Oleh : Ahmadun Yosi
Herfanda, Pelayan Sastra
Pembuka
Wajah perpuisian Indonesia, baik
tematik maupun estetiknya, adalah wajah yang heterogen. Heterogenitas itu
disumbang oleh tradisi-tradisi perpuisian yang hidup diberbagai daerah di
Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Heterogenitas atau keberagaman
selalu menjadi “mimpi bersama” para penyair, juga sastrawan Indonesia pada
umumnya. Karena, di dalam mimpi itulah tersimpan “kemerdekaan kreatif” yang
sebenarnya, tempat para penyair mengembangkan jati diri, orientasi penciptaan,
dan “keyakinan estetik” masing-masing.
Karena keyakinan estetik adalah
sebuah “ideologi kesastraan”, tempat bersemayam hati nurani kepenyairan, maka
tiap ada kecenderungan maupun upaya penyeragaman yang mengancam keyakinan
estetik itu, akan selalu muncul penolakan atau bahkan perlawanan. Kita ingat
ketika muncul kecenderungan homogenisasi ke arah puisi majis ala Sapardi Djoko
Damono melalui Majalah Horison pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an, muncul
gerakan sastra independen yang dipelopori Emha Ainun Najib, yang tujuannya
adalah utnuk memerdekakan puisi Indonesia dari pengaruh gaya puisi Sapardi.
Begitu juga ketika kecenderungan
homogenisasi yang mengarah pada puisi sufistik yang dipelopori Abdul Hadi WM
melaui rubrik Dialog Harian Berita Buana pada awal hingga akhir 1980-an, banyak
penyair yang menolaknya, seperti yang mencuat dalam Pertemuan Penyair Indonesia
(PPI) 1987. Ketika wacana diskusi dicoba diarahkan ke penguatan kecenderungan
puisi sufistik, sejumlah peserta PPI yang merasa tidak terpengaruh oleh
kecenderungan tersebut, seperti Eko Tunas, langsung bersuara dan menyatakan
bahwa dia tidak berada dalam homogenitas puisi sufistik tersebut. Sehingga,
kecenderungan puisi sufistik yang sejak 1970-an dan awal 1980-an sempat
menguat, melemah pasca PPI 1987.
Hal yang sama terjadi ketika gaya
puisi mosaik benda-benda urban, yang disebut sebagai gaya Afrizalian, merebak
oleh dukungan sejumlah media sastra. Para penyair yang sempat mencoba mengikuti
gaya puisi Afrizal kemudian malah meninggalkannya, ketika banyak wacana yang
cenderung mengukuhkan gaya tersebut sebagai salah satu kecenderungan baru
perpuisian Indonesia. Dalam konteks ini ada kesan, bahwa ada sejumlah penyair
pemula yang ingin mengikuti kiat sukses penyair yang lebih senior agar karyanya
cepat muncul di media sastra, tapi menolak untuk ditempatkan sebagai pengekor.
Terakhir adalah upaya penyeragaman
ke arah puisi esai yang didanai secara besar-besaran oleh Denny JA, dan penokohannya
didukung oleh sejumlah penyair ternama yang tergabung di dalam tim Sembilan
(minus Maman S Mahayana yang telah mengundurkan diri) yang diketuai oleh Jamal
D Rahman. Ketika politik penyeragaman dan penokohan paksa Denny JA yang mengklaim
diri sebagai pelopor puisi esai dilansir diberbagai media, banyak pihak yang
serta merta bereaksi keras. Reaksi makin keras ketika 23 penyair (sebagian
besar ternama), tan pa setahu mereka, ditempatkan (dikesankan) sebagai pengikut
puisi esai melalui lima buku antologi puisi esai yang terbit sesudah buku 33
tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Jejak Penyair Kalsel
Membaca jejak kepenyairan adalah membaca
orientasi kepenyairan beserta prestasi estetik yang dicapai oleh seorang penyair
atau sekelompok penyair dari daerah yang sama melalui karya-karya yang
terpublikasi dan terekam dalam sejarah sastra Indonesia. Jejak tersebut akan
semakin jelas jika prestasi estetik yang mereka capai begitu unggul, mengungguli
karya-karya se zaman dan apalagi memberikan pengaruh yang signifikan bagi
perkembangan kesastraan Indonesia, sehingga dapat dianggap ikut menciptakan
sejarah kesastraan di negeri ini.
Bagaimana dengan jejak para penyair
Kalimantan Selatan dalam sejarah dan perkembangan kesastraan Indonesia, khususnya
perpuisian Indonesia ? Apakah para penyair Kalsel sudah dapat dianggap ikut
mencetak jejak yang jelas dan kuat dalam perkembangan perpuisian Indonesia,
atau sekadar memperpanjang deretan nama-nama dibelakang nama-nama besar penyair
Indonesia dari daerah lain, terutama yang berproses di Jakarta ?
Ada beberapa catatan menarik untuk
menandai jejak kepenyairan Kalsel dalam perkembangan perpuisian Indonesia.
Pertama, kita patut bersyukur, bahwa hingga saat ini tidak ada satupun penyair
ataupun sastrawan Kalsel yang ikut tersangkut politik sastra Denny JA dkk.
Tidak ada satupun sastrawan Kalsel yang menjadi anggota tim Sembilan, dan tidak
satupun juga penyair Kalsel yang ikut menulis puisi esai yang diposisikan
sebagai pengekor Denny JA. Itu artinya, para penyair Kalsel masih berorientasi
penciptaan dan berproses kreatif secara independen (merdeka) sesuai dengan
keyakinan dan ideologi estetik masing-masing, tidak terkooptasi oleh upaya penyeragaman
dan politik uang untuk menokohkan seseorang.
Kedua, Kalsel tidak pernah mengalami
krisis kepenyairan dan karena itu tidak pernah mengalami semacam pailit puisi.
Sejak dimulai oleh Artum Artha pada tahun 1930-an, tradisi kepenyairan Kalsel
terus berlanjut dengan melahirkan penyair-penyair ternama (dikenal secara
nasional), seperti D Zauhidie, Hijaz Yamani, Yustan Azidin, Ajamuddin Tifani,
Burhanuddin Soebely, Hamamy Adaby, Maman S Tawie, Ahmad Fahrawi, M Rifani
Djamhari, Eza Thabry Husano, Tarman Effendi Tarsyad, Micky Hidayat, Tajuddin
Noor Ganie, Arsyad Indradi, YS Agus Suseno, Eko Suryadi WS, Jamal T Suryanata,
Ali Syamsudin Arsyi, Rezqie Muhammad Al Fajar Atmanegara, dan Siti Aisyah.
Mereka terus menulis puisi secara independen dengan jati diri dan karakter
puisi masing-masing.
Dan, ketiga, tradisi perpuisian
Kalsel cenderung berkembang dengan karakter dan jati dirinya sendiri, tidak
menjadi bagian dari isu dan kecenderungan yang berkembang diluar Kalsel
terutama yang berkembang di media-media Jakarta – wilayah yang diakui atau
tidak tetap menjadi sentral atau kiblat perkembangan kesastraan Indonesia.
Ketika gaya (style) puisi imajis Sapardi menguat dan gaya puisi Afrizalian
merebak, misalnya, saya tidak menemukan ada penyair Kalsel yang ikut terhanyut
ke dalamnya. Gaya puisi Micky Hidayat, misalnya, sejak muncul dalam PPI 1987
hingga sekarang tetap kukuh dengan gaya pilihannya : puisi lirik yang lembut
dan kontemplatif dengan simbol-simbol alam yang kuat. Begitu juga gaya
sajak-sajak penyair Kalsel terkini seperti Siti Aisyah dan Rezqie Muhammad Al
Fajar Atmanegara, serta penyair 10 zaman Arsyad Indradi, sama sekali tidak
menampakkan pengaruh puisi Sapardi, Afrizal, maupun Abdul Hadi WM.
Coba kita simak dua puisi Micky
Hidayat yang ditulis dalam dasawarsa 1980-an dan 2000-an, berikut ini.
MEMANDANG LANGIT
Setiap kali memandang
langit
hidupku menjadi asing
dan sunyi
keinginan pun
diam-diam tumbuh
meneduh dalam
kebisuan rahasianya
Setiap kali memandang
langit
serasa aku tak
berpijak di bumi
melayang-layang di
ketinggian semesta-Mu
Langit menelan
tubuhku !
1985
TELAH KUHAPUS
KATA-KATA
Telah kuhapus
kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi
yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan
kecemasan
atau kekosongan dan
kekecewaan
hinga langit yang
kutasbihkan
pecah berkeping dan
jatuh di lautan
Telah kuhapus kata-kata
yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak
kuasa menerjemahkan
rahasia angin, badai,
dan gelombang
sebab perahu jiwaku
yang retak makin gamang
putar haluan atau
meneruskan saja pelayaran
Telah kuhapus
kata-kata
dan biarlah segalanya
kulupakan
sebelum matahari,
bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan
sinarnya
pada diriku yang
tiada
2007
Setelah menegaskan independensi
kepenyairan Kalsel seperti tersebut di atas, kini kita coba melihat jejak
seperti apa yang telah dipijakkan dengan jelas oleh para penyair Kalsel dalam
sejarah perpuisian Indonesia ? Apakah para penyair Kalsel sebatas menambah
ketebalan buku ensiklopedi dan leksikon sastra, menambah panjang daftar nama
penyair Indonesia yang pantas ditampilkan dalam even-even sastra nasional, atau
ada peran kepeloporan tertentu yang ikut menentukan arah perkembangan
perpuisian Indonesia. Adakah penyair-penyair Kalsel yang telah menunjukkan
prestasi estetik yang unggul sehingga
dapat disejajarkan dengan penyair ternama Indonesia lainnya ?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan berat
tersebut, kita coba simak catatan-catatan penting tentang peran dan eksistensi
penyair, dan sastrawan Kalsel pada umumnya, dalam dinamika pertumbuhan sastra
Indonesia (dan nusantara), dsb.
Pertama, para penyair dan cerpenis
Kalsel tidak pernah absen dari even-even sastra nasional dan nusantara, baik
yang diadakan di Jakarta, kota-kota lain di Indonesia, maupun di kawasan Asia
Tenggara. Penyair-penyair Kalsel segenerasi saya, seperti Micky Hidayat dan
Ahmad Fahrawi, sudah muncul dalam PPI 1987. Penyair-penyair Kalsel juga tidak
pernah absen dari even Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), Jakarta International
Literary Festival (JILFest). Temua Sastra Indonesia (TSI), Kongres Komunitas
Sastra Indonesia (KKSI), dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI). Even terakhir ini
malah pernah diadakan di Banjarmasin. Dengan demikian, secara bersama-sama,
para penyair dan cerpenis Kalsel telah ikut mewarnai serta menumbuhkan tradisi
sastra yang sehat di Indonesia dan kawasan nusantara lainnya.
Kedua, para penyair, cerpenis dan
novelis Kalsel, telah dicatat dengan tinta emas di dalam buku-buku ensiklopedi
sastra, leksikon sastra, dan buku-buku antologi karya yang penting. Para
penyair Kalsel, sejak D Zauhidie hingga Ali Syamsudin Arsyi, tidak terlewat
dari rekaman Ensiklopedi Sastra Indonesia susunan Hasanuddin WS dkk dan
Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern susunan Pamusuk Eneste. Nama-nama dan
karya-karya sebagian besar dari penyair Kalsel juga turut mengisi
antologi-antologi karya dalam rangka even-even besar sastra, seperti PPN.
