Oleh : Hamsad Rangkuti
*Lahir di Titikuning,
7 Mei 1943. Sejumlah cerpennya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan
Jerman, antara lain dimuat di Voice in Southeast Asia Solidarity (1991),
Managerie I (1992), Manoa, a Pacific Journal of International Writing,
University of Hawaii Press (1991), Beyond The Horizon, Short Stories From
Contemporary Indonesia, Monash Asia Institude, Jurnal Rima, Review of Indonesia
and Malaysia Affairs, Universitas Sydney (1991). Selain itu, cerpennya terdapat
dalam antologi cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir (ed. Suratman Markasan) (1991),
Derabat : Cerpen Pilihan Kompas 1999, dan Dua Tengkorak Kepala : Cerpen Pilihan
Kompas 2000. Bukunya Lukisan Perkawinan (1982, terbit ulang 2005), Cemara
(1982), Ketika Lampu Berwarna Merah dan Sampah Bulan Desember (2000).
(Disampaikan pada Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru, Riau, 26 s.d
30 November 2005)
Saya adalah seorang penglamun yang
parah. Saya suka duduk berjam-jam di atas pohon, membiarkan pikiran saya
melayang ke mana dia suka, tanpa saya mengontrolnya dan saya merasa nikmat.
Saya merasa seolah berada di dunia lain, dunia imajinasi, dunia ciptaan saya.
Sejak kecil saya suka malam hari.
Malam hari adalah milik orang-orang yang terjaga. Terkadang saya seperti
berhadapan dengan diri sendiri. Saya juga sangat dekat dengan ayah saya. Ayah
pandai bercerita. Terutama cerita-cerita dari dunia dongeng. Oleh sebab itu
saya suka menemaninya bekerja sebagai penjaga malam di sebuah pusat
perbelanjaan di kota kecil tempat kami tinggal, Kisaran namanya. Ayah saya suka
bercerita kepada saya untuk melawan kantuk. Kalau ayah saya tidak bercerita,
saya suka duduk seorang diri di dalam gelap memandang ke luar, ke jendela rumah
milik penambal ban sepeda. Dia mempunyai seorang anak gadis yang saya suka.
Saya suka mengempeskan ban sepeda
dan pergi ke bengkel sepeda itu memompanya. Saya lakukan berlama-lama memompa
ban sepeda itu sampai anak gadis itu keluar untuk keperluan sesuatu yang dia
cari-cari, misalnya membuang sampah dapur. Saya melirik kepadanya, dia melirik
kepada saya dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian. Malam harinya
saya menyusuri lorong gelap di dalam pajak, los tempat berjual ikan, sayur,
buah, sapu lidi, sapu ijuk, bakul anyaman bambu dan keranjang-keranjang rotan.
Di balik rentangan kawat jala-pagar pusat perbelanjaan itu dibuat dari jalinan
kawat jala- di seberang jalan, di loteng rumah penambal ban sepeda tadi, daun
jendela terkuak. Anak gadis itu membiarkan cahaya bulan masuk memeluk tubuhnya
dengan warna perak. Saya sandarkan ujung tangga pada sisi atas besi pagar, saya
naik dan memindahkan posisi tangga. Saya turun dan membawa tangga,
mengendap-endap ke bawah jendela. Saya letakkan ujung tangga di bawah bandul jendela.
Selangkah demi selangkah saya naik, lalu muncul diluar jendela. Dia melihat
saya. Lalu lari ke pintu, menutupnya, dan menguncinya dari dalam. Dari pintu
yang telah terkunci dia lari ke jendela, menolong saya masuk, dan mendorong
ujung tangga. Terdengar tangga jatuh dan sepi malam. Kemudian dia tutup daun
jendela, mengusir cahaya bulan. Bulan tak ikut masuk. Lewat kisi jendela dia
mengintip, melihat saya menggantikannya.
Pagi harinya, di kedai minum, saya
ceritakan petualangan cinta saya itu kepada teman-teman. Mereka merasa panas
hatinya. Arida adalah gadis idaman kami. Mereka tidak percaya saya begitu mudah
masuk ke dalam kamarnya lewat jendela dengan sebuah tangga dan menanggalkan
semua pakaiannya. Mereka bilang saya berbohong. Saya mereka bilang pembohong
besar. Kalau saya saat itu adalah saya yang sekarang, saya akan bilang dan
berkilah, itulah imajinasi.
Dari sekolah, saya tidak
langsung pulang, tapi saya pergi dulu ke
Kantor Wedana. Saya tahan berdiri berjam-jam dibawah papan tempel tempat dilekatkannya
bermacam koran yang terbit di ibukota provinsi. Di bawah papan tempel itulah
saya berkenalan dengan dunia fiksi. Saya tidak berkesempatan membaca buku
karena saya tidak memiliki buku. Saya tidak tahu dimana tempat meminjam buku.
Di kota kecil saya itu tidak ada perpustakaan. Bahkan kami tidak mampu membeli
koran. Untunglah Pak Wedana yang mengerti kondisi ekonomi masyarakatnya
menempel koran di papan tempel yang diletakkan di halaman kantornya. Disitulah
setiap Senin saya membaca fiksi hari Minggu. Saya menemukan cerpen Anton
Chekov, Gorky, Hemingway, O Hendri dan berbagai karya terjemahan lainnya. Di
Medan ada sebuah surat kabar, yang berselera tinggi, Mimbar Umum namanya.
Setiap minggu selera redaksinya yang baik telah mengarahkan bacaan saya.
Pada usia sekolah rendah, ukuran
baik menurut saya adalah apabila bacaan yang saya baca itu mampu mengganggu
saya. Gangguan akibat bacaan itu tidak jarang tinggal dalam diri saya
berlama-lama. Bahkan ada yang tak hilang sama sekali. Tanpa saya sadari timbul keinginan
pada diri saya untuk menjadi pengganggu. Saya ingin mengganggu melalui
imajinasi yang saya peroleh kepada orang lain.
Disamping kebiasaan saya suka
membaca, saya juga suka mendengar ayah saya mendongeng. Ayah memang seorang
pendongeng. Tukang cerita. Waktu itu ayah telah lebih dulu mengambil peranan
televisi bagi anak-anak selepas mengaji. Ayah mendongeng dengan muatan agama
dan akhlak. Saya ingin seperti ayah, dan ingin seperti pengarang-pengarang yang
karyanya bisa mengganggu saya. Itulah motivasi awal mengapa saya membuat
cerita.
Cerita pendek saya yang pertama,
yang saya tulis ketika saya berusia 16 tahun (1959), berjudul Sebuah Nyanyian
di Rambung Tua. Ide cerita saya peroleh ketika saya mengulang kebiasaan saya
yang suka menyendiri di hutan rambung. Saya melihat buruh penderes getah sedang
menggarap getah dari pohon satu ke pohon yang lain. Saya lihat ada orang datang
ke hutan rambung itu. Dia seperti dijemput. Entah untuk apa. Itulah yang saya
lihat. Dia dijemput orang. Mulailah saya dengan kebiasaan saya. Dalam imajinasi
saya tampak oleh saya isteri penderes getah itu sedang hamil tua. Di kamar
mandi yang licin berlumut, di barak mereka yang jorok, isteri penderes getah
itu terpeleset dan menderita pendarahan yang parah. Para tetangga melarikannya
ke rumah sakit onderneming dengan
truk perkebunan. Isteri malang itu meninggal. Dalam perjalanan menuju rumah
sakit dia mengenang perjalanan panjang mereka sebelum dia menjadi kuli kontrak.
Saya merasa sebuah nyanyian panjang memilukan berkumandang di sepanjang
perjalanan di hutan rambung itu. Cerpen itu saya ketik di Kantor Wedana.
Setelah selesai saya simpan. Suatu hari keponakan saya, seorang penyair dan
wartawan, Umaruddin Yasin Amin namanya, membawa koran Indonesia Baru,
menunjukkan cerpen itu dimuat di koran itu. Dari dia saya tahu bahwa, diam-diam
naskah cerpen itu dia curi dan dia kirim ke koran yang terbit di Medan.
Perjalanan hidup saya rasanya perlu
dipaparkan untuk melengkapi gambaran proses kepengaraangan saya. Lingkungan
berperan penting juga bagi tumbuhnya jiwa kepengarangan saya. Perjalanan hidup
membikin saya pindah dari satu kota kecil. Kisaran, ke kota besar, Medan.
Lingkungan pun berubah. Di Medan saya
mulai berusaha mendekati tokoh-tokoh seniman setempat, yang suka berkumpul di Warung
Tinggi – warung yang lantainya tinggi, memakai tiang seperti panggung –
minum-minum sambil membicarakan karya sastra yang terbit di majalah-majalah
pusat, seperti di Konfrontasi, Indonesia, Sastra, dan Mimbar Indonesia.
Kehadiran saya ditengah-tengah seniman-seniman itu tidak dianggap karena karya
saya belum ada yang berarti. Belum ada muncul di majalah-majalah yang mereka
bicarakan. Tetapi saya tidak patah semanagat, saya tetap ingin dekat dengan
mereka.
Di Medan saya dititipkan orang tua
saya di rumah paman saya yang menjalankan agamanya dengan sangat fanatik. Waktu
itu saya tidak pernah lalai menjalankan ibadah, terutama shalat Jumat di Masjid
Raya. Masjid itu terletak di depan Istana Maimun. Di seberang halaman masjid
itu, dipisah sebuah jalan raya, ada kolam, kolam raja namanya disebut orang.
Kalau malam, kolam itu dijadikan tempat rekreasi penduduk kota. Lama-kelamaan
tempat itu berkembang menjadi lokasi taman hiburan. Dari sana mengumandang lagu
penghibur lara lewat pengeras suara yang distel keras-keras, beradu keras
dengan adzan saat menjelang waktu maghrib. Melihat itu, saya tergugah untuk
menjadikan masjid itu sebagai tokoh cerita yang telah serak suaranya. Orang
yang datang mendengar panggilannya, tetapi orang datang pada panggilan ke kolam.
Cerpen kedua saya lahir. Saya beri
judul Masjid (1960). Dalam cerpen itu saya menceritakan juga nasib tangga
menaranya yang sudah lapuk, yang sudah tidak bisa digunakan untuk muazin naik
ke puncaknya. Saya juga bercerita bahwa saya sudah tidak bisa lagi naik ke
puncak menara itu bersama ayah sebagai juru azan. Saya gambarkan lapuknya
tangga itu berakibat saya sudah tidak bisa melihat keindahan kota di malam
hari, saat ayah mengumandangkan azan. Modin sekarang mengumandangkan azan di
depan mihrab. Kumandang azan telah merambat melaui rentangan kabel ke puncak
menara. Kata ayah, tangga menara benar telah lapuk.
Cerpen itu dimuat di mingguan
Waspada. Dari nada penceritaan saya yang sangat menggugah dan mengharukan,
membuat masyarakat seniman setempat memperhatikan saya. Rupanya mereka merasa
kecolongan oleh saya, calon pengarang yang baru pindah ke kota mereka. Diantara
mereka adalah Herman KS, Zakaria M Masse, Djohan A Nasution, AA Bungga, Arsul
Rubaiyan dan Zainuddin Tamir Koto (Zatako). Mereka mulai menghiraukan saya dan
telah mau pula meminjamkan buku dan majalah kepada saya. Sayapun kemudian bisa
membaca Pohon Kastanye Mochtar Lubis, Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer,
Robohnya Surau Kami AA Navis.
Menu kepengarangan saya sudah
semakin bertambah. Saya semakin yakin bahwa dengan makin banyak membaca semakin
banyak yang bisa diperoleh. Maka lahirlah cerpen ketiga saya yang berjudul
Panggilan Rasul. Cerpen ini masuk dalam buku kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia
kelas tiga SMU. Cerpen itu saya tulis ketika saya masih duduk di SMU kelas satu
(1960) dan dipublikasikan di Horison, 1966.
Ide cerita melintas dalam, benak
saya waktu naik sepeda dari rumah keluarga saya di Titikuning. Dalam perjalanan
pulang, sepeda saya terhambat kerumunan orang di depan rumah penduduk yang
sedang mengkhitankan anaknya. Dalam penglihatan saya, kerumunan orang banyak
itu bukan bergembira ria, tapi penuh duka cita. Di ruang tengah, anak yang
disunat itu telah tiada akibat pisau sunat yang ditorehkan sang dukun telah
merenggut nyawanya.
Kilasan peristiwa tragis yang
bermain dalam benak saya itu mengganggu saya sepanjang perjalanan. Saya
diganggu oleh imajinasi saya. Sepanjang perjalanan bersepeda, saya biarkan
kebiasaan saya dengan imajinasi liar yang saya miliki. Saya mulai merangkai
sebuah kisah yang bertolak dari kejadian itu menjadi kisah yang lain. Dalam
imajinasi saya, rumah orang yang menyunat rasul anaknya itu adalah rumah
seorang tuan tanah. Orang berkerumun itu adalah penduduk penggarap tanah milik
si tuan tanah, yang datang berdo’a bagi keselamatan putra tuan tanah, yang
sedang disunat itu. Dua putranya yang terdahulu, beberapa tahun yang lalu,
berturut-turut menemui ajalnya di ujung pisau sunat. Untuk anak yang ketiga ini,
apabila do’a para petani itu makbul, anak yang ketiga itu selamat disunat
rasul, tuan tanah itu akan memenuhi janjinya : memberi tanah kepada para petani
penggarap ini makbul, anak yang ketiga itu selamat disunat rasul, tuan tanah
itu akan memenuhi janjinya, memberi tanah kepada para petani penggarap.
Pada waktu itu seniman-seniman Medan
sedang berlomba-lomba mengirimkan karangan mereka ke majalah Sastra yang terbit
di Jakarta. Diam-diam saya kirim cerpen itu ke majalah Warta Dunia di Jakarta.
Karya itu dimuat. Gengsi saya mulai ada. Penulis terkemuka di Medan, Sori
Siregar, sudah mau membalas sapaan saya. Dia bilang cerpen itu bagus. Dia
menganjurkan agar saya mengetik ulang cerpen itu dan mengirimkannya ke majalah
Sastra. Anjuran itu saya laksanakan. Sebulan kemudian saya menerima surat
pemberitahuan dari majalah Sastra, bahwa cerpen itu akan dimuat. Saya merasa
bagaikan mendapat lotere menerima surat itu. Saya mengambil sepeda saya. Saya
berkeliling kota mendatangi rumah teman-teman seniman yang saya kenal,
menunjukkan surat dari majalah Sastra itu, seolah saya pegawai pos yang mendatangi
rumah-rumah si pemilik alamat. Nama HB Jassin sebagai penentu mutu karya menjadi
ukuran mereka untuk mau mengakui keberadaan seorang pengarang, telah saya
miliki. Kepada saya semakin banyak orang meminjamkan buku, diantaranya adalah
AE Soewuta, NA Hadian, Zaini Nasution. Seolah surat dari majalah Sastra itu
bukti kepengarangan saya. Saya pun kemudian diikutsertakan mereka dalam
rombongan pengarang Sumatera Utara ke Konperensi Karyawan Pengarang Seluruh
Indonesia (KKPI) di Jakarta, 1964. Ironisnya, cerpen itu tidak terwujud dimuat
di majalah Sastra, hingga majalah itu mati karena manifes kebudayaan.
Saya tergolong penulis berbakat
alam. Semula saya tidak mendapat pendidikan khusus mengenai karang-mengarang.
Saya hanya mendapatkan teori dari buku Teknik Mengarang Mochtar Lubis. Saya termasuk
pengarang yang tidak produktif. Setelah Panggilan Rasul, saya mengarang Ibu
Yang Pemalu, kemudian Sebuah Spanduk (SP). Cerpen SP saya ciptakan untuk
mengikuti sayembara mengarang yang diadakan Front Nasional Sumatera Utara.
Waktu itu kaum Manifes Kebudayaan sedang diganyang Lekra. Saya termasuk
penandatangan Manifes Kebudayaan untuk daerah Sumatera Utara. Saya dipecat dari
harian Patriot sebagai pengasuh ruang budaya koran itu bersama-sama dengan
Herman KS. Dalam keadaan tertekan seperti itu timbul keinginan saya hendak
menunjukkan identitas diri. Saya pun mengikuti sayembara itu. Saya menggunakan
nama samaran. Waktu cerpen itu diumumkan sebagai pemenang pertama, saya maju ke
atas panggung menunjukkan diri sebagai pemenang.
Kepindahan saya ke Jakarta merupakan
nasib baik untuk kepengarangan saya. Saya tinggal di Balai Budaya. Tidur setiap
malam diatas selembar koran di atas ubin Balai Budaya. Pada siang harinya, saya
menguping pembicaraan tokoh-tokoh kebudayaan yang berdiskusi di Balai Buadaya.
Diantara mereka adalah Trisno Sumardjo, Zaini, Oesman Efendi, Nashar, dan Anas
Maruf. Saya kira di Balai Budaya itulah proses kepengarangan saya mulai
menyimpang dari apa yang saya miliki ketika saya hidup dilingkungan keluarga
paman saya di Medan. Di Balai Budaya saya mulai liar bagaikan kuda lepas
kendali. Seniman-seniman liar seumur saya mulai membawa saya masuk ke dalam kehidupan
di gubuk-gubuk kere di sepanjang tepi Kali Malang, juga ke Planet Senen
mengasah kepekaan. Sementara itu, surat dari majalah sastra masih terus
mengganggu saya. Saya belum bisa menulis kalau cerita pendek itu belum dimuat.
Kabar dari majalah Horison mulai menggugah saya untuk menulis. Cerpen yang tak
jadi dimuat di majalah Sastra itu, oleh HB Jassin dioper ke majalah Horison dan
dimuat pada penerbitannya yang ke 4. Setelah itu lahirlah cerpen-cerpen saya
yang lain, Surat, Jembatan, dan Ikan Yang Tersesat di majalah itu.
Saya adalah pengarang yang tidak
produktif. Selama kurun waktu 19 tahun, 1960-1979 saya hanya menghasilkan 7
buah cerita pendek. Mencipta bagi saya adalah pekerjaan yang sukar. Saya ingat
sekali bagaimana lahirnya cerpen Lumpuh. Suatu kali saya bertamu ke rumah
Sriwidodo, seorang pelukis di Karet Kuningan. Tempat tinggalnya itu masih
berada di lingkungan desa. Pekarangannya ditumbuhi kebun pepaya. Saya kalau
datang suka memandangi pohon pepaya itu. Saya ingat pada paman saya yang
fanatik dan saya ingat keponakan istrinya yang lumpuh yang tinggal di rumah
itu. Saya merasa berdosa sekarang. Saya sudah lama meninggalkan kewajiban saya
sebagai orang yang beragama. Dari suasana hati seperti itu saya mengambil pena.
Merangkai cerita dari tiga titik sumber, ayah saya, pohon pepaya, dan keponakan
makcik saya yang lumpuh.
Tahun 1972 saya menikah. Istri saya
keponakan pelukis Mustika yang kebetulan orang Jawa dan bertempat asal
Purworejo, Jawa Tengah. Seminggu di Jawa. Disanalah saya melihat sungai yang
sedang meluap. Pemandangan itu mengingatkan saya pada banjir besar yang pernah
saya lihat. Air keruh menutup rata sawah. Rumah penduduk terendam, hanya
menyisakan bubungannya. Saya berdiri di atas jembatan. Air telah melintas di
atas lantai, membasahi sepatu saya. Terdengar suara berderak-derak dari tiang
penyangga. Pohon tumbang yang hanyut tersangkut pada tiang jembatan itu. Saya cepat
melangkah, menghindar dari jembatan. Saya melihat orang terjun ke dalam air
memotong dahan dan ranting-ranting. Saya tidak ingat dimana kejadian itu.
Tetapi itulah yang saya ingat disaat melihat sungai meluap di kampung isteri
saya.
Saya telah banyak mendengar dan
membaca cerita mengenai banjir. Selalu yang diceritakan kesengsaraan dan air
mata. Saya tidak ingin mengulang cerita semacam itu. Saya ingin membikin
lelucon akibat banjir. Saya mendapatkan sebuah lelucon setelah banjir : seekor
ikan besar tersesat dan tertinggal di dalam tebat penduduk setelah banjir
surut. Ikan besar yang ditinggalkan air bah di dalam tebat penduduk itu terlena
setelah melahap ikan-ikan kecil yang ada di dalamnya. Dia lupa bahwa setelah banjir, air akan surut. Itulah lelucon itu.
Saya tersenyum menemukan lelucon itu. Agar cerita tidak tinggal lelucon saja,
maka saya pun memasukkan sifat tamak manusia. Permasalahan jadi meluas setelah
lurah desa mendengar kabar ada ikan berukuran besar tersesat di dalam tebat
penduduk. Lurah ingin memiliki ikan itu untuk disumbangkan ke gubernur guna
mengisi aquarium raksasa yang sedang dia rancang untuk ditaruh di kebun
binatang yang ada di kota. Saya memperluas cerita dengan melibatkan sekelompok
petani yang memprotes rencana lurah. Protes timbul karena lurah dianggap
merampas hak rakyat kecil, si pemilik tebat. Lurah itu saya gambarkan lupa akan
kewajibannya mengurus para pengungsi akibat banjir, tapi terus mengurus
kebiasaannya yang menilai keatas dan menginjak ke bawah.
Saya masih ingat, HB Jassin memberi
komentar tentang cerita itu ketika saya ambil setelah dia periksa Horison.
(Waktu itu saya telah bekerja di majalah Horison). Pak Jassin menyarankan agar
bagian akhir cerita diubah. Menurut Pak Jassin, sebaiknya cerita diakhiri
dengan memberikan ikan yang tersesat itu kepada pemilik tebat. Alasan Pak
Jassin, tugas kita sebagai pengarang harus memihak kepada yang tertindas. Saya
setuju pendapat Pak Jassin itu. Tetapi saya tidak bisa memihak kepada pemilik
tebat itu. Saya tidak bisa mempertahankan dia sebagai orang yang berbudi luhur
yang dimiliki orang tertindas. Imajinasi liar saya menjadikan dia keluar dari
konteks orang yang berbudi luhur. Pemilik tebat itu tiba-tiba berubah menjadi orang yang tak berbudi dan
dia telah menjadi tamak. Dia pergi ke hutan membawa parang, menetak akar tuba,
mengumpulkannya di dalam karung. Dia menumbuk akar tuba di dalam hutan dan
berniat hendak menuba tebatnya sendiri. Menurut pertimbangan jahatnya, ikan
yang mati karena akar tuba tentu tidak mungkin diserahkan ke kebun binatang
pengisi akuarium. Saya menjadi tidak bersimpati kepada pemilik tebat itu. Dia
telah berubah menjadi orang yang serakah. Saya sadar bahwa yang pengarang
cerita itu adalah saya. Saya yang menjadikan pemiliki tebat itu menjadi orang
yang serakah. Barangkali juga sayalah si pemilik tebat itu. Sayalah yang telah
menjadi serakah. Saya harus dihukum. Dan saya tetap membiarkan cerita itu
berakhir seperti yang saya tulis sebelumnya. Saya tidak ikut saran Pak Jassin.
Saya tetap membikin pemilik tebat itu menjadi orang yang serakah dan dia harus
dihukum. Semua pihak saya hukum. Cerita saya sudahi dengan lenyapnya ikan yang
tersesat itu didalam timbunan lumpur yang ditimbun si pemilik tebat itu.
Tahun 1975 merupakan tahun bergesernya
posisi kepengarangan saya dari penulis berbakat alam ke penulis yang menguasai
unsur teknis. Tahun ini saya mendapat kesempatan mengikuti workshop penulisan
skenario di Lembaga Kesenian Jakarta (LPKJ). Workshop ini merupakan kerjasama
antara Departemen Penerangan RI dan LPKJ. Selama 6 bulan saya menimba ilmu
penulisan skenario. Dari sanalah saya mengenal unsur-unsur penulisan yang harus
dikuasai oleh seorang pengarang. Ternyata semua bidang pengetahuan ada ilmunya.
Tidak terkecuali di dunia tulis-menulis. Apakah ilmu itu mendatangkan kebaikan
pada kepengarangan saya ?
Setelah empat tahun ilmu penulisan
itu saya miliki, saya mulai mempraktekkannya. Lahirlah cerpen pertama saya
setelah saya menguasai ilmu teknik mengarang skenario. Cerpen itu berjudul Sebuah Sajak. Saya heran
sendiri waktu menciptakan cerpen itu, saya tidak mendapat kesulitan. Lancar
sekali. Langsung ketik dan jadi. Kemudian saya coba menulis cerpen berikutnya.
Lahirlah cerpen yang saya beri judul Cerita Awal Tahun. Saya tulis sehari jadi.
Maka saya pun mengorek semua pengalaman saya waktu saya bagaiakan kuda lepas
menyusuri rel diantara gubuk-gubuk liar disepanjang kali Ciliwung. Lahirlah
novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Novel ini menceritakan kehidupan gelandangan
dan pelacur-pelacur murahan di sepanjang rel.
Selanjutnya bagi saya begitu mudah.
Saya sudah bisa menjadikan cerpen dari apa yang saya dengar. Menjadikan cerpen
dari apa yang saya lihat. Menjadikan cerpen dari apa yang saya baca. Saya telah
menjadi penulis yang produktif. Satu bulan bisa menghasilkan beberapa cerita
pendek.
Ada cerita yang saya dengar disampaikan
seorang penumpang wanita kepada kami penumpang kendaraan opelet. Cerita wanita
itu telah mengilhami dua cerita pendek, Perbuatan Sadis dan Pispot. Saya
mendengar cerita itu waktu saya pulang dari percetakan CV Kosen (tempat majalah
Horison dicetak sebelum berubah ke offset). Pergi dan pulang dari percetakan
saya selalu naik opelet. Di tengah kendaraan yang saya tumpangi terhambat oleh
kerubungan orang banyak. Mungkin satu peristiwa baru saja terjadi disitu. Dari
seorang penumpang yang baru naik, kami jadi tahu bahwa dtempat itu baru saja
terjadi penjambretan. Korbannya, adalah seorang wanita muda, pemilik sebuah
kalung emas seberat dua puluh lima gram. Seorang penumpang wanita di opelet itu
nyeletuk setelah mendengar cerita penumpang yang baru naik itu. Kata penumpang
itu, dia melihat sendiri suatu peristiwa penjambretan di kota Bandung. Korban
penjambretan itu, oleh sekawanan penjambret dipaksa menelan kalung yang dipakainya
setelah kawanan penjambret yang merampas kalung itu menyadari bahwa kalung yang
baru mereka jambret adalah palsu. Dibawah todongan belati pemilik kalung palsu
itu dipaksa menelan kalung palsunya itu. Saya bergidik mendengar cerita itu :
seorang wanita muda menelan kalung imitasi miliknya sendiri dibawah todongan
sebuah belati.
Waktu saya membikin Cerpen Perbuatan
Sadis (cerpen itu terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember )
saya harus membikin cerita tentang itu. Saya harus bisa membikin pembaca tergidik
seperti saya tergidik mendengar cerita itu. Pengetahuan tehnik itu pun menolong
saya. Mula-mula saya tentukan settingnya. Saya ingat akan kata-kata Sherwood
Anderson kepada muridnya : “Yang penting dipelajari adalah mengetahui apa yang
dipikirkan orang, bukan apa yang mereka katakan.” Apa yang dipikirkan oleh
wanita yang mengucapkan peristiwa itu, bukan apa yang dia perkatakan. Itulah
yang saya kaji. Yang dipikirkannya ! Kalau menelan kalung itu. Saya telah mendapat
kuncinya. Peristiwa menelan itu. Maka
tugas saya sekarang adalah merangkai suatu peristiwa sedemikian rupa, sehingga
bila pembaca sampai pada bagian menelan kalung itu mereka menjadi bergidik.
Itulah kuncinya. Satu hal yang penting yang perlu saya ingat adalah bagaimana
mempertahankan perhatian dan minat baca.
Saya pun mencari gang. Gang di sebuah
kota adalah tempat menyimpan kemiskinan dan kemelaratan. Kalau orang mendengar
kata gang, dibenak mereka telah tergambar macam-macam. Kekerasan dan kemelaratan
merupakan satu-kesatuan. Gang sebagai setting cerita saya jadikan tempat keluar
dan masuknya tokoh penjambret. Karena saya akan menceritakan kesadisan maka
saya harus memulai cerita itu dengan contoh-contoh kesadisan yang dikenal
pembaca. Pembaca saya harapkan bisa membandingkan kesadisan-kesadisan yang
mereka kenal lewat contoh-contoh yang saya contohkan. Tugas saya selanjutnya
adalah membikin pembaca shock. Saya bermain tehnik. Kepada pembaca saya
beritahu bahwa kalung yang baru dijambret itu adalah kalung palsu lewat rasa
bangga si wanita yang kena jambret. Mendengar pengakuan si pemilik kalung itu
saya yakin para pembaca menjadi lega. Disaat para pembaca menjadi lega karen ternyata
kalung itu palsu, pada saat seperti itu saya tampilkan kembali para penjambret
itu. Mereka muncul dari dalam gang, membawa segelas air dan memaksa pemilik
kalung itu menelan kepalsuannya, kalung imitasi yang dipakainya itu. Untung
kalung itu tidak memakai liontin. Apakah cerita itu bisa diselesaikan hingga
sampai disitu ? Saya belum merasa puas. Saya merasa cerita belum bisa selesai
disitu. Saya belum puas dan masih terus mencari penyelesaiannya. Kemanapun saya
pergi, cerita ynag belum saya anggap selesai itu saya bawa di dalam pikiran
saya kemanapun saya pergi. Suatu kali, setahun setelah itu, dari luar jendela
bus yang saya tumpangi, dari keramaian pasar yang dilintasinya, saya tiba-tiba
menemukan penutup cerita itu. Saya tersenyum mendapat penutup ceita itu. Saya
seakan mendengar suara seorang wanita memekik meminta tolong, wanita yang
memekik itu di dalam imajinasi saya adalah korban penjambretan setahun yang
lalu itu : Tolong ! Saya menelan perhiasan ! Coba bayangkan, berapa lama waktu
yang saya perlukan untuk mendapatkan kalimat penutup cerpen itu. Satu tahun lamanya.
Sementara para pembaca, hanya memerlukan beberapa detik setelah dia selesai
membaca kalimat sebelumnya.
Saya akan ceritakan satu contoh
lagi. Dari ucapan yang saya dengar telah menjadi kunci sebuah penciptaan.
Cerpen yang saya maksud berjudul Dia Mulai Memanjat. Oesman Efendi, seorang
pelukis senior pada waktu itu di Balai Budaya, berkata kepada seorang pelukis
muda di depan saya : Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran
Senayan. Katakan itu karyamu ! Kau akan terkenal. Saya tidak bisa menyimpulkan
apakah ucapan itu mengandung sikap sinis atau sebaliknya. Namun ucapan itu
telah merangsang kreativitas saya. Kalimat itu harus diwujudkan menjadi sebuah
cerpen. Bagaimana cara yang dilakukan, sementara patung di Bundaran Senayan itu
tetap utuh sebagai realitas yang ada. Maka yang harus diceritakan adalah
pikiran orang yang hendak memenggal kepala patung itu. Bukan eksekusinya. Maka
saya pun merangkai peristiwa yang membaurkan peristiwa yang ada di dalam
pikiran dengan peristiwa yang nyata. Sayapun membikin dua peristiwa di dalam
satu peristiwa.
Menurut pengalaman, saya akan
menentukan teknik penyuguhan, baru saya menciptakan mood, suasana hati. Suasana
hati sangat menentukan rasa cerita. Saya bisa juga mengarang dari nol. Tidak
ada ide. Misteri penciptaan akan datang disaat kita mencipta. Dialog dan narasi
akan datang susul-menyusul, dengan sendirinya, begitu latar, tokoh dan
peristiwa telah ditemukan.
Pada dasarnya mengarang bagi saya
adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun
unsur dramatis, dan memasukkan unsur keindahan. Apakah saya berhasil ? Saya
hanya berusaha untuk berhasil.
Sampai sekarang pun, saat saya
menciptakan cerpen terakhir yang saya ciptakan Gelombang Yang Berlabuh, Kompas
11 September 2005, pengetahuan teknik tetap menopang kepengarangan saya. Saya
masih tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan saya, seperti dulu, ketika
menyendiri di hutan rambung, sekarang pun kebiasaan itu tetap saja saya
pelihara, membiarkan imajinasi liar saya menjelajah ruang dan waktu. Saya
berpendapat, untuk kepentingan efek, untuk kepentingan maksud dan untuk
kepentingan tujuan, seorang pengarang harus berani bersikap. Seorang pengarang
harus tega. Saya harus tega, kalau saya tidak tega, akibat dari tawuran itu tentu
tidak akan tercapai. Tawuran selalu merenggut korban yang tak berdosa.
Suatu kali saya mendengar cerita,
seorang anak sekolah yang naik di atas atap kereta rel listrik, dilemparkan
para pemalak saat kereta sedang melaju. Kesalahan anak itu cuma satu. Dia tidak
bisa menyerahkan sejumlah uang yang diminta para pemalak. Saya terkejut
mendengar cerita itu. Di atas atap kereta rel listrik yang sedang berjalan
berkeliaran para pemalak. Mengapa mereka begitu kejam. Mengapa mereka begitu
tega. Tentu ada penyebabnya.Sementara itu, peristiwa tawuran terus-menerus
berlangsung di jalan-jalan. Banyak korban yang tidak berdosa yang menjadi
sasaran.
Begitu saya tahu bagaimana teknik
bercerita, maka saya bisa produktif. Pengetahuan teknik telah menyelamatkan kepengarangan
saya. Banyak pengarang tidak lagi mengarang hanya mengandalkan bakat alam
semata. Kalaupun mereka memaksa diri untuk terus mengarang, mereka hanya
mengulang-ulang kenangan masa lalu. Walau demikian, banyak juga orang
berpendapat bahwa teknik hanya untuk para tukang, untuk para pemula. Bahkan ada
yang berpendapat, teknik dipelajari hanya untuk dilupakan.
Terkadang saya bertanya, mengapa
penulis-penulis klasik kita menulis lebih baik ? Beberapa ciptaan pengarang
kita sekarang ini saya baca dengan penuh perhatian, akan tetapi banyak sekali
tulisan-tulisan yang menimbulkan pertanyaan dalam diri saya : Mengapa dia
ditulis ? Semua hal memang terdapat di dalamnya, akan tetapi ada sesuatu yang
tidak terdapat, bacaan-bacaan itu tidak mengharukan saya.
Dalam berkarya saya tak mengenang
masa-masa lalu untuk diangkat sebagai karya. Saya sadar bahwa pengarang adalah
saksi jamannya. Saya hidup di jaman ini. Maka saya pun menuliskan kehidupan
masyarakat di jaman ini, dimana saya tinggal. Dalam mengarang, saya sangat terikat pada ruang dan
waktu.
Dalam perjalanan hidup saya, saya
telah menyaksikan begitu banyaknya kepalsuan-kepalsuan dan
ketidakadilan-ketidakadilan di dalam masyarakat kita ; yang semua itu mendorong
saya untuk mengekspresikan respons pribadi dalam bentuk cerita pendek.
Sejak usia belasan tahun saya
menetap di Jakarta, sebuah kota metropolitan yang keras. Saya merasa sangat
berakar pada masyarakat perkotaan, dalam pengertian saya sangat dekat dan dalam
kenyataannya saya merupakan salah satu diantara anggota masyarakat itu. Namun
demikian, bersama itu pula, saya pun merasa tercerabut dari akar tradisi asal
saya, Mandailing, Tapanuli Selatan, dan Melayu Deli dilingkungan mana saya
dilahirkan.
Jakarta telah membentuk
kepengarangan saya, sehingga cerpen-cerpen saya tidak mengusahakan tentang
lingkungan tradisi saya. Saya menulis tentang orang-orang Indonesia, dan
kelihatannya lebih banyak setting Jawa dan tokoh-tokoh Jawa yyang muncul dalam
beberapa cerpen saya.
Salah satu cara agar saya dapat mengetahui
apa yang terjadi di dalam masyarakat ialah dengan membaca koran secara cermat,
disamping saya juga selalu bersentuhan dengan kepalsuan-kepalsuan dan
ketidakadilan-ketidakadilan di dalam masyarakat lewat pergaulan langsung dengan
para anggota masyarakat, mengunjungi tempat tinggal mereka, omong-omong dengan
menarik, dan sebagainya.
Semua pengalaman, penghayatan,
informasi, ekspresi, dan pergaulan yang saya dapatkan itu, kemudian melalui
proses transformasi di dalam pikiran dan hati saya akhirnya menghasilkan
gambaran (imaji) dan realitas baru.
Dalam membiarkan imajinasi liar
saya, saya tetap mempertahankan realitas itu sendiri. Saya tidak menulis
seperti film-film kartun. Realitas tetap realitas walaunpun dunia bermain di
dalam imajinasi saya yang liar.
Saya sadari masyarakat tempat saya
hidup sehari-hari itu bukanlah masyarakat yang sempurna. Karena itu pulalah
saya menulis, menunjukkan ketidaksempurnaan itu dan berbuat sesuatu untuk
keadilan dan kebenaran.
Saya rasa, sebagai pengarang itulah peran
dan tanggung jawab saya terhadap masyarakat. Sejauh yang saya bisa. Hidup hanya
sekali. Tragedi ada dimana-mana. Coba dengar lirik lagu Melayu ini :
Sayang Laksemana mati
dibunuh
Hai mati dibunuh
Mati dibunuh Datuk
Menteri
Tuan umpama minyak
yang penuh
Hai minyak yang penuh
Sedikit tidak
melimpah lah lagi
Sayang Laksemana mati
dibunuh
Hai mati dibunuh
Mati dibunuh Datuk
Panglima
Bukan tanaman tak mau
tumbuh
Laksemana lah sayang
Kiranya bumi tidak
terima
Pekanbaru, Riau, November 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar