Jumat, 06 Maret 2015

Membaca Jejak Penyair Kalsel

Sabtu, 7 Maret 2015


Oleh : Ahmadun Yosi Herfanda, Pelayan Sastra

Pembuka

            Wajah perpuisian Indonesia, baik tematik maupun estetiknya, adalah wajah yang heterogen. Heterogenitas itu disumbang oleh tradisi-tradisi perpuisian yang hidup diberbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Heterogenitas atau keberagaman selalu menjadi “mimpi bersama” para penyair, juga sastrawan Indonesia pada umumnya. Karena, di dalam mimpi itulah tersimpan “kemerdekaan kreatif” yang sebenarnya, tempat para penyair mengembangkan jati diri, orientasi penciptaan, dan “keyakinan estetik” masing-masing.
            Karena keyakinan estetik adalah sebuah “ideologi kesastraan”, tempat bersemayam hati nurani kepenyairan, maka tiap ada kecenderungan maupun upaya penyeragaman yang mengancam keyakinan estetik itu, akan selalu muncul penolakan atau bahkan perlawanan. Kita ingat ketika muncul kecenderungan homogenisasi ke arah puisi majis ala Sapardi Djoko Damono melalui Majalah Horison pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an, muncul gerakan sastra independen yang dipelopori Emha Ainun Najib, yang tujuannya adalah utnuk memerdekakan puisi Indonesia dari pengaruh gaya puisi Sapardi.
            Begitu juga ketika kecenderungan homogenisasi yang mengarah pada puisi sufistik yang dipelopori Abdul Hadi WM melaui rubrik Dialog Harian Berita Buana pada awal hingga akhir 1980-an, banyak penyair yang menolaknya, seperti yang mencuat dalam Pertemuan Penyair Indonesia (PPI) 1987. Ketika wacana diskusi dicoba diarahkan ke penguatan kecenderungan puisi sufistik, sejumlah peserta PPI yang merasa tidak terpengaruh oleh kecenderungan tersebut, seperti Eko Tunas, langsung bersuara dan menyatakan bahwa dia tidak berada dalam homogenitas puisi sufistik tersebut. Sehingga, kecenderungan puisi sufistik yang sejak 1970-an dan awal 1980-an sempat menguat, melemah pasca PPI 1987.
            Hal yang sama terjadi ketika gaya puisi mosaik benda-benda urban, yang disebut sebagai gaya Afrizalian, merebak oleh dukungan sejumlah media sastra. Para penyair yang sempat mencoba mengikuti gaya puisi Afrizal kemudian malah meninggalkannya, ketika banyak wacana yang cenderung mengukuhkan gaya tersebut sebagai salah satu kecenderungan baru perpuisian Indonesia. Dalam konteks ini ada kesan, bahwa ada sejumlah penyair pemula yang ingin mengikuti kiat sukses penyair yang lebih senior agar karyanya cepat muncul di media sastra, tapi menolak untuk ditempatkan sebagai pengekor.
            Terakhir adalah upaya penyeragaman ke arah puisi esai yang didanai secara besar-besaran oleh Denny JA, dan penokohannya didukung oleh sejumlah penyair ternama yang tergabung di dalam tim Sembilan (minus Maman S Mahayana yang telah mengundurkan diri) yang diketuai oleh Jamal D Rahman. Ketika politik penyeragaman dan penokohan paksa Denny JA yang mengklaim diri sebagai pelopor puisi esai dilansir diberbagai media, banyak pihak yang serta merta bereaksi keras. Reaksi makin keras ketika 23 penyair (sebagian besar ternama), tan pa setahu mereka, ditempatkan (dikesankan) sebagai pengikut puisi esai melalui lima buku antologi puisi esai yang terbit sesudah buku 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.

Jejak Penyair Kalsel

            Membaca jejak kepenyairan adalah membaca orientasi kepenyairan beserta prestasi estetik yang dicapai oleh seorang penyair atau sekelompok penyair dari daerah yang sama melalui karya-karya yang terpublikasi dan terekam dalam sejarah sastra Indonesia. Jejak tersebut akan semakin jelas jika prestasi estetik yang mereka capai begitu unggul, mengungguli karya-karya se zaman dan apalagi memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan kesastraan Indonesia, sehingga dapat dianggap ikut menciptakan sejarah kesastraan di negeri ini.
            Bagaimana dengan jejak para penyair Kalimantan Selatan dalam sejarah dan perkembangan kesastraan Indonesia, khususnya perpuisian Indonesia ? Apakah para penyair Kalsel sudah dapat dianggap ikut mencetak jejak yang jelas dan kuat dalam perkembangan perpuisian Indonesia, atau sekadar memperpanjang deretan nama-nama dibelakang nama-nama besar penyair Indonesia dari daerah lain, terutama yang berproses di Jakarta ?
            Ada beberapa catatan menarik untuk menandai jejak kepenyairan Kalsel dalam perkembangan perpuisian Indonesia. Pertama, kita patut bersyukur, bahwa hingga saat ini tidak ada satupun penyair ataupun sastrawan Kalsel yang ikut tersangkut politik sastra Denny JA dkk. Tidak ada satupun sastrawan Kalsel yang menjadi anggota tim Sembilan, dan tidak satupun juga penyair Kalsel yang ikut menulis puisi esai yang diposisikan sebagai pengekor Denny JA. Itu artinya, para penyair Kalsel masih berorientasi penciptaan dan berproses kreatif secara independen (merdeka) sesuai dengan keyakinan dan ideologi estetik masing-masing, tidak terkooptasi oleh upaya penyeragaman dan politik uang untuk menokohkan seseorang.
            Kedua, Kalsel tidak pernah mengalami krisis kepenyairan dan karena itu tidak pernah mengalami semacam pailit puisi. Sejak dimulai oleh Artum Artha pada tahun 1930-an, tradisi kepenyairan Kalsel terus berlanjut dengan melahirkan penyair-penyair ternama (dikenal secara nasional), seperti D Zauhidie, Hijaz Yamani, Yustan Azidin, Ajamuddin Tifani, Burhanuddin Soebely, Hamamy Adaby, Maman S Tawie, Ahmad Fahrawi, M Rifani Djamhari, Eza Thabry Husano, Tarman Effendi Tarsyad, Micky Hidayat, Tajuddin Noor Ganie, Arsyad Indradi, YS Agus Suseno, Eko Suryadi WS, Jamal T Suryanata, Ali Syamsudin Arsyi, Rezqie Muhammad Al Fajar Atmanegara, dan Siti Aisyah. Mereka terus menulis puisi secara independen dengan jati diri dan karakter puisi masing-masing.
            Dan, ketiga, tradisi perpuisian Kalsel cenderung berkembang dengan karakter dan jati dirinya sendiri, tidak menjadi bagian dari isu dan kecenderungan yang berkembang diluar Kalsel terutama yang berkembang di media-media Jakarta – wilayah yang diakui atau tidak tetap menjadi sentral atau kiblat perkembangan kesastraan Indonesia. Ketika gaya (style) puisi imajis Sapardi menguat dan gaya puisi Afrizalian merebak, misalnya, saya tidak menemukan ada penyair Kalsel yang ikut terhanyut ke dalamnya. Gaya puisi Micky Hidayat, misalnya, sejak muncul dalam PPI 1987 hingga sekarang tetap kukuh dengan gaya pilihannya : puisi lirik yang lembut dan kontemplatif dengan simbol-simbol alam yang kuat. Begitu juga gaya sajak-sajak penyair Kalsel terkini seperti Siti Aisyah dan Rezqie Muhammad Al Fajar Atmanegara, serta penyair 10 zaman Arsyad Indradi, sama sekali tidak menampakkan pengaruh puisi Sapardi, Afrizal, maupun Abdul Hadi WM.
            Coba kita simak dua puisi Micky Hidayat yang ditulis dalam dasawarsa 1980-an dan 2000-an, berikut ini.

MEMANDANG LANGIT

Setiap kali memandang langit
hidupku menjadi asing dan sunyi
keinginan pun diam-diam tumbuh
meneduh dalam kebisuan rahasianya

Setiap kali memandang langit
serasa aku tak berpijak di bumi
melayang-layang di ketinggian semesta-Mu

Langit menelan tubuhku !

1985

TELAH KUHAPUS KATA-KATA

Telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hinga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan

Telah kuhapus kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak kuasa menerjemahkan
rahasia angin, badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku yang retak makin gamang
putar haluan atau meneruskan saja pelayaran

Telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada

2007

            Setelah menegaskan independensi kepenyairan Kalsel seperti tersebut di atas, kini kita coba melihat jejak seperti apa yang telah dipijakkan dengan jelas oleh para penyair Kalsel dalam sejarah perpuisian Indonesia ? Apakah para penyair Kalsel sebatas menambah ketebalan buku ensiklopedi dan leksikon sastra, menambah panjang daftar nama penyair Indonesia yang pantas ditampilkan dalam even-even sastra nasional, atau ada peran kepeloporan tertentu yang ikut menentukan arah perkembangan perpuisian Indonesia. Adakah penyair-penyair Kalsel yang telah menunjukkan prestasi estetik yang unggul sehingga  dapat disejajarkan dengan penyair ternama Indonesia lainnya ?
            Menjawab pertanyaan-pertanyaan berat tersebut, kita coba simak catatan-catatan penting tentang peran dan eksistensi penyair, dan sastrawan Kalsel pada umumnya, dalam dinamika pertumbuhan sastra Indonesia (dan nusantara), dsb.
            Pertama, para penyair dan cerpenis Kalsel tidak pernah absen dari even-even sastra nasional dan nusantara, baik yang diadakan di Jakarta, kota-kota lain di Indonesia, maupun di kawasan Asia Tenggara. Penyair-penyair Kalsel segenerasi saya, seperti Micky Hidayat dan Ahmad Fahrawi, sudah muncul dalam PPI 1987. Penyair-penyair Kalsel juga tidak pernah absen dari even Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), Jakarta International Literary Festival (JILFest). Temua Sastra Indonesia (TSI), Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KKSI), dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI). Even terakhir ini malah pernah diadakan di Banjarmasin. Dengan demikian, secara bersama-sama, para penyair dan cerpenis Kalsel telah ikut mewarnai serta menumbuhkan tradisi sastra yang sehat di Indonesia dan kawasan nusantara lainnya.
            Kedua, para penyair, cerpenis dan novelis Kalsel, telah dicatat dengan tinta emas di dalam buku-buku ensiklopedi sastra, leksikon sastra, dan buku-buku antologi karya yang penting. Para penyair Kalsel, sejak D Zauhidie hingga Ali Syamsudin Arsyi, tidak terlewat dari rekaman Ensiklopedi Sastra Indonesia susunan Hasanuddin WS dkk dan Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern susunan Pamusuk Eneste. Nama-nama dan karya-karya sebagian besar dari penyair Kalsel juga turut mengisi antologi-antologi karya dalam rangka even-even besar sastra, seperti PPN. Seorang pencatat dan pengamat sastra yang cukup jeli, Korrie Layun Rampan, juga tidak pernah melewatkan sastrawan penting dari Kalsel, antara lain dalam buku Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia. Dalam buku terbarunya, 80 Sajak Puncak Dalam Sejarah Sastra Indonesia, Korrie juga memasukkan puisi dua penyair Kalsel, yakni Kau dan Aku karya Ajamuddin Tifani dan Pertemuan karya Jamal T Suryanata. Mungkin hanya karena alpa, jika Taufiq Ismail dkk tidak memasukkan satupun nama sastrawan Kalsel dalam buku tebalnya, Dari Fansuri ke Handayani. Tentu, rujukan utama untuk melihat potensi dan wajah lengkap sastra Kalsel adalah Ensiklopedi Sastra Kalimantan Selatan, yang disusun oleh Balai Bahasa Banjarmasin (2008).
            Ketiga, dalam  tradisi sastra koran, dan sastra majalah, karya-karya penyair dan cerpenis Kalsel juga jerap muncul, meskipin tidak terlalu sering. Misalnya, di Harian Republika ketika masih memiliki rubrik sastra yang lengkap, sesekali di majalah Horison, dan tentu di koran lokal Banjarmasin Post. Ini saya kira jejak tercecer yang juga pantas dirujuk oleh para pengamat sastra Indonesia.
            Dan, keempat, dalam tradisi sastra buku, sangat banyak buku karya sastrawan Kalsel, baik penyair, cerpenis, maupun novelis, yang telah terbit. Ini adalah rujukan yang tidak dapat dilupakan dalam membaca jejak sastrawan Kalsel. Agar jejak berupa buku ini menjadi lebih kuat (jelas), sangat penting untuk dibahas di Jakarta agar tersosialisasi ke seluruh tanah air dan dilihat oleh para pengamat serta kritikus sastra. Penting juga untuk mengirimkan resensi buku-buku tersebut ke berbagai media sastra, dan mengirimkan buku-buku baru ke lembaga-lembaga penyelenggara penghargaan sastra seperti Badan Bahasa, mengingat mereka umumnya hanya menunggu bola dan bukan menjemput bola. Karena itu, pengarang sendiri yang harus proaktif, dan kalau perlu mengirim buku-buku baru langsung ke para jurinya.
            Catatan-catatan tentang karya, peran, publikasi, eksistensi para sastrawan Kalsel, khususnya penyair, seperti diuraikan di atas adalah jejak yang sudah pantas diabadikan dan diapresiasi. Karena, dengan begitu, para penyair Kalsel telah ikut mewarnai sejarah perkembangan kesastraan Indonesia.
            Namun, akan lebih ideal jika para sastrawan Kalsel membuat jejak yang lebih kuat dari semua. Misalnya, mempelopori munculnya suatu genre atau kecenderungan puisi baru, atau melahirkan buku yang dapat menjadi semacam kanon sastra pada era tertentu, atau menjadi penyair yang diunggulkan dan banyak dibicarakan oleh kritikus sastra sehingga pada satu rentang waktu tertentu mendominasi wacana kritik sastra Indonesia, atau dalam rentang waktu tertentu menjadi wacana sastra di sejumlah media massa nasional, atau secara berturut-turut meraih penghargaan bergengsi tingkat nasional dan syukur internasional, sehingga mampu menarik perhatian pengamat sastra untuk mencatatnya dan otomatis membuat jejak yang kuat pada perkembangan sastra Indonesia.
            Bukannya tidak mungkin, ada penyair Kalsel yang berpotensi untuk itu. Saya yakin, semaraknya perpuisian di Kalsel tidak seperti sinyalemen Budi Darma, sebagai kesemarakan yang tanpa karya besar. Namun, penyair memang tidak dapat berjuang sendiri. Mereka butuh penemu (kritikus sastra) bermata tajam dan mahir mengambarkannya pada dunia. Nasib Chairil Anwar akan beda jika tidak ada HB Jassin yang menemukan dan menempatkannya sebagai pelopor Angkatan 45.
            Nasib Taufiq Ismail mungkin juga akan begitu, takkan lebih besar dari Subagio Sastrowardoyo, Wing Kardjo, atau Toto Sudarto Bachtiar, yang sudah menulis puisi sejak akhir 1950-an. Karena dasar kelahiran Angkatan 66 adalah peristiwa pergeseran kekuasaan dari orde lama ke orde baru, maka penokohan Taufiq Ismail yang mulai menulis puisi menjelang pergeseran itu dan banyak mengangkat situasi seputar peristiwa tersebut, maka Jassin menemukan alasan untuk menokohkan Taufiq Ismail sebagai pelopor Angkatan 66.

