Minggu, 06 November 2016

Kisah Transmigran Kaya Raya

Senin, 7 November 2016


Misnadi


Oleh : Fransiskus Pati Herin

Dua puluh enam tahun yang lalu, Misnadi ada di antara ratusan transmigran asal Jawa Timur yang berlayar mengarungi lautan menuju Halmahera Barat. Di tempat baru, ia bertahun-tahun bekerja keras mengolah tanah menjadi rupiah. Ia kemudian menjadi petani kaya raya dengan aset miliaran rupiah.

”Tanah ini buat saya adalah ATM (Anjungan Tunai Mandiri). ATM saya ada di kebun, bukan di pasar atau di kota,” kata Misnadi dengan senyum bangga sembari memetik buah cabai yang mulai memerah dari kebunnya di Desa Galago Kusuma, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, pertengahan Oktober lalu.

”ATM” Misnadi antara lain ada di kebun cabai seluas 0,75 hektar. Di kebun itu, tumbuh subur 15.000 pohon cabai keriting yang telah berusia 86 hari dengan tinggi sekitar 1 meter. Kebun cabai itu sudah siap dipanen hingga tiga bulan ke depan.

Petani berusia 61 tahun itu menjelaskan, satu batang pohon cabai bisa menghasilkan 1 kilogram cabai. Dengan demikian, dari 15.000 batang pohon cabai, Misnadi bisa memanen 15.000 kilogram atau 15 ton cabai.

Taruh kata cabai itu ia jual dengan harga terendah Rp 30.000 per kilogram, Misnadi akan mencetak uang Rp 450 juta. Setelah dipotong biaya pembelian benih, pestisida, konsumsi, dan tenaga kerja yang jumlahnya sekitar Rp 50 juta, ia akan mengantongi untung bersih sekitar Rp 400 juta.

Ia berpeluang mencetak penghasilan lebih besar mengingat harga cabai kini terus meroket hingga di atas Rp 40.000 per kilogram. Keuntungan besar itu diperoleh Misnadi dengan bekerja keras selama lebih kurang enam bulan, mulai dari menyemai benih cabai hingga setelah panen.

Cabai hasil panen ia jual kepada pengepul untuk selanjutnya diangkut dengan kapal ke Ternate, pusat perekonomian di Provinsi Maluku Utara. Misnadi tidak mau menjual langsung ke Ternate meski ia memiliki mobil bak terbuka untuk mengangkut cabainya langsung ke pelabuhan. Ia ingin orang lain, termasuk para pengepul, bisa ikut menikmati manisnya rezeki dari kebun cabai.

Ia hanya memastikan para pengepul tidak mengambil untung terlalu banyak dengan cara menjual cabai terlalu jauh di atas harga beli dari petani. Dengan begitu, harga jual cabai di pasar tidak melonjak tinggi dan membebani konsumen.

Sumber rejeki Misnadi tidak hanya dari cabai. Bapak dua anak itu juga punya sumber rezeki lain dari peternakan sapi. Awalnya, ia beternak sapi untuk mendapatkan biogas dan pupuk kandang. Seiring waktu, ternak sapi itu beranak pinak. Pada Idul Adha September lalu, ia menjual 107 sapi dengan total nilai sekitar Rp 1,8 miliar. Kini, sapinya tinggal 63 ekor.

Ia juga memiliki pabrik tahu yang setiap hari menghasilkan uang. Ampas dari pengolahan tahu ia gunakan untuk pakan sapi.

Selain itu, Misnadi juga memiliki 75 pohon durian yang ditanam di sekitar arena perkebunan cabai, 442 pohon durian lainnya di area khusus seluas 6 hektar, dan 162 pohon kelengkeng di kebun seluas 1 hektar.

”Tanah di sini sangat subur, tinggal bagaimana kita mengolahnya menjadi rupiah. Syarat utamanya adalah menguasai cara bercocok tanam, kerja keras, dan tekun,” ujar Misnadi.

Kisah Transmigran
Kesuksesan Misnadi tidak datang begitu saja. Ia meraihnya lewat usaha yang tak kenal lelah. Sebelum menjadi petani sukses, lulusan sekolah teknik menengah itu bekerja di sektor perkebunan. Namun, penghasilannya kurang memuaskan.

Misnadi
Lahir:
Jember, 1 Januari 1955
Istri:
Suwarni (46)
Anak:
Lili Suriyani (24)
Jusmiatin (12)
Pendidikan terakhir:
STM Negeri Balung, Jember
Penghargaan:
Petani teladan tahun 1995

Misnadi pun berpikir untuk mengubah nasib. Maka, ia mendaftar menjadi transmigran dan siap hijrah dari kota asalnya di Jember, Jawa Timur.

Dengan menumpang KM Sarana Niaga, Misnadi dan ratusan transmigran lainnya berlayar mengarungi lautan pada 1990. Setelah berlayar selama 12 hari dan menempuh jarak lebih kurang 1.800 kilometer, mereka tiba di Halmahera Barat, Mei 1990. Di tempat tinggal baru itu, mereka masing-masing mendapat rumah sederhana dan tanah seluas 2 hektar untuk bercocok tanam.

Di tanah asing itu, Misnadi mencoba membudidayakan kacang tanah. Pertimbangannya, benih kacang mudah didapat, pengolahannya tidak sulit, dan modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Keuntungan dari panen kacang ia kumpulkan. Setelah uang cukup, ia membeli beberapa sapi untuk dijual lagi.

Keuntungan dari jualan sapi ia gunakan sebagai modal untuk menanam cabai yang untungnya lebih besar. Dengan cara seperti itulah, sedikit demi sedikit ia mencetak rupiah dari tanahnya yang subur. Ia kemudian memperluas usahanya ke bidang peternakan sapi, pembuatan tahu, dan perdagangan kebutuhan bahan pokok.

Berkat usaha itu ia menyekolahkan anaknya, Lili Suriyani (24), hingga menjadi dokter. Ia bersama istrinya, Suwarni (46), juga sudah menunaikan ibadah haji.

Misnadi juga mampu mempekerjakan beberapa penduduk di kebun cabai, peternakan sapi, dan pabrik tahu. Ia menggaji pekerjanya masing-masing Rp 4 juta per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gaji pekerja industri rumahan di Kabupaten Halmahera Barat.

Di luar materi, Misnadi mendapat berkah lain berupa kehormatan sebagai petani. Pada 17 Agustus 1995, ia terpilih mewakili petani dari Provinsi Maluku, sebelum pemekaran Provinsi Maluku Utara, untuk mengikuti upacara bendera di Istana Negara, Jakarta. Ia menerima piagam penghargaan sebagai petani teladan dari Presiden Soeharto.

Selain piagam, ia juga mendapat hadiah berupa 1 sapi, 5 kambing, 15 ayam, dan kemudahan mengakses kredit di bank.

Sejak saat itu, ia menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi para petani di Halmahera Barat. Ia menjadi tempat bertanya para petani lain yang ingin mengikuti jejak suksesnya. Berulang kali ia diminta pemerintah daerah setempat untuk memberikan motivasi dan testimoni tentang kesuksesannya.

Cobaan Berat
Perjalanan Misnadi mencetak sukses di perantauan bukannya tanpa cobaan. Ketika konflik sosial pecah di Ambon pada Januari 1999, ia merasakan akibatnya. Konflik itu dengan cepat merembet ke Halmahera Barat. Rumah dan satu mobil milik Misnadi terbakar. Konflik itu juga memaksa Misnadi dan keluarga mengungsi ke kampung halamannya di Jember.

Setelah konflik mulai reda, ia kembali ke Halmahera Barat pada 2001. Ia menghapus trauma dengan membangun kembali usahanya dari nol. Berbekal pengetahuan, pengalaman, dan kerja keras, Misnadi bangkit dari keterpurukan. Ia kembali menjadi petani yang sejahtera. Ia membuktikan sekali lagi bahwa kekayaan bisa diraih lewat usaha apa saja, termasuk bertani, yang selama ini sering diremehkan orang.

Kini, di usianya yang semakin tua, Misnadi tak mau berhenti mengolah tanah. ”Selama tubuh ini masih kuat, saya akan terus berkebun. Setiap kali saya bangun dari tidur, saya selalu ingat kebun saya, he-he-he,” katanya.

Maklumlah, seperti diucapkan Misnadi di bagian awal tulisan, di tanah perkebunannya ada ”ATM” yang terus mengalirkan banyak rupiah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketua Panitia Perkemahan Kwarran Angkinang Tahun 2024

 Senin, 23 September 2024 Ketua panitia perkemahan Kwartir Ranting (Kwarran) Gerakan Pramuka Kecamatan Angkinang, Rifky Maulidi, pada hari S...