Misnadi |
Oleh : Fransiskus Pati Herin
Dua puluh enam tahun yang lalu, Misnadi
ada di antara ratusan transmigran asal Jawa Timur yang berlayar mengarungi
lautan menuju Halmahera Barat. Di tempat baru, ia bertahun-tahun bekerja keras
mengolah tanah menjadi rupiah. Ia kemudian menjadi petani kaya raya dengan aset
miliaran rupiah.
”Tanah ini buat saya adalah ATM
(Anjungan Tunai Mandiri). ATM saya ada di kebun, bukan di pasar atau di kota,”
kata Misnadi dengan senyum bangga sembari memetik buah cabai yang mulai memerah
dari kebunnya di Desa Galago Kusuma, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera
Barat, Maluku Utara, pertengahan Oktober lalu.
”ATM” Misnadi antara lain ada di kebun
cabai seluas 0,75 hektar. Di kebun itu, tumbuh subur 15.000 pohon cabai
keriting yang telah berusia 86 hari dengan tinggi sekitar 1 meter. Kebun cabai
itu sudah siap dipanen hingga tiga bulan ke depan.
Petani berusia 61 tahun itu menjelaskan,
satu batang pohon cabai bisa menghasilkan 1 kilogram cabai. Dengan demikian,
dari 15.000 batang pohon cabai, Misnadi bisa memanen 15.000 kilogram atau 15
ton cabai.
Taruh kata cabai itu ia jual dengan
harga terendah Rp 30.000 per kilogram, Misnadi akan mencetak uang Rp 450 juta.
Setelah dipotong biaya pembelian benih, pestisida, konsumsi, dan tenaga kerja
yang jumlahnya sekitar Rp 50 juta, ia akan mengantongi untung bersih sekitar Rp
400 juta.
Ia berpeluang mencetak penghasilan lebih
besar mengingat harga cabai kini terus meroket hingga di atas Rp 40.000 per
kilogram. Keuntungan besar itu diperoleh Misnadi dengan bekerja keras selama
lebih kurang enam bulan, mulai dari menyemai benih cabai hingga setelah panen.
Cabai hasil panen ia jual kepada
pengepul untuk selanjutnya diangkut dengan kapal ke Ternate, pusat perekonomian
di Provinsi Maluku Utara. Misnadi tidak mau menjual langsung ke Ternate meski
ia memiliki mobil bak terbuka untuk mengangkut cabainya langsung ke pelabuhan. Ia
ingin orang lain, termasuk para pengepul, bisa ikut menikmati manisnya rezeki
dari kebun cabai.
Ia hanya memastikan para pengepul tidak
mengambil untung terlalu banyak dengan cara menjual cabai terlalu jauh di atas
harga beli dari petani. Dengan begitu, harga jual cabai di pasar tidak melonjak
tinggi dan membebani konsumen.
Sumber rejeki Misnadi tidak hanya dari
cabai. Bapak dua anak itu juga punya sumber rezeki lain dari peternakan sapi.
Awalnya, ia beternak sapi untuk mendapatkan biogas dan pupuk kandang. Seiring
waktu, ternak sapi itu beranak pinak. Pada Idul Adha September lalu, ia menjual
107 sapi dengan total nilai sekitar Rp 1,8 miliar. Kini, sapinya tinggal 63
ekor.
Ia juga memiliki pabrik tahu yang setiap
hari menghasilkan uang. Ampas dari pengolahan tahu ia gunakan untuk pakan sapi.
Selain itu, Misnadi juga memiliki 75
pohon durian yang ditanam di sekitar arena perkebunan cabai, 442 pohon durian
lainnya di area khusus seluas 6 hektar, dan 162 pohon kelengkeng di kebun
seluas 1 hektar.
”Tanah di sini sangat subur, tinggal
bagaimana kita mengolahnya menjadi rupiah. Syarat utamanya adalah menguasai
cara bercocok tanam, kerja keras, dan tekun,” ujar Misnadi.
Kisah
Transmigran
Kesuksesan Misnadi tidak datang begitu
saja. Ia meraihnya lewat usaha yang tak kenal lelah. Sebelum menjadi petani
sukses, lulusan sekolah teknik menengah itu bekerja di sektor perkebunan.
Namun, penghasilannya kurang memuaskan.
Misnadi
Lahir:
Jember, 1 Januari 1955
Istri:
Suwarni (46)
Anak:
Lili Suriyani (24)
Jusmiatin (12)
Pendidikan terakhir:
STM Negeri Balung, Jember
Penghargaan:
Petani teladan tahun 1995
Misnadi pun berpikir untuk mengubah
nasib. Maka, ia mendaftar menjadi transmigran dan siap hijrah dari kota asalnya
di Jember, Jawa Timur.
Dengan menumpang KM Sarana Niaga,
Misnadi dan ratusan transmigran lainnya berlayar mengarungi lautan pada 1990.
Setelah berlayar selama 12 hari dan menempuh jarak lebih kurang 1.800
kilometer, mereka tiba di Halmahera Barat, Mei 1990. Di tempat tinggal baru
itu, mereka masing-masing mendapat rumah sederhana dan tanah seluas 2 hektar
untuk bercocok tanam.
Di tanah asing itu, Misnadi mencoba
membudidayakan kacang tanah. Pertimbangannya, benih kacang mudah didapat,
pengolahannya tidak sulit, dan modal yang diperlukan tidak terlalu besar.
Keuntungan dari panen kacang ia kumpulkan. Setelah uang cukup, ia membeli
beberapa sapi untuk dijual lagi.
Keuntungan dari jualan sapi ia gunakan
sebagai modal untuk menanam cabai yang untungnya lebih besar. Dengan cara
seperti itulah, sedikit demi sedikit ia mencetak rupiah dari tanahnya yang
subur. Ia kemudian memperluas usahanya ke bidang peternakan sapi, pembuatan
tahu, dan perdagangan kebutuhan bahan pokok.
Berkat usaha itu ia menyekolahkan
anaknya, Lili Suriyani (24), hingga menjadi dokter. Ia bersama istrinya,
Suwarni (46), juga sudah menunaikan ibadah haji.
Misnadi juga mampu mempekerjakan
beberapa penduduk di kebun cabai, peternakan sapi, dan pabrik tahu. Ia menggaji
pekerjanya masing-masing Rp 4 juta per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan gaji pekerja industri rumahan di Kabupaten Halmahera Barat.
Di luar materi, Misnadi mendapat berkah
lain berupa kehormatan sebagai petani. Pada 17 Agustus 1995, ia terpilih
mewakili petani dari Provinsi Maluku, sebelum pemekaran Provinsi Maluku Utara,
untuk mengikuti upacara bendera di Istana Negara, Jakarta. Ia menerima piagam
penghargaan sebagai petani teladan dari Presiden Soeharto.
Selain piagam, ia juga mendapat hadiah
berupa 1 sapi, 5 kambing, 15 ayam, dan kemudahan mengakses kredit di bank.
Sejak saat itu, ia menjadi sumber
inspirasi dan motivasi bagi para petani di Halmahera Barat. Ia menjadi tempat
bertanya para petani lain yang ingin mengikuti jejak suksesnya. Berulang kali
ia diminta pemerintah daerah setempat untuk memberikan motivasi dan testimoni
tentang kesuksesannya.
Cobaan
Berat
Perjalanan Misnadi mencetak sukses di
perantauan bukannya tanpa cobaan. Ketika konflik sosial pecah di Ambon pada
Januari 1999, ia merasakan akibatnya. Konflik itu dengan cepat merembet ke
Halmahera Barat. Rumah dan satu mobil milik Misnadi terbakar. Konflik itu juga
memaksa Misnadi dan keluarga mengungsi ke kampung halamannya di Jember.
Setelah konflik mulai reda, ia kembali
ke Halmahera Barat pada 2001. Ia menghapus trauma dengan membangun kembali
usahanya dari nol. Berbekal pengetahuan, pengalaman, dan kerja keras, Misnadi
bangkit dari keterpurukan. Ia kembali menjadi petani yang sejahtera. Ia
membuktikan sekali lagi bahwa kekayaan bisa diraih lewat usaha apa saja,
termasuk bertani, yang selama ini sering diremehkan orang.
Kini, di usianya yang semakin tua,
Misnadi tak mau berhenti mengolah tanah. ”Selama tubuh ini masih kuat, saya
akan terus berkebun. Setiap kali saya bangun dari tidur, saya selalu ingat
kebun saya, he-he-he,” katanya.
Maklumlah, seperti diucapkan Misnadi di
bagian awal tulisan, di tanah perkebunannya ada ”ATM” yang terus mengalirkan
banyak rupiah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar