Senin, 5 Oktober 2020
Oleh : Akhmad Husaini
Harapan-harapan indah yang dibawa dari Banjarmasin itu sekarang membuat Dugal sangat terpukul tatkala menemui Ipah, sehari sesudah beristirahat bersama ibu dan adik-adiknya. Ipah selalu menutup diri. Ia terus menghindar jika Dugal mendatangi rumahnya. Mengapa? Apakah betul Ipah telah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain?
Malam itu di Kandangan, adik-adik Dugal sudah tidur sejak lepas Isya. Ibunya sedang menjahit baju Dugal yang robek diketiaknya. Dugal tiduran di dipan sebelahnya. Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, ia jarang bicara apalagi bercanda. Hal itu cukup menyiksa ibu dan ketiga adiknya. Padahal sebelum ke Banjarmasin, Dugal sangat akrab dengan mereka.
Hari demi hari di rumah gubuk itu dilalui dengan gembira. Suara tertawa tidak pernah berhenti walaupun kadang-kadang makan cuma dua kali sehari. Ibu mungkin tidak tahu bahwa hati Dugal sedang terbelah. Ia malu, tidak dapat memenuhi harapan mereka.
Pulang dari merantau ke Banjarmasin ia tetap tidak mampu meringankan beban ibunya. Terutama untuk ikut membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan Dugal sempat mengambil upah memanen padi di Gambut. Namun pekerjaan tersebut waktunya temporer. Satu bulan bekerja, bulan berikutnya tidak ada lagi pekerjaan.
Kini Dugal terganggu oleh perubahan sikap Ipah. Bukankah tidak patut bagi seorang anak, sebelum sanggup berdikari dan membalas bakti kepada orangtua sudah memikirkan soal cinta ?
Namun apapula yang mesti dilakukan apabila perasaan itu datang tanpa diundang.
" Gal, kamu kok murung saja. Ada kesulitan apa Gal ?" tanya ibunya seraya menyusupkan benang terakhir di baju robek itu.
Dugal tidak menjawab. Ia bangkit dan duduk berjuntai di pinggiran dipan.
" Ah nggak apa-apa Bu. Biasa saja," kilah Dugal akhirnya.
" Lho. Aku kan ibumu. Katakan terus terang apa masalahnya ?" desak ibu.
" Soal Ipah ? "
Dugal terperangah. Ia mau menjawab bukan namun mulutnya terasa terkunci. Ingin menggeleng tapi ternyata mengangguk.
" Begini Gal. Ibu telah berbuat lancang. Mendahului rencanamu," ujar ibu sambil meletakkan dan melipat baju Dugal di lemari tua.
" Lancang bagaimana ? " Dugal deg-degan.
" Ibu telah mendatangi Acil Bayah, mamanya Ipah. Tadi siang."
" Ha ? " Dugal terbelalak. Pasti ibunya meminta agar Ipah jangan terus mengganggunya. Padahal Ipah tidak pernah mengganggunya. Justru Dugal lah yang sering menggodanya, yang menginginkan dia.
" Ibu katakan terus terang bahwa engkau mencintai Ipah dan aku melamar Ipah untuk jadi isterimu," ucap ibu hampir tidak tertelan oleh pendengaran Dugal. Suaranya yang cukup keras bagi Dugal terlalu pelan.
Mata Dugal berputar-putar, bukan kepalanya yang tujuh keliling sebagai mana dirasakannya sejak beberapa waktu lalu.
Dugal berbunga-bunga hingga tak mampu mengemukakan sesuatu kecuali lenguhan "ah ibu".
" Bagaimana pendapat mama Ipah ?" tanya Dugal berdebar.
Ibu Dugal tidak langsung menjawab. Ia mengitar dulu.
" Apa engkau yakin Ipah mencintaimu ? "
Dugal terhentak bingung. Benar juga. Mengapa ia menanyakan pendapat mamanya, Acil Bayah? Mengapa ia tidak menanyakan pendapat Ipah sendiri.
" Saya menyangka begitu Bu," jawab Dugal diliputi dengan kebimbangan. Bu Dugal menatap anaknya. Ada cahaya memelas terpancar dari pandangannya. Iba.
" Soal mamanya sudah beres Gal. Acil Bayah gembira sekali engkau bermaksud memperisteri anak gadisnya."
" Alhmbdulillah," Dugal terhenyak senang di tempatnya.
" Tapi urusan belum selesai," potong ibunya, menebang kebahagiaan Dugal.
" Urusan apa Bu ?" gumam Dugal gemetar.
" Besok pagi engkau ditunggu Acil Bayah untuk bicara empat mata."
Ditunggu Acil Bayah ? Mengapa bukannya ditunggu Ipah ? Mengapa yang minta bicara empat mata ibunya ? Ada persoalan apa ? Aneh. Ketika dengan sudah susah payah jam-jam pada hari itu dilewatinya dalam tidur serba gelisah. Pagi sekali jauh sebelum Subuh ia sudah bangun tidur dan i'tikaf di Langgar Al Kautsar.
Pahaji Atur bahkan baru datang setengah jam kemudian. Padahal biasanya Pahaji Atur yang berada di langgar pertama kali.
Dugal mencegat Pahaji Atur menjelang Amang Lakum tiba untuk membuka pintu langgar, menghampar sajadah di paimaman, kemudian mengumandangkan adzan Subuh.
" Pahaji, saya memohon restu pian," ucap Dugal setengah berbisik sebab tak kuat menahan kelembaban hatinya memikirkan bagaimana bakal dihadapinya nanti apabila berjumpa dengan Acil Bayah, mamanya Ipah.
" Untuk apa nak Dugal ? " tanya Pahaji Atur dalam pandangan Dugal wajahnya makin bersinar dalam usianya yang kian lanjut.
" Saya ingin mengawini Ipah Pahaji, " ujar Dugal takut-takut. Sejelek-jelek dirinya ia adalah murid Pahaji Atur dimasa kecilnya. Dugal masih ingat waktu duduk dibangku SD dengan teman-temannya se kampung belajar mengaji pada Pahaji Atur setiap hari usai shalat Maghrib. Karena beliaulah, Dugal dan kawan-kawannya bisa mengaji.
Dugal khawatir Pahaji Atur akan merintangi niatnya. Sebab Acil Bayah dulu adalah bekas panjapinan. Sementara Ipah didesas - desuskan sebagai anak jadah.
" Alhamdulillah, " ternyata Pahaji Atur berwajah terang mendengar niat suci itu.
" Tapi mama Ipah bekas panjapinan. Kabarnya Ipah anak tidak Pahaji," sanggah Dugal, takut Pahaji Atur Alhamdulillah-nya basa-basi.
Pahaji Atur menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.
" Gal, panjapinan itukan pekerjaannya. Tidak ada hubungannya dengan kelakuan atau buruknya seseorang. Sedangkan kabar tentang Ipah anak tidak sah itukan cuma kabar angin saja. Kalaupun benar dosa itu tidak sepatutnya menjadi beban si anak. Karena anak dilahirkan dari pernikahan atau perzinahan, tetap suci Gal. Yang bertanggung jawab adalah orangtuanya. "
Kini Dugal lah yang menggumamkan Alhamdulillah dibibir dan hatinya. Dengan hati besar, pukul delapan pagi Dugal sudah duduk di rumah Ipah, menanti Acil Bayah yang sedang tanggung menggoreng karupuk bamban. Ipah tidak muncul sama sekali.
Beberapa saat dilanda tanda tanya dan kecemasan sendirian Dugal sempat berjanji, apapun yang diminta Acil Bayah ia akan bersedia meluluskannya asalkan boleh mengawini Ipah.
" Maaf ya Gal, kamu terpaksa menunggu agak lama," ucap Acil Bayah setelah duduk menemui Dugal.
" Ah tidak apa-apa," jawab Dugal setengah menunduk.
" Begini Gal. Apa tekadmu sudah bulat hendak menikahi Ipah ?" tanya Acil Bayah langsung memasuki persoalan pokok.
" Dari dulu saya mencintai Ipah," ujar Dugal pasti.
" Aku senang Gal. Tapi Ipah sedang dilanda kebingungan. Ia bimbang hendak menerima lamaranmu."
Geledek menyambar Dugal ditelinganya. Gempa menindih Dugal didadanya.
" Mengapa Bu ? Apakah Ipah sudah punya pilihan lain ?"
Acil Bayah tersenyum. " Tidak Gal. Ia mengaku sebetulnya sangat mencintaimu."
Geledek berlalu. Gempa menyurut. Cuma angin sepoi belum bertiup. Dugal bertanya ragu-ragu. " Jadi apa keberatannya Bu ?"
Acil Bayah memandang ke langit-langit yang atapnya terbuat dari daun rumbia dan mulai tiris bila hujan turun karena sudah tiga tahun belum diganti. Semenjak berhenti jadi panjapinan tambahan lagi setelah menjanda, Acil Bayah hampir tak bisa memberi makan cukup buat anak satu-satunya, Latifah.
Sesudah mengumpulkan keberaniannya, Acil Bayah lalu berkata, " Ipah merasa telah mengkhianatimu selama di Banjarmasin. Ia tergoda oleh pemuda asal Birayang bernama Gabau. Tubuhnya telah dinikmati pemuda itu, meskipun untungnya ia tetap tak mau menyerahkan kehormatannya. Apakah engkau tidak keberatan menerima Ipah dalam keadaan seperti itu ? "
Diam. Itulah yang terjadi saat itu. Dugal diam. Acil Bayah diam. Barangkali Ipah di dalam biliknya pun diam. Bahkan daun kalangkala disamping rumah ikut diam. Kemudian mata Dugal membasah. Nafasnya tersengal-sengal, betapapun ia berusaha menekan kegalauan hatinya. Namun akhirnya ia memaksa diri untuk menjawab. " Lebih dari itupun takkan menggagalkan tekad saya Bu. Saya tetap mencintainya."
Pilar itupun roboh. Pilar ketegangan. Mendung itupun sirna. Mendung ketakutan. Matahari itupun makin benderang. Matahari kecerahan. Ipah tiba-tiba keluar dari dalam biliknya dan menjatuhkan diri dimuka lutut Dugal.
" Maafkan saya, Kak."
Atas persetujuan kedua belah pihak, hari perkawinan ditentukan dua bulan lagi. Oh alangkah indahnya dari detik setelah itu. Dugal dan Ipah menyatu kembali dalam cinta yang tulus.
Angkinang Selatan, September – Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar