![]() |
Agusdin |
Oleh
: Lukas Adi Prasetya
Kota Balikpapan, Kalimantan Timur,
beruntung punya Hutan Lindung Sungai Wain seluas hampir 10.000 hektar. Namun,
banyak orang yang mengincar kayu dan satwa di hutan itu. Setiap saat, api juga bisa
menghanguskan paru-paru wilayah kota itu. Agusdin (45) jungkir balik menghadapi
semuanya.
Agusdin adalah Wakil Manajer Pengelola
Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) Balikpapan. Saat ditemui Kompas di
kantornya di Balikpapan, pertengahan Juli lalu, dia menunjukkan sebuah kotak
karton berisi 15 benda bulat seukuran bola pingpong yang biasa disebut
"bom babi".
"Ini bom rakitan sederhana.
Berbahaya jika sampai termakan binatang. Tujuan sebenarnya mematikan babi
hutan, tapi semua binatang terancam," ujarnya.
Dia ambil lagi satu kantong berisi
setumpuk tali nilon untuk menjerat binatang. Itu hanya contoh dari total 205
tali nilon yang dia temukan. Semua itu hasil "buruan" Agusdin bersama
timnya saat keluar-masuk HLSW pada Januari-Juli lalu.
Saat berpatroli, Agusdin juga menemukan
lima bangkai binatang, yaitu babi hutan, ayam hutan, rusa sambar, landak, dan
kijang kuning. Ada pula tiga tempat intai satwa, berupa papan-papan kayu, di
atas pohon, yang hanya berjarak 300 meter dari tepi hutan.
Agusdin masih kerap mendengar dentuman
bom babi. Satu dentuman bisa berarti satu satwa mati. Namun, karena hutan itu
luas, sulit melacak sumber suara bom tersebut.
HLSW kaya keanekaragaman fauna, termasuk
satwa dilindungi, seperti orangutan, beruang madu, macan dahan, bekantan, dan
rusa sambar. Berstatus sebagai hutan lindung, kawasan ini semestinya steril
dari perburuan. Namun, kenyataannya tidak.
Tanpa dijarah pun, HLSW sudah menghadapi
ancaman serius, yakni kebakaran. Tahun 1996-1997, kemarau berkepanjangan akibat
El Nino menghanguskan 6.000-an hektar atau 60 persen total areal hutan. Ini
adalah kebakaran terdahsyat hutan tersebut. Tahun 2015 lalu, 900 hektar kawasan
itu juga dilahap api.
Agusdin, yang memimpin Tim Serbu Api
dengan anggota para relawan, berjibaku di hutan. Setelah pemadaman, pekerjaan
belum usai karena lapisan batubara dalam tanah masih terbakar. Asap putih
terlihat dari sela-sela rekahan tanah. Titik asap itu bisa menjadi api
permukaan jika terpicu cuaca panas. Kondisi itu mesti dipantau setiap hari.
Asisten
peneliti
Hubungan Agusdin dengan HLSW berawal
tahun 1996 saat menjadi asisten peneliti di Tropenbos Indonesia, lembaga
nirlaba yang peduli hutan. Fokus waktu itu sebenarnya konservasi orangutan.
Selang setahun, kebakaran besar melanda
HLSW. Agusdin bersama relawan memadamkan api. Kemampuan lapangannya pun
terasah. Ia juga kian mengenal keunikan hutan ini, yaitu menyimpan lapisan
batubara di dalam tanah yang mudah terbakar. Sewaktu-waktu, bara itu bisa
membakar hutan.
Ancaman lain datang saat penjarah dan
pemburu memanfaatkan kebakaran sebagai akses masuk ke hutan. Mereka mengambil
apa saja yang bisa diuangkan, terutama kayu atau satwa. Agusdin nyaris setiap
hari masuk hutan untuk razia.
"Tapi, penjarah seperti datang dari
mana-mana. Gergaji mesin terdengar di sana-sini. Pemburu satwa sampai pencari
kayu gaharu seperti gantian saja masuk ke hutan," katanya.
Ia menyadari keterbatasannya untuk
memonitor HLSW yang memiliki panjang keliling hampir 50 kilometer. Dia pun
mulai memikirkan manajemen pemantauan kebakaran hutan. Saat itu, tahun 1998,
dia menjabat Koordinator Pemantauan HLSW di Tropenbos.
AGUSDIN
Lahir :
Balikpapan, 9 Februari 1971
Istri:
Nur Aisah (41)
Anak :
Putri Amanda (21) dan Ramadhana Septian
(12)
Penghargaan:
Warga Kota Balikpapan Berprestasi 2001
dalam Penyelamatan HLSW
Kaltim Post Award 2002
Kalpataru 2006 kategori Pengabdi
Lingkungan
Satyalencana Pembangunan Bidang
Lingkungan Hidup 2015
Tokoh Lingkungan Hidup Kaltim 2016
Pendidikan:
SD International Timber Corporation Indonesia
(ITCI) Balikpapan
SMP ITCI
SMA ITCI
Agusdin lantas membentuk Tim Serbu Api
dengan 30 anggota. Mereka dilatih untuk memadamkan api, menangani satwa,
membuat sekat bakar, hingga melakukan evakuasi. Sebagian anggota tim masih
bertahan hingga sekarang. Beberapa personel yang "pensiun" meneruskan
estafet kepada salah satu anggota keluarganya.
Ibarat komandan pasukan, Agusdin punya
tim yang loyal dan selalu siaga. "Mereka warga sekitar ini, bergabung atas
kesadaran sendiri. Semi relawan," ujarnya.
Puluhan titik api batubara setelah
kebakaran HLSW tahun 1996-1997 sudah dipadamkan Agusdin bersama timnya hingga
api terakhir tahun 2002. Di sisi lain, Pemerintah Kota Balikpapan mulai
menyusun Raperda Pengelolaan HLSW dan rencana pembentukan Badan Pengelola (BP)
HLSW.
Agusdin tetap melanjutkan
"ronda" untuk menghadang para penjarah mengangkut kayu. Dia mencoba
cara unik, yaitu memaku pohon-pohon dengan paku sepanjang 15-20 sentimeter.
Setelah menancap penuh ke pohon, kepala paku dipotong dan bekas-bekas lubangnya
ditutup silikon sehingga tidak kelihatan.
"Begitu kena paku itu, gergaji
mesin akan rusak. Biar mereka tahu rasa," ucapnya. Seingat dia, selama
2000-2001, lebih dari 500 pohon sudah dipaku.
Tahun 2002, terbentuk BP HLSW. Agusdin
bergabung di lembaga itu sebagai Koordinator Pengamanan dan Konservasi Kawasan,
lantas menjadi Koordinator Litbang dan Ekowisata Pendidikan Lingkungan Hidup.
Awal tahun 2016, kewenangan pengelolaan
HLSW dibagi dua. Areal hutan primer, termasuk areal bekas kebakaran, diserahkan
kepada Yayasan Pro Natura. Pengelolaan areal hutan seluas 1.400 hektar yang
telanjur beralih fungsi, dan sudah ditetapkan sebagai hutan kemasyarakatan,
berada di bawah kendali BP. Agusdin dipercaya sebagai Wakil Manajer Pengelola
HLSW Yayasan Pro Natura.
Agusdin getol menjaga hutan seperti
menjaga rumah sendiri. Hutan sudah menjadi rumah kedua baginya. Dengan semua
kerja keras tersebut, lelaki itu memperoleh beberapa penghargaan. Salah
satunya, Satyalencana Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup 2015.
Ancaman
Perjalanan Agusdin tak lepas dari
ancaman dan risiko. Juli lalu, misalnya, salah satu pos pengamanan HLSW hampir
terbakar. Itu terjadi beberapa hari setelah timnya menghentikan seorang warga
yang tengah mengangkut kayu.
Beberapa tahun lalu, Agusdin dan timnya
pernah bertemu seekor beruang madu (Helarctos malayanus) yang kukunya
tersangkut jerat nilon. Namun, tak mudah untuk melepaskan binatang itu dari
jeratan. Beruang berumur 5-6 tahun itu jauh lebih bertenaga ketimbang manusia.
Kukunya
pun sangat tajam
Agusdin minta timnya menyingkir sejenak
agar binatang itu tak terlalu panik. Salah satu anggota tim memancing perhatian
satwa itu dari depan, sementara dia mengambil posisi di belakang. Begitu dapat
kesempatan, dia cepat membekap beruang dari belakang dengan pelindung kain
terpal. Sekuat tenaga dia menahan binatang itu sampai jerat nilon dipotong,
baru kemudian melepaskannya.
Agusdin paham, menjaga HLSW memang
berisiko. Namun, ia mengambil risiko itu demi menjaga hutan tetap lestari.
"Saya bekerja dengan hati. Apa yang saya lakukan ini benar," ujarnya.
Sembari menjaga hutan, dia juga pasang
target jangka pendek untuk dirinya sendiri. "Saya mau menyelesaikan kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Balikpapan. Tahun ini mesti lulus," katanya
seraya tertawa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar