Oleh : Fahrurraji Asmuni (Raji
Abkar)
(Disampaikan pada Aruh Sastra
Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Tahun 2007)
A.Pendahuluan
Membicarakan sebuah puisi tentu
tidak lepas dari membicarakan penyairnya. Karena keduanya ibarat tali dengan
buhul, saling erat kaitannya. Atau ibarat buah dengan pohonnya, selalu menyatu.
Puisi adalah tape recorder yang merekam segala pikiran dan perasaan penyairnya.
BP Situmorang (1983:7) mengatakan bahwa sesungguhnya puisi itu merupakan
penghayatan kehidupan manusia totalitas yang dipantulkan oleh penciptanya
dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dan lain-lain
Korrie Layun Rampan (1983 : 58) berpendapat bahwa puisi sebagai curahan
perasaan yang dapat menimbulkan keharuan, dapat membangkitkan semangat atau
membangun sikap seseorang dan yang merupakan gubahan atau ciptaan seseorang
pula.
Sesuai dengan judul dan teori-teori
diatas saya akan membicarakan masalah pertumbuhan dan perkembangan puisi di
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Pembinaan terhadap penyairnya.
B.Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan perpuisian di Hulu Sungai Utara mulai nampak pada tahun 1930. Meskipun pada
masa ini masih bersifat perorangan. Namun sudah ada kelihatan menyeruak
kepermukaan. Darma Seroja adalah orang pertama yang menulis puisi dan mempublikasikannya di majalah Islam Berjuang,
Banjarmasin. Sebagai sastrawan generasi perintis zaman kolonial Belanda. (Jarkasi, 2001 :
31) Ia pernah mendapat peringatan keras dari pemerintah kolonial Belanda atas pemuatan karyanya yang
berjudul Berjuang Dengan Pedang Terhunus dimuat di majalah Islam
Berjuang.
Pada tahun 1940 bermunculanlah puisi
dan karya sastra lainnya dari sastrawan HSU diberbagai koran dan majalah lokal dan nasional seperti Terompet Rakyat
(Amuntai), Borneo Shimbun, Kalimantan Berjuang (Banjarmasin), Majalah Asmara (Surabaya),
Majalah Mesra (Jakarta), dll. Terukirlah nama penulis dibelantara sastra lokal dan nasional seperti Anang Abdul Muin (Aam Niu), Anggraini Antemas,
dan Aliansyah Luji. Mereka terus menulis sampai akhir kehidupan mereka.
Sekitar tahun 1960 muncullah nama Amir Husaini Zamzam. Puisinya dipublikasikan di SKM Manikam, Upaya dan Media Masyarakat (Banjarmasin). Mas Husaini Meratus
mempublikasikan puisinya lewat Banjarmasin Post dan Trubus. Jaka Mustika yang sekarang tinggal di Marabahan.
Pada tahun 1970 ditemukan sebuah
kumpulan puisi berjudul Antologi Puisi Sepuluh Penyair Hulu Sungai Utara. Nama
penyair yang termuat antara lain : Alfi Samadi, Amir Hasan Arya, Amir Husaini
Zamzam, Darmawinata, Rahman Rusdi (alm), Rosdiansyah Habib (alm), Umairah
Baqir.
Sekitar tahun 1980-1990 tersebutlah
termuatlah puisi-puisi Raji Abkar di BPost, Dinamika Berita (Banjarmasin), Sahabat Pena (Bandung), Suara Aisyiah
(Jogjakarta) dan Simponi (Jakarta). Puisi Madi Mahardika termuat di Dinamika Berita. Selain kedua nama tersebut, ditemukan
pula nama Mas Alkalani Muchtar, Indra
Atami (Sudarni), Ran F (Misran BK), Abidin, Efha Emha, Rahmat KRJ, Soepyani A
Iming dalam Bintang-Bintang Kesuma I. (Antologi Puisi Penyair Amuntai, editor Raji
Abkar). Pada tahun ini pula muncul nama Harun Al Rasyid dan Abdul Mutalib yang mempublikasikan
puisi-puisinya lewat Radio Gema
Kuripan Amuntai dan Untaian Mutiara RRI Nusantara III Banjarmasin.