Penutup

            Tugas utama penyair adalah menulis puisi, sambil mencari dan mencoba metode puisi baru (dengan pendekatan baru dan cita rasa baru), serta secara lebih khusus adalah mencari metafor-metafor baru, yang membuat puisi kita terasa unik dan segar, serta berbeda dengan puisi-puisi penyair lain. Saya yakin, bahwa saat ini banyak penyair Indonesia, juga penyair Kalsel, yang berhasil mencapai prestasi estetik dalam pencariannya tersebut, dan konsisten mempertahankan serta mempublikasikan karya-karya unggulannya itu, sehingga buku karya mereka pantas dianggap sebagai salah satu kanon sastra Indonesia. Kurang lebih, begitu pula yang perlu dicapai oleh cerpenis dan novelis Kalsel.
            Hanya masalahnya, dan inilah masalah yang dihadapi oleh sebagian besar penyair Indonesia saat ini, tidak ada kritikus sastra bermata jeli, yang mampu melihat dinamika sastra di semua penjuru tanah air, menemukan unggulan-unggulan tersebut dan secara konsisten membicarakannya sampai buku karya unggulan tersebut berkembang sebagai kanon sastra dan penulisnya menokoh dalam sastra Indonesia. Dalam hal ini, yang tidak dapat dilupakan adalah dukungan media-media sastra, baik rubrik sastra di surat kabar maupun majalah atau jurnal khusus sastra, yang sesering mungkin mengakomodasi karya dan pembicaraan tentang kanon sastra baru Indonesia itu. Setelah itu adalah tradisi penghargaan sastra yang mengukuhkan kemunculan kanon sastra baru tersebut dengan sistem penjurian yang fair dan objektif.
            Jika dirinci, maka setidaknya ada enam syarat yang dapat membuka peluang bagi penyair, cerpenis, maupun novelis, untuk membuat jejak yang jelas dalam sejarah sastra Indonesia. Pertama, karya sastra yang memang unggul dan pantas untuk diunggulkan. Kedua, kritikus, pengamat, atau sang penemu bermata jeli yang fair dan objektif dalam mencari dan mengunggulkan karya-karya sastra yang memang pantas diunggulkan. Ketiga, tradisi penghargaan sastra tingkat nasional yang fair dan objektif dalam memilih karya-karya yang memang pantas diberi penghargaan. Dan, keempat, dukungan media massa dalam mewacanakan karya-karya sastra unggulan untuk didorong menjadi salah satu kanon sastra Indonesia.
            Para pencipta sastra Indonesia yang menyebar di berbagai penjuru tanah air, pastilah memiliki pengamalan empirik dan khazanah tempat bertumbuh yang berbeda, sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masing-masing. Jika dipercayai bahwa tempat bertumbuh dan pengalaman empirik ikut memberi warna pada karya-karya mereka, maka yang akan lahir adalah karya-karya sastra yang memiliki keunikan (unikum) masing-masing. Jika bukan keunikan estetik, setidaknya keunikan tematik. Keunikan inilah yang membuat suatu karya sastra menjadi penting dan pantas dicatat, karena bukan menjadi bagian dari karya kebanyakan. Hal inilah, yang kiranya perlu tetap diingat oleh para sastrawan Kalsel, agar tetap teguh pada jati diri dan karakter khasnya serta pada kekayaan lokalnya.***


Tangerang Selatan, 2 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...