Oleh : Abdul Hadi, WM
(Disampaikan pada Aruh Sastra
Kalimantan Selatan (ASKS) VI di Marabahan, Barito Kuala, 25 s.d 27 Desember
2009)
Saya minta maaf sebesar-besarnya
kepada panitia oleh karena tidak dapat menumpukan pembicaraan kepada antologi
yang dikirim kepada saya untuk dibahas dalam pertemuan ini. Alasannya
sederhana, antologi tersebut baru saya terima seminggu sebelum saya berangkat
ke Banjarmasin. Sungguh tidak mungkin saya dapat membaca antologi yang berisi
lebih dari 100 sajak itu dalam waktu singkat. Kesibukan mengajar yang padat
dalam hari-hari menjelang akhir semester juga merupakan halangan tersendiri
untuk membaca antologi tersebut dengan penuh perhatian. Sebagai gantinya saya
pilih topik yang lingkup pembicaraannya lebih luas dan umum. Kendati demikian saya akan berusaha tidak
melepaskan tanggung jawab saya menyinggung sajak-sajak dalam antologi yang
diterbitkan panitia.
Estetika adalah satu hal, masyarakat
pembaca puisi adalah lain hal. Tetapi keduanya bukannya tanpa kaitan dan tak
saling berpengaruh. Perkembangan sastra sendiri pada umumnya, dan perpuisian
pada umumnya, banyak dipengaruhi corak-corak wawasan estetik yang dominan pada
suatu masa dan juga oleh tinggi rendahnya apresiasi masyarakat serta selera
sastranya. Dalam masyarakat yang apresiasi sastranya tinggi, dan tradisi
puitiknya mantap serta terpelihara, dunia penulisannya akan cenderung subur.
Darinya tidak sukar mengharapkan lahirnya karya-karya yang bermutu dan
berbobot. Contohnya bisa dilihat di beberapa negeri Asia yang tradisi sastranya
sudah lama berkembang dan tetap terpelihara di dunia modern, ditambah lagi
apresiasi masyarakatnya yang tinggi seperti Jepang, India, dan Iran,
sebagaimana juga Jerman, Inggris, Perancis, dan Mesir.
Dalam linkait (konteks) pembicaraan
ini, perlu saya jelaskan saya maksud dengan estetika. Ia tidak saya maksudkan
sebagai falsafah keindahan atau teori keindahan, melainkan wawasan cipta atau
wawasan yang mendasari lahirnya sebuah puisi dengan corak dan semangatnya
tersendiri bila dibanding dengan puisi lain yang kelahirannya didasari wawasan
cipta berbeda. Dalam sebuah puisi ia dapat ditelusuri melalui ciri estetik
ungkapannya, serta untuk fungsi apa penyair menggunakan bahasa atau kata-kata.
Sebagai suatu yang sifatnya intuitif, ia tidak dapat kita ketahui secara jelas
kecuali membaca puisi seorang penyair dan membandingkannya dengan puisi penyair
lain. Tetapi bagaimana pun juga ia selalu melatari penciptaan puisi, dan
merupakan unsur utama dari apa yang disebut oleh Hagiwara sebagai shisheisin atau semangat puitik.
Agar tidak bertele-tele marilah saya
beri contoh berupa perbandingan sajak Amir Hamzah Berdiri Aku dan Chairil Anwar
Senja di Pelabuhan Kecil. Saya bandingkan sajak dua penyair ini oleh karena
sebenarnya mereka berangkat dari prinsip yang sama. Bagi mereka menulis puisi
bukanlah sekadar menyampaikan nasehat atau kritik, juga bukan sekadar bermain
dengan kata-kata indah, dan juga lebih dari sekadar mengekspresikan diri, yaitu
pikiran dan perasaan. Puisi bagi mereka adalah juga merupakan sejenis renungan
terhadap pengalaman batin dan obyek-obyek yang membangkitkan intuisi mereka
sehingga terdorong untuk memberi tanggapan. Puisi, dengan
demikian, adalah juga merupakan renungan dan sekaligus tanggapan terhadap kondisi eksistensial yang dialami penyair.
Keduanya juga meyakini bahwa kekuatan sebuah puisi yang genuine terletak pada
bangunan citra (image), baik citra lihatan maupun citra simboliknya, dan metafora. Yang membedakan dua penyair ini ialah pandangan hidup,
gambaran dunia, dan erlebnis (pengalaman hidup) masing-masing. Dengan kata lain yang membedakan ialah shiseishin atau semangat puitiknya.
Dalam Berdiri Aku Amir Hamzah
menulis, “Berdiri aku di senja senyap/Camar melayang menepis buih/Melayah bakau
mengurai puncak/ Berjulang datang ubur terkembang” (Bait 1) dan pada bait terakhir, “Dalam rupa maha
sempurna / Rindu sendu mengharu kalbu/Ingin datang merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Semangat puitik yang
melatari puisi ini adalah religiusitas. Penyair merasa rumahnya yang sejati
bukan di dunia ini. Tetapi di alam metrafisik. Inilah ciri penyair romantis atau neoromantis, perasaannya melambung jauh ke
lam tanzih (transsendental).
Shiseishin
Chairil Anwar berbeda. Dalam Senja di Pelabuhan Kecil setidak-tidaknya ia tidak
memiliki kerinduan seperti Amir Hamzah. Ia bertahan di rumah eksistensinya
walaupun harus berhadapan dengan sepi dan hampa : ‘Ini kali tidak ada yang
mencari cinta / diantara gudang, rumah tua, pada cerita/ tiang serta temali. Kapal,
perahu tiada berlaut / menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut / “ (bait 1) dan pada bait
terakhir “ “Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan…”
Contoh tersebut diberikan untuk
menjelaskan bahwa wawasan estetik
berbeda dengan semangat puitik atau
kepenyairan. Secara sederhana apa yang disebut wawasan estetik disini ialah
cara-cara penyair memperlakukan bahasa
atau kata-kata dan untuk fungsi apa ia memperlakukan menurut caranya. Kita tahu bahwa
pengucapan puitik adalah pengucapan tidak langsung menggunakan apa yang disebut
bahasa figuratif. Unsur utama
bahasa figuratif (majaz) ialah metafora, citra (image), simbol atau tamsil. Dengan itu puisi
menjadi multi tafsir, sebab ia adalah makna yang menurunkan
makna-makna”.
Oleh karena itu fungsi kata dalam
puisi tidak hanya mengandung makna referensial atau detonatif,
tetapi lebih jauh memiliki makna konotatif dan sugestif. Dikaitkan dengan
wawasan estetik yang berkembang dalam tradisi sastra dimanapun, pandangan
yang berbeda dengan bahasa /
kata dalam pengucapan puitik lantas muncul tiga pandangan, atau
katakanlah teori, tentang sastra /
puisi. Pertama, pandangan bahwa sastra merupakan tiruan kenyataan. Pandangan
ini dianut oleh kaum naturalis. Kata-kata dalam pengucapan puitik ditafsirkan
secara harfiah mengikut makna denotatif atau referensialnya. Kedua, pandangan bahwa sastra / puisi adalah
representasi dari obyek atau kenyataan dilihat dan dialami penulis. Kata-kata
mulai dilihat mengandung makna
konotatif. Ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa sastra / puisi merupakan
kias (simbolisasi) atas ide atau pengalaman estetik penyair. Dari
pandangan ini lahir keyakinan bahwa kata-kata mengandung makna simbolik dan sugestif. Maka
seperti itu berkaitan dengan pengalaman spiritual atau kenyataan transendental
yang dialami penyair.
Pandangan yang dominan dalam
masyarakat ialah pandangan pertama. Pada umumnya masyarakat kita melihat bahwa
karya sastra merupakan tiruan
atau representasi dari kenyataan. Karena itu dapat dimaklumi apabila mereka lebih mengapresiasi karya-karya yang
tidak menuntut perenungan seperti sajak-sajak sosial. Kecenderungan ini tidak kecil
pengaruhnya pada perkembangan puisi di Indonesia. Karena sajak-sajak sosial, baik yang mengandung pengajaran maupun yang mengandung kritik sosial lebih mudah
dicerna dan memenuhi cita rasa estetik mereka, maka perkembangan sajak-sajak
seperti itu
sangat subur. Padahal untuk melahirkan sajak sosial yang bagus seperti sajak-sajak
Rendra dan Taufiq Ismail, bukanlah suatu yang mudah.
Agar mudah dicerna marilah saya jelaskan
sebagai berikut. Apabila dilihat dari sudut
pandang wawasan estetik ada empat kecenderungan umum dalam melihat tujuan
penulisan sastra atau puisi.
Pertama, kecenderungan yang
memandang bahwa fungsi puisi memberikan pengajaran atau menyajikan tanggapan terhadap
kenyataan, khususnya
kenyataan sosial. Sajak-sajak yang sarat kritik sosial termasuk dalam klasifikasi
ini. Penyair yang memandang fungsi puisi seperti cenderung menjadikan kata-kata
sebagai sarana pengungkapan keadaan yang ada dalam masyarakat atau menjadikan kata-kata untuk menyampaikan
pengajaran. Tetapi yang berhasil melahirkan karya-karya yang bermutu seperti
Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun
Najib, pada akhirnya berhasil disebabkan penguasaannya atau bahasa puitik, bukan oleh wawasan estetiknya. Hanya saja kebanyakan orang
memandang bahwa penulis sajak seperti itu mudah disebabkan caranya memandang
fungsi sastra seperti itu.
Kedua, kecenderungan yang memandang
bahwa sastra merupakan ekspresi diri, baik
ekspresi diri kolektif maupun diri individual. Penyair yang memilih cara pandang
seperti itu akan memperlakukan kenyataan dan obyek-obyek dalam kehidupan dan
alam sebagai sarana pernyataan (imitasi) atau representasi dari kenyataan,
melainkan sebagai pernyataan pengalaman, gagasan dan pikiran subyektif penyair
dalam menanggapi kehidupan dan kondisi kemanusiaan. Pada tahap yang tinggi
seperti terlihat pada sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang,
Subagio Sasrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji
Calzoum Bachri, yang dicapai bukan semata-mata ekspresi diri melainkan juga
renungan yang mengandung nilai universal. Saya kutip sajak pendek Sutradji
Calzoum Bachri :
Hari ke hari
Bunuh diri perlahan-lahan
Hari ke hari
Luka bertimbun di badan
Maut menabungku
Segobang-gobang
Ketiga, pandangan yang
menyatakan bahwa puisi sebenarnya hanya permainan kata-kata atau cara membuat
indah pengucapan. Pandangan ini tampak dalam puisi yang mengandalkan
kekuatannya pada ornamentasi (alamkara Sansekerta) atau kemahiran memainkan
kata-kata, termasuk menguir kata-kata. Sajak-sajak panjang Taufiq Ismail banyak
menggunakan prinsip ini. Dalam cara dan dengan semangat puitik lain prinsip ini
tampak dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sutardji Calzoum Bachri. Sajak-sajak
dengan gaya seperti ini banyak ditemui di Indonesia.
Keempat, pandangan yang berpendirian
bahwa sebenarnya puisi lebih dari sekadar permainan kata dan ekspresi diri. Ia
juga adalah hasil renungan penyair terhadap pengalaman batin dan kondisi
kemanusiaan yang dihayatinya dalam kehidupan sosialnya. Hampir semua penyair terkemuka
di Indonesia melahirkan puisi semacam itu walaupun dalam kadar berbeda-beda.
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono, dan Sutradji Calzoum Bachri, melahirkan banyak puisi seperti itu.
Penyair seperti Rendra, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, dan lain-lain tak begitu
banyak melahirkan puisi seperti itu.
Karena
masing-masing memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda, dalam mengapresiasi
dan menilainya kita harus menggunakan landasan teori, metode, dan kaedah
estetik yang berbeda.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar