Rabu, 04 Maret 2015

Lokalitas Masyarakat Miskin Jakarta dan Saya

Rabu, 4 Maret 2015


Oleh : Hamsad Rangkuti

*Lahir di Titikuning, 7 Mei 1943. Sejumlah cerpennya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Jerman, antara lain dimuat di Voice in Southeast Asia Solidarity (1991), Managerie I (1992), Manoa, a Pacific Journal of International Writing, University of Hawaii Press (1991), Beyond The Horizon, Short Stories From Contemporary Indonesia, Monash Asia Institude, Jurnal Rima, Review of Indonesia and Malaysia Affairs, Universitas Sydney (1991). Selain itu, cerpennya terdapat dalam antologi cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir (ed. Suratman Markasan) (1991), Derabat : Cerpen Pilihan Kompas 1999, dan Dua Tengkorak Kepala : Cerpen Pilihan Kompas 2000. Bukunya Lukisan Perkawinan (1982, terbit ulang 2005), Cemara (1982), Ketika Lampu Berwarna Merah dan Sampah Bulan Desember (2000).

(Disampaikan pada Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru, Riau, 26 s.d 30 November 2005)

            Saya adalah seorang penglamun yang parah. Saya suka duduk berjam-jam di atas pohon, membiarkan pikiran saya melayang ke mana dia suka, tanpa saya mengontrolnya dan saya merasa nikmat. Saya merasa seolah berada di dunia lain, dunia imajinasi, dunia ciptaan saya.
            Sejak kecil saya suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang yang terjaga. Terkadang saya seperti berhadapan dengan diri sendiri. Saya juga sangat dekat dengan ayah saya. Ayah pandai bercerita. Terutama cerita-cerita dari dunia dongeng. Oleh sebab itu saya suka menemaninya bekerja sebagai penjaga malam di sebuah pusat perbelanjaan di kota kecil tempat kami tinggal, Kisaran namanya. Ayah saya suka bercerita kepada saya untuk melawan kantuk. Kalau ayah saya tidak bercerita, saya suka duduk seorang diri di dalam gelap memandang ke luar, ke jendela rumah milik penambal ban sepeda. Dia mempunyai seorang anak gadis yang saya suka.
            Saya suka mengempeskan ban sepeda dan pergi ke bengkel sepeda itu memompanya. Saya lakukan berlama-lama memompa ban sepeda itu sampai anak gadis itu keluar untuk keperluan sesuatu yang dia cari-cari, misalnya membuang sampah dapur. Saya melirik kepadanya, dia melirik kepada saya dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian. Malam harinya saya menyusuri lorong gelap di dalam pajak, los tempat berjual ikan, sayur, buah, sapu lidi, sapu ijuk, bakul anyaman bambu dan keranjang-keranjang rotan. Di balik rentangan kawat jala-pagar pusat perbelanjaan itu dibuat dari jalinan kawat jala- di seberang jalan, di loteng rumah penambal ban sepeda tadi, daun jendela terkuak. Anak gadis itu membiarkan cahaya bulan masuk memeluk tubuhnya dengan warna perak. Saya sandarkan ujung tangga pada sisi atas besi pagar, saya naik dan memindahkan posisi tangga. Saya turun dan membawa tangga, mengendap-endap ke bawah jendela. Saya letakkan ujung tangga di bawah bandul jendela. Selangkah demi selangkah saya naik, lalu muncul diluar jendela. Dia melihat saya. Lalu lari ke pintu, menutupnya, dan menguncinya dari dalam. Dari pintu yang telah terkunci dia lari ke jendela, menolong saya masuk, dan mendorong ujung tangga. Terdengar tangga jatuh dan sepi malam. Kemudian dia tutup daun jendela, mengusir cahaya bulan. Bulan tak ikut masuk. Lewat kisi jendela dia mengintip, melihat saya menggantikannya.
            Pagi harinya, di kedai minum, saya ceritakan petualangan cinta saya itu kepada teman-teman. Mereka merasa panas hatinya. Arida adalah gadis idaman kami. Mereka tidak percaya saya begitu mudah masuk ke dalam kamarnya lewat jendela dengan sebuah tangga dan menanggalkan semua pakaiannya. Mereka bilang saya berbohong. Saya mereka bilang pembohong besar. Kalau saya saat itu adalah saya yang sekarang, saya akan bilang dan berkilah, itulah imajinasi.
            Dari sekolah, saya tidak langsung  pulang, tapi saya pergi dulu ke Kantor Wedana. Saya tahan berdiri berjam-jam dibawah papan tempel tempat dilekatkannya bermacam koran yang terbit di ibukota provinsi. Di bawah papan tempel itulah saya berkenalan dengan dunia fiksi. Saya tidak berkesempatan membaca buku karena saya tidak memiliki buku. Saya tidak tahu dimana tempat meminjam buku. Di kota kecil saya itu tidak ada perpustakaan. Bahkan kami tidak mampu membeli koran. Untunglah Pak Wedana yang mengerti kondisi ekonomi masyarakatnya menempel koran di papan tempel yang diletakkan di halaman kantornya. Disitulah setiap Senin saya membaca fiksi hari Minggu. Saya menemukan cerpen Anton Chekov, Gorky, Hemingway, O Hendri dan berbagai karya terjemahan lainnya. Di Medan ada sebuah surat kabar, yang berselera tinggi, Mimbar Umum namanya. Setiap minggu selera redaksinya yang baik telah mengarahkan bacaan saya.
            Pada usia sekolah rendah, ukuran baik menurut saya adalah apabila bacaan yang saya baca itu mampu mengganggu saya. Gangguan akibat bacaan itu tidak jarang tinggal dalam diri saya berlama-lama. Bahkan ada yang tak hilang sama sekali. Tanpa saya sadari timbul keinginan pada diri saya untuk menjadi pengganggu. Saya ingin mengganggu melalui imajinasi yang saya peroleh kepada orang lain.
            Disamping kebiasaan saya suka membaca, saya juga suka mendengar ayah saya mendongeng. Ayah memang seorang pendongeng. Tukang cerita. Waktu itu ayah telah lebih dulu mengambil peranan televisi bagi anak-anak selepas mengaji. Ayah mendongeng dengan muatan agama dan akhlak. Saya ingin seperti ayah, dan ingin seperti pengarang-pengarang yang karyanya bisa mengganggu saya. Itulah motivasi awal mengapa saya membuat cerita.
            Cerita pendek saya yang pertama, yang saya tulis ketika saya berusia 16 tahun (1959), berjudul Sebuah Nyanyian di Rambung Tua. Ide cerita saya peroleh ketika saya mengulang kebiasaan saya yang suka menyendiri di hutan rambung. Saya melihat buruh penderes getah sedang menggarap getah dari pohon satu ke pohon yang lain. Saya lihat ada orang datang ke hutan rambung itu. Dia seperti dijemput. Entah untuk apa. Itulah yang saya lihat. Dia dijemput orang. Mulailah saya dengan kebiasaan saya. Dalam imajinasi saya tampak oleh saya isteri penderes getah itu sedang hamil tua. Di kamar mandi yang licin berlumut, di barak mereka yang jorok, isteri penderes getah itu terpeleset dan menderita pendarahan yang parah. Para tetangga melarikannya ke rumah sakit onderneming dengan truk perkebunan. Isteri malang itu meninggal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit dia mengenang perjalanan panjang mereka sebelum dia menjadi kuli kontrak. Saya merasa sebuah nyanyian panjang memilukan berkumandang di sepanjang perjalanan di hutan rambung itu. Cerpen itu saya ketik di Kantor Wedana. Setelah selesai saya simpan. Suatu hari keponakan saya, seorang penyair dan wartawan, Umaruddin Yasin Amin namanya, membawa koran Indonesia Baru, menunjukkan cerpen itu dimuat di koran itu. Dari dia saya tahu bahwa, diam-diam naskah cerpen itu dia curi dan dia kirim ke koran yang terbit di Medan.
            Perjalanan hidup saya rasanya perlu dipaparkan untuk melengkapi gambaran proses kepengaraangan saya. Lingkungan berperan penting juga bagi tumbuhnya jiwa kepengarangan saya. Perjalanan hidup membikin saya pindah dari satu kota kecil. Kisaran, ke kota besar, Medan. Lingkungan pun  berubah. Di Medan saya mulai berusaha mendekati tokoh-tokoh seniman setempat, yang suka berkumpul di Warung Tinggi – warung yang lantainya tinggi, memakai tiang seperti panggung – minum-minum sambil membicarakan karya sastra yang terbit di majalah-majalah pusat, seperti di Konfrontasi, Indonesia, Sastra, dan Mimbar Indonesia. Kehadiran saya ditengah-tengah seniman-seniman itu tidak dianggap karena karya saya belum ada yang berarti. Belum ada muncul di majalah-majalah yang mereka bicarakan. Tetapi saya tidak patah semanagat, saya tetap ingin dekat dengan mereka.
            Di Medan saya dititipkan orang tua saya di rumah paman saya yang menjalankan agamanya dengan sangat fanatik. Waktu itu saya tidak pernah lalai menjalankan ibadah, terutama shalat Jumat di Masjid Raya. Masjid itu terletak di depan Istana Maimun. Di seberang halaman masjid itu, dipisah sebuah jalan raya, ada kolam, kolam raja namanya disebut orang. Kalau malam, kolam itu dijadikan tempat rekreasi penduduk kota. Lama-kelamaan tempat itu berkembang menjadi lokasi taman hiburan. Dari sana mengumandang lagu penghibur lara lewat pengeras suara yang distel keras-keras, beradu keras dengan adzan saat menjelang waktu maghrib. Melihat itu, saya tergugah untuk menjadikan masjid itu sebagai tokoh cerita yang telah serak suaranya. Orang yang datang mendengar panggilannya, tetapi orang datang pada panggilan ke kolam.
            Cerpen kedua saya lahir. Saya beri judul Masjid (1960). Dalam cerpen itu saya menceritakan juga nasib tangga menaranya yang sudah lapuk, yang sudah tidak bisa digunakan untuk muazin naik ke puncaknya. Saya juga bercerita bahwa saya sudah tidak bisa lagi naik ke puncak menara itu bersama ayah sebagai juru azan. Saya gambarkan lapuknya tangga itu berakibat saya sudah tidak bisa melihat keindahan kota di malam hari, saat ayah mengumandangkan azan. Modin sekarang mengumandangkan azan di depan mihrab. Kumandang azan telah merambat melaui rentangan kabel ke puncak menara. Kata ayah, tangga menara benar telah lapuk.
            Cerpen itu dimuat di mingguan Waspada. Dari nada penceritaan saya yang sangat menggugah dan mengharukan, membuat masyarakat seniman setempat memperhatikan saya. Rupanya mereka merasa kecolongan oleh saya, calon pengarang yang baru pindah ke kota mereka. Diantara mereka adalah Herman KS, Zakaria M Masse, Djohan A Nasution, AA Bungga, Arsul Rubaiyan dan Zainuddin Tamir Koto (Zatako). Mereka mulai menghiraukan saya dan telah mau pula meminjamkan buku dan majalah kepada saya. Sayapun kemudian bisa membaca Pohon Kastanye Mochtar Lubis, Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer, Robohnya Surau Kami AA Navis.
            Menu kepengarangan saya sudah semakin bertambah. Saya semakin yakin bahwa dengan makin banyak membaca semakin banyak yang bisa diperoleh. Maka lahirlah cerpen ketiga saya yang berjudul Panggilan Rasul. Cerpen ini masuk dalam buku kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia kelas tiga SMU. Cerpen itu saya tulis ketika saya masih duduk di SMU kelas satu (1960) dan dipublikasikan di Horison, 1966.
            Ide cerita melintas dalam, benak saya waktu naik sepeda dari rumah keluarga saya di Titikuning. Dalam perjalanan pulang, sepeda saya terhambat kerumunan orang di depan rumah penduduk yang sedang mengkhitankan anaknya. Dalam penglihatan saya, kerumunan orang banyak itu bukan bergembira ria, tapi penuh duka cita. Di ruang tengah, anak yang disunat itu telah tiada akibat pisau sunat yang ditorehkan sang dukun telah merenggut nyawanya.
            Kilasan peristiwa tragis yang bermain dalam benak saya itu mengganggu saya sepanjang perjalanan. Saya diganggu oleh imajinasi saya. Sepanjang perjalanan bersepeda, saya biarkan kebiasaan saya dengan imajinasi liar yang saya miliki. Saya mulai merangkai sebuah kisah yang bertolak dari kejadian itu menjadi kisah yang lain. Dalam imajinasi saya, rumah orang yang menyunat rasul anaknya itu adalah rumah seorang tuan tanah. Orang berkerumun itu adalah penduduk penggarap tanah milik si tuan tanah, yang datang berdo’a bagi keselamatan putra tuan tanah, yang sedang disunat itu. Dua putranya yang terdahulu, beberapa tahun yang lalu, berturut-turut menemui ajalnya di ujung pisau sunat. Untuk anak yang ketiga ini, apabila do’a para petani itu makbul, anak yang ketiga itu selamat disunat rasul, tuan tanah itu akan memenuhi janjinya : memberi tanah kepada para petani penggarap ini makbul, anak yang ketiga itu selamat disunat rasul, tuan tanah itu akan memenuhi janjinya, memberi tanah kepada para petani penggarap.
            Pada waktu itu seniman-seniman Medan sedang berlomba-lomba mengirimkan karangan mereka ke majalah Sastra yang terbit di Jakarta. Diam-diam saya kirim cerpen itu ke majalah Warta Dunia di Jakarta. Karya itu dimuat. Gengsi saya mulai ada. Penulis terkemuka di Medan, Sori Siregar, sudah mau membalas sapaan saya. Dia bilang cerpen itu bagus. Dia menganjurkan agar saya mengetik ulang cerpen itu dan mengirimkannya ke majalah Sastra. Anjuran itu saya laksanakan. Sebulan kemudian saya menerima surat pemberitahuan dari majalah Sastra, bahwa cerpen itu akan dimuat. Saya merasa bagaikan mendapat lotere menerima surat itu. Saya mengambil sepeda saya. Saya berkeliling kota mendatangi rumah teman-teman seniman yang saya kenal, menunjukkan surat dari majalah Sastra itu, seolah saya pegawai pos yang mendatangi rumah-rumah si pemilik alamat. Nama HB Jassin sebagai penentu mutu karya menjadi ukuran mereka untuk mau mengakui keberadaan seorang pengarang, telah saya miliki. Kepada saya semakin banyak orang meminjamkan buku, diantaranya adalah AE Soewuta, NA Hadian, Zaini Nasution. Seolah surat dari majalah Sastra itu bukti kepengarangan saya. Saya pun kemudian diikutsertakan mereka dalam rombongan pengarang Sumatera Utara ke Konperensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, 1964. Ironisnya, cerpen itu tidak terwujud dimuat di majalah Sastra, hingga majalah itu mati karena manifes kebudayaan.
            Saya tergolong penulis berbakat alam. Semula saya tidak mendapat pendidikan khusus mengenai karang-mengarang. Saya hanya mendapatkan teori dari buku Teknik Mengarang Mochtar Lubis. Saya termasuk pengarang yang tidak produktif. Setelah Panggilan Rasul, saya mengarang Ibu Yang Pemalu, kemudian Sebuah Spanduk (SP). Cerpen SP saya ciptakan untuk mengikuti sayembara mengarang yang diadakan Front Nasional Sumatera Utara. Waktu itu kaum Manifes Kebudayaan sedang diganyang Lekra. Saya termasuk penandatangan Manifes Kebudayaan untuk daerah Sumatera Utara. Saya dipecat dari harian Patriot sebagai pengasuh ruang budaya koran itu bersama-sama dengan Herman KS. Dalam keadaan tertekan seperti itu timbul keinginan saya hendak menunjukkan identitas diri. Saya pun mengikuti sayembara itu. Saya menggunakan nama samaran. Waktu cerpen itu diumumkan sebagai pemenang pertama, saya maju ke atas panggung menunjukkan diri sebagai pemenang.
            Kepindahan saya ke Jakarta merupakan nasib baik untuk kepengarangan saya. Saya tinggal di Balai Budaya. Tidur setiap malam diatas selembar koran di atas ubin Balai Budaya. Pada siang harinya, saya menguping pembicaraan tokoh-tokoh kebudayaan yang berdiskusi di Balai Buadaya. Diantara mereka adalah Trisno Sumardjo, Zaini, Oesman Efendi, Nashar, dan Anas Maruf. Saya kira di Balai Budaya itulah proses kepengarangan saya mulai menyimpang dari apa yang saya miliki ketika saya hidup dilingkungan keluarga paman saya di Medan. Di Balai Budaya saya mulai liar bagaikan kuda lepas kendali. Seniman-seniman liar seumur saya mulai membawa saya masuk ke dalam kehidupan di gubuk-gubuk kere di sepanjang tepi Kali Malang, juga ke Planet Senen mengasah kepekaan. Sementara itu, surat dari majalah sastra masih terus mengganggu saya. Saya belum bisa menulis kalau cerita pendek itu belum dimuat. Kabar dari majalah Horison mulai menggugah saya untuk menulis. Cerpen yang tak jadi dimuat di majalah Sastra itu, oleh HB Jassin dioper ke majalah Horison dan dimuat pada penerbitannya yang ke 4. Setelah itu lahirlah cerpen-cerpen saya yang lain, Surat, Jembatan, dan Ikan Yang Tersesat di majalah itu.
            Saya adalah pengarang yang tidak produktif. Selama kurun waktu 19 tahun, 1960-1979 saya hanya menghasilkan 7 buah cerita pendek. Mencipta bagi saya adalah pekerjaan yang sukar. Saya ingat sekali bagaimana lahirnya cerpen Lumpuh. Suatu kali saya bertamu ke rumah Sriwidodo, seorang pelukis di Karet Kuningan. Tempat tinggalnya itu masih berada di lingkungan desa. Pekarangannya ditumbuhi kebun pepaya. Saya kalau datang suka memandangi pohon pepaya itu. Saya ingat pada paman saya yang fanatik dan saya ingat keponakan istrinya yang lumpuh yang tinggal di rumah itu. Saya merasa berdosa sekarang. Saya sudah lama meninggalkan kewajiban saya sebagai orang yang beragama. Dari suasana hati seperti itu saya mengambil pena. Merangkai cerita dari tiga titik sumber, ayah saya, pohon pepaya, dan keponakan makcik saya yang lumpuh.  

            Tahun 1972 saya menikah. Istri saya keponakan pelukis Mustika yang kebetulan orang Jawa dan bertempat asal Purworejo, Jawa Tengah. Seminggu di Jawa. Disanalah saya melihat sungai yang sedang meluap. Pemandangan itu mengingatkan saya pada banjir besar yang pernah saya lihat. Air keruh menutup rata sawah. Rumah penduduk terendam, hanya menyisakan bubungannya. Saya berdiri di atas jembatan. Air telah melintas di atas lantai, membasahi sepatu saya. Terdengar suara berderak-derak dari tiang penyangga. Pohon tumbang yang hanyut tersangkut pada tiang jembatan itu. Saya cepat melangkah, menghindar dari jembatan. Saya melihat orang terjun ke dalam air memotong dahan dan ranting-ranting. Saya tidak ingat dimana kejadian itu. Tetapi itulah yang saya ingat disaat melihat sungai meluap di kampung isteri saya.
            Saya telah banyak mendengar dan membaca cerita mengenai banjir. Selalu yang diceritakan kesengsaraan dan air mata. Saya tidak ingin mengulang cerita semacam itu. Saya ingin membikin lelucon akibat banjir. Saya mendapatkan sebuah lelucon setelah banjir : seekor ikan besar tersesat dan tertinggal di dalam tebat penduduk setelah banjir surut. Ikan besar yang ditinggalkan air bah di dalam tebat penduduk itu terlena setelah melahap ikan-ikan kecil yang ada di dalamnya. Dia lupa bahwa setelah  banjir, air akan surut. Itulah lelucon itu. Saya tersenyum menemukan lelucon itu. Agar cerita tidak tinggal lelucon saja, maka saya pun memasukkan sifat tamak manusia. Permasalahan jadi meluas setelah lurah desa mendengar kabar ada ikan berukuran besar tersesat di dalam tebat penduduk. Lurah ingin memiliki ikan itu untuk disumbangkan ke gubernur guna mengisi aquarium raksasa yang sedang dia rancang untuk ditaruh di kebun binatang yang ada di kota. Saya memperluas cerita dengan melibatkan sekelompok petani yang memprotes rencana lurah. Protes timbul karena lurah dianggap merampas hak rakyat kecil, si pemilik tebat. Lurah itu saya gambarkan lupa akan kewajibannya mengurus para pengungsi akibat banjir, tapi terus mengurus kebiasaannya yang menilai keatas dan menginjak ke bawah.
            Saya masih ingat, HB Jassin memberi komentar tentang cerita itu ketika saya ambil setelah dia periksa Horison. (Waktu itu saya telah bekerja di majalah Horison). Pak Jassin menyarankan agar bagian akhir cerita diubah. Menurut Pak Jassin, sebaiknya cerita diakhiri dengan memberikan ikan yang tersesat itu kepada pemilik tebat. Alasan Pak Jassin, tugas kita sebagai pengarang harus memihak kepada yang tertindas. Saya setuju pendapat Pak Jassin itu. Tetapi saya tidak bisa memihak kepada pemilik tebat itu. Saya tidak bisa mempertahankan dia sebagai orang yang berbudi luhur yang dimiliki orang tertindas. Imajinasi liar saya menjadikan dia keluar dari konteks orang yang berbudi luhur. Pemilik tebat itu tiba-tiba  berubah menjadi orang yang tak berbudi dan dia telah menjadi tamak. Dia pergi ke hutan membawa parang, menetak akar tuba, mengumpulkannya di dalam karung. Dia menumbuk akar tuba di dalam hutan dan berniat hendak menuba tebatnya sendiri. Menurut pertimbangan jahatnya, ikan yang mati karena akar tuba tentu tidak mungkin diserahkan ke kebun binatang pengisi akuarium. Saya menjadi tidak bersimpati kepada pemilik tebat itu. Dia telah berubah menjadi orang yang serakah. Saya sadar bahwa yang pengarang cerita itu adalah saya. Saya yang menjadikan pemiliki tebat itu menjadi orang yang serakah. Barangkali juga sayalah si pemilik tebat itu. Sayalah yang telah menjadi serakah. Saya harus dihukum. Dan saya tetap membiarkan cerita itu berakhir seperti yang saya tulis sebelumnya. Saya tidak ikut saran Pak Jassin. Saya tetap membikin pemilik tebat itu menjadi orang yang serakah dan dia harus dihukum. Semua pihak saya hukum. Cerita saya sudahi dengan lenyapnya ikan yang tersesat itu didalam timbunan lumpur yang ditimbun si pemilik tebat itu.
            Tahun 1975 merupakan tahun bergesernya posisi kepengarangan saya dari penulis berbakat alam ke penulis yang menguasai unsur teknis. Tahun ini saya mendapat kesempatan mengikuti workshop penulisan skenario di Lembaga Kesenian Jakarta (LPKJ). Workshop ini merupakan kerjasama antara Departemen Penerangan RI dan LPKJ. Selama 6 bulan saya menimba ilmu penulisan skenario. Dari sanalah saya mengenal unsur-unsur penulisan yang harus dikuasai oleh seorang pengarang. Ternyata semua bidang pengetahuan ada ilmunya. Tidak terkecuali di dunia tulis-menulis. Apakah ilmu itu mendatangkan kebaikan pada kepengarangan saya ?
            Setelah empat tahun ilmu penulisan itu saya miliki, saya mulai mempraktekkannya. Lahirlah cerpen pertama saya setelah saya menguasai ilmu teknik mengarang skenario.  Cerpen itu berjudul Sebuah Sajak. Saya heran sendiri waktu menciptakan cerpen itu, saya tidak mendapat kesulitan. Lancar sekali. Langsung ketik dan jadi. Kemudian saya coba menulis cerpen berikutnya. Lahirlah cerpen yang saya beri judul Cerita Awal Tahun. Saya tulis sehari jadi. Maka saya pun mengorek semua pengalaman saya waktu saya bagaiakan kuda lepas menyusuri rel diantara gubuk-gubuk liar disepanjang kali Ciliwung. Lahirlah novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Novel ini menceritakan kehidupan gelandangan dan pelacur-pelacur murahan di sepanjang rel.
            Selanjutnya bagi saya begitu mudah. Saya sudah bisa menjadikan cerpen dari apa yang saya dengar. Menjadikan cerpen dari apa yang saya lihat. Menjadikan cerpen dari apa yang saya baca. Saya telah menjadi penulis yang produktif. Satu bulan bisa menghasilkan beberapa cerita pendek.
            Ada cerita yang saya dengar disampaikan seorang penumpang wanita kepada kami penumpang kendaraan opelet. Cerita wanita itu telah mengilhami dua cerita pendek, Perbuatan Sadis dan Pispot. Saya mendengar cerita itu waktu saya pulang dari percetakan CV Kosen (tempat majalah Horison dicetak sebelum berubah ke offset). Pergi dan pulang dari percetakan saya selalu naik opelet. Di tengah kendaraan yang saya tumpangi terhambat oleh kerubungan orang banyak. Mungkin satu peristiwa baru saja terjadi disitu. Dari seorang penumpang yang baru naik, kami jadi tahu bahwa dtempat itu baru saja terjadi penjambretan. Korbannya, adalah seorang wanita muda, pemilik sebuah kalung emas seberat dua puluh lima gram. Seorang penumpang wanita di opelet itu nyeletuk setelah mendengar cerita penumpang yang baru naik itu. Kata penumpang itu, dia melihat sendiri suatu peristiwa penjambretan di kota Bandung. Korban penjambretan itu, oleh sekawanan penjambret dipaksa menelan kalung yang dipakainya setelah kawanan penjambret yang merampas kalung itu menyadari bahwa kalung yang baru mereka jambret adalah palsu. Dibawah todongan belati pemilik kalung palsu itu dipaksa menelan kalung palsunya itu. Saya bergidik mendengar cerita itu : seorang wanita muda menelan kalung imitasi miliknya sendiri dibawah todongan sebuah belati.
            Waktu saya membikin Cerpen Perbuatan Sadis (cerpen itu terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember ) saya harus membikin cerita tentang itu. Saya harus bisa membikin pembaca tergidik seperti saya tergidik mendengar cerita itu. Pengetahuan tehnik itu pun menolong saya. Mula-mula saya tentukan settingnya. Saya ingat akan kata-kata Sherwood Anderson kepada muridnya : “Yang penting dipelajari adalah mengetahui apa yang dipikirkan orang, bukan apa yang mereka katakan.” Apa yang dipikirkan oleh wanita yang mengucapkan peristiwa itu, bukan apa yang dia perkatakan. Itulah yang saya kaji. Yang dipikirkannya ! Kalau menelan kalung itu. Saya telah mendapat kuncinya.  Peristiwa menelan itu. Maka tugas saya sekarang adalah merangkai suatu peristiwa sedemikian rupa, sehingga bila pembaca sampai pada bagian menelan kalung itu mereka menjadi bergidik. Itulah kuncinya. Satu hal yang penting yang perlu saya ingat adalah bagaimana mempertahankan perhatian dan minat baca.
            Saya pun mencari gang. Gang di sebuah kota adalah tempat menyimpan kemiskinan dan kemelaratan. Kalau orang mendengar kata gang, dibenak mereka telah tergambar macam-macam. Kekerasan dan kemelaratan merupakan satu-kesatuan. Gang sebagai setting cerita saya jadikan tempat keluar dan masuknya tokoh penjambret. Karena saya akan menceritakan kesadisan maka saya harus memulai cerita itu dengan contoh-contoh kesadisan yang dikenal pembaca. Pembaca saya harapkan bisa membandingkan kesadisan-kesadisan yang mereka kenal lewat contoh-contoh yang saya contohkan. Tugas saya selanjutnya adalah membikin pembaca shock. Saya bermain tehnik. Kepada pembaca saya beritahu bahwa kalung yang baru dijambret itu adalah kalung palsu lewat rasa bangga si wanita yang kena jambret. Mendengar pengakuan si pemilik kalung itu saya yakin para pembaca menjadi lega. Disaat para pembaca menjadi lega karen ternyata kalung itu palsu, pada saat seperti itu saya tampilkan kembali para penjambret itu. Mereka muncul dari dalam gang, membawa segelas air dan memaksa pemilik kalung itu menelan kepalsuannya, kalung imitasi yang dipakainya itu. Untung kalung itu tidak memakai liontin. Apakah cerita itu bisa diselesaikan hingga sampai disitu ? Saya belum merasa puas. Saya merasa cerita belum bisa selesai disitu. Saya belum puas dan masih terus mencari penyelesaiannya. Kemanapun saya pergi, cerita ynag belum saya anggap selesai itu saya bawa di dalam pikiran saya kemanapun saya pergi. Suatu kali, setahun setelah itu, dari luar jendela bus yang saya tumpangi, dari keramaian pasar yang dilintasinya, saya tiba-tiba menemukan penutup cerita itu. Saya tersenyum mendapat penutup ceita itu. Saya seakan mendengar suara seorang wanita memekik meminta tolong, wanita yang memekik itu di dalam imajinasi saya adalah korban penjambretan setahun yang lalu itu : Tolong ! Saya menelan perhiasan ! Coba bayangkan, berapa lama waktu yang saya perlukan untuk mendapatkan kalimat penutup cerpen itu. Satu tahun lamanya. Sementara para pembaca, hanya memerlukan beberapa detik setelah dia selesai membaca kalimat sebelumnya.
            Saya akan ceritakan satu contoh lagi. Dari ucapan yang saya dengar telah menjadi kunci sebuah penciptaan. Cerpen yang saya maksud berjudul Dia Mulai Memanjat. Oesman Efendi, seorang pelukis senior pada waktu itu di Balai Budaya, berkata kepada seorang pelukis muda di depan saya : Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu ! Kau akan terkenal. Saya tidak bisa menyimpulkan apakah ucapan itu mengandung sikap sinis atau sebaliknya. Namun ucapan itu telah merangsang kreativitas saya. Kalimat itu harus diwujudkan menjadi sebuah cerpen. Bagaimana cara yang dilakukan, sementara patung di Bundaran Senayan itu tetap utuh sebagai realitas yang ada. Maka yang harus diceritakan adalah pikiran orang yang hendak memenggal kepala patung itu. Bukan eksekusinya. Maka saya pun merangkai peristiwa yang membaurkan peristiwa yang ada di dalam pikiran dengan peristiwa yang nyata. Sayapun membikin dua peristiwa di dalam satu peristiwa.
            Menurut pengalaman, saya akan menentukan teknik penyuguhan, baru saya menciptakan mood, suasana hati. Suasana hati sangat menentukan rasa cerita. Saya bisa juga mengarang dari nol. Tidak ada ide. Misteri penciptaan akan datang disaat kita mencipta. Dialog dan narasi akan datang susul-menyusul, dengan sendirinya, begitu latar, tokoh dan peristiwa telah ditemukan.
            Pada dasarnya mengarang bagi saya adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur dramatis, dan memasukkan unsur keindahan. Apakah saya berhasil ? Saya hanya berusaha untuk berhasil.
            Sampai sekarang pun, saat saya menciptakan cerpen terakhir yang saya ciptakan Gelombang Yang Berlabuh, Kompas 11 September 2005, pengetahuan teknik tetap menopang kepengarangan saya. Saya masih tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan saya, seperti dulu, ketika menyendiri di hutan rambung, sekarang pun kebiasaan itu tetap saja saya pelihara, membiarkan imajinasi liar saya menjelajah ruang dan waktu. Saya berpendapat, untuk kepentingan efek, untuk kepentingan maksud dan untuk kepentingan tujuan, seorang pengarang harus berani bersikap. Seorang pengarang harus tega. Saya harus tega, kalau saya tidak tega, akibat dari tawuran itu tentu tidak akan tercapai. Tawuran selalu merenggut korban yang tak berdosa.
            Suatu kali saya mendengar cerita, seorang anak sekolah yang naik di atas atap kereta rel listrik, dilemparkan para pemalak saat kereta sedang melaju. Kesalahan anak itu cuma satu. Dia tidak bisa menyerahkan sejumlah uang yang diminta para pemalak. Saya terkejut mendengar cerita itu. Di atas atap kereta rel listrik yang sedang berjalan berkeliaran para pemalak. Mengapa mereka begitu kejam. Mengapa mereka begitu tega. Tentu ada penyebabnya.Sementara itu, peristiwa tawuran terus-menerus berlangsung di jalan-jalan. Banyak korban yang tidak berdosa yang menjadi sasaran.
            Begitu saya tahu bagaimana teknik bercerita, maka saya bisa produktif. Pengetahuan teknik telah menyelamatkan kepengarangan saya. Banyak pengarang tidak lagi mengarang hanya mengandalkan bakat alam semata. Kalaupun mereka memaksa diri untuk terus mengarang, mereka hanya mengulang-ulang kenangan masa lalu. Walau demikian, banyak juga orang berpendapat bahwa teknik hanya untuk para tukang, untuk para pemula. Bahkan ada yang berpendapat, teknik dipelajari hanya untuk dilupakan.
            Terkadang saya bertanya, mengapa penulis-penulis klasik kita menulis lebih baik ? Beberapa ciptaan pengarang kita sekarang ini saya baca dengan penuh perhatian, akan tetapi banyak sekali tulisan-tulisan yang menimbulkan pertanyaan dalam diri saya : Mengapa dia ditulis ? Semua hal memang terdapat di dalamnya, akan tetapi ada sesuatu yang tidak terdapat, bacaan-bacaan itu tidak mengharukan saya.
            Dalam berkarya saya tak mengenang masa-masa lalu untuk diangkat sebagai karya. Saya sadar bahwa pengarang adalah saksi jamannya. Saya hidup di jaman ini. Maka saya pun menuliskan kehidupan masyarakat di jaman ini, dimana saya tinggal. Dalam  mengarang, saya sangat terikat pada ruang dan waktu.
            Dalam perjalanan hidup saya, saya telah menyaksikan begitu banyaknya kepalsuan-kepalsuan dan ketidakadilan-ketidakadilan di dalam masyarakat kita ; yang semua itu mendorong saya untuk mengekspresikan respons pribadi dalam bentuk cerita pendek.
            Sejak usia belasan tahun saya menetap di Jakarta, sebuah kota metropolitan yang keras. Saya merasa sangat berakar pada masyarakat perkotaan, dalam pengertian saya sangat dekat dan dalam kenyataannya saya merupakan salah satu diantara anggota masyarakat itu. Namun demikian, bersama itu pula, saya pun merasa tercerabut dari akar tradisi asal saya, Mandailing, Tapanuli Selatan, dan Melayu Deli dilingkungan mana saya dilahirkan.
            Jakarta telah membentuk kepengarangan saya, sehingga cerpen-cerpen saya tidak mengusahakan tentang lingkungan tradisi saya. Saya menulis tentang orang-orang Indonesia, dan kelihatannya lebih banyak setting Jawa dan tokoh-tokoh Jawa yyang muncul dalam beberapa cerpen saya.
            Salah satu cara agar saya dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam masyarakat ialah dengan membaca koran secara cermat, disamping saya juga selalu bersentuhan dengan kepalsuan-kepalsuan dan ketidakadilan-ketidakadilan di dalam masyarakat lewat pergaulan langsung dengan para anggota masyarakat, mengunjungi tempat tinggal mereka, omong-omong dengan menarik, dan sebagainya.
            Semua pengalaman, penghayatan, informasi, ekspresi, dan pergaulan yang saya dapatkan itu, kemudian melalui proses transformasi di dalam pikiran dan hati saya akhirnya menghasilkan gambaran (imaji) dan realitas baru.
            Dalam membiarkan imajinasi liar saya, saya tetap mempertahankan realitas itu sendiri. Saya tidak menulis seperti film-film kartun. Realitas tetap realitas walaunpun dunia bermain di dalam imajinasi saya yang liar.
            Saya sadari masyarakat tempat saya hidup sehari-hari itu bukanlah masyarakat yang sempurna. Karena itu pulalah saya menulis, menunjukkan ketidaksempurnaan itu dan berbuat sesuatu untuk keadilan dan kebenaran.
            Saya rasa, sebagai pengarang itulah peran dan tanggung jawab saya terhadap masyarakat. Sejauh yang saya bisa. Hidup hanya sekali. Tragedi ada dimana-mana. Coba dengar lirik lagu Melayu ini :

Sayang Laksemana mati dibunuh
Hai mati dibunuh
Mati dibunuh Datuk Menteri

Tuan umpama minyak yang penuh
Hai minyak yang penuh
Sedikit tidak melimpah lah lagi

Sayang Laksemana mati dibunuh
Hai mati dibunuh
Mati dibunuh Datuk Panglima

Bukan tanaman tak mau tumbuh
Laksemana lah sayang
Kiranya bumi tidak terima



Pekanbaru, Riau, November 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saat Berada di Masjid Dhia Ul Abidin Ilung HST Malam Senin

 Selasa, 26 November 2024 Beginilah suasana saat saya berada di dalam Masjid Dhia Ul Abidin Ilung, Kecamatan Batang Alai Utara, Kabupaten Hu...