Seorang pencatat dan pengamat sastra yang cukup jeli, Korrie Layun Rampan, juga
tidak pernah melewatkan sastrawan penting dari Kalsel, antara lain dalam buku
Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia. Dalam buku terbarunya, 80 Sajak Puncak
Dalam Sejarah Sastra Indonesia, Korrie juga memasukkan puisi dua penyair
Kalsel, yakni Kau dan Aku karya Ajamuddin Tifani dan Pertemuan karya Jamal T
Suryanata. Mungkin hanya karena alpa, jika Taufiq Ismail dkk tidak memasukkan
satupun nama sastrawan Kalsel dalam buku tebalnya, Dari Fansuri ke Handayani.
Tentu, rujukan utama untuk melihat potensi dan wajah lengkap sastra Kalsel
adalah Ensiklopedi Sastra Kalimantan Selatan, yang disusun oleh Balai Bahasa
Banjarmasin (2008).
Ketiga, dalam tradisi sastra koran, dan sastra majalah,
karya-karya penyair dan cerpenis Kalsel juga jerap muncul, meskipin tidak
terlalu sering. Misalnya, di Harian Republika ketika masih memiliki rubrik
sastra yang lengkap, sesekali di majalah Horison, dan tentu di koran lokal
Banjarmasin Post. Ini saya kira jejak tercecer yang juga pantas dirujuk oleh
para pengamat sastra Indonesia.
Dan, keempat, dalam tradisi sastra
buku, sangat banyak buku karya sastrawan Kalsel, baik penyair, cerpenis, maupun
novelis, yang telah terbit. Ini adalah rujukan yang tidak dapat dilupakan dalam
membaca jejak sastrawan Kalsel. Agar jejak berupa buku ini menjadi lebih kuat
(jelas), sangat penting untuk dibahas di Jakarta agar tersosialisasi ke seluruh
tanah air dan dilihat oleh para pengamat serta kritikus sastra. Penting juga
untuk mengirimkan resensi buku-buku tersebut ke berbagai media sastra, dan
mengirimkan buku-buku baru ke lembaga-lembaga penyelenggara penghargaan sastra
seperti Badan Bahasa, mengingat mereka umumnya hanya menunggu bola dan bukan
menjemput bola. Karena itu, pengarang sendiri yang harus proaktif, dan kalau
perlu mengirim buku-buku baru langsung ke para jurinya.
Catatan-catatan tentang karya,
peran, publikasi, eksistensi para sastrawan Kalsel, khususnya penyair, seperti
diuraikan di atas adalah jejak yang sudah pantas diabadikan dan diapresiasi.
Karena, dengan begitu, para penyair Kalsel telah ikut mewarnai sejarah
perkembangan kesastraan Indonesia.
Namun, akan lebih ideal jika para
sastrawan Kalsel membuat jejak yang lebih kuat dari semua. Misalnya,
mempelopori munculnya suatu genre atau kecenderungan puisi baru, atau
melahirkan buku yang dapat menjadi semacam kanon sastra pada era tertentu, atau
menjadi penyair yang diunggulkan dan banyak dibicarakan oleh kritikus sastra
sehingga pada satu rentang waktu tertentu mendominasi wacana kritik sastra
Indonesia, atau dalam rentang waktu tertentu menjadi wacana sastra di sejumlah
media massa nasional, atau secara berturut-turut meraih penghargaan bergengsi
tingkat nasional dan syukur internasional, sehingga mampu menarik perhatian
pengamat sastra untuk mencatatnya dan otomatis membuat jejak yang kuat pada
perkembangan sastra Indonesia.
Bukannya tidak mungkin, ada penyair
Kalsel yang berpotensi untuk itu. Saya yakin, semaraknya perpuisian di Kalsel
tidak seperti sinyalemen Budi Darma, sebagai kesemarakan yang tanpa karya
besar. Namun, penyair memang tidak dapat berjuang sendiri. Mereka butuh penemu
(kritikus sastra) bermata tajam dan mahir mengambarkannya pada dunia. Nasib
Chairil Anwar akan beda jika tidak ada HB Jassin yang menemukan dan
menempatkannya sebagai pelopor Angkatan 45.
Nasib Taufiq Ismail mungkin juga
akan begitu, takkan lebih besar dari Subagio Sastrowardoyo, Wing Kardjo, atau
Toto Sudarto Bachtiar, yang sudah menulis puisi sejak akhir 1950-an. Karena
dasar kelahiran Angkatan 66 adalah peristiwa pergeseran kekuasaan dari orde
lama ke orde baru, maka penokohan Taufiq Ismail yang mulai menulis puisi
menjelang pergeseran itu dan banyak mengangkat situasi seputar peristiwa
tersebut, maka Jassin menemukan alasan untuk menokohkan Taufiq Ismail sebagai
pelopor Angkatan 66.
Penutup
Tugas utama penyair adalah menulis
puisi, sambil mencari dan mencoba metode puisi baru (dengan pendekatan baru dan
cita rasa baru), serta secara lebih khusus adalah mencari metafor-metafor baru,
yang membuat puisi kita terasa unik dan segar, serta berbeda dengan puisi-puisi
penyair lain. Saya yakin, bahwa saat ini banyak penyair Indonesia, juga penyair
Kalsel, yang berhasil mencapai prestasi estetik dalam pencariannya tersebut,
dan konsisten mempertahankan serta mempublikasikan karya-karya unggulannya itu,
sehingga buku karya mereka pantas dianggap sebagai salah satu kanon sastra
Indonesia. Kurang lebih, begitu pula yang perlu dicapai oleh cerpenis dan
novelis Kalsel.
Hanya masalahnya, dan inilah masalah
yang dihadapi oleh sebagian besar penyair Indonesia saat ini, tidak ada
kritikus sastra bermata jeli, yang mampu melihat dinamika sastra di semua
penjuru tanah air, menemukan unggulan-unggulan tersebut dan secara konsisten
membicarakannya sampai buku karya unggulan tersebut berkembang sebagai kanon
sastra dan penulisnya menokoh dalam sastra Indonesia. Dalam hal ini, yang tidak
dapat dilupakan adalah dukungan media-media sastra, baik rubrik sastra di surat
kabar maupun majalah atau jurnal khusus sastra, yang sesering mungkin
mengakomodasi karya dan pembicaraan tentang kanon sastra baru Indonesia itu.
Setelah itu adalah tradisi penghargaan sastra yang mengukuhkan kemunculan kanon
sastra baru tersebut dengan sistem penjurian yang fair dan objektif.
Jika dirinci, maka setidaknya ada
enam syarat yang dapat membuka peluang bagi penyair, cerpenis, maupun novelis,
untuk membuat jejak yang jelas dalam sejarah sastra Indonesia. Pertama, karya
sastra yang memang unggul dan pantas untuk diunggulkan. Kedua, kritikus,
pengamat, atau sang penemu bermata jeli yang fair dan objektif dalam mencari
dan mengunggulkan karya-karya sastra yang memang pantas diunggulkan. Ketiga,
tradisi penghargaan sastra tingkat nasional yang fair dan objektif dalam
memilih karya-karya yang memang pantas diberi penghargaan. Dan, keempat,
dukungan media massa dalam mewacanakan karya-karya sastra unggulan untuk
didorong menjadi salah satu kanon sastra Indonesia.
Para pencipta sastra Indonesia yang
menyebar di berbagai penjuru tanah air, pastilah memiliki pengamalan empirik
dan khazanah tempat bertumbuh yang berbeda, sesuai dengan kondisi sosial dan
budaya masing-masing. Jika dipercayai bahwa tempat bertumbuh dan pengalaman
empirik ikut memberi warna pada karya-karya mereka, maka yang akan lahir adalah
karya-karya sastra yang memiliki keunikan (unikum) masing-masing. Jika bukan
keunikan estetik, setidaknya keunikan tematik. Keunikan inilah yang membuat
suatu karya sastra menjadi penting dan pantas dicatat, karena bukan menjadi
bagian dari karya kebanyakan. Hal inilah, yang kiranya perlu tetap diingat oleh
para sastrawan Kalsel, agar tetap teguh pada jati diri dan karakter khasnya
serta pada kekayaan lokalnya.***
Tangerang
Selatan, 2 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar