Selasa, 31 Maret 2015

Pertumbuhan dan Perkembangan Puisi Modern di Kabupaten Hulu Sungai Utara Serta Pembinaan Terhadap Penyairnya

Rabu, 1 April 2015


Oleh : Fahrurraji Asmuni (Raji Abkar)

(Disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Tahun 2007)

A.Pendahuluan

            Membicarakan sebuah puisi tentu tidak lepas dari membicarakan penyairnya. Karena keduanya ibarat tali dengan buhul, saling erat kaitannya. Atau ibarat buah dengan pohonnya, selalu menyatu. Puisi adalah tape recorder yang merekam segala pikiran dan perasaan penyairnya. BP Situmorang (1983:7) mengatakan bahwa sesungguhnya puisi itu merupakan penghayatan kehidupan manusia totalitas yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dan lain-lain Korrie Layun Rampan (1983 : 58) berpendapat bahwa puisi sebagai curahan perasaan yang dapat menimbulkan keharuan, dapat membangkitkan semangat atau membangun sikap seseorang dan yang merupakan gubahan atau ciptaan seseorang pula.
            Sesuai dengan judul dan teori-teori diatas saya akan membicarakan masalah pertumbuhan dan perkembangan puisi di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Pembinaan terhadap penyairnya.

B.Pertumbuhan dan Perkembangan

            Pertumbuhan dan perkembangan perpuisian di Hulu Sungai Utara mulai nampak pada tahun 1930. Meskipun pada masa ini masih bersifat perorangan. Namun sudah ada kelihatan menyeruak kepermukaan. Darma Seroja adalah orang pertama yang menulis puisi dan mempublikasikannya di majalah Islam Berjuang, Banjarmasin. Sebagai sastrawan generasi perintis zaman kolonial Belanda. (Jarkasi, 2001 : 31) Ia pernah mendapat peringatan keras dari pemerintah kolonial Belanda atas pemuatan karyanya yang berjudul Berjuang Dengan Pedang Terhunus dimuat di majalah Islam Berjuang.
            Pada tahun 1940 bermunculanlah puisi dan karya sastra lainnya dari sastrawan HSU diberbagai koran dan majalah lokal dan nasional seperti Terompet Rakyat (Amuntai), Borneo Shimbun, Kalimantan Berjuang (Banjarmasin), Majalah Asmara (Surabaya), Majalah Mesra (Jakarta), dll. Terukirlah nama penulis dibelantara sastra lokal dan nasional seperti Anang Abdul Muin (Aam Niu), Anggraini Antemas, dan Aliansyah Luji. Mereka terus menulis sampai akhir kehidupan mereka.
            Sekitar tahun 1960 muncullah nama Amir Husaini Zamzam. Puisinya dipublikasikan di SKM Manikam, Upaya dan Media Masyarakat (Banjarmasin). Mas Husaini Meratus mempublikasikan puisinya lewat Banjarmasin Post dan Trubus. Jaka Mustika yang sekarang tinggal di Marabahan.
            Pada tahun 1970 ditemukan sebuah kumpulan puisi berjudul Antologi Puisi Sepuluh Penyair Hulu Sungai Utara. Nama penyair yang termuat antara lain : Alfi Samadi, Amir Hasan Arya, Amir Husaini Zamzam, Darmawinata, Rahman Rusdi (alm), Rosdiansyah Habib (alm), Umairah Baqir.
            Sekitar tahun 1980-1990 tersebutlah termuatlah puisi-puisi Raji Abkar di BPost, Dinamika Berita (Banjarmasin), Sahabat Pena (Bandung), Suara Aisyiah (Jogjakarta) dan Simponi (Jakarta). Puisi Madi Mahardika termuat di Dinamika Berita. Selain kedua nama tersebut, ditemukan pula nama Mas Alkalani Muchtar, Indra Atami (Sudarni), Ran F (Misran BK), Abidin, Efha Emha, Rahmat KRJ, Soepyani A Iming dalam Bintang-Bintang Kesuma I. (Antologi Puisi Penyair Amuntai, editor Raji Abkar). Pada tahun ini pula  muncul nama Harun Al Rasyid dan Abdul Mutalib yang mempublikasikan puisi-puisinya lewat Radio Gema Kuripan Amuntai dan Untaian Mutiara RRI Nusantara III Banjarmasin.
            Tahun 2000 ke atas Hasbi Salim, Nikmatul Kamsi, Diana Alice, Fitriansyah, Mawardi, Yatrin, Arlian Desmon, Rahmani, Suriansyah, Anang dan Zayed Norwanto. Apakah mereka ini mampu menjadi penyair yang terus menciptakan puisi-puisinya atau hanya penyair dadakan, yaitu saat lomba atau diadakan pembukuan puisi baru membuat / mencipta puisi. Ya, semua ini waktu yang menjadi hakimnya.
            Ingat penyair sejati, bukan menjadikan puisi sebagai lahan, tetapi puisi baginya adalah kehidupan. Penyair tak akan bisa hidup tanpa puisi. Puisi tak akan lahir tanpa dibidani penyair. Puisi adalah bayi molek hasil senggama penyair berminggu-minggu dalam selimut waktu, yang diharapkan abadi sepanjang masa sebagai bukti bahwa penyair itu ada.
            Kita para penyair tidak ingin seperti yag diucapkan YS Agus Suseno dalam Simponi tahun 1986 yang lalu bahwa penyair itu datang dan pergi, tumbuh sebentar lalu mati.


C.Pembinaan Terhadap Penyair

1.Berdirinya Sanggar Sastra

            Mulanya para penyair dalam berkarya bakayuh masing-masing. Pada tanggal 29 Maret 1981 berkumpullah penyair Mas Husaini, Raji Abkar, Mas Alkalani Muchtar, M Masrani, Efha Enha dan Muji Hartono untuk mendirikan sanggar sastra. Maka berdirilah sanggar sastra dengan nama Sanggar Sukmaraga. Sanggar ini adalah wadah berkiprah dibidang penulisan puisi dan cerpen. Setiap anggota sanggar ini wajib mempublikasikan puisi dan cerpennya lewat media cetak atau elektronika. Karena kebanyakan anggota sanggar tidak berhasil menembus media massa seperti Banjarmasin Post dan Dinamika Berita (yang berhasil menembus koran tersebut hanya Mas Husaini dan Raji Abkar), maka pengurus sanggar menghubungi pimpinan Radio Gema Kuripan, H Ardiansyah, memohon agar disediakan ruang sastra (puisi malam Minggu, cerpen siang Minggu). Permintaan tersebut dikabulkan. Untuk acara puisi diberi nama Bintang-Bintang Kesuma Sekitar Puisi dan Lubuknya dan acara cerpen diberi nama Cerpen Minggu Siang di Radio Gema Kuripan inilah anggota sanggar menyalurkan karyanya.
            Kedua acara ini (puisi dan cerpen) ternyata mendapat sambutan hangat dari para pendengar, khususnya para remaja. Kiriman puisi dan cerpen pun mengalir ke pengasuh acara ini. Karena banyaknya puisi dan cerpen yang masuk acara / ruang puisi dan cerpen diperpanjang. Mulanya 30 menit kemudian menjadi 60 menit.
            Khusus untuk ruang puisi (malam Minggu) penggemarnya sampai ke Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Penulis puisi yang aktif dari Muara Uya adalah Harun Al Rasyid. Penulis puisi HSU yang aktif mengisi acara Bintang-Bintang Kesuma RGK dijadikan anggota Sanggar Sastra Sukmaraga. Tercatatlah penulis puisi HSU yang aktif mengisi acara ini yaitu Rahmani, Misran BK (Embeka), Abdul Mutalib, Abidin, A Rifani, Ari Kusuma, Madi Mahardika, Rahmat KRJ, Ratu Humaira, Salamah, Rahman Rusdi, dan Sarah.
            Untuk pembinaan dan evaluasi, pengurus dan anggota sanggar bertemu sebulan sekali. Yang membinanya adalah penyair senior Mas Husaini Maratus. Sanggar Sastra Sukmaraga semakin maju setelah bergabungnya H Misran, S.Sos, S.Pd, Saifullah Tamliha (ketika itu masih SMA, 1986). Banyak perubahan terjadi di Sanggar Sastra Sukmaraga, seperti pembaharuan AD/ART, Lomba Cipta dan Baca Puisi setiap tahun dan mamanda.
            Sanggar ini bertahan sampai tahun 2000 selanjutnya tak ada kabarnya lagi. Pada tahun 2003 berdiri Sanggar Payung Kambang diketuai oleh Harun Al Rasyid, sanggar ini khusus bergerak dibidang cipta karya. Sanggar ini sebagai penerus dari Sanggar Sukmaraga. Anggotanya kebanyakan adalah anggota Sanggar Sukmaraga. Sanggar Payung Kambang kurang luwes geraknya. Karena itu sanggar ini kurang dikenal masyarakat.

2.Perhatian Pemerintah

            Perhatian pemerintah daerah, khususnya DKD Kabupaten HSU terhadap para penyair dekade 2000-an ini cukup baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama ketika DKD diketuai oleh Drs Murjani, M.Si. Beliau begitu perhatian terhadap para penyair yang dikenalnya. Jika diundang rapat, beliau selalu hadir dan memberikan saran-saran demi kemajuan dunia sastra di Amuntai. Begitu pula dengan Ketua DKD Harun Al Rasyid.
            Perhatian Dinas Tata Kota dan Pariwisata juga cukup baik. Merekalah yang banyak membantu sastrawan daerah ini, terutama dalam mensukseskan Aruh Sastra yang sedang kita laksanakan ini. Kami sastrawan HSU tak dapat membayangkan betapa malunya kami seandainya aruh ini gagal.

3.Masalah Honor

            Masalah honor sangat perlu dibicarakan untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup penyair penulis lainnya. Tentu pemberian honor ini sesuai dengan kemampuan koran yang memuat sebuah karya. Koran daerah mampu memberikan honor Rp 50.000 setiap sebuah cerpen yang diterbitkan dan Rp 10.000 perpuisi yang diterbitkan sudah memadai. Sayangnya, koran daerah kita tidak mengirimkan honor itu kepada penulisnya, kecuali diambil. Nah, bagi penulis yang jauh dari tempat koran itu, misalnya Amuntai, honor sebuah tulisan tidak dapat menutupi ongkos taksi mengambil honor itu.
            Lalu honor tulisan sastra / seni yang dimuat di koran dibayar oleh DKD Provinsi / Kabupaten penulis setuju. Honor diberikan DKD Provinsi / Kabupaten dengan tujuan untuk menghargai kreativitas penulisnya dan menambah semangat dalam tulis-menulis. Dengan demikian bermunculanlah intelektual-intelektual (penulis-penulis tergolong kaum intelektual lho) yang kreatif dan mengharumkan nama daerah.
            Dengan turutnya DKD memberikan honor atas tulisan yang dimuat di koran (ingat, koran tetap saja memberikan honor atas tulisan yang dimuat) berarti DKD ikut membina para penyair, para cerpenis, dan penulis lainnya di daerahnya. Oleh karena itu, honor yang diberikan kita namakan saja honor pembinaan. Atau ada istilah lain terserah.

D.Penutup

            Sebelum mengakhiri makalah yang sederhana ini kiranya perlu penulis simpulkan isi makalah ini. Adapun kesimpulannya adalah :

1.Pertumbuhan dan perkembangan puisi modern di Kabupaten Hulu Sungai Utara berjalan secara wajar.
2.Perhatian pemerintah terhadap para penyair HSU cukup baik, meskipun belum maksimal.
3.Honor itu penting untuk menambah semangat beraktivitas dan berkreativitas.
4.Selain koran, DKD Provinsi / Kabupaten turut memberikan honor kepada penyair, atau penulis lainnya sebagai pembinaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...