Tahun 2000 ke atas Hasbi Salim, Nikmatul
Kamsi, Diana Alice, Fitriansyah, Mawardi, Yatrin, Arlian Desmon, Rahmani,
Suriansyah, Anang dan Zayed Norwanto. Apakah mereka ini mampu menjadi penyair yang terus menciptakan puisi-puisinya atau hanya penyair dadakan, yaitu saat lomba atau diadakan pembukuan puisi baru
membuat / mencipta puisi. Ya, semua ini waktu yang menjadi hakimnya.
Ingat penyair sejati, bukan menjadikan puisi sebagai lahan, tetapi
puisi baginya adalah kehidupan. Penyair tak akan bisa hidup tanpa puisi. Puisi
tak akan lahir tanpa dibidani penyair.
Puisi adalah bayi molek hasil senggama penyair berminggu-minggu dalam selimut waktu, yang
diharapkan abadi sepanjang masa sebagai bukti bahwa penyair itu ada.
Kita para penyair tidak ingin
seperti yag diucapkan YS Agus Suseno dalam Simponi tahun 1986 yang lalu bahwa
penyair itu datang dan pergi, tumbuh sebentar lalu mati.
C.Pembinaan Terhadap Penyair
1.Berdirinya Sanggar Sastra
Mulanya para penyair dalam berkarya
bakayuh masing-masing. Pada tanggal 29 Maret 1981 berkumpullah penyair Mas
Husaini, Raji Abkar, Mas Alkalani Muchtar, M Masrani, Efha Enha dan Muji
Hartono untuk mendirikan sanggar sastra. Maka berdirilah sanggar sastra dengan
nama Sanggar Sukmaraga. Sanggar ini
adalah wadah berkiprah dibidang penulisan puisi dan cerpen. Setiap anggota
sanggar ini wajib mempublikasikan puisi dan cerpennya lewat media cetak atau
elektronika. Karena kebanyakan anggota sanggar tidak berhasil menembus media
massa seperti Banjarmasin Post dan
Dinamika Berita (yang berhasil menembus koran tersebut hanya Mas Husaini dan Raji Abkar), maka
pengurus sanggar menghubungi pimpinan Radio Gema Kuripan, H Ardiansyah, memohon
agar disediakan ruang sastra (puisi malam Minggu, cerpen siang Minggu). Permintaan tersebut dikabulkan.
Untuk acara puisi diberi nama Bintang-Bintang Kesuma Sekitar Puisi dan Lubuknya
dan acara cerpen diberi nama Cerpen Minggu Siang di Radio Gema Kuripan inilah anggota sanggar menyalurkan
karyanya.
Kedua acara ini (puisi dan cerpen)
ternyata mendapat sambutan hangat dari para pendengar,
khususnya para remaja. Kiriman puisi dan cerpen pun mengalir ke pengasuh acara ini. Karena
banyaknya puisi dan cerpen yang masuk acara / ruang puisi dan cerpen
diperpanjang. Mulanya 30 menit kemudian menjadi 60 menit.
Khusus untuk ruang puisi (malam Minggu) penggemarnya sampai ke
Muara Uya, Kabupaten Tabalong.
Penulis puisi yang aktif dari Muara Uya adalah Harun Al Rasyid. Penulis puisi HSU yang aktif mengisi
acara Bintang-Bintang Kesuma RGK dijadikan anggota Sanggar Sastra Sukmaraga. Tercatatlah penulis puisi HSU yang aktif mengisi
acara ini yaitu Rahmani, Misran BK (Embeka), Abdul Mutalib, Abidin, A Rifani, Ari Kusuma,
Madi Mahardika, Rahmat KRJ, Ratu Humaira, Salamah, Rahman Rusdi, dan Sarah.
Untuk pembinaan dan evaluasi,
pengurus dan anggota sanggar bertemu sebulan sekali. Yang membinanya adalah penyair senior Mas Husaini
Maratus. Sanggar Sastra Sukmaraga semakin maju setelah bergabungnya H Misran, S.Sos, S.Pd, Saifullah Tamliha
(ketika itu masih SMA, 1986). Banyak perubahan terjadi di Sanggar Sastra Sukmaraga, seperti
pembaharuan AD/ART, Lomba Cipta dan Baca Puisi setiap tahun dan mamanda.
Sanggar ini bertahan sampai tahun
2000 selanjutnya tak ada kabarnya lagi. Pada tahun 2003 berdiri Sanggar Payung Kambang diketuai oleh Harun Al Rasyid, sanggar ini khusus bergerak dibidang
cipta karya. Sanggar ini sebagai penerus dari Sanggar Sukmaraga. Anggotanya kebanyakan adalah anggota Sanggar Sukmaraga. Sanggar Payung Kambang kurang luwes geraknya.
Karena itu sanggar ini kurang dikenal masyarakat.
2.Perhatian Pemerintah
Perhatian pemerintah daerah, khususnya DKD Kabupaten HSU terhadap para penyair dekade 2000-an ini cukup baik
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama ketika DKD diketuai oleh
Drs Murjani, M.Si. Beliau begitu perhatian terhadap para penyair yang
dikenalnya. Jika diundang rapat,
beliau selalu hadir dan memberikan saran-saran demi kemajuan dunia sastra di
Amuntai. Begitu pula dengan
Ketua DKD Harun Al Rasyid.
Perhatian Dinas Tata Kota dan Pariwisata juga cukup baik.
Merekalah yang banyak membantu sastrawan daerah ini, terutama dalam
mensukseskan Aruh Sastra yang sedang kita laksanakan ini. Kami sastrawan HSU tak dapat membayangkan betapa malunya kami seandainya aruh ini gagal.
3.Masalah Honor
Masalah honor sangat perlu
dibicarakan untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup penyair penulis lainnya.
Tentu pemberian honor ini sesuai dengan kemampuan koran yang memuat sebuah
karya. Koran daerah mampu memberikan honor Rp 50.000 setiap sebuah cerpen yang
diterbitkan dan Rp 10.000 perpuisi yang diterbitkan sudah memadai. Sayangnya, koran daerah
kita tidak mengirimkan honor itu kepada penulisnya, kecuali
diambil. Nah, bagi penulis yang
jauh dari tempat koran itu, misalnya Amuntai, honor sebuah tulisan
tidak dapat menutupi ongkos taksi mengambil honor itu.
Lalu honor tulisan sastra / seni yang dimuat di koran dibayar oleh DKD Provinsi /
Kabupaten penulis setuju. Honor diberikan DKD Provinsi / Kabupaten dengan
tujuan untuk menghargai kreativitas penulisnya dan menambah semangat dalam tulis-menulis. Dengan
demikian bermunculanlah
intelektual-intelektual (penulis-penulis tergolong kaum intelektual lho) yang kreatif
dan mengharumkan nama daerah.
Dengan turutnya DKD memberikan honor
atas tulisan yang dimuat di koran (ingat, koran tetap saja memberikan honor
atas tulisan yang dimuat) berarti DKD ikut membina para penyair, para cerpenis,
dan penulis lainnya di daerahnya. Oleh karena itu, honor yang diberikan kita
namakan saja honor pembinaan. Atau ada istilah lain terserah.
D.Penutup
Sebelum mengakhiri makalah yang
sederhana ini kiranya perlu penulis simpulkan isi makalah ini. Adapun
kesimpulannya adalah :
1.Pertumbuhan
dan perkembangan puisi modern di Kabupaten Hulu Sungai Utara berjalan secara
wajar.
2.Perhatian
pemerintah terhadap para penyair HSU cukup baik, meskipun belum maksimal.
3.Honor
itu penting untuk menambah semangat beraktivitas dan berkreativitas.
4.Selain
koran, DKD Provinsi / Kabupaten
turut memberikan honor kepada penyair, atau penulis lainnya sebagai
pembinaan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar