai
meninggal saat Aruh Sambu Umang (ritual adat tolak bala agar tanaman tidak
rusak dan diganggu binatang). Katanya, Kai turun dari rumah balai untuk buang
air kecil. Namun, tidak beberapa lama ditemukan dalam kondisi kepala berdarah,”
kata Iroy.
Beberapa waktu lalu, BPost pernah
berbincang secara khusus dengan Galimun. Pertemuan dilakukan di Kantor
Kecamatan Hantakan yang ditemui dia dengan jalan kaki dari rumah selama lima
jam. Namun, pria itu menegaskan tidak lelah. “Saya baru merasa lelah ketika
kaki saya tak bisa melangkah lagi. Saya juga baru merasa sakit jika tubuh tak bisa
bangkit dari tidur. Selama masih bisa bangun kemudian berjalan, saya merasa
sehat,” kata dia saat itu.
Diakui pria perkasa ini, yang menyerang
dirinya hanyalah batuk. Maklum, Galimun termasuk pecandu rokok. Sehari, sedikitnya
dua bungkus rokok dia isap. “Saya sudah mencoba berhenti merokok. Sudah
kecanduan, tidak bisa berhenti,” katanya.
Pada pertemuan itu, Galimun mengungkapkan
harapannya agar para pejabat mengunjungi balai-balai adat agar merasakan
sulitnya akses jalan disana. Selain itu bisa mengetahui masih minimnya fasilitas
pendidikan dan sarana kesehatan untuk warga. Salah satu perjuangan Galimun
untuk mempertahankan hutan Meratus terjadi pada tahun 1999 silam.
Saat itu pemerintah berniat mengalihfungsikan
Meratus. “Saya juga tidak setuju terhadap status hutan lindung di pemukiman
masyarakat adat. Masyarakat yang sudah bermukim sejak zaman nenek moyang, tidak
bisa melakukan apa-apa. Bahkan sekedar mengambil kayu untuk kebutuhan hidup
juga dianggap pelanggaran,” tegas Galimun.
Ditegasan dia, masyarakat adat Dayak
Meratus adalah keluarga yang baik. “Kalau diperlakukan secara baik, kami pasti
membantu pemerintah. Tetapi jika disakiti, kami akan melawan. Kami jangan hanya
didekati ketika ada kepentingan,” ucapnya. Selamat jalan Galimun….. (hanani)
Sumber
: SKH Banjarmasin Post (Edisi Rabu, 20 Januari 2016 Halaman 1 dan 14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar